Ilustrasi oleh Timoteus Anggawan Kusno
Daftar isi LKIP edisi 18:
– Cornel Simandjuntak Cahaya, Datanglah!,sebuah kritik oleh Hersri Setiawan
– Eulogi Untuk Seorang Pembangkang, sebuah kritik oleh Dwicipta
– Pulau Arwah, sebuah cerpen oleh Dewi Kharisma Michellia
– Sambutan Delegasi LEKRA Pada Kongres Ke-V “Himpunan Sastrawan Jerman”,kliping pidato S. Rukiah Kertapati
– Kritik Sastra dan Sastra Populer,teori oleh Yovantra Arief
Fiuh… Kembali kami harus menulis pengantar untuk terbitan bulanan ini. Kami berencana tulisan ini sudah bisa anda baca pada pukul 12:00 WIB tanggal 5 Juni 2014. Tapi hal seperti itu kini tak bisa kami pastikan. Dalam beberapa minggu terakhir, website kami sepertinya menjadi tempat para peretas menguji kemampuannya. Masa kecil kami di kampung-kampung memang mengenal orang-orang yang sedang belajar ilmu magic dan menjadikan tetangga atau bahkan keluarga kami sebagai ajang uji coba ilmu yang sudah mereka dapatkan. Beranjak sedikit dewasa, kami pun tahu ada beberapa wilayah di negeri kita menjadi ajang uji coba prajurit yang baru lulus pendidikan. Namun dengan kesabaran revolusioner—ini frase yang akhir-akhir ini menjadi favorit kami—kami terpaksa harus menyelesaikan pengantar ini.
Baiklah. Masa kampanye Pemilihan Presiden sudah mulai bergulir. Problema-problema dan korban-korban kita lihat sudah mulai berjatuhan. Ada kengerian sesungguhnya di dalam diri kami. Namun tentu Indonesia tak akan semengerikan sebuah kamp konsentrasi dengan tulisan Arbeit Macht Frei di gerbangnya. Adorno bahkan pernah berujar sudah tak perlu lagi menulis puisi setelah Jerman; tentu kita tak mau kesenian berhenti karena sebuah masa kelam. Bahkan justru dalam masa yang begitu sulit banyak karya-karya kesenian bagus yang tercipta. Salah satu contohnya Cornel Simanjuntak yang sekelumit tentangnya kami hadirkan dalam rubrik kritik. Cornel adalah seorang komponis Indonesia yang berkarya dalam sebuah zaman yang penuh hiruk pikuk.
Oh ya. Kami bukan skeptis dengan masa depan. Kami hanya sedikit melankolis malam ini. Semakin melankolis ketika baru beberapa hari yang lalu salah seorang redaktur kami menamatkan novel Victoria karya Knut Hamsun, terbitan Indie Book Corner, Yogyakarta. Pada pengantar penerjemah, Dwicipta menyatakan bahwa novel ini bisa dikatakan sebagai sebuah penanda runtuhnya sastra Eropa yang penuh romantisme dan persiapan menuju sastra Eropa yang lebih realis. Kami hadirkan kembali tulisan tersebut pada anda, juga pada rubrik kritik di bawah tajuk Eulogi untuk Seorang Pembangkang.
Masih dalam aroma yang syahdu sendu, rubrik karya menghadirkan cerpen Dewi Kharisma Michellia bertajuk Pulau Arwah. Dari judulnya pun, kita sudah mencium kemuraman sebuah pulau kecil yang disesaki kematian demi kematian. Namun, selalu terselip harapan dalam kemurungan. Sajian yang lebih tegas barangkali bisa pembaca temukan dalam rubrik teori. Dalam tulisan yang bertajuk Kritik Sastra dan Sastra Populer, Yovantra Arief hendak menunjukkan seperti apa kritik sastra marxian menghadapi sastra populer. Kritik sastra marxian di antaranya, menurut dia, dalam menghadapi sastra populer harus berbaur dengan mereka dan mengorganisasikan pengetahuan yang berseliweran di kepala para penulis sastra populer.
Sebagai penutup, ada baiknya Anda melirik rubrik kliping. Di sana kami menghadirkan sambutan S. Rukiah Kertapati pada kongres ke-V Himpunan Sastrawan Jerman Timur. Pada sambutannya, Kertapati menekankan bagaimana tugas seniman dalam menghadapi sebuah keadaan bangsa tertentu; sebuah tugas revolusioner.
Akhirul kalam, selamat membaca.