Belajar Dari Yunani

Print Friendly, PDF & Email

APA yang menjadi kesamaan antara Indonesia dan Yunani? Sepintas, kita dan Yunani adalah dua negeri yang sangat berbeda. Namun, negeri para dewa ini juga memiliki masalah yang tidak terdengar asing bagi kita: krisis ekonomi, krisis politik dan naiknya sentimen politik sayap kanan. Yang berbeda adalah, Yunani memiliki gerakan rakyat dan partai politik yang mampu mengartikulasikan aspirasi politik ‘dari bawah’ di tengah-tengah krisis ekonomi dan kebuntuan politiknya. Tentu saja, konteks Indonesia dan Yunani memang jauh berbeda. Namun, demi pembelajaran, tidak ada salahnya apabila kita menengok dan berkaca dari pengalaman Yunani.

 

Krisis dan transformasi politik di Yunani

Baru-baru ini, sebuah artikel opini di koran kenamaan The New York Times oleh duo ekonom James K. Galbraith dan Yanis Varoufakis (2013) berpendapat bahwa mendukung Partai Koalisi Kiri Radikal atau yang lebih dikenal dengan singkatannya, SYRIZA, adalah satu-satunya jalan menyelamatkan Yunani dari kebangkrutan. Mengapa? Sebelum melangkah lebih lanjut, ada baiknya kita sedikit memahami konteks ekonomi-politik dan sosial di Yunani akhir-akhir ini.

Di Uni Eropa, Yunani adalah satu dari beberapa negara yang mengalami dampak paling buruk dari Krisis Finansial Global di tahun 2008. Dampak dari krisis ini masih terasa dan berlanjut hingga sekarang. Kebangkrutan ekonomi Yunani juga berdampak kepada dimensi politiknya, yang mengakibatkan Perdana Menteri George Papandreou mundur, digantikan oleh Pemerintahan Kesatuan Nasional (National Unity Government) dan troika IMF, Komisi Eropa dan Bank Sentral Eropa. Menurut Costas Douzinas dan Joanna Bourke (2012), dua orang profesor dari Birkbeck, University of London, tekanan dari Uni Eropa beserta segenap elit Eropa dan kebijakan penghematan ekonomi dan pemangkasan subsidi (austerity policy) dalam menghadapi krisis ekonomi di Yunani, justru telah mencederai partisipasi politik dan demokrasi di Yunani. Hasilnya bukan main-main: kontraksi ekonomi sebesar 20 persen selama 4 tahun terakhir, tingkat pengangguran mencapai 22persen, pengangguran kaum muda mencapai 54persen, kenaikan 24 poin di indeks kemiskinan, serta penurunan gaji dan pensiun untuk pegawai negeri sipil yang mencapai 50 persen, setidaknya sampai dengan tengah tahun lalu. Tidak hanya itu, upah minimum dan kompensasi pengangguran (unemployment benefit) juga dipotong hingga 32 persen, ditambah lagi dengan penghapusan hak negosiasi kolektif untuk para pekerja (collective bargaining).

Krisis ekonomi ini juga berimbas ke krisis kemanusiaan. Laporan dari harian terkemuka Inggris The Guardian, mungkin bisa menjadi salah satu gambaran parahnya kondisi Yunani pada tahun lalu: para warga kelas menengah yang terpaksa mengantri di dapur umum untuk mendapat jatah makanan, tingkat tunawisma dan penyakit kejiwaan yang meningkat secara tajam, serta kesulitan akses untuk fasilitas kesehatan yang dahsyat. Dengan kata lain, suatu proses ‘proletarianisasi’ besar-besaran sedang terjadi di Yunani. Agaknya, tidaklah berlebihan jikalau kita menyebut ini sebagai bagian dari apa yang disebut Slavoj Zizek sebagai ‘Apartheid Baru’ (The New Apartheid).

Di tengah-tengah kondisi Yunani yang seperti ini, Syriza hadir sebagai representasi politik dengan tuntutan paling radikal sekaligus realistis bagi Yunani. Syriza sebagai koalisi dari berbagai partai, gerakan sosial dan elemen gerakan Kiri di Yunani, sesungguhnya memiliki sejarah yang tidak singkat. Dalam sebuah pidatonya, Sotiris Martalis (2013), anggota Internationalist Workers Left atau DEA, salah satu organisasi pendiri dan pendukung Syriza berhaluan Trotskyis, sejarah Syriza sendiri bermula dari tahun 2001 sebagai upaya dari berbagai organisasi Kiri dengan berbagai macam tendensinya dan Synapsismos, partai Kiri yang merupakan partai terbesar dari koalisi Syriza yang juga dipimpin oleh Alexis Tsipras, yang sekarang menjadi pemimpin dari Syriza. Dalam upayanya untuk bertahan dalam kontes politik elektoral di Yunani sekaligus menyuarakan aspirasi dari rakyat Pekerja, menurut Martalis, Syriza berhasil melakukan berbagai strategi yang rupanya cukup efektif. Pertama, Syriza berhasil menyatukan dan menjembatani berbagai organisasi dan elemen gerakan Kiri dengan berbagai tendensinya dalam satu wadah. Dengan kata lain, Syriza berhasil mengatasi persoalan fraksionalisasi gerakan yang seringkali terjadi di gerakan Kiri dan progresif. Kedua, Syriza berhasil menyambut momentum politik pasca krisis ekonomi di Yunani yang mendorong berbagai komponen gerakan rakyat, mulai dari petani, buruh, anak muda dan lain-lainnya untuk melakukan aksi-aksi massa dan protes yang juga bertepatan dengan gerakan Pendudukan (Occupy) global. Syriza dianggap sebagai wadah politik yang dapat menyalurkan aspirasi rakyat Yunani yang termarginalisasi oleh krisis ekonomi sekaligus kebijakan teknokratis di Yunani dan Eropa. Ketiga, di saat yang bersamaan, Syriza juga tetap berkomitmen terhadap penggunaan mata uang Euroa sekaligus keanggotan Yunani di Uni Eropa. Menurut Syriza, yang seharusnya menjadi fokus perjuangan adalah kebijakan ekonomi yang lebih demokratis pasca diberlakukannya kebijakan ekonomi pemangkasan yang teknokratis alih-alih keluar dari Uni Eropa atau Eurozone – suatu hal yang juga dikampanyekan oleh beberapa kelompok elit di Yunani demi kepentingan mereka sendiri.

Tantangan yang tidak kalah beratnya lagi adalah naiknya sentimen Fasisme dan Neo-Nazi di Yunani yang diwakili oleh Golden Dawn (Fajar Emas), suatu partai sayap kanan ekstremis yang, seperti halnya banyak partai ekstrim kanan lainnya seperti British National Party (Partai Nasional Inggris) di Inggris dan National Front (Front Nasional) di Perancis, menyalahkan krisis ekonomi kepada ‘para imigran’ dan menyerukan ‘kepentingan dan kedaulatan Yunani.’ Berbagai laporan media dan rekaman video di Youtube juga menunjukkan bagaimana simpatisan Fajar Emas melakukan aksi-aksi vigilantis dan premanisme serta menyerang berbagai kelompok minoritas di Yunani – suatu sentimen yang juga didukung oleh para politisi Fajar Emas dalam pidato dan retorika politik mereka (Mckenna, 2013).

Syriza juga berkomitmen untuk menghadang naiknya Fajar Emas dan sentimen Fasis di Yunani. Bahkan, boleh dikatakan, Syriza adalah partai yang paling terdepan dalam menghadapi Fajar Emas – setelah hilangnya kepercayaan publik terhadap para pemain lama dalam politik Yunani seperti partai kiri-tengah Gerakan Sosialis Panhellenik (PASOK) dan Demokrasi Baru (New Democracy).

Hasilnya? Meskipun Syriza kalah dalam pemilu legislatif Yunani pada Juni tahun lalu, ia berhasil memantapkan posisinya sebagai partai oposisi terbesar di parlemen nasional Yunani, dengan memenangkan 71 dari 300 kursi di parlemen. Apabila ditambah dengan suara dua partai Kiri lainnya, yaitu Partai Komunis Yunani (KKE) yang memenangkan 12 kursi dan Partai Kiri Demokratik (Democratic Left) yang memenangkan 14 kursi, maka blok Kiri memiliki sekitar 97 kursi atau sekitar sepertiga dari total jumlah kursi di parlemen Yunani. Kekuatan politik ini, yang juga didukung oleh kebijakan Syriza untuk menjaga komunikasi dengan partai-partai Kiri lainnya, diharapkan dapat menjadi benteng yang efektif untuk menghadang kekuatan politik teknokratis yang disebut Marx sebagai ‘pemerintahan teknikal’ (Musto, 2011) dan kebijakan ekonomi neoliberal di Yunani.

Keberhasilan Syriza dalam kontes politik elektoral dan parlementarian di Yunani, perlu kita sambut sebagai secercah harapan menuju kemenangan politik Kiri-progresif di berbagai belahan dunia. Dalam berbagai diskusi dalam forum Festival Subversif (Subversive Festival), sebuah festival film rutin yang baru-baru ini diadakan pada bulan Mei di Zagreb, Kroasia, yang juga mengundang berbagai aktivis gerakan Kiri-progresif, di tengah-tengah ‘meredanya’ gejolak gerakan Occupy, hilangnya momentum Arab Uprising yang ‘dibajak’ oleh gerakan Islamis pasca gerakan rakyat di Timur Tengah, keberhasilan Syriza merupakan suatu gebrakan di tengah mandeknya gerakan progresif dan pencapaian yang dapat menjaga momentum dan semangat perjuangan.

 

Pelajaran bagi kita

Berkaca dari pengalaman Yunani, adakah pelajaran yang dapat kita ambil? Tentu saja, konteks Indonesia dan Yunani amatlah jauh berbeda. Namun, bukan berarti tidak ada pelajaran yang dapat kita petik. Antusiasme politik pasca pilkada Jakarta, beberapa gebrakan kebijakan seperti Kartu Jakarta Sehat (KJS), serta pemilu nasional yang akan digelar tahun depan, merupakan beberapa hal yang perlu kita amati dengan seksama dan barangkali dapat menjadi momentum untuk setidaknya menjaga repertoire perjuangan.

Dalam hal ini, saya tidak berpretensi menjadi seorang pengamat politik atau ahli nujum yang dapat menebak tren politik ke depan. Namun, apabila ada hal yang bisa kita ambil dari ‘pelajaran Yunani,’ setidaknya pelajaran tersebut dapat kita ringkas menjadi tiga hal: pertama, kombinasi antara eksistensi wadah politik yang representatif ‘dari atas’ dan gerakan rakyat ‘dari bawah’ dapat mewujudkan transformasi politik; kedua, organisasi dalam politik adalah penting; dan ketiga, berangkat dari asumsi bahwa politik adalah suatu arena dominasi elit, maka memahami karakter para elit dan kelemahan mereka amatlah penting untung mencari celah di mana gerakan rakyat dapat mencari peluang dan memanfaatkan peluang tersebut untuk transformasi sosial sekaligus untuk mematahkan dan melampaui dominasi elit.

Poin kedua dan ketiga perlu dibahas lebih lanjut di sini. Mengenai poin kedua, Jodi Dean (2012) dalam refleksinya atas gerakan Occupy mengajak kita kembali ke perdebatan lama antara kaum anarkis dan Marxis. Dalam pemaparannya, ‘asosiasi’ atau ‘praktek-praktek sosial alternatif’ yang dengan pretensi egalitarianisme namun justru menghasilkan fenomena ‘kuasi-kepemimpinan’ justru akan mencederai gerakan. Bagi Dean, organisasi dengan fungsi yang jelas, adalah penting demi keberlangsungan dan keberhasilan gerakan itu sendiri. Dalam pengamatannya atas gerakan Occupy, Dean menjelaskan bahwa slogan ‘tanpa bentuk’ dan ‘tanpa pimpinan’ ala beberapa segmen dari gerakan Occupy,  justru memunculkan ‘pemimpin informal’ (quasi-leaders) dan agenda-agenda yang dianggap sebagai ‘konsensus bersama,’ yang padahal, hanyalah agenda-agenda yang muncul dari beberapa kelompok dominan dalam gerakan Occupy. Dalam konteks inilah, Dean berpendapat, organisasi dengan fungsi, hierarkhi dan kepemimpinan yang jelas justru dibutuhkan demi proses-proses politik yang deliberatif, transparansi dan keberlangsungan dari gerakan itu sendiri. Pengalaman Syriza adalah pengalaman bagaimana mengtransformasikan potensi gerakan progresif menjadi organisasi politik dengan tujuan, fungsi, dan hierarkhi yang jelas, terukur dan dapat dipertanggungjawabkan.

Dalam kaitannya dengan poin ketiga, agaknya tidaklah berlebihan untuk kembali melihat kepada ‘kondisi objektif’ politik Indonesia di lapangan, terutama pada tingkat subnasional atau lokal. Berbagai studi tentang politik Indonesia dewasa ini, terutama dari perspektif ekonomi politik, telah menggarisbawahi kenyataan dominasi elit pasca-Soeharto terutama di tingkat lokal. Dari perspektif yang lebih empirik, kita bisa melihat bahwa berdasarkan data dari Kementerian Dalam Negeri (2011) tentang latar belakang para kepala daerah pasca pemilihan umum kepala daerah tahun 2010, dominasi beberapa kelompok elit seperti birokrat (yang beberapa diantaranya dapat kita asumsikan mengalami hidup di bawah rezim Orde Baru dan karenanya mungkin juga mewarisi mentalitas Orba) dan pengusaha (yang memiliki kapital yang dapat dengan mudah ‘ditransfer’ menjadi kekuatan politik) nampaknya mengamini hipotesis dominasi elit di tingkat lokal.

Suatu saat, akankah kita memiliki organisasi progresif yang mewakili gerakan rakyat yang memiliki legitimasi yang kuat seperti Syriza? Tentu, hanya kita sendiri yang dapat memberi jawaban atas pertanyaan tersebut.***

 

Penulis adalah mahasiswa doktoral ilmu politik di Northern Illinois University, AS. Penulis beredar di twitterland dengan id @libloc.

 

Kepustakaan

Dean, J. (2012). The Communist Horizon. London: Verso.

Douzinas, C., and Bourke, J. (2012, June 17). A Syriza victory will mark the beginning of the end of Greece’s tragedy. Retrieved June 25, 2013, from The Guardian: http://www.guardian.co.uk/commentisfree/2012/jun/17/syriza-victory-greece-austerity-crisis

Galbraith, J. K., and Varoufakis, Y. (2013, June 23). Only Syriza Can Save Greece. Retrieved 25 June, 2013, from New York Times: http://www.nytimes.com/2013/06/24/opinion/only-syriza-can-save-greece.html?_r=2&amp

Kementerian Dalam Negeri. (2011). Profil Kepala Daerah Hasil Pemilukada 2010. Jakarta: Direktorat Jenderal Otonomi Daerah, Kementerian Dalam Negeri, Republik Indonesia.

Martalis, S. (2013, June 5). The role of the left in SYRIZA. Retrieved June 25, 2013, from SocialistWorker.org: http://socialistworker.org/2013/06/05/role-of-the-left-in-syriza

Mckenna, T. (2013, February 10). Golden Dawn: The Development of Greek Fascism. Retrieved June 25, 2013, from Monthly Review: http://mrzine.monthlyreview.org/2013/mckenna100213.html

Musto, M. (2011, November 17). Political Crisis in Italy and Greece: Marx on ‘Technical Government.’ Retrieved June 25, 2013, from Monthly Review: http://mrzine.monthlyreview.org/2011/musto171111.html

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.