John Tobing, Darah Juang dan Tali Perekat Zaman

Print Friendly, PDF & Email
John Tobing_Darah Juang
John Tobing (foto: istimewa)

KONSER dibuka tepat pukul 19.40. Jumat, 7 Juni 2013, Teater Kecil di komplek Taman Ismail Marzuki, Cikini yang berkapasitas 250 orang mulai padat. Sebagian besar adalah para aktivis, kawan-kawan John Tobing dari angkatan 1980 – 1990-an, hingga anak-anak muda yang kupingnya akrab dengan lagu Darah Juang.

Fajar Merah mengusung empat buah lagu, salah satunya adalah Bunga dan Tembok, puisi Wiji Thukul, penyair yang hingga kini masih hilang. Fajar Merah tak lain adalah anak Wiji Thukul. Sambil memetik gitar, penampilan pemuda 19 tahun yang rambut ikal dan parasnya amat mirip dengan bapaknya itu cukup memukau sekaligus membebat haru.

Layar bertuliskan John Tobing: Romantika Revolusi terbentang. Gemuruh penonton pecah seketika saat John melangkah keluar. Mengenakan kaus putih, kemeja kotak warna merah dan celana jins, kali ini ia tak menenteng gitar seperti biasa, melainkan diiringi 4 musisi dari Accoustic Liar.

Lagu Doa menjadi pembuka. Tempo yang semula lambat, pada bagian refrain menukik ke nada-nada tinggi dengan tempo cepat. Sesekali mata John terpejam, tangannya meliuk, bersedekap atau mengepal ke udara.

‘Ini merupakan perenungan kami berkali-kali berhadapan dengan tentara. Sampai yang terakhir adalah peristiwa Cebongan. Tentara dipakai untuk menghabisi rakyat sipil!’ ujarnya seusai lagu pertama.

Kendati tubuhnya sedikit meriang dihajar batuk, malam itu John tampil cukup atraktif. Sembilan buah lagu di album Romantika Revolusi tandas, dengan Darah Juang sebagai pamungkas. Malam itu, benar-benar menjadi milik John Tobing. Meski berulangkali ia bilang, tak percaya konser ini akhirnya terlaksana.

***

LAGU-LAGU John Tobing adalah hamparan panjang sejarah yang bergelimang darah pada zaman Orde Baru. Melodi dan baitnya, yang basah dan berjiwa, berhasil mematuk-matuk kesadaran, bahwa ada penindasan dan ketidakadilan yang luar biasa jahatnya di negeri ini.

Lebih dari 200-an judul lagu lahir dari tangan John. Dari mulai lagu anak, pop, rock, balada hingga lagu-lagu perjuangan. Sayangnya, tidak terdata dengan baik. Dalam catatan yang dibuatnya tahun 2006, ada 26 lagu yang masih ia ingat persis periode pembuatan hingga konteks politik yang melatarinya. Semua dibuat pada kisaran 1987 -1992.

Lagu Satu Kata lahir dari peristiwa Sabtu Kelabu, 5 Agustus 1989. Saat itu, sekelompok mahasiswa ITB melakukan aksi menolak kehadiran Menteri Dalam Negeri Rudini, untuk berceramah pada Penataran P4 di kampusnya. Beberapa aktivisnya, seperti Fadjroel Rachman, (alm) Arnold Purba, Enin Supriyanto, dan Jumhur Hidayat ditangkap dan dijebloskan ke penjara.

John geram bukan kepalang. Pemenjaraan mereka, kendati berbeda kampus dan organisasi, ibarat tikaman perih di sekujur tubuh semua aktivis. Sebagai bentuk protes dan membangkitkan semangat mereka agar mereka tak patah, John bikin lagu. Ia ingat bait populer puisi Wiji Thukul yang berjudul Peringatan. Hanya ada satu kata: lawan! Maka dipilihlah Satu Kata sebagai judul.

Lagu Doa diciptakan pada April 1992. Saat itu hati John mendidih mendengar seorang kawannya, Kamal Bamadhaj, mahasiswa asal Malaysia berkebangsaan Selandia Baru, yang mati tertembak dalam Peristiwa Santa Cruz, Timor Timur pada 12 November 1991. Saat itu, ratusan orang memadati pemakaman Santa Cruz untuk penguburan rekan mereka, Sebastião Gomes, yang ditembak mati oleh tentara Indonesia. Mereka membentangkan spanduk bertulis Viva Timor Leste beserta gambar Xanana Gusmao. Tentara berang. Dengan beringas, mereka memberondong ratusan orang itu dengan senapan. Tak kurang 200 orang tewas. Salah satunya adalah Kamal.

‘Aku marah, sedih, muak, benci tak keruan. Kamal baru saja dari Yogya dan kami sempat diskusi cukup panjang. Kenapa pejuang seperti Kamal ditembaki tentara? Mereka bukan musuh negara, apalagi musuh rakyat!’

Amarah itu lantas ia tandaskan dalam lirik :

Kawan kami, berjuang membela
Dicap pemberontak, dikejar, ditembak…mati!
Negara ini pun gila-gilaan,
Rakyatnya sendiri diancam
Tak boleh bicara atau protes, Aceh, Priok, Dilli, Irian, Enam Lima
Semua ditembaki!

John bilang, airmatanya tak berhenti mengucur saat menciptakan lagu itu.

Tahun 1994, di sekretariat Partai Rakyat Demokratik (PRD) di daerah Depok, John bertemu Hermeningardo, aktivis pro kemerdekaan Timor Leste. Ardo, begitu biasa dipanggil, banyak membuat puisi dan syair lagu tentang tentang tanah air dan perjuangan mereka, yang sebagian besar ditulis dalam bahasa Tetun.

John terkesima dengan sebuah puisi yang diterjemahkan Ardo untuknya, berjudul O Rai Timor. Berkisah tentang bumi Lorosae yang kaya raya namun terus dijajah dan rakyatnya sengsara. John menangkap aroma gelisah dan spirit yang sama dengan lagunya, Darah Juang. Ia segera meraih gitar, mengeja bait-bait puisi itu, dan jadilah lagu O Rai Timor.

Dalam sebuah pertemuan internasional yang diorganisir oleh Action in Solidarity with Indonesia and East Timor (ASIET), di Perth, Australia pada 1994, John menyanyikan lagu itu. Seluruh aktivis dari Timor Leste yang hadir di ruangan itu, tak henti-henti meneteskan airmata.

Duka yang dialami keluarga kawannya, Danial Indrakusumah dan Anung, saat putranya yang berusia 2 tahun meninggal lantaran tifus, melahirkan lagu berjudul Cadas. Kematian Cadas, ketika itu menjadi duka bersama bagi semua aktivis. Semua terpukul dan menangis. John membuatkan melody dan Agung Wibawanto membuat liriknya.

John juga piawai menulis lagu romantis. Hey, merupakan satu-satunya lagu cinta di album ini. Sebuah ungkapan cinta ala aktivis yang kukuh dan dalam, kendati akhirnya kandas di tengah jalan. Lagu ini dibuat ketika ia putus dari pacarnya. John sempat mengajak menikah, tapi si gadis tak berani.

‘Begitulah kalau orang sedang jatuh cinta, selalu berjanji akan mengubah dunia,’ kata John usai menyanyikan lagunya. ‘Meski sudah menikah belasan tahun, toh aku juga tak bisa mengubah dunia,’ ia pun terkekeh dari atas panggung.

John bikin lagu di mana saja, di kamar kost, di lorong kampus, di kampung-kampung petani, juga di lokasi KKN. Seiring terbangunnya konsolidasi mahasiswa antar kota, lagu-lagu itu pun beredar luas. Di aksi-aksi, ia menjadi menu wajib yang membakar semangat.

Nuraini, mahasiswa Filsafat UGM angkatan 1991 masih ingat, pada saat itu suasana berkesenian di Yogya terbangun cukup kental. Di majalah Fakultas Sastra UGM, Dian Budaya, setiap minggu mereka mengadakan konser musik kecil-kecilan, sambil lesehan di pelataran. Mereka kerap menyanyikan lagu-lagu John, selain juga lagu-lagu karya Yayak Ismaka, seniman yang banyak menulis lagu perjuangan seperti Aku Anak Merdeka, Satukanlah atau Titik Api.

Tapi, di aspal jalanan lah lagu-lagu John menjadi hidup, bertenaga dan menemukan rohnya. Darah Juang adalah lagu wajib sambil bergandeng tangan, berderap menyongsong barikade tentara yang siap membubarkan aksi dengan moncong senjata.

***

John, Obang, Fajar
Dari kiri ke kanan: John, Fajar dan Obang (foto: istimewa)

JOHN lihai bernyanyi sejak belia. Ia ingat sebuah kisah yang kerap diulang oleh ayahnya: saat umur tiga tahun, John kecil naik ke sebuah drum minyak tanah di warung tetangganya. Ia pun menyanyikan dengan lantang lagu Guantanamera, sebuah lagu rakyat dari Kuba yang termahsyur. Lagu itu, artinya Gadis dari Guantanamo, merupakan gubahan puisi seorang penyair kiri asal Kuba, Jose Marti, yang kemudian dipopulerkan dalam banyak versi dan penyanyi. Di Amerika, tahun 1960-an sempat melejit lewat suara Pete Seeger dan Joan Baez.

Meski belum fasih melafalkan liriknya, apalagi memahami artinya, John kecil bernyanyi dengan intonasi tepat. Suaranya bagus. Orang-orang takjub. Sejak itulah, sang ayah mengakui bahwa John pintar menyanyi.

Johnsony Marhasak Lumbantobing, begitu nama lengkapnya, lahir di Binjai, 1 Desember 1965. Ia merupakan anak ke 3 dari 8 bersaudara dari pasangan Mangara Lumbantobing dan Adelina Sinaga. Ayahnya seorang hakim yang kerap berpindah tugas ke berbagai kota. John pun melewatkan SD dan SMP di Bandar Lampung.

John menyebut dirinya pemberontak sejak kecil. Ia tumbuh dengan alunan musik dan tumpukan komik. Favoritnya adalah Godam dan Gundala Putra Petir, komik-komik superhero buatan lokal yang saat itu sangat populer.

‘Komik itu mempengaruhi aku tentang imajinasi pahlawan dan tentang perlawanan. Itu yang bikin aku melawan.’

Tahun 1975, keluar album pertama God Bless. Abangnya membeli kaset dan memutarnya berulangkali hingga seisi rumah nyaris hapal seluruh isinya. Salah satu lagu dengan beat menghentak, berjudul Setan Tertawa membuat John terkesima. Puluhan kali diputar, ia tak kunjung bosan. Tabuhan drum yang dinamis dari Teddy Sujaya, raungan gitar Ian Antono, dipadu dengan vokal eksotis Ahmad Albar, benar-benar memikatnya. John memetik gitar dan meluncur larik-larik dari bibirnya,

Manusia di dunia
Tak ada gunanya
Hanya untuk berbuat dosa
Ayolah bertobat, supaya selamat.

‘Ya mirip-miriplah sama Setan Tertawa, hahaha.’

Lagu pertamanya itu diberi judul Manusia. Saat itu John kelas 5 SD. Ia berniat hanya bikin lagu sekali itu saja, untuk mengikuti rasa penasarannya, apakah suatu saat nanti, 20 tahun lagi, ada orang yang menciptakan lagu persis seperti miliknya?

Toh akhirnya John kecanduan bikin lagu. Ia belajar gitar dan keyboard sendiri. Ketika bersekolah di SMP di Lampung, bersama teman-teman sekolahnya, ia bikin band dengan aliran musik cadas. John pegang gitar dan vokal.

Keasyikan ngeband itu berlanjut hingga ia sekolah di SMA Santo Thomas, Yogyakarta. Bersama dua rekannya, Adi dan Odon, kembali ia bikin band. Tiap hari John menggenjreng gitar. Ia beli buku-buku musik. Ia juga beli amplifier dan kamarnya disulap menjadi kedap suara. Saat itu idolanya adalah Queen, Led Zeppelin, Deep Purple dan Uriah Heep. Ia pelajari semua lagu mereka. Ia juga hapal segala sesuatu tentang idolanya.

Queen menempati ranking pertama band favoritnya, ‘Aku kagum dengan cara dia bikin lagu. Lagu-lagunya legendaris, disenangi semua orang.’

Dadanya berdentam kencang setiap mendengar lagu-lagu Queen yang mengalun lewat vokal Freddie Mercury. John menyebut Bohemian Rhapsody dan Bicycle Race sebagai lagu favoritnya. Setelah Queen, barulah Led Zepellin, menduduki tangga favorit berikutnya.

‘Aku suka Stairway To Heaven!’ John pun menyanyikan beberapa potong baitnya. Suaranya mengalun jernih dan berjiwa. ’Biasanya, kalau ada lagu bagus, aku buka kamar. Setel paling kencang! Hahaha.’

Kegilaan pada musik akhirnya bikin sekolahnya keteteran. John yang semasa SMA menjadi ketua OSIS, tak lulus sekolah. Ayahnya marah. Ia sendiri geram. Ia merasa tidak bodoh, hanya, ia memang malas belajar. Ia bilang pada ayahnya ingin pindah sekolah yang jauh. Sejauh-jauhnya.

‘Pokoknya aku harus meninggalkan Jawa. Kalau perlu ke Papua. Aku nggak mau ketemu kawan-kawanku. Aku benci dengan Jawa!’

Ayahnya, saat itu bertugas sebagai hakim di Kalimantan Utara, menitipkan John pada kerabatnya di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Mereka adalah pasangan dokter yang sangat disiplin. Tentu saja, dititip di sana agar John bisa belajar dengan benar. Tahun berikutnya, John lulus. Ia pun memilih kembali ke Yogya.

John diteirma masuk Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada pada 1986. Di tempat ini, kembali ia bersua dengan kawan SMAnya, Adi dan Odon. Lalu mereka kembali bikin band. Kali ini diberi nama Yogya Band, disingkat menjadi Yo Ben. Mereka mulai sering pentas, dari acara dies natalis kampus hingga tujuhbelasan di kampung. John, dengan rambut gondrongnya, mencabik gitar sambil bernyanyi dengan suara melengking.

‘Alirannya heavy metal, Judas Priest!’ ceritanya sambil terbahak. Ia mengibaskan kepalanya, yang kali ini, tanpa rambut gondrong lagi.

***

DI FAKULTAS Filsafat UGM, John satu angkatan dengan Webby Warouw, Rudy Gunawan, Andi Munadjat, Untoro Hariadi, dan Sugeng Bahagijo. Dengan mereka John sehari-hari nongkrong.

‘Aku tiap hari mabok. Kalau mabok kan ngumpul semua, ya di kost, di kampus. Dari ngumpul-ngumpul, kita juga diskusi. Kami bicara Soeharto. Bahannya dari koran-koran dan buku. Sampai kemudian, kita kompor-komporin untuk bikin aksi. Kita kumpulkan berapa orang. Dulu kami kan preman.’

Fakultas Filsafat yang biasanya damai, sontak riuh dengan puluhan mahasiswa yang menggelar aksi menentang Porkas, sejenis lotere nasional pada saat itu. Porkas, berasal dari kata forecast yang berarti tebakan atau ramalan, adalah sarana mengumpulkan dana untuk olahraga. Beredar sejak awal 1986, saat itu Porkas menyedot dana masyarakat hingga puluhan miliar.

Aksi kecil itu lantas menarik perhatian. Mahasiswa dari berbagai fakultas dan kampus mulai muncul, kontak-kontak politik pun mulai dibangun. Aksi itu juga meletupkan pemikiran baru, tentang pentingnya membangun kekuatan untuk menggerakkan kepedulian mahasiswa. Mereka perlu memperluas jaringan, melampaui tembok-tembok pembatas Fakultas Filsafat. Majalah mahasiswa, senat, dan lembaga-lembaga internal kampus, sebagai alat yang membantu perluasan jaringan, harus diperkuat.

Tahun 1989, lahir Keluarga Mahasiswa UGM (KM-UGM) yang menjadi simpul pengorganisiran di berbagai kampus. John terpilih sebagai ketua. Rupanya ada bakat lain dari John selain bernyanyi, yakni kemampuan membangun organisasi. Ia piawai melobi dan menyakinkan banyak kalangan.

Di lapangan, ia menjadi garda depan dan kerap memimpin aksi. Salah satu paling berkesan baginya adalah aksi Kusumanegaran Berdarah, saat ia menyaksikan hidung Web patah dipopor senapan. Oktober 1989, puluhan mahasiswa yang melakukan aksi Sumpah Pemuda dihadang tentara di jalan Kusumanegaran. Mereka bertahan, sambil duduk di aspal dan bergandengan tangan. Tentara menyerbu dengan beringas. Puluhan tertangkap dan diangkut ke kantor Kodim. Ada belasan luka-luka, tiga di antaranya yang paling parah digotong ke rumah sakit. Salah satunya adalah Web.

John murka. Ia cemas dengan kondisi kawannya, tapi konyolnya, ia tak berani menengok.

‘Aku takut rumah sakit. Aku takut darah. Jadi aku tak berani lama-lama lihat Web diperban hidungnya!’

Selang berapa hari kemudian, mereka kembali ke DPRD Yogya, dengan membawa massa yang lebih besar. Dalam aksi ini, John bertindak sebagai koordinator lapangan (korlap).

Tahun 1989, kasus Kedungombo, yang awalnya gigih disuarakan oleh Romo Mangunwijaya, mencuat. Pada 1985 pemerintah dengan utang dari Bank Dunia, berencana membangun waduk di Jawa Tengah sebagai pembangkit tenaga listrik. Waduk ini menenggelamkan tak kurang dari 37 desa di 3 kabupaten: Sragen, Boyolali, Grobogan. Ribuan keluarga dipaksa pindah dari lokasi dengan ganti rugi tidak memadai. Saat itu, pemerintah menyatakan ganti rugi sebesar Rp 3.000 per meter, sementara yang sampai ke tangan warga hanya Rp 250 per meter. Rakyat yang menolak terus dihajar dan diintimidasi.

Kasus inipun menjadi ramai, secara nasional maupun internasional. Gambar-gambar dan berita warga yang bertahan di rumah-rumah yang seputarnya sudah tergenang air waduk, muncul di Koran-koran. Para mahasiswa turun gelanggang, termasuk dari KM UGM, yang dipimpin oleh John.

Kasus Kedungombo itu kemudian menjadi momentum konsolidasi gerakan mahasiswa di berbagai kampus dan kota, yang bersatu dalam KSKPKO (Komite Solidaritas untuk Korban Pembangunan Kedung Ombo). Di Yogyakarta, mereka membangun FKMY, yang berkongres pertama pada 1991, dan memilih Brotoseno dari ISI sebagai ketua dan John Tobing wakilnya.

Solidaritas untuk kasus Kedungombo meledak di berbagai kota. Soeharto murka dan menuding bahwa mahasiswa yang membela rakyat Kedungombo sebagai komunis dan antek-antek PKI. Kasus-kasus tanah serupa kemudian juga pecah di berbagai daerah, seperti Jenggawah, Cimacan, dan Blangguan. Situasi penindasan yang semakin brutal justru melahirkan aksi perlawanan yang meningkat tajam.

Tetapi membangun gerakan perlawanan tak segampang membangun organisasi hobi. Usai kongres pertama, FKMY berkeping jadi dua: SMY (Solidaritas Mahasiswa Yogyakarta) dan DMPY (Dewan Mahasiswa dan Pemuda Yogyakarta). SMY, dengan Andi Munadjat sebagai konsolidator kota-kota di seluruh Jawa, kemudian bertransformasi menjadi SMID dan PRD. Sementara DMPY kemudian menjadi Rode, karena kebetulan bermarkas di Gang Rode.

Kedungombo juga yang berhasil membuat kebiasaan mabok John sirna seketika. Suatu hari, seorang kawan yang baru pulang dari Kedungombo, bilang di rapat: ‘Coy, rupanya rakyat itu tak suka pemabok!’ Sejak itu, John, seketika berhenti mabok. Sampai sekarang.

‘Itulah ideologi. Kan demi rakyat. Aku ini pejuang rakyat. Ngapain aku minum-minum kalau rakyat tak suka?!’ ujar John. Web juga berhenti.

‘Merokok?’

‘Ya masih tiap hari..’ ujar sambil John tertawa. Kini, John sudah tak merokok lagi. Terlebih setelah dihajar serangan stroke dua kali

Masa-masa bergolak ini juga membuat John mulai menulis beberapa lagu perjuangan. Lagu-lagunya kemudian banyak yang berbentuk balada, yang melodius dengan bait-bait liris. Untuk itu ia punya alasan: ‚Karena rasa sedih. Rasa gundah kenapa masalah terjadi begitu rupa dan kita tak bisa berbuat apa-apa…. ‘

Ia juga tak tahu mengapa kini orang menjulukinya sebagai pencipta Darah Juang. ‘Aku ini ya aktivis, pejuang. Kalian-kalian saja yang kemudian kasih aku label pencipta lagu Darah Juang.’

***

John_allchild
John menyanyikan Darah Juang bersama generasi mendatang

Indonesia negeri dengan limpahan kekayaan dan tanah subur luar biasa. ‘Tanam kayu jadi tanaman,’ ujar grup musik Koesplus. Tetapi, kenapa banyak rakyatnya menderita? Kenyataan itu mengusik pikiran John. Ketika mendatangi pelosok desa, ia jumpai degup kemelaratan di depan matanya. Ia bertemu petani di Cilacap, yang daerahnya terhampar luas hutan karet dan ia hanya jadi buruh perkebunan yang dibayar murah. Ia bertemu petani Blangguan, yang ladang jagung penghidupannya direbut tentara untuk tempat latihan. Ia menyaksikan anak-anak berbaju dekil dan ingusan, menggembala kambing sambil menatap nanar teman sebayanya berangkat sekolah.

Lama sekali John merenungkan itu. Hatinya terus dihajar gelisah. Sebuah siang, di teras sekretariat KM UGM di Pelem Kecut, Gejayan, John menggenjreng gitarnya. Rumah itu memiliki dua kamar, sebuah ruang tamu dan dapur. Sehari-hari ditinggali oleh John, Dadang Juliantara dan Satya Widodo.

Serangkaian melodi jadi, tapi John merasa tak cukup piawai bikin lirik yang menggigit. Saat itu ada Dadang, mahasiswa MIPA UGM 1984, yang dikenal kerap menulis bagus. John memintanya untuk membuatkan lirik yang mampu menerjemahkan gelisahnya. Tak lama, lirik pun jadi. John berkali-kali menyanyikannya. Banyak kawan yang terkesima. Beberapa memberikan komentar dan masukan, termasuk Budiman Sudjatmiko, saat itu kuliah di FE UGM 1989.

‘Budiman bilang kalau liriknya kebanyakan kata Tuhan. Jadi bait lirik terakhir itu, kata-kata bunda relakan darah juang kami, dari usulan Budiman,’ terang John. Lalu ada Satya Widodo menambah. Satya dan Ngarto Februana, tahun 1990, pernah bikin geger UGM dengan aksi mogok makan menolak berdirinya SMPT (Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi).

Menjelang Kongres FKMY, lagu ini mereka nyanyikan bersama-sama. Bertambah lagi yang urun rembuk, termasuk Raharja Waluyajati dan Rudy Gunawan. Judulnya pun hasil usulan bersama-sama, mulai Hymne FKMY dan Hymne Darah Juang. Pada Kongres itu, pertama kalinya lagu ini dinyanyikan secara resmi dan massal.

Bertahun-tahun kemudian, lagu itu abadi dan melegenda dengan judul Darah Juang. Seiring meluasnya aksi-aksi perlawanan terhadap kediktatoran Orde Baru, Darah Juang semakin berkibar. Aksi-aksi tidak sah tanpa Darah Juang, Sumpah Mahasiwa, serta puisi Wiji Thukul Bunga dan Tembok, Peringatan dan Sajak Suara.

Rudy Gunawan, kawan seangkatan John di Filsafat UGM bilang, Darah Juang adalah himne terbaik. ‘Lagu itu sangat menginspirasi dan mampu menumbuhkan nyali dalam darah. Dan John Tobing adalah satu-satunya pencipta lagu hymne perjuangan di antara ratusan pencipta lagu dalam industri musik Indonesia.’

Di situs youtube, tak kurang dari 50 video lagu Darah Juang yang diunggah. Ada beberapa grup musik merekamnya secara independen, di antaranya: Teknoshit,  Marjinal, Lontar dan Innerbeauty. Ada banyak versi, mulai akustik, pop, blues rock hingga seriosa.

Apakah Darah Juang masih menggetarkan? Nuraini, alumnus Filsafat UGM, mengangguk tegas. ‘Darah Juang itu perekat. Ini merekatkan dari zaman ke zaman.’

Nuraini, kini staf ahli di DPR RI, masih ingat ketika Ospek Fakultas Filsafat tahun 1991, selain dilatih aksi, mereka mereka juga diajari menyanyi lagu Darah Juang. Hingga beberapa tahun kemudian tradisi itu masih melekat, mengajari mahasiswa baru dengan latihan aksi, lalu menyanyi Darah Juang sambil mengangkat tangan kiri.

Nur berkisah, dahulu Darah Juang dan beberapa lagu penyemangat lainnya, dinyanyikan secara resmi sebelum rapat-rapat atau kursus politik, untuk membangun semangat juang.  ‘Lagu-lagu John itu hidup di lapangan. Ketika dipentaskan di tempat indoor, ada yang hilang. Suasana melawannya hilang. Lagu itu hidup jika banyak orang yang punya amarah yang sama.’ tuturnya.

‘Jujur, gua seperti tak rela lagu itu dinyanyikan di kafe-kafe. Daya magisnya tak keluar. Tapi setidaknya, bisa menjadi lagu alternatif buat kaum borjuis ya.’

John sepakat bahwa musik harus ada aksi yang menyertai. ‘Musik tak bisa jalan tanpa massa.’ ujarnya.

***

JALAN John berkelok. 1994, ia meninggalkan gerakan dan kawan-kawannya. ‘Berkelahi terus aku, bosen!’ ungkapnya sambil tertawa. Saat itu, SMY sudah bertransisi menjadi SSDI (Student’s Solidarity for Democracy in Indonesia) dan mempersiapkan organisasi payung bernama PRD (Persatuan Rakyat Demokratik). John sudah tak terlibat. Ia beralasan akan fokus menyelesaikan skripsinya yang terbengkelai. Alhasil, setelah 9 tahun kuliah, 1995 ia diwisuda sebagai sarjana filsafat.

John pulang ke rumah keluarganya di Pekanbaru dan merintis karir di majalah Parhorasan Nusantara. Tak lama, koran itu gulung tikar. John putar haluan bekerja di perusahaan kontraktor milik keluarganya, di Tanjung Enim, Sumatra Selatan. Sehari-hari ia berpenampilan rapi dan perlente. Tak ada lagi rambut gondrong, jins dekil, sendal jepit dan pekik lantang di ujung megaphone.

‘Saya menjauhkan diri dari gerakan, tapi saya terus mengikuti gerakan. Saya ada dalam gerakan!’ ungkap John. Itu terbukti pada 1996. Dari layar televisi ia menyaksikan peristiwa 27 Juli 1996, penyerbuan ke kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Peristiwa itu berujung pada tudingan bahwa PRD, yang lima hari sebelumnya mendeklarasikan diri sebagai partai politik, adalah komunis dan menjadi biang kerusuhan. Di televisi dan koran, John menyaksikan kawan-kawan dekatnya, Budiman, Petrus, dkk ditangkap dan lainnya menjadi buron. John lantas mengontak Rudy Gunawan, kawan lamanya. Di ujung telepon, suara Rudy menyalak-nyalak.

‘Kowe ning endi? Kamu tahu nggak teman-teman sudah mau mati. Rene cepet!’

Rudy yang saat itu bekerja di majalah Jakarta Jakarta, ikut membantu evakuasi anggota PRD yang notabene kawan-kawannya ketika kuliah. Dalam situasi gawat itu, John datang ke Jakarta, kembali berkoordinasi dengan kawan-kawan. Ia mendapat tugas membantu prioritas darurat, yakni melakukan penyelamatan terhadap anggota.

John ingat, ia mengatur tempat evakuasi untuk Bimo Petrus dan Herman Hendrawan, yang belum lama datang dari Surabaya. Keduanya, kemudian menjadi korban penculikan aktivis 1998, dan tak jelas keberadaannya hingga kini.

Asep Salmin, saat itu sebagai organiser buruh di Jakarta, masih terbayang bagaimana mencekamnya situasi pasca 27 Juli 1996. Seluruh sekretariat PRD di berbagai kota diobrak-abrik dan semua anggotanya diburu. Ia bertugas menata kembali jalur koordinasi yang kacau-balau, termasuk menyisir semua kader hingga ke kampus-kampus.

‘John dapat tugas mencarikan tempat-tempat yang aman untuk tempat tinggal kawan-kawan. Aku, Herny dan beberapa orang dapat tempat di Kalijodo, uang sewanya 30 ribu per bulan. Kamar sempit, dari papan, atapnya seng. Ditempati berlima. Cari di situ karena murah, dan nggak mungkin dicurigai. Siapa coba yang menyangka kita sembunyi di sana?’ ujar Asep tergelak.

Hampir sebulan mereka menginap di sana. Siang hari keluar untuk rapat dan malamnya kembali ke peraduan beratap seng yang siang malam panasnya bulan kepalang. Kalijodo, saat itu merupakan kawasan lokalisasi di Jakarta Pusat. Disitulah John mencarikan tempat yang paling aman bagi kawan-kawannya.

‘Itu kontrakan paling berkesan. Kalau siang kita keluar jalan, malamnya pulang, kita bersihkan. Kita tata serapi-rapinya, lalu tidur sambil berucap, inilah home sweet home kita, coy. Nah, idenya John itu!’ kata Asep sambil tertawa.

***

MENGGILAI musik sejak kanak-kanak, pernah bercita-cita menjadi musisi profesional, harapan John kandas di tengah jalan. Pada 1993 – 1995, John pernah menjajakan lagunya ke hampir seluruh produser di Jakarta, tapi gagal. Ada beberapa pihak tertarik, salah satunya HP Record, tapi juga tak berlanjut. HP Record saat itu merupakan salah satu label cukup terkenal untuk jenis musik pop dan rock. Ia juga sempat dihubungkan oleh salah satu kawannya dengan Pay, saat itu masih bergabung di Slank. Pay tertarik dengan materi lagu-lagu John, tapi pertemuan itu pun tak berlanjut.

John kadung putus asa. Sejak 1997, ia sama sekali tak pernah bikin lagu lagi. ‘Ya merasa mubazir aja. Tidak ada produser yang mau pakai. Juga tidak ada kawan yang serius minta dibuatkan lagu.’

Tak lama berselang, ia menikah. Pernikahan ini pun disebut John sebagai peristiwa yang unik. Lulus kuliah, usia kepala tiga dan sudah bekerja, keluarganya mulai mendesaknya untuk menikah. Sementara John tak pernah punya pacar.

‘Aku bilang, ya sudah, aku mau disuruh menikah, tapi cariin juga calon istrinya!’

Bapaknya mengangguk setuju. Dona, seorang perempuan berparas manis dikenalkan padanya. Tak lebih dari 3 bulan kemudian, pesta pernikahan pun digelar. Dona sama sekali tak tahu latar belakang John yang aktivis. John juga tak pernah cerita. Setelah itu, haluan hidupnya adalah bekerja dan mengurus keluarga. Tiga anaknya lahir: Catherin Tana Tania, Sandio Mathias Pawitra dan Gopas Kibar Syang Proudly. Setiap anaknya lahir, John membuatkan lagu. Istrinya, masih tak tahu bahwa di masa lalu, dari tangan John, lahir ratusan lagu yang menggema di berbagai kota.

‘Istriku baru tahu semua lagu-laguku, termasuk Darah Juang, ya waktu proses rekaman itu. Dia terharu, “Pak aku sudah siapkan makanan di rumah. Kita makan-makan,”’ kata John menirukan perkataan istrinya saat itu.

Awal 2000, John mulai terjun ke dunia politik. Ia pernah menjadi Wakil Ketua DPD PDI Perjuangan Propinsi Riau. Tahun 2009, ia menjadi calon anggota legislatif untuk DPR RI. Kecapekan mempersiapkan kampanye, John dihajar stroke. Berbulan-bulan ia tak bisa bicara. Jari-jarinya kaku untuk memetik gitar. Ia juga gagal lolos ke Senayan.

Tahun 2010, John memutuskan memboyong keluarganya ke Yogyakarta, dengan harapan penghidupannya lebih baik. Ternyata, pekerjaan sulit didapat. Untuk meneruskan bermusik, sepertinya pintu telah rapat terkunci. Selain, ia harus memulihkan kesehatannya pasca stroke.

Beberapa kawan lamanya membantu membuatkan warung, selain mengusahakan proyek rekaman lagu-lagunya. Tapi periuk nasi keluarganya tak juga membaik. Di Yogya, bersama istri, John berjualan kolak durian di depan rumahnya di daerah Kalasan, Sleman. Sesekali ia masih tampil menyanyi. Agustus 2009, dalam acara Ziarah Gerakan Mahasiswa di Goethe Haus, sebuah acara mengenang wafatnya Andi Munadjat, kawan seangkatannya dalam membangun gerakan di Yogya, untuk pertama kali ia menyanyi di tempat besar. Saat itu, ia belum lama sembuh dari stroke.

John tak sudi menyerah. Ia masih menyimpan harap, suatu saat lagu-lagunya dihargai orang, dan bisa menopang ekonomi keluarganya. Rudy bilang bahwa John Tobing memang lahir untuk bernyanyi. Meski puluhan tahun ia meninggalkannya untuk terjun mengorganisir rakyat, akhirnya kini ia kembali pada ‘kodrat’nya.

‘Kadang kita tak percaya dan menolak ‘kodrat’ tapi sebenarnya ‘kodrat’ sendiri tak pernah meninggalkan kita, meski kita terus mencoba pergi darinya. Saatmu kini, Jon!’ tutur Rudy dalam akun twitternya.

Wilson, Daan, Icha adalah orang-orang yang turut menghamparkan karpet baginya, untuk kembali pada ‘kodrat’ itu.

***

BERKAUS merah bergambar raut John Tobing, Wilson selaku pimpinan produksi memberi sedikit pengantar tentang proses pembuatan album John Tobing. Bahwa acara ini didedikasikan untuk John, yang berjasa besar mendokumentasikan perjuangan dalam lagu-lagunya, sementara ekonomi keluarganya sedang terkapar.

‘Album ini, konser ini untuk John. Dengan cara inilah John kita kenang!’ kata Wilson.

Akhir November 2012, John menelepon Icha, nama panggilan Lisa Febriyanti, novelis, mantan anggota PRD Surabaya. Sejak setahun lalu Icha tinggal di Yogyakarta.

‘Aku mau minta tolong untuk Daan menjualkan laguku di pasar musik nasional,’ kata John. Syekh Daan Gautama, suami Icha, adalah seorang pekerja musik yang sekarang menjadi pegiat dan mengembangkan musik indie.

Daan dan Icha sempat terpekur lama. Lagu-lagu John adalah lagu perlawanan, bagaimana bisa menembus belantara pasar musik nasional yang dipadati lagu-lagu pop? Toh akhirnya, mereka berdua menemu kata sepakat: ‘Apapun yang John mau, kita bantu. Kita harus berterimakasih pada Darah Juang. Pada John!’ kata Icha.

Ia lalu mengkontak Wilson, yang kebetulan hendak pergi ke Yogya. Wilson sepakat bertemu untuk merembugnya secara serius. 1 Desember 2012, di RM Hayamwuruk, Daan, Icha dan Wilson bertemu John bersama Dona isterinya. Tanggal itu adalah ulang tahun John ke 47. Sebagai surprise, mereka bawakan kue tart lengkap dengan sebatang lilin di atasnya. John terharu. Ia kembali ungkapkan permintaan agar Daan membantu menjualkan lagu-lagunya. Tapi Wilson punya ide lebih maju.

Udah, kita bikinin album aja untuk John Tobing!’

John terperangah. Ia masih ragu-ragu. Ide pembuatan album sudah beberapa kali digagas, namun berkali pula proyek itu gagal.

‘Apa lagu-lagu saya bisa terjual? Siapa saya? Yang terkenal kan Darah Juang? Bukan John Tobingnya?’

‘Justru itu, ketika lagunya sudah kemana-mana, ini momentum!’

‘Apa tidak terlambat?’

‘Tidak ada kata terlambat!’ ketiga sahabat ini berusaha meyakinkan John.

Butuh berkali-kali pertemuan untuk meyakinkan John bahwa rekaman album sangat mungkin dilakukan. Secara teknis rekaman, Daan cukup menguasai. Ia telah beberapa kali menjadi produser musik-musik indie. John akhirnya setuju. Daan bersedia mengerjakan album ini sebaik-baiknya, dengan dana swadaya. Demi John.

‘Di jagad musik, lagu Darah Juang sudah dinyanyikan banyak kelompok musik, tetapi John Tobing sendiri banyak yang tidak kenal. Darah Juang? Tahuuu! John Tobing? Siapa itu?’ kata Daan. Keprihatinan itulah yang kian menebalkan tekadnya untuk membantu mewujudkan mimpi John.

Daan bermain musik sejak belia. Pernah terlibat di berbagai konser seperti KD, Gigi, Klakustik dan Dewa, juga menjadi additional player di beberapa band untuk recording maupun live. Ia juga ikut membentuk Sa’Unine String Quartet (Biola Alto) pada 1997, Puppet bandTeknoshit dan Funky Kopral di tahun 1990-an. Mulai 2005, Daan kembali ke Teknoshit, yang ramuan musik-musik digital serta dan liriknya kental dengan pesan perlawanan. Setahun lalu, ia juga bikin Accoustic Liar.

Tahun 2010, di sebuah acara di Puncak, pertama kali ia bertemu John. Daan girang bukan kepalang. Beberapa tahun sebelumnya ia merenovasi lagu Darah Juang dan memasukkan dalam album Teknoshit. Tapi baru kali itu ia benar-benar bertemu John, pencipta Darah Juang.

Di pinggir kolam renang, mereka berdua lantas asyik mendiskusikan musik. Daan memperdengarkan Darah Juang versi Teknoshit ke John. ‘John kaget, kok bisa lagunya diaransemen jadi begitu?’

Januari 2013, proses rekaman dimulai. Rekaman awal sebagai panduan dilakukan di ruang tamu rumah John. Sepanjang proses, Icha menyaksikan John masih dibalut ragu, apa proyek ini benar-benar akan jadi?

‘Dan hal itu justru membuat tantangan bagi tim produksi untuk harus menjadikan ini!’ tegas Icha. Dari Yogya, ia mengomunikasikan setiap perkembangan produksi kepada Wilson.

Setelah rekaman pertama sebagai panduan selesai, kemudian Daan mengajak Thole untuk mengisi gitar dan bass di album. Setelah selesai, tiga hari kemudian, barulah John dipanggil kembali.

‘Kita sudah siap untuk rekaman sesungguhnya!’

John mengangguk.

Daan kemudian memperkaya aransemen dan melakukan proses editing. Semua rampung dalam sebulan.

‘Musik John adalah musik jalanan, yang lahir dan besar di jalan. Diciptakan dari kondisi riil pada saat itu, bukan dari ruang-ruang studio studio ber-AC.’ Kata Daan. Agar tak kehilangan spirit itu, ia kemudian menggandeng Thole, pekerja musik dan pengamen jalanan untuk terlibat.

‘Sedikit orang yang bekerja karena nggak punya dana buat bayar orang dan agar cepat rampung. Nggak ribet…’ tambah Icha. Baru pada saat konser, Daan mengajak pemusik yang lain. Abdi, seorang pemusik jalanan mengisi perkusi serta Wisnu, seorang profesional gitaris dan pengajar gitar klasik. Mereka tergabung dalam Liar Accoustic.

Ia sengaja membuat konsep album ini seorisinil mungkin. Menurutnya otentitasnya itulah yang justru menjadi daya tarik.

‘Aku kaget pertama dengar Darah Juang yang dinyanyikan John, sebuah lagu himne yang begitu syahdu. Sangat berbeda dengan yang sering didengar selama ini. Yang penuh gelora.’ kata Daan.

Kadung terbiasa mengikuti versi yang sudah umum, dalam latihan kadang mereka menemui kesulitan. Melod’ yang dibuat John, kebanyakan di luar pakem.

‘Ritmenya kita nggak dapat. John nggak ngikutin pakem. Ketika kita mainkan dengan ritme, itu yang dia nggak dapat. John Tobing ngikutin kata hatinya. John dapat rasanya, tapi kita nggak!’ Thole tergelak.
Sambil tertawa, Icha menambahkan, ‘Ketika latihan, John sering bilang, bukan segitu, kurang lambat. Saking sulit, akhirnya sudahlah, kamu pegang gitar sendiri!’

Akhirnya, ketika tampil live, John tampil sendiri dengan gitarnya. Menurut Daan, justru disitulah karakter Darah Juang tampak lebih mencorong.

CD dicetak 1000 keping. Wilson yang bertugas mencarikan dana untuk penggandaan sekaligus menyiapkan launching album di Jakarta. Bagi Icha, proses pengerjaan album ini merupakan pengalaman luar biasa.

‘Bekerja di bawah satu spirit. Kolektif kerja kami dari latar belakang berbeda, Wilson masih di pergerakan dan buku, aku di sastra, Daan, Thole di musik. John yang berkutat dengan kepentingan ekonomi dengan berjualan. Ketika bekerja, kami bicara dengan bahasa yang sama: Romantika Revolusi John Tobing!’

***

LAGU Fajar Merah Esok Milikmu usai mengalun. John memanggil Zeth Kobar Aretar Warouw dan Fajar Merah ke atas panggung, untuk memberikan CD lagunya.

‘Saya cinta kalian…..’ Ucapnya dengan bibir bergetar. Sepanjang bernyanyi, matanya tampak berkaca-kaca. Lagu ini amat mengaduk kalbu. Melodinya membius. Liriknya kuat. Menurut Daan, lagu ini yang paling bikin dia terpesona. Ia melihat kejeniusan John di dalamnya.

‘Dia bikin komposisi yang lagu sedih, yang mayoritas nada-nadanya kunci minor, dan dia bisa bikin lagu minor itu sebagai lagu yang bergairah. Ini lagu sedih, tapi punya power.  Punya semangat!’ kata Daan. Menurutnya, biasanya lagu-lagu umum hanya memakai nada mayor. Tapi di lagu Fajar Merah Esok Milikmu semua disiplin nada masuk di lagu.

Fajar Merah Esok Milikmu lahir dari kehidupan riil aktivis yang telah menikah. Suaminya harus meninggalkan istri dan anaknya untuk bekerja mendampingi rakyat. Shanty Parhusip, benar-benar merasai itu. Shanty dulu kuliah Universitas Pancasila, Jakarta. Ia terlibat di banyak aksi dan pengorganisiran rakyat sejak akhir 1980-an. Setelah menikah dengan Web Warouw, mereka tinggal di Yogya.

29 September 1992, Zeth alias Obang lahir. Shanty yang baru melahirkan, sering merasa kelelahan, sementara saat itu Web lebih sering berkeliling ke berbagai daerah. Mereka jadi bertengkar. Suatu sore di rumah kontrakannya, ia mendengar Web sedang membujuk John untuk membuatkan lagu tentang Obang, anaknya.

Web lalu menulis syairnya. Shanty ingat, bolak-balik Web mengganti liriknya, di atas kertas putih, dengan guratan gambar petani di sampingnya. Setiap kali John datang ke kontrakan mereka, Web minta agar lirik yang baru direvisinya dimainkan dan dinyanyikan oleh John. Bagi Web, pembuatan lagu itu adalah sebuah proyek besar.

Berhari-hari bongkar pasang lirik dan nada, akhirnya lagu kolaborasi Web dan John pun jadi. Diberi judul Fajar Merah Esok Milikmu. Sore sepulang kantor, Shanty menyaksikan Web, dengan kaus putih bertulis Filsafat UGM, menyenandungkan lagu itu sambil memetik gitar di kamar. Pertama kali kupingnya mendengar Fajar Merah Esok Milikmu yang telah final.

1994, mereka pindah ke Jakarta. Suatu hari John menyambangi rumahnya. Saat itu hujan turun perlahan, mereka bertiga minum teh di beranda. John kemudian mulai memetik gitar dan menyanyikan bait-bait  Fajar Merah Esok Milikmu. Shanty ingat tubuhnya menggigil mendengar John bernyanyi saat itu.

Anakku sayang dengar lagu ayahmu ini
Berhentilah engkau menangis
Fajar merah esok milikmu
Dekaplah dada ibumu yang selalu menyayangmu
Tidurlah dalam pelukannya karena malam telah tiba
Berjuta rintangan jangan ganggu mimpimu
Biar jiwaku menjagamu
Kami berjalan, kami bergerak, siapkan barisan rakyat
Di bawah teriknya matahari
Di tengah dinginnya malam
Kami kan tetap terus berjuang
Demi esok yang adil

Jalinan perkawanan John, Web dan Shanty lekat hingga ke tulang sungsum. Web kawan karib John sejak awal kuliah. Kawan berjuang membangun Yogya. Amarahnya terbakar saat menyaksikan hidung Web remuk dihajar tentara di aksi Mangkunegaran. Bagi Shanty, John kawan yang sangat baik, sabar dan lembut hati. John menemaninya membelikan popok di Mirota. John, beserta kawan-kawan lain, beramai-ramai menggelesor di selasar Rumah Sakit ketika ia hendak melahirkan dan bayinya sulit keluar. John pula yang membantu memperjuangkan perkawinan Shanty dengan Web.

‘Bapak dan abang-abangku mati-matian menentang perkawinanku. Ibuku bermarga Tobing. Di Batak, laki-laki yang mempersunting perempuan bermarga Tobing itu harus menyembah atau hormat ke marga Tobing. John kemudian mengerahkan keluarganya. Semua keluarga bermarga Tobing dibawa menghadap Bapakku. Meminta agar Bapakku merestui aku dan Web. Sampai akhirnya Bapakku takluk!’

John Tobing, juga menjadi bapak baptis Obang.

Komunikasi mereka tak putus kendati kemudian John pindah ke Pekanbaru. Mereka kerap berkabar. Hingga suatu hari, John bak tersambar petir ketika sedang menelepon Shanty, dan minta disambungkan bicara dengan Web. Lalu Shanty bilang, kalau Web sudah tidak lagi bersamanya.

‘Pertama kali dalam hidup, aku dengar John berteriak-teriak dan menangis. Menangis di ujung telepon!’ kata Shanty.

Mata John selalu memerah setiap kali didaulat menyanyikan lagu Fajar Merah Esok Milikmu. ‘Obang itu anakku. Web dan Shanty kawan baikku. Terus aku nyanyi lagu itu, aku lihat Obang sekarang. Aku pasti sedih.’

Shanty paham sekali remuk hati kawannya. Ia sendiri, kendati telah mendengar ratusan kali, dadanya tetap bergetar kencang acap kali John menyanyikannya.

‘Dan sungguh, lagu itu selalu membuatku memaafkan keterbatasan Web berada di tengah-tengah kesulitanku saat itu. Memaafkan dia yang berulangkali tak hadir saat aku berjuang mencari sekaleng susu buat Obang. Ketika aku dan Obang harus mengayuh sepeda berdua keliling berdagang di komplek-komplek perumahan orang kaya. Aku pernah diteriaki orang dengan kata ‘gembel’ hanya karena hendak meminjam uang untuk bawa Obang ke rumah sakit.’

Shanty terdiam, menarik nafas, lantas melanjutkan dengan suara bergetar. ‘Tapi lagu Fajar Merah menguatkan aku bahwa yang ia lakukan saat itu adalah sesuatu yang mulia. Sesuatu yang menjadi cita-citaku juga. Melihat rakyat terbebaskan. Karenanya kuterima semua penderitaan sebagai bagian dari konsekuensi pilihan hidup kami.’

Berkali-kali ia bilang, betapa berharga lagu itu baginya, ‘Fajar Merah sungguh sebuah api yang menyalakan kesadaran aku dan Web. Syair itu seperti jiwa kami saat itu.’

Di konser John di Pisa Kafe, Blok M pada 9 Juni 2013, Web duduk terpaku. Matanya tak lepas-lepas menatap John, yang sedang melantunkan bait-bait yang dianggitnya, Fajar Merah Esok Milikmu.

***

KONSER malam itu ditutup dengan lagu Darah Juang. Sekitar tiga menit layar di panggung menayangkan gambar John yang tengah berkisah tentang proses pembuatan lagu itu. Lalu wajahnya di balik layar menghilang. Cahaya lampu pun meredup. Muncul John sambil menenteng gitar, dan langsung memetiknya tanpa bicara. Tepuk tangan langsung bergemuruh tatkala Darah Juang mulai berkumandang.

Disini negeri kami
Tempat padi terhampar
Samudranya kaya raya
Tanah kami subur Tuhan

Diiringi petikan gitar akustik, sulit rasanya untuk mencegah agar emosi tidak meluap dan tubuh tidak menggigil. Keping-keping kenangan secepat kilat berlompatan. Roh Darah Juang, lagu wajib di jalan-jalan, mantra perekat segala zaman itu seperti melingkupi sekujur ruangan.

Pada bait kedua, seperti yang selalu terjadi, tanpa dikomando penonton pun serentak ikut bernyanyi. ‘Semua sudah pada hapal ya,’ ujar John. John terus memetik gitarnya. Sesekali matanya terpejam, sambil menyorongkan mikrofon ke arah penonton. Jadilah koor menggema tanpa dirigen.

‘Saya minta semua berdiri dan angkat tangan kiri,’ John berseru lantang. Ratusan orang di jajaran kursi di depan panggung, di balkon, serentak berdiri, mengangkat dan mengepalkan tangan kiri.

Mereka dirampas haknya
Tergusur dan lapar
Bunda relakan darah juang kami
‘Tuk membebaskan rakyat

Darah Juang menggaung semakin kencang. Hingga berjam-jam usai konser berakhir, ratusan kawan-kawan John masih memadati pelataran TIM. Peluk, cium, canda tawa pecah tiada henti.  ‘Darah Juang seperti membumikan ingatan kami!’ celetuk seorang kawan

‘Ini seperti reuni segala zaman!’ ujar yang lainnya.

John Tobing dan Darah Juang memang tali perekat zaman. ***

Lilik HS, Kontributor IndoPROGRESS

Seluruh panitia konser di TIM
John bersama seluruh panitia acara (foto: istimewa)

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.