Pascamodernis dari Kremlin

Print Friendly, PDF & Email

BUAT para pelajar teori-teori kebudayaan dan filsafat di Indonesia, istilah ‘filsafat bahasa’ memantik ingatan mereka melesat ke nama-nama seperti Ferdinand de Saussure, Roland Barthes dan kaum ‘pascastrukturalis’ seperti Jacques Derrida. Mendengar istilah itu, mereka akan diingatkan pada sederet tema: tentang betapa sewenang-wenangnya hubungan antara tanda dan makna, tentang bagaimana makna disusun oleh hubungan diferensial antar tanda, tentang bagaimana kesadaran terstruktur oleh tanda, dan seterusnya. Bagi para pengkaji Marxisme, istilah ‘filsafat bahasa’ ini juga mengingatkan mereka pada tema lain, yakni tentang bagaimana ideologi bukan sekadar cerminan kepentingan ekonomis kelas-kelas sosial, melainkan dibentuk dan dibatasi oleh bahasa sebagai ranah perbedaan antar tanda. Perkembangan filsafat Kontinental sejak hampir seabad terakhir menunjukkan kuatnya pengaruh asosiasi makna ‘filsafat bahasa’ semacam ini. Di kalangan Marxis, kesadaran semacam ini dimulai sejak Valentin Voloshinov di tahun 1930 yang pertama kali menunjukkan bahwa ideologi ‘terstruktur seperti bahasa’, sampai dengan Slavoj Zizek di awal abad ke-21 yang memperlihatkan bahwa hasrat kita terstruktur secara sosial via mekanisme bahasa.

Namun dalam narasi konvensional tentang ‘filsafat bahasa’ sebagai riwayat konsolidasi pascastrukturalisme ini, ada satu nama yang jarang disebut: Joseph Stalin. ’Filsafat bahasa’ atau apa yang kini cenderung disamakan orang-orang dengan pengertian ‘pascastrukturalisme’ bukanlah perjalanan pendek dari Jenewa ke Paris (dari Saussure ke Derrida), melainkan perjalanan memutar dari Jenewa ke Paris via Moskow. Di tikungan itu, Stalin memainkan peranan. Saya tidak mengklaim bahwa tanpa Stalin tidak akan ada pascastrukturalisme dan pascamodernisme (yang merupakan turunan dari pascastrukturalisme). Yang saya klaim adalah bahwa tanpa Stalin gambaran kita tentang sejarah perumusan pascastrukturalisme dan pascamodernisme tidak akan lengkap.

Jauh sebelum bergabung dengan gerakan Kiri Rusia, Stalin adalah seorang penyair. Kepiawaiannya terletak pada puisi lirik—tentang pohonan, angin dan malam hari. Puisi-puisi liriknya dikagumi oleh penyair Romantik ternama asal Georgia, Ilia Chavchavadze. Bahkan beberapa di antaranya pernah terbit di jurnal sastra paling berpengaruh di Rusia pada era pra-Soviet, Iveria. Namun refleksi sistematisnya tentang bahasa baru muncul jauh kemudian, selepas ia bergabung dengan gerakan Kiri Rusia, setelah ia mengambil-alih kekuasaan sepeninggal Lenin. Marksizm i voprosy yazykoznaniya (“Marxisme dan Problem Linguistik”) adalah kitab pendek tentang hakikat bahasa yang terbit di tahun 1950. Di dalamnya, Stalin mempertimbangkan status bahasa dalam kerangka pemikiran Marxian.

Yang hendak ia kritik di sana ialah pandangan deterministik linguis Soviet, Nicholas Marr. Sang linguis berpendapat bahwa bahasa adalah fenomena superstruktural semata. Artinya, realitas ekonomi sepenuhnya menentukan fenomena bahasa—perubahan realitas ekonomi meniscayakan perubahan total realitas bahasa. Oleh karena itu, Marr berpandangan bahwa perbedaan kelas juga tercermin pada perbedaan bahasa. Peralihan dari modus produksi kapitalis ke sosialis di Rusia mesti diikuti oleh suatu revolusi linguistik, yakni pencampakan bahasa Rusia yang borjuis dan transformasinya menjadi ‘bahasa proletar’. Stalin mengkritik asumsi Marr. Bahasa bukanlah efek superstruktural dari realitas ekonomi.

Dalam karyanya, Stalin memaparkan bagaimana bahasa merupakan produk dari hubungan sosial yang menyejarah dan bercorak lintas-kelas. Ia memberikan beberapa ilustrasi historis, antara lain soal bahasa Prancis di era sebelum dan sesudah Revolusi 1789. Sementara Revolusi tersebut menandai peralihan tatanan feodal ke kapitalis, bahasa Prancis tetaplah kurang-lebih sama. Memang ada kosakata baru dan frase-frase idiomatik baru selepas Revolusi 1789, tetapi sintaksis bahasa Prancis tetaplah sama. Demikian pula dengan kondisi bahasa Rusia sebelum dan sesudah Revolusi Oktober 1917. Hal ini menunjukkan, bagi Stalin, bagaimana perubahan komposisi kelas tidak serta-merta menghasilkan perubahan bahasa. Dari sini Stalin menarik kesimpulan bahwa bahasa tidak bisa dipandang sebagai efek superstruktural dari basis. Selain itu, Stalin juga mempelajari bagaimana bahasa sudah muncul sejak era masyarakat pra-terbentuknya kelas-kelas sosial (modus produksi komunal). Ini semakin menguatkan kesimpulannya bahwa bahasa melampaui logika kelas.

Apabila bahasa bukanlah salah satu komponen superstruktur, lalu di manakah letak bahasa dalam skema materialisme historis Marxian? Di basis? Tidak juga. Stalin melihat bahwa bahasa mirip alat produksi, seperti halnya mesin pabrik. Tidak ada yang namanya ‘mesin borjuis’ ataupun ‘mesin proletar’—yang ada hanyalah mesin yang dapat digunakan dalam sistem pembagian kerja kapitalis atau sosialis. Sementara mesin itu sendiri, pada-dirinya, netral secara kelas. Begitu juga dengan bahasa, menurut Stalin. Netralitas itu dimungkinkan karena bahasa sudah ada sebelum adanya kelas, yakni sejak masyarakat komunal-primitif. Bahasa adalah suatu ‘ruang sosial’ tempat produksi dan reproduksi kehidupan masyarakat terjadi. Karenanya, kesimpulan Stalin, bahasa bukan bagian dari superstruktur maupun basis sebab bahasa merupakan wadah tempat keduanya mewujud. Baik ideologi maupun mekanisme reproduksi pemenuhan kebutuhan dipikirkan, dinyatakan dan diperbincangkan melalui bahasa. Karena bahasa merupakan wadah tempat semua hubungan sosial terjadi, maka bahasa melandasi semua fenomena sosial—mencakup basis dan superstruktur. Bahasa tidak bisa dipersalahkan atas dasar pertimbangan ekonomi-politik maupun ideologis. Dengan kata lain, dalam fraseologi pascamodernis, bahasa memiliki ‘otonomi-relatif’ terhadap basis dan superstruktur.

Selain menegaskan ‘otonomi’ bahasa dari reduksi ekonomistik, Stalin juga memperlihatkan bahwa bahasa lah yang turut menstruktur ideologi dan kesadaran masyarakat. Hal ini disebabkan oleh karena semua percakapan dan permenungan mesti melalui medium bahasa. Karenanya, struktur ideologi dan kebudayaan telah selalu terkontaminasi oleh bahasa. Tak ada pemikiran murni tanpa bahasa. Oleh karenanya, tak ada ideologi tanpa bahasa. Pandangan semacam inilah yang mengantisipasi pendekatan bahasa yang nantinya dipopulerkan oleh kaum strukturalis dan pascastrukturalis dari Prancis. Persisnya ada tiga hal yang disumbangkan Stalin bagi pascastrukturalisme dan pascamodernisme:

 

  1. Penolakan atas reduksi problem bahasa pada problem kelas maupun ekonomi-politik secara umum
  2. Pengakuan atas bahasa sebagai wahana dasar interaksi sosial yang melingkupi (dan karenanya melampaui) basis dan superstruktur
  3. Pengakuan atas ciri konstitutif bahasa terhadap kesadaran, kebudayaan dan ideologi

 

Melalui ketiga pokok pikiran itu, Stalin membuka jalan bagi tumbuhnya beragam pendekatan bahasawi tentang masyarakat yang nantinya mencirikan panorama intelektual Prancis sejak tahun 1960-an. Dengan itu, Stalin ikut berperan menggulirkan apa yang lazimnya dikenal sebagai ‘Balikan Linguistik’ (Linguistic Turn) dalam filsafat Kontinental kontemporer. Demikianlah, Stalin—‘Voldemort’-nya kaum pascamodernis—adalah justru salah seorang yang membuat pascamodernisme jadi mungkin.

Apa yang bisa dipelajari dari ‘kasus Stalin’ ini? Yang paling benderang, tentu saja, adalah bahwa penulisan sejarah pascastrukturalisme dan pascamodernisme perlu dirombak dan diperkaya. Namun kasus ini juga mengajarkan kita hal penting soal hubungan antara Marxisme dan ‘yang di luar Marxisme’. Jelas bahwa Marxisme—teori umum tentang perkembangan masyarakat—bukanlah suatu theory of everything. Ada banyak hal yang tak dibahas oleh Marxisme: komposisi sub-atomik dari barion, sifat-sifat metal alkali, implikasi semantik dari deiksis (pronomina yang berakar pada identitas penutur) dan banyak hal lain. Terhadap domain kajian di luar Marxisme, kaum Marxis seringkali mengambil salah satu dari dua pilihan ini: memaksakan skema teori Marxisme ke dalamnya (sikap vulger) atau lepas tangan sama sekali sambil tak mempedulikan implikasinya bagi Marxisme (sikap agnostik). Kedua pilihan itu sama-sama bermasalahnya. Pilihan pertama hanya akan menghasilkan pseudo-sains, sementara pilihan kedua akan mencerabut Marxisme dari akarnya pada totalitas kenyataan. Dalam kasus Stalin, pilihan pertama lah yang cenderung mengedepan. Hal ini terlihat dalam keterlibatan Stalin dalam Lysenko affair.

Di awal tahun 1930-an, Stalin sempat terpesona dengan pandangan Trofim Lysenko, seorang biolog Soviet, yang percaya bahwa produksi gandum dapat ditingkatkan melalui teknik pembiakan baru ciptaannya. Lysenko menjustifikasi teknik ini dengan segudang jargon Marxis dan secara vulgar memaksakan ‘hukum dialektika’ ke dalam ilmu biologi. Stalin dengan senang hati mensponsorinya untuk melakukan ‘revolusi agrikultur’ di seluruh Rusia. Lysenkoisme terbukti tidak berhasil dan disadari tak lebih dari sekadar pseudo-sains. Karena itu, pilihan Stalin terhadap permasalahan linguistik bisa dibilang lebih memuaskan. Dengan teori bahasanya, Stalin seperti memberi angin bagi ilmu linguistik dan menjamin kekebalannya dari intevensi birokratik partai. Jaminan Stalin ini segera disambut oleh berbagai cabang kajian lain seperti matematika dan logika. Para pakar matematika dan logika dapat menguraikan ajarannya tanpa mesti disangkut-pautkan dengan analisis kelas dan ekonomi-politik Marxian. Artinya, mengakui adanya ‘yang di luar Marxisme’ adalah satu langkah maju. Sebab tugas intelektual Marxis bukanlah memaksakan Marxisme ke dalam segala hal, tetapi menemukan Marxisme di dalam segala hal—menemukan komponen-komponen pengetahuan non-Marxis yang, apabila dirakit dan diproyeksikan secara makro, akan menghasilkan dan menggenapi Marxisme. Di sini kita perlu menimba inspirasi kritis dari sang pascamodernis dari Kremlin.***

 

 21 Oktober 2014

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.