‘Ada tiga macam sumber alam, itu harus direbut kembali, dipakai untuk memakmurkan Bangsa kita…
Satu, sumber hutan; kedua, sumber pertambangan dalam negeri; tiga, sumber kekayaan laut.’
Gus Dur
SEJARAH selalu berulang. Apa yang dapat kita pelajari dari peristiwa ’65 selain sejarah itu sendiri dan kepentingan rekonsiliasi? Bagaimana menempatkan, sekaligus mengambil pelajaran dari, kasus ’65 dalam konteks konflik sumber daya alam (SDA) di Indonesia masa kini dan yang akan datang? Tulisan ini melihat beberapa kemiripan di antara keduanya, dan bertolak dari situ tulisan ini merumuskan agenda gerakan.
Asia Tenggara 1930-65
Dalam buku Moral Economy of Peasant Rebellion in South East Asia (Scott, 1976) disebutkan bahwa pada tahun 1930-an terjadi beberapa pemberontakan petani di Asia Tenggara seperti di Vietnam, Burma, Indonesia, dan Filipina. Prakondisi sosial-ekonomi yang melatarbelakangi pemberontakan petani adalah kolonialisasi dan krisis ekonomi di tahun 1930-an yang diikuti oleh kenaikan pajak yang diberlakukan kepada para petani.
Beberapa dekade kemudian, kaum pergerakan di masing-masing daerah di Asia Tenggara tersebut menemukan formula nasionalisme sebagai antitesis terhadap kolonialisme, sekaligus berusaha merespon eksploitasi yang nyaris tanpa batas oleh para penjarah di kawasan ini. Indonesia sendiri merdeka sekitar satu setengah dekade sesudahnya.
Pasca kemerdekaan di tahun 1945, di bawah Soekarno, Republik Indonesia (RI) melakukan gerakan nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing antara tahun 1957-59. Politik nasionalisasi ini berhasil memindahtangankan kepemilikian 90% perkebunan ke tangan pemerintah RI, 62% nilai perdagangan luar negeri, dan sekitar 246 pabrik, perusahaan pertambangan, bank, perkapalan, dan sektor jasa (Kanumoyoso, 2001).
Zaman terus bergulir, pada tahun 1965, dalam kondisi perang dingin yang semakin memanas, melalui sebuah kudeta yang merangkak, Soekarno didongkel dari kursi kepresidenan dan diganti oleh Jenderal Soeharto yang disokong oleh Amerika Serikat (Klein, 2008). Dan sejak saat itulah, secara perlahan kekuatan kapital internasional semakin mencengkeramkan kuku-kukunya untuk menjarah hampir seluruh penjuru negeri. Sampai sekarang.
Peristiwa ’65 telah menyebabkan hilangnya pekerja-pekerja kebudayaan terbaik di masanya. Lazimnya dalam semua peradaban, dimana para pekerja kebudayaan adalah penantang terdepan setiap bentuk eksploitasi dan fasisme, maka kemusnahan mereka secara massal telah memuluskan rezim birokratik-militeristik otoriter Orde Baru untuk berkuasa penuh selama 32 tahun (Supartono, 2000) dengan cara menumpuk hutang luar negeri dan melego kekayaan alam.
Konflik Sumber Daya Alam di Indonesia pada tahun 2013
Konflik di bidang SDA adalah salah satu permasalahan besar di Indonesia Pasca-Reformasi. Sepanjang tahun 2013 saja, telah terjadi 232 konflik SDA di 98 kabupaten kota di 22 provinsi. Pada setiap konflik ini selalu yang diiring dengan jatuhnya korban yang sebagain besar dari kalangan kaum tani. Dari sebanyak 232 konflik SDA yang melibatkan petani ini, 69 persen di antaranya dengan korporasi (swasta), Perhutani 13 persen, taman nasional 9 persen, pemerintah daerah 3 persen, instansi lain 1 persen (Kompas, 16/02/2013), dan sisa 5 persen lainnya tidak dijelaskan oleh Kompas.
Ada beberapa kemiripan antara apa yang terjadi dalam periode 1930-60-an dengan apa yang terjadi di Indonesia sejak Reformasi 1998 sampai sekarang. Kemiripan pertama, tengah terjadi perubahan yang mendasar dalam hal tata kelola kenegaraan. Pada kurun 1930-60, gelombang nasionalisme berhasil meruntuhkan penjajahan yang telah bercokol selama berabad-abad. Kemerdekaan datang; Indonesia beralih dari sistem kolonial menjadi negara-bangsa. Rupanya, masa pergerakan dan transisi menuju kemerdekaan ini, seperti yang sudah disampaikan di atas, mempengaruhi kehidupan kaum tani dalam hal pajak yang meningkat di zaman kolonial.
Disadari atau tidak, semenjak Reformasi 1998, terjadi pula perubahan besar-besaran dalam hal tata kelola bernegara di Indonesia. Tonggak yang paling dapat dilihat adalah desentralisasi yang memberikan kekuasaan lebih besar terhadap pemerintah kabupaten/kota. Akan tetapi, hal yang jarang disadari adalah bahwa konfigurasi triad lama ‘negara-korporasi-masyarakat’ secara perlahan juga mulai berubah menjadi ‘korporasi+negara-masyarakat.’ Negara Orde Baru yang otoriter telah tumbang, namun beralih rupa menjadi Negara Pasca-Reformasi yang tetap menjadi perpanjangan tangan kapital.
Hukum yang tadinya berfungsi untuk melayani warga negara dan melindunginya dari tindakan kesewenang-wenangan, telah berubah menjadi instrumen yang memuluskan penetrasi kapital secara lebih dalam lagi di sektor ekstraksi. Ada beberapa fakta pendukung untuk lahirnya konfigurasi baru ini.
Contoh pertama lahir dari kasus Lumpur Lapindo. Pada Agustus 2009, Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Timur (Jatim) mengeluarkan surat perintah penghentian penyelidikan perkara (SP3) yang membuat penyelidikan terhadap kasus Lumpur Lapindo tidak bisa diproses lebih lanjut di pengadilan (Batubara, 2011). Keluarnya SP3 ini menafikan analisis yang menyatakan bahwa bencana Lumpur Lapindo terjadi karena selubung pengeboran di sumur Banjar Panji-1 (BJP-1) dipasang lebih pendek dari yang direncanakan (Tingay et al. 2008; Batubara dan Utomo, 2012; Batubara 2013), sehingga dengan demikian, kasus Lapindo adalah sebuah bencana industri, alias kejahatan korporasi.
Contoh kedua datang dari kasus ekspansi PT Semen Gresik (SG) ke Pegunungan Kendeng Utara (PKU) di Kabupaten Pati, Jawa Tengah (Jateng), dimana Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Pati dicoba disesuaikan dengan kepentingan ekspansi PT SG. Kawasan PKU yang dalam RTRW 1993-2012 Kabupaten Pati, masuk dalam kawasan pertanian dan pariwisata, mau diubah peruntukannya menjadi kawasan industri dan pertambangan dalam RTRW Provinsi Jawa Tengah 2009-2029. Di sini kita melihat bahwa dokumen RTRW justru mau ‘disesuaikan’untuk kepentingan ekspansi PT SG ke PKU di Kabupaten Pati (Batubara, dkk. 2010). Adapun contoh ketiga adalah kemenangan korporasi dalam kasus uji materiil kasus Lumpur Lapindo dan Sorikmas Mining di Mahkamah Agung (Batubara, 2012).
Dari ketiga contoh di atas, orang harus menyimpulkan bahwa di bidang hukum, isu sudah bergerak dari ‘tidak adanya penegakan hukum’ ke ‘hukum yang sudah ditunggangi oleh kepentingan ekspansi kapital dan pada saat yang bersamaan mengabaikan kepentingan masyarakat.’ Lebih lanjut, negara sudah tidak lagi berfungsi sebagai regulator dalam formasi konvensional triad ‘negara-korporasi-masyarakat,’ tetapi sudah berubah menjadi kacung dalam formasi yang sedang menjadi ‘korporasi+negara-masyarakat.’
Artinya, melihat kemiripan dengan peristiwa sejarah di tahun 1930-60-an, sekarang ini tengah terjadi perubahan tata kelola kenegaraan kita dari negara Orde Baru yang sentralistik dan sangat kuat, menjadi negara yang terdesentralisasi dan secara perlahan berubah menjadi perpanjangan tangan kapital. Rupanya hal ini bersinggungan juga dengan kepentingan kaum tani, sehingga memicu munculnya 232 konflik SDA di tahun 2013 yang hingga kini masih berlangsung. Mayoritas di antaranya (65%) adalah konflik petani versus korporasi (+negara).
Kemiripan kedua adalah menguatnya politik nasionalis. Pada zaman 1930-60-an, kecenderungan ini ditandai dengan keberhasilan kaum pergerakan kemerdekaan memformulasikan permasalahan mereka di dalam konsep nasionalisme—dan cara itu, mereka keluar dari kungkungan kolonial. Kemenangan Joko Widodo (Jokowi) dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menjadi kepala daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota (DKI), adalah salah satu bukti dari penguatan kelompok nasionalis. Jokowi—yang sebelumnya merangkak dari bahwa sebagai pengusaha mebel, lalu terpilih sebagai Walikota Solo dan seterusnya sebagai Gubernur DKI—sangat berpeluang besar memenangkan kursi presiden RI pada pemilu 2014 mendatang. Prediksi ini didukung oleh elektabilitas (tingkat keterpilihan) Jokowi sebagai calon presiden yang sangat tinggi dari berbagai penelitian yang dikeluarkan oleh beberapa lembaga survei dan menjadi berita di berbagai media.
Kenaikan Jokowi menjadi tonggak menguatnya ideologi nasionalisme, yang bahkan pada era Megawati Soekarnoputri pun kehilangan artikulasinya. Alih-alih melakukan politik nasionalisasi seperti halnya Soekarno pada tahun 1957-59 sebagaimana yang disinggung di atas, Megawati malah melakukan hal sebaliknya: melego sejumlah BUMN ke pasar internasional. Sebaliknya, Jokowi, meskipun baru saja naik menjadi Gubernur DKI, langsung mencoba menemukan kembali artikulasi ideologi nasionalisme melalui upayanya mengambil alih perusahaan air minum yang melayani masyarakat di DKI, Palyja, dari tangan investor internasional asal Prancis (Hidayat, 2013).
Apabila Jokowi berhasil dengan percobaannya mengambil alih Palyja di DKI, maka skenario yang mungkin adalah, ketika Jokowi menjadi Presiden RI pada tahun 2014, ia akan lebih luas menasionalisasikan perusahaan-perusahaan asing. Dengan kata lain, secara terus-menerus mengartikulasikan kembali ideologi nasionalisme dalam ranah ekonomi-politik.
Skenario ini mengantarkan kita pada prediksi yang lain, bahwa kapital nasional dan internasional pasti tidak akan tinggal diam. Mereka akan bergerak memobilisasi segala sumber daya yang mereka miliki untuk menjaga kepentingan ekstraksinya di Indonesia. Dan, di titik ini, kasus ’65 bukan lagi sejarah, tetapi ia adalah hal yang di depan mata.
Kemiripan ketiga, dalam diskursus mengenai ’65 yang berkembang, kalangan Nahdliyin terlibat sangat jauh sebagai mesin penjagal kelompok Partai Komunis Indonesia (PKI) ataupun kelompok yang berafiliasi (secara struktural dan idelogis) dengannya. Tetapi cara pandang lain bisa juga ditampilkan, bahwa kaum NU (Nahdliyin) juga adalah korban dari peristiwa ini karena pada kenyataannya, bukan tidak ada korban ’65 dari kalangan santri. Lebih jauh, sebagian besar Nahdliyin pada waktu itu berasal dari kalangan petani desa yang sedikit sekali melek persoalan. Dengan demikian, agenda riset yang harus dirangsang pada titik ini adalah menempatkan kaum Nahdliyin sebagai korban dari skenario politik kalangan yang lebih melek, mereka yang mengambil untung dari peristiwa ’65.
Pola yang sama sudah memperlihat bentuknya dalam berbagai konflik SDA di basis Nahdlatul Ulama (NU). Kita dapat menyaksikan beberapa kasus seperti konflik pembangkit listrik tenaga uap di Kabupaten Batang, konflik rencana pembangunan pabrik semen di PKU Kabupaten Pati, konflik tambang pasir besi Urutsewu di Kebumen Selatan, dan konflik bahan galian C di Kabupaten Mojokerto (FN-KSDA, 2013). Dalam semua kasus yang disebutkan di atas, pola yang terjadi adalah perbedaan aspirasi (kepentingan) antara elit NU dengan kelompok akar rumput yang sebagian besar adalah petani.
Di satu sisi, elit NU merestui ekspansi kapital dan bahkan—dalam beberapa kasus—turut serta dalam proses ekspansi kapital itu sendiri dengan jalan mengambil posisi perantara. Di sisi lain, kelompok akar rumput bergerak menolak ekspansi kapital di bidang industri ekstraktif ini, karena mereka merasa penghidupannya terganggu. Pola seperti ini juga ditemukan dalam kasus tambang emas Tumpang Pitu di Banyuwangi. Bahkan lebih jauh, dalam kasus eksplorasi beberapa perusahaan minyak dan gas (migas) di Madura, Kiai bahkan mengambil posisi memuluskan jalan perusahaan migas untuk membebaskan lahan, lantas memastikan agar proses eksplorasi tidak mengalami gangguan. Tak pelak, hal ini kemudian memunculkan istilah ‘Kiai Migas’ di Madura (Hakim, 2010).
Untuk mengenali kemiripan dengan kasus ’65, maka dalam kasus konflik SDA sekarang seperti yang sudah diuraikan dalam paragraf sebelumnya, yang bisa kita lihat adalah polarisasi kepentingan di kalangan NU sendiri, yang (kira-kira) mengerucut ke konflik elit vs akar rumpur di kalangan santri. Jika skenario politik nasional di atas berjalan—dalam artian Jokowi naik menjadi presiden di 2014 dan konsisten dengan artikulasi ideologi nasionalismenya, namun harus berhadapan dengan kekuatan kapital di sektor ekstraktif yang bakal mengamankan asetnya—maka, kasus ’65 bukan sebuah sejarah masa lalu, melainkan hari esok yang harus siap diantisipasi. Asalkan ada satu gerakan yang aktif melakukan ideologisasi untuk memperuncing friksi elit vs akar rumput di kalangan santri, maka konflik berdarah akan terulang. Ini artinya, kelompok petani-santri di pedesaan akan kembali menjadi korban.
Gus Dur dan Sumber Daya Alam
Apakah pelajaran yang bisa diambil dari Gus Dur dalam hal tata kelola Sumber Daya Alam (SDA) di Indonesia?
Gus Dur adalah seorang nasionalis tulen. Dalam sebuah orasi di hadapan massa Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di Malang, sehubungan dengan SDA, Gus Dur menyatakan bahwa ‘Ada tiga macam sumber alam [yang] harus direbut kembali, dipakai untuk memakmurkan Bangsa kita… Satu, sumber hutan; kedua, sumber pertambangan dalam negeri; tiga, sumber kekayaan laut.’
Pesan di atas sebenarnya terartikulasikan dalam sikap yang lebih konkret dalam kasus pendirian Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Jepara. Waktu itu, Gus Dur mengancam akan mogok makan apabila PLTN didirikan di Jepara. Pernyataan ini kemudian memobilisasi kantong-kantong NU untuk mengadakan perlawanan yang lebih masif menolak pendirian PLTN di Jepara (Fauzan dan Schiller, 2011).
Dalam kontestasi akses dan kontrol terhadap sumber daya yang lebih sengit dalam kasus Lumpur Lapindo, Gus Dur meminta kepada salah satu kiai rakyat agar tidak menjual tanah mereka. Kelompok ini kemudian yang mengambil sikap paling radikal dalam kasus Lumpur Lapindo, dengan memilih tidak menjual tanahnya kepada PT Minarak Lapindo Jaya, kasir PT Lapindo Brantas Inc., seperti yang diperintahkan oleh Peraturan Presiden 14/2007 (Batubara, 2010).
Terhadap gerakan petani internasional yang menyuarakan kedaulatan petani seperti organisasi petani se-dunia, La Via Campesina, Gus Dur sangat menghormati usaha para petani ini dalam membangun gerakan alternatif guna melawan pengaruh lembaga keuangan dunia seperti International Monetary Fund (IMF) yang sangat merugikan petani (–, 2006).
Dari beberapa nukilan sikap Gus Dur di atas, artikulasinya jelas tanpa tedeng aling-aling. Gus Dur berdiri di belakang Soekarno dalam hal tata kelola SDA.
Agenda Gerakan
Dari penjelasan di atas, maka Nahdliyin tidak punya pilihan lain kecuali bergerak. Miskinnya kontribusi Lesbumi dalam teks ’65 disebabkan oleh dua hal. Pertama, Lesbumi tidak terlalu aktif pada zaman itu. Kedua, pada zaman sekarang riset dengan mengambil kontribusi Lesbumi dalam kasus ’65 tidak terlalu banyak. Kedua argumen di atas pada dasarnya berujung pada satu titik yang sama: kelompok Lesbumi tidak secara aktif bergerak.
Analisis ini sangat masuk akal, karena, kalau kita lihat dokumen Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), pembukaannya disebut dengan ‘Muqaddimah.’ Dari pemilihan kata ‘Muqaddimah,’ secara logis sebenarnya lebih mudah ‘menarik’ Lekra untuk bergabung dengan kalangan agama (santri), daripada untuk menariknya merapat ke kalangan komunis. Sebaliknya, seandainya ia adalah ‘Manifesto,’ maka secara logis akan lebih mudah menariknya bergabung dengan PKI. Tetapi, karena kerja pengorganisasian dan pergerakan yang tidak jalan, Lesbumi dan Lekra kemudian menjadi sangat jauh, dan justru sebaliknya, Lekra semakin dekat dengan PKI. Artinya, pengalaman ’65 yang memperlihatkan secara telanjang kurangnya pergerakan di kalangan santri, seharusnya tidak boleh terulang lagi. Argumen ini tentu saja masih sangat terbuka untuk didiskusikan.
Dengan demikian, agenda gerakan yang paling mendesak adalah pengarusutamaan isu konflik SDA di kalangan santri. Pengarusutamaan (mainstreaming) akan membuat kalangan santri melek dengan persoalan ini, dan dengan itu diharapkan akan meminimalisir friksi kepentingan antara elit dengan akar rumput. Pengarusutamaan tidak boleh terpenjara di kalangan santri belaka, tetapi harus menjangkau kalangan yang lebih luas seperti kelompok-kelompok ‘nasionalis’ lainnya. Untuk kelompok nasionalis, isu ini sebenarnya bukan isu yang baru, yang belum dilakukan adalah keluar dari skema korporasi dan negara predatoris yang sudah menjadi perpanjangan tangan korporasi serta membangun sebuah anjungan yang dari situ agenda gerakan bersama difusikan.
Keluar dari skema korporasi bukanlah hal yang mudah, meski tentu saja bukan hal yang mustahil untuk dikerjakan. Kebangkrutan sistem korporasi datang dari dalam dirinya sendiri karena terlalu ekstraktif dalam memfasilitasi akumulasi kapital pada satu atau sekelompok kaum kapitalis. Kapitalisme di sini, mengikut yang disampaikan Marx (1982), mengambil pengertian yang paling mendasar sebagai proses yang melibatkan ‘uang yang bergerak’ (money in motion), dimana orang membeli bukan untuk mengonsumsi, tetapi untuk menjual kembali agar mendapatkan nilai lebih dari sebuah komoditas. Korporasi, melalui eksploitasi terhadap SDA dan pekerjanya sendiri untuk mendapatkan nilai lebih komoditas, telah menjalankan pola ini selama puluhan tahun. Ekstraksi SDA pada dasarnya adalah sebuah proses yang menceraikan para petani dari akses dan kontrol terhadap SDA seperti air dan tanah. Proses ini, dalam kajian kontemporer, lazim disebut sebagai ‘akumulasi lewat jalan perampasan/accumulation by dispossession (Harvey, 2003).
Jika pada zaman pergerakan kemerdekaan RI, kaum pergerakan telah menemukan rumus gerakan dalam bentuk nasionalisme sebagai antitesis terhadap kolonialisme—yang menjadi struktur tata kelola pada waktu itu—maka di era pasca-Reformasi, kita dapat mengajukan ‘kooperasi’ sebagai antitesis terhadap ‘korporasi’ yang melakukan akumulasi kapital dengan jalan merampas akses dan kontrol SDA dari tangan para pemiliknya yang sah: kaum tani. Kedaulatan petani dalam tata kelola SDA di sini diartikan sebagai kemerdekaan penuh di pihak petani untuk menentukan secara politis tata kelola yang layak bagi SDA yang mereka miliki.
Mengapa ‘kooperasi’? Pertama, kita mulai dari terminologi. Dalam Bahasa Indonesia, ‘kooperasi’ berarti ‘bekerjasama,’ sedangkan ‘koperasi’ berarti ‘perserikatan yang bertujuan memenuhi keperluan kebendaan para anggotanya dengan cara menjual barang-barang kebutuhan dengan harga murah.’ Terma ‘kooperasi’ secara sadar dipilih sebagai antitesis terhadap ‘koperasi’ karena tiga alasan: (1) Dalam konteks Orde Baru, lembaga-lembaga koperasi sudah dikooptasi oleh rezim birokratik-militeristik otoriter, sehingga koperasi tidak lagi menjadi lembaga yang melayani anggotanya, tetapi menjadi lembaga ekonomi tempat korupsi bersimaharajalela sekaligus menjadi mesin ideologisasi Negara Orde Baru; (2) Pasca-Reformasi, Undang-undang nomor 17 tahun 2012 tentang Perkoperasian membonsai ‘kooperasi’ menjadi lembaga ekonomi semata dengan membaginya menjadi koperasi produsen, konsumen jasa, dan simpan pinjam. Pembonsaian ini menyebabkan koperasi kehilangan semangat gerakannya, menyimpang dari apa yang diharapkan DN. Aidit yang membayangkan koperasi sebagai alat perjuangan kelas (1963). Spesifikasi lewat UU nomor 17/2012 ini pada dasarnya diambil dari spirit kapitalisme, yang mengandaikan bahwa spesifikasi dalam berbagai bidang akan meningkatkan produktivitas sebuah sistem, dalam hal ini koperasi; (3) Dengan dua argumen di atas, istilah ‘kooperasi’ yang diadopsi dari tulisan Mohammad Hatta (1954) terasa lebih pas tinimbang ‘koperasi.’ Terlebih, dengan adanya usaha penegakkan kedaulatan pemilik yang sah SDA lewat pengambilan kebijakan peruntukkannya yang dimungkinkan melalui rapat tahunan anggota kooperasi, maka tata kelola yang tersentralisir—atau sekadar menjadi bagian dari usaha dakwah dalam bentuk kongsi dagang (Jarkom Fatwa, 2004)—dapat dihindari.
Kedua, kita dapat melihat argumentasi ideologis seperti yang ada dalam UUD ’45. UUD ’45 menyatakan bahwa seharusnya perekonomian negara dikelola dengan azas kekeluargaan, dalam hal ini kooperasi adalah bentuk yang paling memungkinkan. Kenyataannya, di era pasca-Reformasi yang menguat justru korporasi. Dengan demikian, inilah momen untuk mengembalikan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ke khittah-nya dengan memberikan ruang pengelolaan SDA lewat kooperasi.
Ketiga, apakah mungkin mengelola bisnis besar di bidang SDA dengan struktur kooperasi? Sangat mungkin, dan hal ini bukanlah tanpa preseden. Kota Santa Cruz, Bolivia, berpenduduk 1,2 juta jiwa. Pengelolaan suplai air minumnya dilakukan dengan pola kooperasi sejak tahun 1979, dan hingga saat ini merupakan salah satu penyedia air minum publik yang terbaik di Amerika Latin. Semua pelanggan adalah anggota dari Cooverativa de Servicios Publicos Santa Cruz Ltda (SAGUAPAC), dimana para anggota memiliki hak untuk memilih pengurus kooperasi mereka. Tata kelola popular seperti ini sudah muncul di beberapa tempat lain seperti Kemitraan Publik di Ghana, dan Kemitraan Publik-Pekerja di Dhaka (Brennan, et al. 2004). Di Cochabamba dan La Paz/El Alto, Bolivia, pasca ‘Perang Air’ awal tahun 2000-an, privatisasi sumber daya air ditolak kehadirannya di kedua kota itu dan memberikan alternatif berupa tata kelola Kemitraan Publik.
Tak dapat dipungkiri, masih terdapat kelemahan di sana-sini, seperti efektivitas pelayanan dan pegawai yang tidak profesional (Spronk, 2007). Namun, kelemahan yang sama juga sangat mungkin dimiliki oleh sektor privat. Pertanyaan apakah mungkin mengelola bisnis besar di bidang SDA dengan struktur kooperasi pada dasarnya adalah pertanyaan yang menyingkap kemiskinan imajinasi. Sebegitu bebalnya imajinasi ini, sehingga yang muncul adalah ketidakpercayaan diri. Jangankan tata kelola sektor SDA dengan kooperasi; apa yang kita sebut sebagai NKRI sekarang ini adalah hasil dari imajinasi yang kemudian dirumuskan dalam aturan-aturan. Jadi, tidak ada alasan untuk tidak mampu merumuskan tata kelola SDA dengan struktur kooperasi.
Pengarusutamaan tata kelola SDA oleh kooperasi adalah langkah awal yang perlu dilakukan di tingkatan Nahdliyin untuk mewujudkan kedaulatan di bidang SDA. Hal ini dapat dilakukan dengan cara mengonsolidasikan berbagai elemen Nahdliyin yang sudah secara jelas menyatakan sikapnya seperti Pengurus Besar (PB) NU, PB PMII, Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU), dan FN-KSDA.
PB NU, pada 2012, melalui Konferensi Besar (Konbes) di Cirebon, di bidang ekonomi merekomendasikan ‘renegosiasi kontrak-kontrak karya pertambangan agar memberi manfaat yang lebih besar bagi pemasukan Indonesia dan kesejahteraan warga’ (PB NU, 2012). Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), malah memiliki tuntutan yang lebih tinggi. Pada tahun 2012, PMII menuntut dilakukannya nasionalisasi terhadap aset pertambangan dan energi (Anam, 2013 dan Rasyid, 2013). Sementara, Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU), menyatakan bahwa tujuan akhir dari tata kelola energi adalah kedaulatan dan ketahanan energi nasional. Bahkan lebih jauh, ISNU mendukung dilaksanakannya reforma agraria (Syeirazi, 2013). FN-KSDA sendiri menetapkan ‘tata kelola SDA yang berkedaulatan dan sebesar-besarnya bermanfaat bagi rakyat Indonesia’ sebagai tujuannya (FN-KSDA, 2013). Akan tetapi secara organisasional, hampir tidak ada gelombang advokasi yang masif dari kelompok NU terhadap warga yang mengalami persoalan konflik SDA. PB NU sendiri lebih banyak bermain di level regulasi seperti judicial review UU Migas, tetapi tidak banyak mendorong pengurus untuk turun ke bawah.
Pola pengambilalihan perusahaan swasta seperti Palyja yang sedang dilakukan Jokowi-Ahok di DKI, mungkin tidak akan berarti banyak karena struktur negara di Indonesia yang masih predatoris, dimana negara lebih berposisi sebagai akumulator kapital yang menindas ketimbang distributor. Kalau sukses di internal Nahdliyin, maka dalam konteks NKRI, tantangan berikutnya adalah menaikkan yang ‘parsial’ ini menjadi sesuatu yang ‘universal.’ Persisnya, menggalang aliansi dengan berbagai kelompok ideologi yang lain, semisal kaum nasionalis, agar kelompok santri tidak bekerja sendiri dalam upayanya menerjemahkan ajaran-ajaran Gus Dur menegakkan kedaulatan di bidang tata kelola SDA. Sebaliknya, bagi kelompok nasionalis, pengalaman kehilangan artikulasi pasca tahun 1998, dimana terjadi banyak privatisasi perusahaan negara justru di bawah Megawati Soekarnoputri, harus dijadikan pelajaran agar tidak terjebak kembali dalam permasalahan yang sama: ketidaksiapan ideologis dalam mengelola kekuasaan (Ali, 2012).
Akhirnya, menguatnya artikulasi ideologi nasionalis belakangan ini yang sebenarnya bagus, justru malah mengundang kekhawatiran. Kekhawatiran muncul bukan karena takut atau ketidaksukaan atas fenomena ini. Kekhawatiran datang karena kemunculan pemimpin populis seperti Jokowi, tidak akan membawa Indonesia kemana-mana tanpa disokong oleh konsolidasi ideologi dan pengorganisasian politik yang kokoh di belakangnya. Setidaknya sampai sekarang, hal terakhir inilah yang terjadi.***
Bosman Batubara, inisiator Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FN-KSDA)
Tulisan ini ini sebelumnya sudah dimuat di gusdurian.net. Dimuat ulang untuk tujuan Pendidikan.
Rujukan
–, 2006. http://viacampesina.org/en/index.php/actions-and-events-mainmenu-26/world-bank-a-imf–out-mainmenu-58/208-social-movements-conference-in-jakarta-qwe-want-wb-and-imf-out-of-our-landsq, diakses pada tanggal 31 Juli 2013.
Aidit, D.N., 1963. Peranan Koperasi Dewasa Ini. Depagitprop CC PKI. Djakarta
Ali, A.S., 2012. Ideologi Gerakan Pasca-Reformasi: Gerakan-gerakan sosial-politik dalam tinjauan ideologis. LP3ES. Jakarta.
Anam, A.K. (redaktur), 23/05/2013. PMII Desak Menteri BUMN Nasionalisasi Tambang. Berita ini dapat dibaca di: http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,44-id,38069-lang,id-c,nasional-t,PMII+Desak+Menteri+BUMN+Nasionalisasi+Tambang-.phpx, diakses pada tanggal 26/07/2013.
Batubara, B. dan Utomo, P.W., 2012. Kronik Lumpur Lapindo: Skandal bencana industri pengeboran migas di Sidoarjo. INSIST PRESS, Yogyakarta.
Batubara, B., 2010. Gus Dur: Jangan jual tanahmu. Dapat dibuka di: http://lafadl.org/news/programme-report/gus-dur-jangan-jual-tanahmu-/. Pada tahun 2013 tulisan ini dimuat ulang di: http://gusdurian.org/2013/07/gus-dur-jangan-jual-tanahmu/, keduanya diakses terakhir pada tanggal 31 Juli 2013.
Batubara, B., 2011. When the Law Betrays, Literature Must Speak. Inside Indonesia Magazine, (105) Jul-Sep 2011. Artikel ini dapat dibaca di: http://www.insideindonesia.org/weekly-articles/review-the-lapindo-titanic; terakhir dibuka 23 Februari 2013.
Batubara, B., 2012. Hukum Indonesia yang Memihak Korporasi: Studi kasus Lapindo dan Sorikmas. Artikel ini dapat diakses di: https://indoprogress.com/hukum-indonesia-yang-memihak-korporasi-dalam-kasus-lapindo-dan-sorikmas/, diakses pada tanggal 23/9/2013.
Batubara, B., 2013. ‘Perdebatan tentang Penyebab Lumpur Lapindo,’ dalam A. Novenanto, (2013). Membingkai Lapindo: Pendekatan konstruksi sosial atas kasus Lapindo, (Sebuah Bunga Rampai). MedialinK dan Kanisius. Jogjakarta.
Batubara, B., Utomo, P.W. dan Sobirin, M. 2010. Integrasi Pengurangan Resiko Bencana ke Dalam Perencanaan Regional dalam Konteks Otonomi Daerah: Sebuah agenda dari pembelajaran terhadap kasus-kasus man-made disaster di Pulau Jawa. Makalah ini dipresentasikan pada ‘Seminar Internasional ke- 11: Dinamika Politik Lokal di Indonesia: Ada Apa dengan 10 Tahun Otonomi Daerah? Salatiga, Indonesia’.
Brennan, B., Hack., B., Hoedeman, O., Kishimoto, S., dan Terhorst, P., 2004. Reclaiming public water!: Participatory alternatives to privatization. Transnational Institute Corporate Europe Observatory. TNI Briefing Series No. 2004/7. Amsterdam.
Fauzan, A.U. and Schiler, J., 2011. After Fukushima: The rise of resistance to nuclear energy in Indonesia. German Asia Foundation. Artikel ini dapat dibaca di: http://www.asienhaus.de/public/archiv/resistance-in-indonesia-after-fukushima.pdf, diakses pada tanggal 31 Juli 2013
FN-KSDA, 2013. Lembar Kerja Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumberdaya Alam (FN-KSDA). Tidak dipublikasikan.
Gus Dur, –. Ceramah Gus Dur di Singosari, Malang. Rekaman ceramah ini dapat diunduh di Youtube. Diakses terakhir kali pada Juli 2013.
Hakim, E., L., 2010. Kiai Migas. Kompas Jawa Timur, edisi Selasa 19 Januari 2010. Hlm. D.
Harvey, D., 2003. The New Imperialism. Oxford University Press. Oxford. Hlm.: 137-82.
Hatta, M., 1954. Menindjau Masalah Kooperasi. P.T. Pembangunan. Djakarta.
Hidayat, A.R., 2013. Jokowi: pemprov DKI akan ambil alih Palyja. Dapat diakses di: http://megapolitan.kompas.com/read/2013/06/04/17491641/Jokowi.Pemprov.DKI.Akan.Ambil.Alih.Palyja, diakses pada 23 September 2013.
Jarkom Fatwa (tim), 2004. Sekilas Nahdlatut Tujjar. Pustaka Pesantren. Yogyakarta.
Kanumoyoso, B., 2001. Menguatnya Peran Ekonomi Negara: Nasionalisasi perusahaan Belanda di Indonesia. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.
Klein, N., 2008. The shock doctrine: The rise of disaster capitalism. Penguin Book. Sydney.
Marx, K. , 1982. Capital I: A critique of political economy. Penguin Books. London.
PB NU, 2012. Rekomendasi Konbes NU Pondok Kempek Cirebon, 15-17 September 2012. Tidak dipublikasikan.
Rasyid, Y., 31/03/2013. Mahasiswa Yogya Tuntut Nasionalisasi Migas. Berita ini dapat dibaca di: http://www.republika.co.id/berita/nasional/jawa-tengah-diy-nasional/12/03/31/m1qn2r-mahasiswa-yogya-tuntut-nasionalisasi-perusahaan-migas, diakses pada tanggal 26/07/2013.
Scott, J.C., 1976. The Moral Economy of the Peasant Rebellion and Subsistence in Southeast Asia. Yale University Press. New York. Hlm. 114-56.
Spronk, S.J., 2007. The Politics of Third World Water Privatization: Neoliberal reform and popular resistance in Cochabamba and El Alto, Bolivia (dissertation). Graduate Programme in Political Science, York University, Toronto, Ontario.
Supartono, A. 2000. Lekra vs manikebu: Perdebatan kebudayaan Indonesia 1950-1965. Skripsi STF Driyarkara. Jakarta.
Syeirazi, M.K. (editor), 2013. Kebangkitan Bangsa Indonesia 1945-2045: Pokok-pokok pikiran sarjana Nahdlatul Ulama. LP3ES, Jakarta, 51-79.
Tingay, M., Heidbach, O., Davies, R. and Swarbrick, R., 2008. Triggering of the Lusi Mud Eruption: Earthquake vs. drilling initiation. Geology, 36, p. 639-642.