Judul Buku: Delusions of Development the World Bank and the Post-Washington Consensus in Southeast Asia
Tahun : 2010
Penulis: Toby Caroll
Penerbit: Palgrave Macmillan, Basingstoke
Tebal: xv + 269 h.
Pendahuluan
PEMBANGUNAN adalah tema yang kerap kali muncul dalam diskursus teoretik Marxisme dan kritik pembangunan serta gerakan Kiri. Tetapi, pasca kelemahan dan kritik atas teori-teori ketergantungan (dependency theories), kritik atas pembangunan pun mulai dipertanyakan validitasnya atas nama ‘obyektivitas pengetahuan.’ Tidak ada alternatif lain, there is no alternative, di luar kapitalisme dan fundamentalisme pasar. Sebagai hasilnya, praktek-praktek ala institusi keuangan internasional seperti Bank Dunia (World Bank) dianggap sebagai satu-satunya jalan mujarab menuju kemajuan dan kemakmuran. Tapi benarkah?
Pelan-pelan, baik secara teoretik maupun praksis, kita melihat berbagai upaya untuk merumuskan alternatif dari gagasan dan praktek pembangunan ala Bank Dunia. Berbagai kritik atas gagasan pembangunan model kapitalisme-neoliberal bermunculan. Gerakan rakyat melawan neoliberalisme, mulai dari gerakan Zapatista di Meksiko hingga demonstrasi besar-besaran sebagai kritik atas Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization) di Seattle, juga perlahan-lahan mulai bermekaran dan makin membesar. Asia Tenggara, sebagai salah satu kawasan ekonomi yang cukup dinamis dan terkoneksi dengan ekonomi global, juga merupakan bagian dari pertarungan ide dan politik atas gagasan pembangunan tersebut.
Buku karya Toby Carroll, seorang peneliti (Research Fellow) di Centre on Asia and Globalisation, National University of Singapore, adalah upaya untuk merumuskan sebuah kritik atas ‘kesesatan’ resep pembangunan ala Bank Dunia berdasarkan kajian teoretik terhadap evolusi diskursus pembangunan Bank Dunia dan prakteknya di empat negara Asia Tenggara, yaitu Filipina, Vietnam, Kamboja, dan Indonesia. Menggabungkan pendekatan kajian kawasan (Area Studies), khususnya kajian kawasan Asia Tenggara dengan metode studi kasus dan wawancara mendalam serta ‘berbagai aliran pemikiran Marxis dan Neo-Marxis’ (hlm. 12), Carroll berusaha menunjukkan ‘bagaimana Bank (Dunia) mempromosikan politik illiberal dalam promosinya atas ekonomi liberal’ (hlm. vii).
Evolusi Diskursus Pembangunan ala Bank Dunia
Empat bab pertama dari buku Carroll berisi pembahasan dan kritik atas evolusi diskursus pembangunan ala Bank Dunia. Bab pertama berisi pembahasan tentang kritik internal atas ‘Konsensus Washington’ (Washington Consensus)[1] oleh figur-figur yang diasosiasikan dengan Bank Dunia seperti ekonom pemenang Nobel, Joseph Stiglitz, dan pembahasan atas keterbatasan kritik tersebut. Bab kedua membahas fenomena naik daunnya diskursus Neoliberalisme Sosio-Institusional (Socio-Institutional Neoliberalism, SIN[2]) dalam diskursus pembangunan Bank Dunia. Bab ketiga membahas genealogi dan fondasi intelektual dari SIN. Kemudian, bab keempat membahas lebih lanjut perangkat politik (political technologies) yang digunakan untuk menanamkan pengaruh SIN. Mari kita lihat satu demi satu pembahasan Carrol ini.
Bab pertama membahas kritik Stiglitz atas Konsensus Washington. Di awal tahun 1998, Stiglitz melancarkan kritik tajam terhadap konsep pembangunan yang terlalu berbasis pasar ala ortodoksi Neoliberal, seperti privatisasi, liberalisasi perdagangan dan nilai tukar mata uang yang kompetitif. Sebagai alternatif, ia kemudian mengusulkan apa yang disebutnya sebagai ‘Pasca-Konsensus Washington (Post-Washington Consensus, PWC),’ yang salah satunya kembali membahas pentingnya peranan negara dalam pembangunan. Menurut Carroll, para ekonom Neoliberal ortodoks, seperti Lawrence Summers (mantan rektor Universitas Harvard dan Direktur Dewan Ekonomi Nasional AS pada masa pemerintahan Obama periode 2009-2010), termasuk salah satu penentang utama dari gagasan PWC-nya Stiglitz. Pada dasarnya, memang tidak begitu ada perbedaan yang fundamental dari PWC dan Konsensus Washington, terutama dalam pandangan dua diskursus tersebut mengenai peranan pasar dan landasan teoretiknya yang sama-sama berasal dari teori Ekonomi Institusional Baru (New Institutional Economics, NIE). Namun, menurut Carroll, setidaknya ada beberapa hal yang membedakan PWC dengan Konsensus Washington. Pertama, realitas politik pada waktu itu berpengaruh pada keberhasilan Stiglitz dalam mempromosikan gagasan PWC-nya. Kedua, sesungguhnya beberapa kritik atas ortodoksi Neoliberal sudah muncul dalam Bank Dunia – keterlibatan Stiglitz di Bank Dunia kemudian memberikan legitimasi tambahan atas kritik tersebut. Dalam prakteknya, PWC berbeda dengan Konsensus Washington dalam hal penekanannya atas ‘peranan negara’ (hlm 23) dan ‘proses reformasi sektor finansial’ (hlm. 23) terutama dalam stabilitas makroekonomi serta ‘urutan dan cakupan proses privatisasi’ (hlm. 23). Namun, sejatinya, baik PWC maupun Konsensus Washington memiliki berbagai kesamaan dalam asumsi dasar dan tujuan mengenai pentingnya suatu perubahan sosial melalui rekayasa sosial dan kelembagaan (social and institutional engineering) dengan manajemen teknokratis untuk meredam sumber ‘konflik politik’ (hlm 24). Sesungguhnya, menurut Carroll, PWC dapat dikatakan sebagai ‘Konsensus Washington plus negara’ (hlm. 23).
Di bab kedua, Carroll membahas varian ‘baru’ dari gagasan Neoliberalisme Bank Dunia, yaitu Neoliberalisme Sosio-Institusional (SIN) yang merupakan bagian dari PWC dan muncul sebagai tanggapan atas kritik terhadap praktek Neoliberalisme ‘lama’ oleh Bank Dunia. Berbagai masalah yang timbul dari resep ‘klasik’ pembangunan Neoliberal yang dimulai sejak tahun 1980an di berbagai belahan dunia seperti Afrika, Eropa Timur dan Asia Timur, menjadi salah satu pendorong munculnya SIN. Retorika seperti ‘memberdayakan orang biasa’, ‘mendorong organisasi akar rumput’, serta pembangunan yang bersifat ‘dari bawah’ (bottom-up) dan bukannya ‘dari atas’ (top-down) adalah beberapa contoh dari awal mula berkembangnya diskursus SIN (hlm. 45). Setidaknya ada tiga hal yang membedakan praktek SIN dengan Neoliberalisme lama, yaitu penekanan pada retorika partisipasi warga dan kaum miskin, pentingnya peranan regulatoris dari negara, serta perhatian pada isu-isu ekologis dan lingkungan. Namun, berbagai asumsi dasar Neoliberalisme ala Bank Dunia seperti teknokratisme dan NIE, tetap menjadi acuan dalam diskursus SIN. Bank Dunia pelan-pelan mulai tertarik dengan aspek ‘sosial’ dari berbagai kebijakan ekonomi (dan politik). SIN, menurut Carroll, muncul sebagai respon terhadap berbagai kontradiksi dalam Neoliberalisme ala Bank Dunia dan juga Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund, IMF). Menurut Carroll, ini menunjukkan adanya suatu ‘krisis otoritas’ (crisis of authority) ala perspektif Gramscian di mana terjadi proses reorganisasi kuasa negara tanpa disertai oleh perubahan yang fundamental di struktur sosialnya – yang juga terjadi dalam Bank Dunia dan diskursus Neoliberalismenya.
Bab ketiga berisi genealogi intelektual dari SIN. SIN berakar dari NIE, yang merupakan salah satu cabang aliran ekonomi institusional. NIE melihat pentingnya peranan institusi dalam mengurangi ‘ongkos transaksi’ (transaction cost) dan ‘ketimpangan informasi’ (information asymmetries) dalam pasar. NIE juga muncul sebagai upaya untuk memodifikasi berbagai asumsi dasar yang problematis dalam ekonomi Neoklasikal (Neoclassical Economics), seperti asumsi tentang rasionalitas pasar dan aktor ekonomi (hlm. 68-74). Karenanya, dalam diskursus SIN, berbagai perangkat politis seperti tata pemerintahan yang baik (good governance), modal sosial (social capital), manajemen resiko social (social risk management), dan jaring pengaman sosial (social safety nets), dipromosikan sebagai ‘resep mujarab’ dalam mengatasi keterbatasan mekanisme pasar dan eksternalitas yang dihasilkannya. Bagi Carroll, ini menjadi penegasan atas satu hal: pentingnya membawa kembali analisa kelas dan konflik sosial dalam berbagai teori kelembagaan.
Di bab keempat, Carroll menjelaskan berbagai perangkat politis dari diskursus SIN. Beberapa contoh dari perangkat politis SIN antara lain adalah Kerangka Pembangunan Komprehensif (Comprehensive Development Framework), yang menekankan pada ‘kemitraan yang dipandu oleh negara’ (country-led partnership), strategi pengentasan kemiskinan dan berbagai skema partisipasi warga. Sepintas, SIN berusaha menampilkan citra proses pembangunan yang lebih demokratis, deliberatif, dan partisipatoris. Namun, pada kenyataannya, menurut Carroll, ini tidak lebih dari suatu bentuk baru ‘kondisionalitas’ (new conditionality) Bank Dunia terhadap kebijakan ekonomi negara berkembang – yang dijelaskan lebih lanjut oleh Carroll dalam empat studi kasusnya di Asia Tenggara.
Sesat Praktek Pembangunan Bank Dunia di Asia Tenggara
Empat bab kedua dari buku Carroll membahas berbagai studi kasus praktek pembangunan Bank Dunia di empat negara Asia Tenggara: Filipina, Vietnam, Kamboja dan Indonesia. Di sini, dapat kita lihat ada keragaman intra-regional (Asia Tenggara Kepulauan yang diwakili oleh Filipina dan Indonesia serta Asia Tenggara Daratan yang diwakili oleh Vietnam dan Kamboja) serta keragaman sistem pemerintahan (rejim pemerintahan yang demokratis di Indonesia dan Filipina, rejim negara Komunis satu partai di Vietnam serta rejim yang cenderung otoriter dengan fitur demokrasi elektoral di Kamboja). Terlepas dari berbagai keragamannya, Carroll berusaha menunjukkan kesamaannya berupa berbagai keterbatasan dan kontradiksi praktek SIN di empat negara tersebut.
Bab kelima dan keenam membahas peranan Bank Dunia dalam berbagai kebijakan, program dan proyek pembangunan di Filipina. Di bab kelima, Carroll membahas proses privatisasi layanan air di kota Manila. Dorongan untuk melakukan privatisasi sendiri sebenarnya sudah ada sejak masa pemerintahan Corazon Aquino dan Fidel Ramos. Bank Dunia, melalui badan promosi sektor swastanya, International Finance Corporation (IFC), beserta pemerintah Filipina berusaha mempromosikan proses privatisasi dan lebih jauh lagi, ekstensi pasar (market extension) melalui proses yang teknokratis. Bank Dunia melalui IFC tidak hanya berperan sebagai penasehat kebijakan dan penyedia wacana, namun juga berperan aktif dalam memfasilitasi dan menjaga keberlangsungan proses privatisasi – satu hal yang lumrah dalam diskursus Kemitraan Publik-Swasta (Public Private Partnership, PPP) yang semakin hegemonik belakangan ini. Di bab keenam, Carroll menunjukkan keterbatasan konsep partisipasi warga ala Bank Dunia dalam kebijakan Country Assistance Strategy (CAS) di Filipina. Sebagai contoh, agenda Bank Dunia mengenai partisipasinya sesungguhnya terbatas karena tidak hanya agenda tersebut sudah diformulasikan sebelumnya oleh Bank Dunia dan para elit bisnis serta pemerintahan, tetapi tendensi depolitisasi ala Bank Dunia membuat ajakan partisipasinya menjadi tidak menarik bagi berbagai LSM dan komponen masyarakat sipil serta gerakan warga yang menaruh perhatian pada analisa kelas dan perubahan sosial dalam perspektif dan praktek gerakannya. Ini tidak mengherankan, mengingat CAS, sebagaimana agenda pembangunan Bank Dunia yang lain, berkepentingan untuk menjaga keberlangsungan orde masyarakat pasar meskipun harus mengorbankan ruang partisipasi warga.
Bab ketujuh merupakan studi kasus berbagai program Bank Dunia seperti CAS, pengentasan kemiskinan dan proses partisipasi dalam kerangka ‘kemitraan’ dengan Vietnam dan Kamboja. Ada semacam pemandangan yang kontras di sini: Vietnam adalah contoh sukses dari kebijakan pembangunan ala Bank Dunia, yang justru tidak serta merta menaati resep kebijakan Bank Dunia. Sedangkan Kamboja adalah contoh negeri dengan berbagai masalah ekonomi, politik, dan sosial yang tak kunjung usai meskipun pihak Bank Dunia dan komunitas internasional telah ‘membombardir’ negara tersebut dengan berbagai bantuan. Di Vietnam, rejim Partai Komunis Vietnam dalam kebijakan reformasi ekonominya, justru dianggap berhasil karena tidak begitu ‘taat’ terhadap ortodoksi Neoliberal ala Bank Dunia dan berusaha menerapkan kebijakan ekonomi yang cukup heterodoks, yang menggabungkan elemen pasar dan non-pasar dalam proses pembangunan. Menariknya, Bank Dunia justru berusaha mengidentifikasi diri dengan Vietnam dan menyebut Vietnam sebagai ‘contoh sukses’ pembangunan. Menurut Carroll, ada semacam ketakutan dari pihak Bank Dunia bahwa perkembangan ekonomi Vietnam yang menempuh jalur semi-heterodoks dan cukup independen dari pengaruh Bank Dunia, justru akan membuatnya ‘menjauh’ dari pengaruh Bank Dunia (hlm. 169). Di Kamboja, yang terjadi justru sebaliknya: rejim otoriter, pseudo-demokratis Hun Sen dan Partai Rakyat Kamboja (Cambodian People’s Party, CPP), justru menggunakan berbagai dana bantuan serta proyek pembangunan Bank Dunia dan berbagai institusi internasional lainnya, untuk meneguhkan praktek patron-klien dan kapitalisme kroni yang koruptif, hegemonik, serta represif. Ini membuat Bank Dunia berusaha untuk tidak diasosiasikan dengan ‘kegagalan pembangunan’ di Kamboja.
Bab kedelapan sekaligus terakhir, membahas program pengentasan kemiskinan ala Bank Dunia di Indonesia, terutama Kecamatan Development Program (KDP). Proyek pengentasan kemiskinan ala KDP yang berbiaya US$ 1,6 miliar ini dilakukan dengan cara menggelontorkan bantuan pembangunan ke tingkat lokal seperti desa, sembari melampaui (bypassing) struktur dan hierarki formal institusi pemerintahan. Sepintas, proyek KDP ini terlihat ‘heterodoks’ atau bahkan betul-betul ‘partisipatoris.’ Namun, menurut Carroll, apa yang disebut sebagai ‘pengentasan kemiskinan’ dalam proyek KDP sesungguhnya hanya bisa berjalan dalam rambu-rambu SIN. Menurut Carroll dan berbagai pengkaji Bank Dunia seperti Paul Cammack serta Tania Murray Li, retorika dan praktek KDP masih terbatas pada diskursus ‘tata kelola pemerintahan’ (governance) serta modal sosial. Partisipasi dan pemberdayaan seakan-akan menjadi tata kunci dalam KDP dan SIN, namun partisipasi warga yang berusaha membongkar dominasi elit di tingkat lokal melalui aksi kolektif, serta ketimpangan dalam kepemilikan alat-alat produksi, misalnya, tentu tidak dianggap dalam skema KDP dan SIN karena dianggap akan mengganggu konsolidasi orde masyarakat pasar (hlm. 199-201).
Ulasan Kritis
Secara umum, buku Carroll menyajikan ulasan yang kritis, komprehensif dan meyakinkan atas evolusi diskursus dan praktek pembangunan ala Bank Dunia dengan fokus kawasan Asia Tenggara. Porsi kajian teoretik dan empirik dalam buku ini juga berimbang, dibantu dengan penataan isi buku yang membuat pembahasan menjadi mengalir dan mudah dimengerti. Namun, menurut hemat saya, beberapa hal perlu menjadi perhatian sekaligus kritik lebih lanjut untuk karya Carroll terutama dari segi metodologi.
Pertama, penambahan lebih banyak studi kasus, seperti memasukkan studi kasus Malaysia, yang bertahan dari gempuran Krisis Finansial dan Ekonomi Asia di akhir 1990an dengan menggabungkan elemen kebijakan ekonomi heterodoks yang tetap berorientasi pasar dengan kebijakan politik yang semi-otoritarian, dapat memberikan gambaran yang lebih menarik dan menyeluruh mengenai dampak kebijakan pembangunan Bank Dunia di Asia Tenggara. Diskusi mengenai dampak Neoliberalisme ala Bank Dunia dan kritik terhadapnya di kawasan lain, seperti Amerika Latin, juga menarik untuk dibahas lebih lanjut di bagian pendahuluan dan pendekatan teoretik dari karya Carroll.
Kedua, karya ini tentu akan lebih menarik apabila ia dapat membuat semacam trayektori sejarah (historical trajectory) dari keterlibatan Bank Dunia dalam empat Negara yang menjadi studi kasusnya. Sebuah abstraksi teoretik dari perjalanan sejarah pembangunan ala Bank Dunia dan berbagai variasinya yang dapat ditarik dari suatu momen sejarah tertentu, akan memicu perdebatan teoretik yang lebih hangat lagi di seputar isu itu.
Ketiga, meskipun secara umum karya ini bermaksud membandingkan empat negara dan dalam kapasitas tersebut, ia berhasil menampilkan narasi-narasi lokal mengenai berbagai kontradiksi pembangunan ala Bank Dunia, mungkin akan lebih baik apabila Carroll menunjukkan narasi dan kenyataan tersebut secara lebih gamblang, terutama tentang dinamika dan realita pembangunan di tingkat lokal serta apa dampak dan artinya bagi ‘warga biasa’, terutama di kasus-kasus seperti mekanisme partisipasi ala Bank Dunia di Filipina dan KDP di Indonesia. Namun, karena keterbatasan tempat pembahasan di dalam buku sekaligus cakupan studi yang cukup luas, yaitu empat negara, kurang tampilnya eksplorasi yang lebih naratif dalam buku ini dapat dipahami.
Keempat, tesis Carroll menyatakan bahwa Bank Dunia mempromosikan ekonomi liberal melalui politik yang illiberal. Namun, bagaimana bentuk politik yang illiberal itu, meskipun disinggung selama beberapa kali, tidak begitu dijelaskan secara utuh oleh Carroll. Saya menangkap, politik illiberal yang dimaksud Carroll merujuk kepada tata pemerintahan yang teknokratis, pembatasan jikalau bukan penutupan partisipasi warga yang seluas-luasnya dan di kasus Kamboja, abainya Bank Dunia atas dampak dari skema pembangunannya terhadap penguatan otoritarianisme dan kapitalisme kroni. Apabila definisi politik illiberal ini dapat diperjelas, tentu tesis Carroll yang cemerlang ini akan semakin meyakinkan.
Kesimpulan
Secara ekstensif, baik dari segi diskursus maupun praktek, Carroll telah menunjukkan keterbatasan developmentalisme ala Bank Dunia, terutama varian SIN-nya. Di balik panji-panji dan pretensi seperti ‘pembangunan berbasis komunitas’ (community-driven development), modal sosial, partisipasi warga serta tata kelola pemerintahan dan kelembagaan yang baik, tersimpan berbagai tendensi depolitisasi dan teknokratis dari Bank Dunia. Tetapi, dengan dukungan pemerintah negara berkembang penerima bantuan Bank Dunia, berbagai tendensi tersebut dapat diterapkan secara fleksibel dan bahkan ditinggalkan jikalau perlu demi lancarnya arus dan akumulasi kapital.
Dalam kaitannya dengan pernyataan tersebut, buku Carroll juga berhasil membahas secara cukup mendetail peranan negara dalam konsolidasi kapitalisme neoliberal, setidaknya untuk kasus Asia Tenggara. Pembahasan soal negara dan kedaulatan vis-à-vis kapital, merupakan tema yang tidak ada habisnya dalam studi pembangunan dan teori-teori Marxis. Tetapi, apabila ada satu pelajaran yang dapat kita ambil dari studi Carroll, maka itu adalah negara tidak lepas dari kontestasi dan perjuangan kelas.
Dari segi disiplin akademik, Carroll juga berhasil menggabungkan pendekatan kajian kawasan Asia Tenggara dengan kajian pembangunan dan Marxisme yang lebih luas. Dibandingkan kajian kawasan yang lain, seperti Asia Selatan dan Amerika Latin, pendekatan Marxis dalam studi Asia Tenggara sepertinya relatif lebih sedikit. Kedepannya, saya berharap akan lebih banyak lagi para pengkaji pembangunan dengan fokus kawasan Asia Tenggara yang menggunakan metode Marxis.
Pada akhirnya, karya Carroll menunjukkan bahwa developmentalisme dan kapitalisme neoliberal bukanlah ‘akhir dari sejarah.’
¶
Iqra Anugrah, mahasiswa doktoral ilmu politik di Northern Illinois University, AS. Penulis beredar di twitterland dengan id @libloc
Bacaan Tambahan
Collins, E. F. (2007). Indonesia Betrayed: How Development Fails. Honolulu, HI: University of Hawai’i Press.
Hughes, C. & Un, K. (Eds.). (2011). Cambodia’s Economic Transformation. Copenhagen: NIAS Press.
Li, T. M. (2007). The Will to Improve: Governmentality, Development, and the Practice of Politics. Durham, NC: Duke University Press.
Pincus, J. R. & Winters, J. A. (Eds.). (2002). Reinventing the World Bank. Ithaca, NY: Cornell University Press.
[1] Konsensus Washington adalah daftar sepuluh kebijakan ekonomi yang diusulkan oleh ekonom John Williamson sebagai ‘paket standar’ penanganan krisis dan reformasi ekonomi di negara-negara yang dilanda krisis, yang mencakup kebijakan seperti stabilitas makroekonomi, privatisasi, perdagangan bebas dan penguatan peranan pasar. Pada perkembangannya, Konsensus Washington kemudian identik dengan, atau lebih tepatnya merupakan perpanjangan dari, Neoliberalisme.
[2] Ada semacam permainan kata-kata di sini, SIN dalam bahasa Inggris berarti ‘dosa.’