Imperialisme dan Akumulasi Kapital

Print Friendly, PDF & Email

Judul buku: The Accumulation of Capital
Penulis: Rosa Luxemburg
Tahun terbit: 2003 (asli 1913)
Penerbit: Routledge, London dan New York
Tebal: xxvii+453

 

BUKU ini tergolong klasik dalam kepustakaan ekonomi Marxis. Die Akkumulation des Kapitals ditulis Rosa Luxemburg dengan agak tergesa-gesa pada akhir 1912 hingga awal 1913. Edisi terjemahan Inggrisnya baru muncul pada 1951 berkat kerja keras Agnes Schwarzschild. Edisi terbitan ulang tahun 2003 ini mengikuti edisi 1951. Selain masih tetap mencatumkan pengantar dari ekonom Inggris Joan Robinson yang ada di edisi 1951, edisi 2003 ini ditambah dengan kata pengantar dari ekonom Polandia Tadeusz Kowalik. 

Kritik Skema Reproduksi Marx

Di sepanjang Bab I bukunya, The Accumulation of Capital, Rosa Luxemburg memaparkan persoalan utama yang menjadi perhatiannya, yakni soal reproduksi. Pertama-tama, Luxemburg mengajukan batasan non-reflektif terhadap konsep reproduksi yang dipertentangkan dengan konsep repetisi atau pengulangan. Jelas di dalam konsep reproduksi terkandung juga pengertian repetisi, tetapi reproduksi bukan sekadar repetisi. Menurut Luxemburg, repetisi hanya mengulang-ulang kembali apa yang dilakukan sebelumnya, seperti halnya orang yang jalan di tempat. Reproduksi tidak demikian. Sulit dibayangkan apabila sepanjang sejarah peradaban yang terjadi hanya repetisi. Tentu tidak akan ada perkembangan atau kemajuan di dalam segala hal-ihwal. Menurutnya reproduksi harus mencakup pengulangan proses produksi dengan adanya tambahan volume di setiap perkembangan lanjutnya.

Di dalam bagian pertama The Accumulation of Capital, Luxemburg mengulas kembali teori reproduksi Marx dalam jilid kedua Das Kapital yang menggunakan model sistem kapitalisme tertutup. Secara umum, jilid kedua Das Kapital mengulas sirkuit perputaran kapital; operasi yang dengannya kapital mereproduksi dirinya sendiri, ketimbang paparan tentang hubungan antara kapital dan kerja atau penjelasan sebab-sebab krisis di dalam sistem. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa teori akumulasi kapitalnya Luxemburg berkutat pula dengan sirkuit yang melaluinya kapitalis menghasilkan komoditi-komoditi serta merealisasikan nilai komoditi tersebut dengan menjual mereka, dan kemudian menanamkan kembali labanya ke dalam operasi perputaran produksi berikutnya. Dia menempatkan realisasi nilai-lebih yang dihasilkan lewat penghisapan tenaga-kerja di jantung karyanya tentang akumulasi kapital.

Sebagai ekonomo yang terlatih secara akademik,  bagian awal The Accumulation of Capital berisi paparan dalam bentuk serangkaian rumus persamaan yang menerangkan bahwa pertumbuhan kapitalisme terhalangi secara serius dan bisa runtuh secara paripurna oleh kekurangan pasar penjualan komoditi yang dihasilkan. Sejalan dengan meluasnya sistem produksi kapitalis, semakin banyak komoditi yang akan dihasilkan. Secara sosiologis, sistem kapitalis harus mendorong semakin banyak orang untuk membeli sejumlah komoditi yang terus menumpuk dan siap dijual itu, meskipun permintaan meningkat saat produksi meningkat. Pertanyaannya, dari manakah peningkatan permintaan ini berasal? Inilah persoalan yang dirasakan Luxemburg tidak dijawab Marx secara tuntas.

Untuk mengetahui seberapa tidak tuntasnya Marx menjawab pertanyaan di atas, marilah kita tengok paparan Luxemburg tentang skema reproduksi Marx. Pertama-tama, Marx menyusun skema reproduksinya di dalam jilid kedua Das Kapital dengan mempersempit lingkup analisis untuk memusatkannya pada kapitalisme abstrak; kapitalisme dalam bentuk ‘yang murni’ saja. Marx menggambarkan sebuah model reproduksi sederhana yang di dalamnya semua nilai-lebih yang dihasilkan di dalam sistem habis dikonsumsi oleh para kapitalis. Di dalam sistem ini barang-barang akan diproduksi menurut kegunaan mereka bagi kapitalis. Karena keterbatasan lingkup analisisnya, model yang diajukan Marx ini tidak pernah ada secara aktual di dalam kenyataan kapitalisme yang selalu memekarkan proses produksinya. Pasalnya, di bawah keadaan reproduksi sederhana, tidak mungkin ada surplus yang tercipta untuk dipompakan kembali ke dalam sistem dalam rangka perluasannya. Di dalam skema reproduksi sederhana, tidak akan ada akumulasi kapital, sehingga tidak akan ada pertumbuhan. Luxemburg menjelaskan bahwa jika semua barang yang dihasilkan dihabiskan untuk konsumsi manusia, jelas tidak akan ada ruang longgar dalam total produk sosial untuk sarana produksi yang tidak bisa dikonsumsi seperti perkakas, permesinan, material baru dan bangunan. Tetapi, meski mengandung kekurangan yang cukup pokok, model reproduksi sederhana Marx menolong menjelaskan aspek-aspek kunci dari sistem kapitalis. Dalam praktiknya, di bawah kondisi reproduksi yang diperluas, bagian terbesar produksi sosial bisa dilihat sebagai reproduksi sederhana.

Setelah mengawalinya dengan model reproduksi sederhana, Luxemburg kemudian mengulas bahasan Marx tentang model reproduksi yang diperluas. Di dalam model ini, nilai-lebih yang dihasilkan tidak hanya dikonsumsi oleh kapitalis. Surplus dipilah antara yang diambil kapitalis untuk konsumsi mewah mereka, surplus yang diambil pekerja untuk konsumsinya dan dibayar dalam bentuk upah, serta surplus yang diambil untuk ditanamkan dalam proses produksi lebih lanjut, terutama dalam bentuk pengeluaran untuk material dan permesinan baru. Luxemburg menegaskan:

The essential difference between enlarged reproduction and simple reproduction consist in the fact that in the latter the capitalist class and its hangers-on consume the entire surplus value, whereas in the former a part of the surplus value is set aside from the personal consumption of its owners, not for the purpose of hoarding, but in order to increase the active capital, i.e. for capitalisation. To make this possible, the new additional capital must also find the material prerequisites for its activity forthcoming’ (h. 84).

Perbedaan mendasar antara reproduksi yang diperluas dan reproduksi sederhana terletak pada fakta bahwa di dalam yang terakhir, kelas kapitalis dan parasit-parasitnya mengkonsumsi seluruh nilai-lebih yang dihasilkan, sementara dalam reproduksi yang diperluas, sebagian nilai-lebih harus disisihkan dari konsumsi pribadi pemiliknya, tidak untuk tujuan disimpan, tetapi dalam rangka meningkatkan kapital aktif, yaitu untuk kapitalisasi atau dimasukkan kembali ke dalam sirkulasi kapital demi kegiatan produksi baru yang juga diperluas.

Kapitalis individual tidaklah peduli jika dia menghasilkan mesin-mesin yang digunakan dalam produksi berikutnya, atau barang-barang untuk dikonsumsi seperti mobil, celana dalam atau video. Semua kapitalis individual memusatkan perhatiannya kepada penemuan pasar untuk barang-barang mereka dan kesanggupan membeli sarana produksi serta tenaga kerja untuk menjalankan putaran produksi berikutnya. Tetapi bagi sistem sebagai keseluruhan, sungguh vital bahwa sarana, baik produksi dan konsumsi, diproduksi dalam jumlah memadai untuk memungkinkan sistem berlanjut. Marx menjelaskan semua alur ini dengan membuat sebuah pembagian teoritikal dalam perekonomian, yaitu antara dua departemen. Departemen I menghasilkan sarana produksi seperti mesin-mesin dan peralatan. Departemen II menghasilkan komoditi untuk konsumsi seperti makanan dan pakaian. Keseimbangan antara dua departemen harus dijaga di dalam setiap wilayah perekonomian agar reproduksi bisa berlangsung.

Sistem Marx tentang reproduksi yang diperluas bergantung kepada hubungan proporsionalitas antara Departemen I dan Departemen II. Supaya sistem berfungsi lancar, kuantitas sarana produksi yang dihasilkan di dalam Departemen I harus berkesesuaian dengan permintaan akan barang-barang yang dihasilkan di dalam Departemen II. Menurut Luxemburg, di sinilah kekurangan modelnya Marx tentang reproduksi yang diperluas. Di dalam alur logis sistem produksi kapitalis yang tujuan akhirnya ialah peroleh nilai-lebih yang terus-menerus meningkat, skema Marx kurang menjelaskan aspek terakhir reproduksi, yakni bagaimana mengubah komoditi menjadi uang-tunai, bukan sekadar timbunan nilai-lebih yang masih potensial. Untuk menciptakan nilai-lebih yang berguna dalam proses produksi berikutnya, nilai-lebih yang terkandung di dalam komoditi harus direalisasikan ke dalam bentuk nilai murni, yakni uang. Komoditi harus menemukan pasar dan terjual. Para kapitalis individual sendiri akan membeli sebagian barang untuk konsumsi; baik konsumsi-produktif berupa barang-barang kapital maupun konsumsi-konsumtif berupa barang atau jasa yang memelihara kehidupan sosial mereka sebagai sebuah kelas. Demikian juga para pekerja membeli barang lainnya untuk menghidupi diri dan keluarga agar bisa melanjutkan kehidupannya sebagai pekerja. Tetapi, menurut Luxemburg, supaya total kapital bertumbuh lebih besar daripada sebelumnya, beberapa nilai-lebih harus masuk ke dalam lingkup akumulasi, tidak hanya konsumsi. Luxemburg bertanya: di manakah permintaan lebih yang bisa merangsang penciptaan nilai-lebih yang lebih banyak untuk akumulasi itu berasal?

Menurut Luxemburg, kelas pekerja tidak bisa menyediakannya. Mereka dibayar dari kantong kapitalis sehingga uang yang mereka habiskan untuk membeli barang-barangnya kapitalis bisa dianggap sebagai bagian dari anggaran pengeluaran uangnya kapitalis. Kapitalis juga tidak bisa menjual barang-barang mereka ke sesama secara murni untuk konsumsi, karena hal itu akan kembali masuk ke dalam lingkaran reproduksi sederhana tanpa nilai-lebih yang diarahkan ke lingkup akumulasi. Permintaan lebih juga tidak mungkin datang dari ‘lapisan orang ketiga’ yang bukan kapitalis dan bukan pula pekerja. Golongan-golongan parasit seperti kaum pendeta, pegawai negeri, tentara, pemilik lahan, profesional, dan sebagainya selalu dibayar dari kantong kapitalis, atau lewat pajak, dari kantong pekerja.

Luxemburg berpendapat bahwa kapitalis tidak bisa membeli dari sesamanya tambahan sarana penciptaan kekayaan yang akan diarahkan kepada akumulasi, yaitu material dan permesinan, untuk menghasilkan surplus melampaui yang dibutuhkan untuk konsumsinya. Jika kapitalis membeli sarana produksi dari sesama dan produksi meningkat, tetap saja tidak ada yang membeli komoditi yang dihasilkan putaran berikutnya dengan jumlah lebih besar. Luxemburg menjawab persoalan ini dengan jelas dalam bukunya Anti-Kritik yang ditulis untuk mempertahankan teorinya dari kritik saat dia masih dipenjara pada tahun 1915. Dia menulis bahwa jika kapitalis mengkonsumsi satu-sama-lain maka akan tampak aliran sirkulasi kapital seperti berjalan di tempat. Itu sama sekali bukan akumulasi kapital. Tidak ada peningkatan kapital-uang yang menjadi awal dari setiap produksi, tetapi kebalikannya justru produksi hanya untuk produksi semata. Dari sudut pandang kapital, semua itu betul-betul tidak berguna.

Luxemburg menyimpulkan bahwa bagian nilai-lebih yang disisihkan untuk akumulasi hanya bisa direalisasikan jika ia dibawa ke luar sistem kapitalis; ke wilayah atau sektor non-kapitalis. Realisasi nilai-lebih untuk akumulasi ini tidak mungkin dilakukan dalam sebuah masyarakat yang di dalamnya hanya ada kapitalis dan pekerja. Artinya, perlulah kiranya menyingkirkan anggapan bahwa perluasan kapitalis bisa berjalan selamanya dan perluasan itu menciptakan lingkungan yang stabil bagi produksi kemakmuran dan kekayaan. Menurut Luxemburg, proses inilah yang membuat tidak mungkin tercapainya keseimbangan antara sektor-sektor yang berbeda dalam perekonomian. Dengan bertambahnya jumlah komoditi yang dihasilkan Departemen I, yang  artinya lebih banyak pabrik-pabrik, lebih banyak permesinan, ujung-ujungnya akan lebih banyak barang konsumsi yang dihasilkan. Tetapi peningkatan ini tidak akan pernah bisa sesuai dengan pertumbuhan di sisi permintaan untuk meningkatkan jumlah barang yang dihasilkan di Departemen II.

Dengan kata lain, sistem kapitalis terkunci di dalam kontradiksi yang tak-terhindarkan. Pertama-tama, ia bergantung kepada pasar-pasar non-kapitalis untuk merealisasikan nilai-lebih demi akumulasinya, sehingga pasar-pasar itu boleh dikatakan sebagai darah yang menghidupinya. Tetapi dalam upaya mendorong komoditi-komoditinya ke wilayah dan sektor–sektor non-kapitalis, kapitalisme harus pula merengkuh wilayah non-kapitalis tersebut ke dalam sistem kapitalis, dan ini berarti menghancurkannya sebagai tatanan ekonomi mandiri. Jadi, menurut Luxemburg:

Thus capital cannot accumulate without the aid of non-capitalist organisation, nor, on the other hand, can it tolerate their continued existence side by side with itself. Only continuous and progressive disintegration of non-capitalist organisation makes accumulation of capital possible’ (h. 397).

Kapital tidak mungkin bisa berakumulasi tanpa keberadaan organisasi non-kapitalis yang menjadi konsumen dari kelebihan nilai-lebih yang dihasilkan reproduksi yang diperluas. Tetapi pada sisi lain, kapitalisme tidak bisa membiarkan begitu saja keberadaan sektor atau wilayah non-kapitalis untuk terus-menerus hidup berdampingan dengannya. Kapitalisme harus terus-menerus dan secara progresif menghancurkan sektor atau wilayah dengan organisasi produksi non-kapitalis agar bisa mengakumulasi kapital.

Reproduksi Kapital dan Keberlangsungan Kapitalisme

Permasalahan yang dilihat Luxemburg dalam jilid kedua Das Kapital adalah persoalan kunci untuk semua pejuang sosialis, yaitu persoalan yang berkaitan dengan pertanyaan: dapatkah kapitalisme hidup selamanya? Seperti halnya Karl Marx dan kaum sosialis revolusioner saat itu, Luxemburg meyakini kapitalisme bukanlah akhir perkembangan kesejarahan manusia seperti yang jauh hari kemudian dinyatakan oleh Francis Fukuyama dalam bukunya The End of History. Menurut Luxemburg, kapitalisme adalah sebuah sistem historis yang muncul dari suatu babak sejarah tertentu dan akan membuka jalan untuk perubahan, cepat atau lambat, ke babak sejarah berikutnya. Di jantung keberadaannya, kapitalisme memanggul beban keruntuhannya sendiri. Pertanyaannya, bagaimana keruntuhan itu bisa terjadi dan di mana keruntuhan itu mengakar di dalam hakikat kapitalisme?

Seperti halnya Marx, di satu sisi Luxemburg mengakui bahwa kapitalisme adalah sistem yang sanggup menciptakan kekayaan dalam skala yang tidak terbayangkan sebelumnya dalam hal keluasan dan besarannya. Tentu saja jika dilihat dari kacamata Eropa yang menyaksikan bagaimana kemakmuran yang dihasilkan industrialisasi dan kolonialisme memungkinkan pembangunan perekonomian negeri-negeri Eropa, sehingga cukup menjamin kehidupan kelas pekerja menjadi lebih baik secara ekonomi. Potret kapitalisme di Eropa inilah yang dilihat oleh kaum revisionis sebagai pertanda keharusan memperbaharui ajaran Marx tentang kapitalisme dan revolusi. Menurut kaum revisionis, kapitalisme tidak membuat kehidupan kelas pekerja Eropa bertambah buruk, tetapi malah bertambah baik. Selain itu, menurut kaum revisionis, kapitalisme ternyata juga makin lama tidak semakin lemah sehingga bisa runtuh, tapi sebaliknya malah semakin kuat dan tampaknya akan hidup selamanya. Sebagai seorang sarjana ekonomi, Luxemburg juga melihat kecenderungan ini. Tetapi, selain sisi kesanggupan yang semakin meningkat dari kapitalisme untuk menghasilkan kemakmuran bagi semua kelas, setidaknya jika dilihat dari pertumbuhan ekonomi negara secara umum, di sisi lain, kapitalisme sesungguhnya adalah sistem perekonomian yang berdiri di atas kontradiksi-kontradiksi internal yang luar biasa besar, sehingga dibayang-bayangi kahancuran yang juga tidak bisa dibayangkan sebelumnya. Seperti ditulisnya dalam The Accumulation of Capital, salah satu kontradiksi itu:

Capitalist production is primarily production by innumerable private producers without any planned regulation. The only social link between these producers is the act of exchange. In taking account of social requirements reproduction has no clue to go on other than the experiences of the preceding labour period. These experiences, however, remain the private experiences of individual producers and are not integrated into a comprehensive and social form. Moreover, they do not always refer positively and directly to the needs of society’ (h. 6).

Sistem produksi kapitalis itu dicirikan, terutama dengan kegiatan produksi oleh produsen-produsen partikelir yang tak terhitung jumlahnya tanpa ada koordinasi ataupun pengaturan terencana tentang apa yang semestinya diproduksi. Di antara beribu produsen mandiri yang berjalan sendiri-sendiri mengejar laba itu, satu-satunya interaksi ialah pertukaran di pasar bebas. Keterangan tentang apa yang dibutuhkan oleh masyarakat sehingga layak diproduksi hanya datang dari rekaman atas transaksi pasar di pertukaran sebelumnya. Itupun lebih bersifat pribadi di antara para produsen partikelir yang tidak tersatukan ke dalam suatu pengalaman yang bersifat sosial.

Dengan kata lain, produksi dan reproduksi dalam kapitalisme bersifat anarkis. Di dalamnya hampir tidak mungkin bagi unsur-unsur yang berbeda untuk saling menyeimbangkan satu sama lain. Di dalam sistem produksi kapitalis, produksi bisa berayun dari titik keberlebihan di ujung yang satu ke tubir kehabisan di ujung yang lain. Ayunan-ayunan ini mengguncang-guncang perekonomian, karena proses produksi bisa tiba-tiba menghasilkan kelebihan atau simpanan keluaran yang jumlahnya melonjak di atas garis yang dibutuhkan dan akan menghantar penciptaan kelebihan dan simpanan keluaran baru di semua wilayah produksi, yang bisa mengguncang perekonomian lewat kekacauan harga dan krisis keberlebihan produksi (h. 7). Anarki produksi inilah yang menyebabkan krisis ekonomi selalu datang di sepanjang sejarah kapitalisme.

Namun, terlepas dari anarki produksi partikelirnya yang menyebabkan naik-turunnya siklus permintaan-pasokan dan mengakibatkan krisis kapitalisme yang berulang-ulang, anehnya perekonomian kapitalis tetap bisa memperluas diri dan tumbuh. Dari kenyataan inilah timbul pertanyaan tentang faktor yang mendorong atau setidaknya memungkinkan perkembangan masif sistem kapitalis di tengah-tengah anarki logika produksi dan reproduksinya. Dengan kata lain, faktor apakah yang menyebabkan kapitalisme tidak runtuh karena kekacauan di dalam sistem produksi dan reproduksinya itu? Menurut Luxemburg, kesanggupan kapitalisme bertahan dari keruntuhannya hingga sekarang ialah karena keberadaan wilayah-wilayah atau sektor non-kapitalis yang memungkinkan kapitalisme mempertahankan kelangsungan akumulasi kapitalnya. Dengan kata lain, kapitalisme bisa tetap hidup karena menghisap darah dari wilayah-wilayah non-kapitalis.

Dalam The Accumulation of Capital, Luxemburg pertama-tama memberikan perhatian secara khusus kepada persoalan perluasan operasi produksi kapital yang melampaui batas-batas negara. Di dalam karya-karya Marx, kecenderungan ini dilihat dari sudut pandang hukum akumulasi kapital. Kapitalis-kapitalis individual terdorong oleh persaingan terus-menerus di antara mereka sendiri untuk mendapatkan laba yang kian lama harus kian besar agar bisa menunjang tidak hanya pengulangan proses produksi, tetapi juga meningkatkan kapasitas proses produksinya kemudian. Dorongan bawaan dari dalam sistem yang memaksa kapitalis-kapitalis individual mengakumulasi laba yang semakin lama harus semakin besar ini, menggiring kapitalisme menjadi sistem yang juga terus-menerus memperluas jangkauan operasinya ke delapan penjuru arah angin dengan merengkuh wilayah-wilayah atau sektor non-kapitalis ke dalam pangkuan kuasanya. Hanya dengan memperluas dirinya terus-menerus sajalah maka kapitalisme bisa tetap bertahan dari keruntuhan yang bisa terjadi karena kontradiksi-kontradiksi bawaannya. Akumulasi kapital bukan hanya hukum pergerakan kapital, tetapi juga hukum keberadaannya sebagai sistem yang dilandasi oleh eksploitasi nilai-lebih. Teori Marx ini memberi Luxemburg semacam titik pijak awal untuk memahami imperialisme yang menurut kata-katanya sendiri tiada lain adalah ‘political expression of accumulation of capital in its competitive struggle (h. 426).

Meski menyatakan bahwa kecenderungan perluasan wilayah operasi produksi kapital menghantar kepada perambahan kapital ke wilayah-wilayah pra-kapitalis, tetapi Marx sebenarnya tidak pernah membangun pemikiran tentang imperialisme secara lengkap dan rinci di dalam skema teori ekonominya dan kalaupun ada, tulisan-tulisan tersebut belum tersedia sebelum 1914. Luxemburg yang hidup satu generasi kemudian seperti menggenapi tugas yang ditinggalkan Marx untuk merumuskan penjelasan tentang kolonisasi modern dan imperialisme di dalam kerangka teori ekonomi Marx tentang reproduksi kapital. Dalam pandangan Luxemburg yang memang bergiat di dalam gerakan sosialis internasional ketika kapitalisme memasuki babak imperialistiknya, menguak akar-akar ekonomi imperialisme merupakan tugas mendesak bagi kaum sosialis yang ingin menentang petualangan imperialis kelas-kelas penguasanya. Fakta kesejarahan yang terpampang di hadapan mata generasi Luxemburg adalah betapa luar biasanya kekuatan dorongan imperialistik dari negara-negara kapitalis. Sebagai contoh, perambahan Afrika hanya dalam waktu 30 tahun saja dari 1880 hingga 1910, tak kurang dari 10 juta mil persegi dan 110 juta penduduk Afrika dikuasai lima kekuatan Eropa—Jerman, Italia, Portugis, Perancis, dan Inggris ditambah oleh Kerajaan Belgia. Secara politik, imperialisme bertujuan menaklukkan wilayah-wilayah non-kapitalis di muka bumi. Cirinya meliputi peningkatan masif tekanan dan konflik antara kekuatan-kekuatan Eropa sendiri yang kemudian pecah ke dalam Perang Dunia I pada 1914. Dari kenyataan yang mengerikan ini, Luxemburg mencoba mencari landasan teoritikal yang kuat untuk menggambarkan seluruh pertarungan ini dengan mengembangkan analisis Marxis. Dia tidak bisa menerima pandangan bahwa letupan-letupan tak-terhindarkan ke arah imperialisme hanyalah hasil dari persaingan kapitalis-kapitalis individual untuk mendapatkan laba lebih besar. Dia berpandangan bahwa kapitalisme didorong oleh kodrat bawaannya untuk mengembangkan diri ke dalam wilayah non-kapitalis demi melindungi inti keberadaannya. Persaingan antarkapitalis hanya tampilan luar dari dorongan bawaan yang sudah mendekam di dalam jantung logika kapitalisme bahkan sejak masa kanak-kanaknya di dalam lingkungan moda produksi feodal.

Imperialisme dan Realisasi Nilai-lebih

Seperti yang sudah dipaparkan pada bagian sebelumnya, tema utama The Accumulation of Capital adalah pencarian jalan keluar dari permasalahan yang masih tersisa di dalam jilid kedua Das Kapital, yang menurut Luxemburg, gagal diselesaikan secara utuh oleh Marx. Permasalahan itu ialah bahwa di dalam perekonomian yang hanya terdiri dari kapitalis (beserta parasitnya) dan pekerja, siapa yang menyerap peningkatan keluaran barang-konsumen dan barang-produsen dari masa ke masa agar stok kapital terakumulasi?

Dalam upayanya mencari jawaban atas pertanyaan ini, Luxemburg pertama-tama mencari kemungkinan jawabannya di dalam karya-karya ekonomi politik dari masa sebelum dan sesudah Marx. Bagian kedua The Accumulation of Capital (h. 145-306) sepenuhnya mengulas, memaparkan, dan kemudian menolak teori reproduksi kapital dari para ahli ekonomi politik seperti Sismondi, Say, Rodbertus, von Kircmann, Tugan-Baranovski, dan Nikolayon. Dari situ kemudian Luxemburg merangkai tesisnya sendiri bahwa nilai-lebih yang dihasilkan dinamika ekonomi kapitalis hanya bisa direalisasi atau diserap oleh organisasi sosial bertipe non-kapitalis. Untuk bertahan hidup, kapitalisme harus memasuki dunia non-kapitalis dan merangkulnya ke dalam jalinan produksi dan sirkulasi kapitalis sehingga memperluas cakupan operasi produksinya. Harus ditekankan bahwa dalam pemikiran Luxemburg, batas antara dunia kapitalis dan dunia non-kapitalis ini konseptual sifatnya, bukan geografis. Misalnya Luxemburg menulis:

Thus, from the point of view of economics, Germany and England traffic in commodities chiefly on an internal, capitalist market, whilst the give and take between German industry and German peasants is transacted on an external market as far as German capital is concerned’ (h. 347).

Di dalam wilayah geografis yang sama bisa saja ada dua dunia sekaligus. Perekonomian petani tradisional di Jerman jelas adalah dunia non-kapitalis bagi perekonomian industri Jerman. Tetapi dua wilayah geografis yang berbeda dan bahkan dengan jarak yang jauh bisa merupakan satu dunia yang sama. Misalnya antara industri Inggris yang saling bertukar komoditi dengan industri Amerika merupakan satu pasar kapitalis.

Menurut Luxemburg, Marx sebetulnya telah menggambarkan dengan cukup rinci proses pengambilalihan sarana-sarana produksi non-kapitalis dan perampokan negeri-negeri koloni oleh kapital Eropa sebagai bagian dari penciptaan pasar-pasar kapitalis baru untuk barang hasil produksi kapitalis di satu sisi, dan menciptakan kapital dari luar proses produksi kapitalis di sisi lain. Tetapi penggambaran ini terutama terkait dengan kemunculan kapitalisme dari rahim rusaknya feodalisme. Setelah masuk kembali ke dalam ulasan atas proses produksi dan sirkulasi kapitalis, Marx tenggelam kembali ke dalam gambaran dominasi eksklusif dan universal dari kapitalis seperti halnya ketika Marx membincangkan soal reproduksi sederhana yang memang tepat untuk asumsi bahwa dunia hanya dikelola dengan moda produksi kapitalis murni dimana kapitalis dan kelas pekerja menjadi konsumen dari semua nilai-lebih yang tercipta oleh proses produksi.

Dalam pemikiran Luxemburg, kebijakan imperialistik muncul di tahap maju dari perkembangan kapitalisme yang merengkuh perekonomian pra-kapitalis ke dalam pangkuannya. Imperialisme terkait langsung dengan industrialisasi dan kelimpahan surplus produksi yang memerlukan lapak-lapak baru penyerap keluaran dari pusat-pusat industri kapitalis. Pada tataran ekonomi, perkembangan tahap ini diperantarai oleh hutang, entah hutang swasta maupun pinjaman pemerintah. Kapital-finansial disalurkan pada tingkat bunga tertentu ke wilayah-wilayah pinggiran kapitalis yang kemudian diubah menjadi kapital produktif dalam bentuk pinjaman yang dihabiskan untuk mengimpor komoditi dari pusat-pusat industri kapitalis sebagai peminjam, terutama untuk permesinan dan material. Dengan cara ini, akumulasi kapital ditebar dari pusat-pusat industri kapitalis tua ke wilayah-wilayah non-kapitalis yang sekarang menjadi wilayah kapitalis baru. Pendapatan dari laba, bunga, dividen, dan sewa di pusat-pusat kapitalisme, yang tidak bisa secara langsung ditanamkan ke dalam pasar kapitalis sendiri, diinvestasikan ke wilayah pinggiran sebagai kapital-finansial. Ekspor kapital-finansial ini kemudian menciptakan permintaan efektif di wilayah pinggiran untuk keluaran hasil produksi di pusat produksi kapitalis.

Dalam kaitannya dengan bagaimana merealisasikan nilai-lebih berlebih yang merupakan hasil reproduksi diperluas, Luxemburg mengajukan pertanyaan sebagai berikut: ‘But then, who are these new costumers actually; who is it that realises the surplus value of capitalist enterprises which are started with foreign loans, and who, in the final analysis, pays for the loans?’ (h. 409).

Dengan mengambil contoh Mesir dan Turki pra-modern, Luxemburg mengajukan jawaban bahwa pembayaran pinjaman diambil dari lahan, kerja, dan produk perekonomian petani. Sejarah Mesir dan Turki antara 1850-1910 menggambarkan ini. Kita harus mulai dengan melihat masukan lokal itu kepada usaha-usaha baru, perkebunan dan pabrik pemrosesan yang cukup untuk perekonomian petani, entah melalui penyerobotan tanah, pengerahan tenaga-kerja paksa, atau persediaan keuangan yang meningkat dengan memajaki petani. Keluaran dijual secara lokal ketika pertukaran komoditi berkembang dengan cepat, didorong oleh pembangunan rel kereta api dan pelabuhan. Namun, perluasan pertukaran komoditi tidaklah cukup cepat untuk melayani semua kebutuhan realisasi surplus, yakni untuk memasarkan semua keluaran. Dalam kasus tersebut, wilayah-wilayah non-kapitalis dan perantaranya, lewat perpajakan dalam bentuk uang maupun barang (dan kemudian penjualan barang), mengakumulasi uang tunai yang dihisap oleh usaha kapitalis atau diambil secara langsung oleh pendukung keuangannya lewat pembayaran hutang.

Sepanjang proses pembusukan perekonomian pra-kapitalis dan penciptaan pasar komoditi di wilayah non-kapitalis ini, negara dikurangi kekuasaannya hingga peran riilnya saja bagi kapitalis, yakni sebagai mesin politik untuk menghisap perekonomian petani demi tujuan kapitalis—fungsi riil dari semua negara Oriental di babak kapitalis imperialis.

Arus kapital-finansial dalam bentuk pinjaman kapitalis digunakan tidak hanya untuk pembangunan pabrik-pabrik dan pembukaan perkebunan-perkebunan berorientasi pasar dunia, tetapi juga untuk pembangunan sarana-prasarana yang memudahkan bekerjanya kapital di wilayah non-kapitalis, seperti jalan raya, kanal-kanal, pelabuhan, rel kereta api, dam, dan sistem irigasi. Semua ongkos pembangunan ini harus ditanggung wilayah non-kapitalis. Tetapi wilayah non-kapitalis seringkali gagal melunasi pinjaman sesuai jadwal untuk prasarana ini, sehingga akan terperosok ke dalam genangan hutang ke hutang baru, dan demikian seterusnya. Dalam konteks ini, hutang menjadi semacam pengikat kuat yang dengannya negara-negara kapitalis lama memelihara pengaruh mereka, mengendalikan keuangan, dan memberi tekanan terhadap adat-kebiasaan serta kebijakan asing dan komersial dari negara-negara kapitalis muda.

Dalam babak imperialisme, pinjaman-pinjaman internasional mengandung kontradiksi bagi perkembangan kapitalisme. Pertama, industrialisasi wilayah pra-kapitalis yang dibiayai pinjaman-pinjaman itu mengurangi wilayah pra-kapitalis yang bisa dikuasai kapitalisme untuk proses asimilasi yang penting bagi akumulasi kapital. Kedua, pusat-pusat kapitalisme baru menjadi pesaing imperial bagi investasi kapital dari negeri-negeri pusat kapitalisme. Revolusi internal penting bagi mereka untuk memulihkan perekonomian dan memperkenalkan lembaga negara borjuis yang sesuai dengan tujuan produksi kapitalis sehingga kendali oleh yang tua terhadap negeri kapitalis yang muda pecah, dan biasanya dengan sarana perang.

Karena dominasi eksklusif dan universal dari produksi kapitalis di semua negeri dan untuk semua cabang industri kian sempurna, akumulasi kapital akan terhenti karena tidak ada lagi wilayah yang bisa dieksploitasi dan menjadi lahan bagi akumulasi sehingga disimpulkan bahwa kejatuhan kapitalisme akan terjadi secara tak terelakkan sebagai kepastian sejarah yang objektif.

Imperialisme sebagai Akumulasi Ekspansif

Salah satu ciri kapitalisme ialah paksaan untuk mengakumulasi dan mengekspansi kapital secara berkelanjutan di bawah tekanan hukum persaingan. Akumulasi dan ekspansi kapital menjadi urusan hidup-matinya kapitalis. Kapital tidak hanya harus direproduksi, tetapi juga direproduksi agar lebih besar setiap kali operasi dijalankan. Tidak seperti gambaran para pendukungnya, sejak semula kapitalisme tidak bekerja secara damai di tengah-tengah moda produksi dan organisasi sosial lainnya. Ibarat tumor yang berkembang pada daging feodalisme yang membusuk, kapitalisme muncul seperti bercak noda. Sel-sel kapital mengakumulasi diri dengan cepat, menghisap daya hidup di sekitarnya yang belum kapitalistik. Di awal Bab 27 buku The Accumulation of Capital, Rosa Luxemburg menggambarkan karakter kapitalisme ini dengan baik:

Capitalism arises and develops historically amidst a non-capitalist society. In Western Europe it is found at first in a feudal environment from which it in fact sprang—the system of bondage in rural areas and the guild system in the towns—and later, after having swallowed up the feudal system, it exists mainly in an environment of peasants and artisans, that is to say in a system of simple commodity production both in agriculture and trade. European capitalism is further surrounded by vast territories of non-European civilisation ranging over all levels of development, from primitive communist hordes of nomad herdsmen, hunters and gatherers to commodity production by peasants and artisans. This is the setting for the accumulation of capital’ (h. 348).

Dari cuplikan di atas terbayang dua dunia berbeda, yakni dunia kapitalis yang menjadi pusat cerita perekonomian global dan dunia non-kapitalis di sekitarnya yang seolah-olah tinggal menunggu waktu untuk kemudian terserap ke dalam dunia yang pertama. Hubungan kedua dunia ini tidaklah terjalin secara damai seperti yang dikhayalkan para pendukung kapitalisme. Menurut Luxemburg, dorongan ekspansif hukum akumulasi kapital mendesak kapitalis menguasai sebanyak mungkin wilayah non-kapitalis untuk penguasaan sarana produksi, sumberdaya bahan baku, dan tenaga-tenaga kerjanya. Namun upaya ini tidak bisa dilakukan dengan cara damai, karena ‘di luar sana,’ ada masyarakat yang hidup dengan organisasi sosial dan moda produksinya sendiri. Oleh karena itu,

Since primitive associations of the natives are the strongest protection for their social organisations and for their material bases of existence, capital must begin by planning for the systematic destruction and annihilation of all the non-capitalist social units which obstruct its development’ (h. 350).

Penghancuran dan perengkuhan moda-moda produksi non-kapitalis ke dalam jaringan pasar kapitalis merupakan prasyarat perkembangan kapitalisme dan latar bagi akumulasi kapital berikutnya bahkan sejak masa kanak-kanaknya kapitalisme. Hal ini merupakan keanehan bawaan dari kapitalisme. Di dalam sistem kapitalisme, proses produksi diawali dengan kapital yang ada di tangan kelas kapitalis. Kapital ini kemudian dioperasikan ke dalam proses produksi untuk menghasilkan nilai-lebih. Nilai-lebih, terutama di dalam bentuknya sebagai laba, kemudian dipersatukan menjadi kapital yang akan ditanamkan kembali ke dalam proses produksi berikutnya guna akumulasi kapital berikutnya yang lebih besar. Dengan kata lain, akumulasi kapital mengandaikan adanya nilai-lebih; nilai-lebih mengandaikan adanya produksi kapitalis; produksi kapitalis mengandaikan ketersediaan massa kapital dan tenaga-kerja yang memadai di tangan kapitalis. Begitu seterusnya seolah-olah tanpa awal dan akhir. Pertanyaannya, apabila kapital adalah hasil dari akumulasi kapital sebelumnya, padahal moda produksi kapitalis itu bersifat kesejarahan dalam arti muncul di dalam suatu babak sejarah pada masa lalu, dari manakah kekayaan atau kapital pertama yang menggulirkan proses produksi kapitalis itu berasal? Dari apa yang disebut Marx sebagai akumulasi primitif.

Dalam kerangka konseptual dan historis seperti yang diajukan Marx dalam Das Kapital jilid 1 tentang akumulasi primitif, Rosa Luxemburg mengembangkan gagasannya tentang penyatuan proses akumulasi primitif dengan akumulasi normal melalui reproduksi yang diperluas. Dengan penyatuan ini, akumulasi primitif ditarik ke cakupan yang lebih luas dan erat kaitannya dengan imperialisme. Dengan kata lain, bagi Luxemburg, imperialisme tiada lain adalah akumulasi primitif dalam skala global.

Secara umum Luxemburg berpandangan bahwa imperialisme dan akumulasi primitif tidak bisa dilepaskan satu sama lain. Keduanya merupakan bagian dari hakikat pergerakan dan perkembangan kapitalis. Alih-alih menekankan keduanya sebagai sesuatu yang bersifat kesejarahan, Luxemburg melihat akumulasi primitif dan imperialisme sebagai unsur struktural dari logika akumulasi kapital.

At the time of primitive accumulation, i.e. at the end of the Middle Ages, when the history of capitalism in Europe began, and right into the nineteenth century, dispossessing the peasants in England and on the Continent was the most striking weapon in the large-scale transformation of means of production and labour power into capital. Yet capital in power performs the same task even to-day, and on an even more important scale—by modern colonial policy’ (h. 350).

Menurutnya, imperialisme terkait erat dengan persoalan reproduksi dan sirkulasi kapitalis. Dalam uraian Luxemburg, reproduksi kapital yang diperluas dan yang memungkinkan proses akumulasi kapital, tidak mungkin berlangsung tanpa adanya pasar-pasar dan sektor non-kapitalis. Kesimpulan ini diambil dari kontradiksi yang dilihat Luxemburg antara kecenderungan ekspansi produksi kapitalis dan realisasi penuh nilai-lebih yang dihasilkannya. Luxemburg percaya bahwa di bawah kondisi ekspansi kapitalis, kebutuhan kapital tak terpakai untuk menjadi investasi baru akan membuka jalan ke realisasi nilai-lebih. Akarnya ada di dalam masalah gagalnya konsumsi masyarakat kapitalis untuk menyerap produksi kapitalis yang naik, baik dari investasi baru maupun dari investasi lama yang diperluas.

Reproduksi kapital yang diperluas itu secara kodrati berwatak imperialistik. Kebutuhan kapital yang dasariah akan pasar-pasar eksogen mendorong kebijakan-kebijakan imperialistik. Upaya pencarian dan pembukaan pasar-pasar eksogen menjadikan proses akumulasi primitif sebagai kondisi yang perlu bagi perkembangan kapitalisme, bahkan setelah kapitalisme melewati tahap konsolidasinya sebagai moda produksi dominan di Eropa. Dalam konsepsi Luxemburg, akumulasi kapital secara historis tiada lain adalah sebentuk metabolisme antara ekonomi kapital dan moda produksi pra-kapitalis, yang tanpanya ia tidak akan berjalan dan yang runtuh dan terasimilasi.

Jadi, dapat dikatakan bahwa menurut Luxemburg, akumulasi primitif sebagai proses penghancuran ekonomi alamiah di sekitaran wilayah operasi kapital di seluruh dunia, yang dibutuhkan untuk membuka pasar bagi realisasi nilai-lebih, menjadi bagian tak terpisahkan dari logika akumulasi kapital di dalam proses produksi kapitalis itu sendiri. Imperialisme membangkitkan roh akumulasi primitif dari masa awal pertumbuhan kapitalisme ke masa pertumbuhan majunya. Di sini bisa dilihat bahwa hubungan imperialisme dan akumulasi primitif yang ekspansif sesungguhnya secara mendasar kontradiktif. Pada satu sisi, kapitalisme membutuhkan wilayah-wilayah geo-ekonomi atau sektor-sektor non-kapitalis demi keberlangsungannya, tetapi, di sisi lain, kapitalisme tidak bisa membiarkan organisasi non-kapitalis hidup terus apa adanya. Luxemburg menegaskan bahwa kapital tidak bisa berakumulasi tanpa dukungan organisasi non-kapitalis, tetapi tidak pula, pada sisi lain, bisa membiarkan keberadaan mereka untuk terus-menerus berdampingan dengannya. Hanya perpecahan yang berkelanjutan dan progresif dari organisasi non-kapitalis yang membuat akumulasi kapital itu mungkin.

Luxemburg menekankan bahwa reproduksi kapital yang diperluas atau akumulasi memerlukan saluran bebas ke semua lapak-lapak realisasi nilai-lebih serta ke semua sumber bahan baku yang muncul dari kebutuhan baru atau kebutuhan lama yang meningkat, karena perkembangan operasi produksi kapitalis itu sendiri atau untuk menggantikan sumber-sumber bahan baku yang mulai habis. Dari pengamatan atas sejarahnya, baik sejarah terbentuknya pasar-pasar realisasi nilai-lebih untuk komoditi kapitalis maupun terbukanya sumber-sumber pasokan bahan baku dan pasokan pekerja-upahan, hal-hal tersebut hanya bisa terjadi dengan jalan kekerasan, terutama yang didukung aparat kekerasan negara. Penciptaan pasar-pasar yang bisa menyerap komoditi sehingga merealisasikan nilai-lebih yang menjadi satu-satunya tujuan produksi kapitalis tiada lain adalah proses penciptaan kategori baru orang-orang, yaitu konsumen komoditi. Penciptaan kategori sosial ini mengikutsertakan monetisasi atas pertukaran dan konsumsi yang sebelumnya diikat oleh tradisi dan adat-istiadat dari masyarakat pra-kapitalis. Tanpa paksaan, pembukaan simpul pertukaran lama dan pembuatan simpul baru tidak akan bisa dilakukan. Begitu pula halnya dengan penciptaan kategori baru pekerja-upahan, sehingga logika gerak kapital sejak semula adalah imperialistik. Tanpa upaya perluasan cakupan operasi kapital, kapitalisme bukanlah kapitalisme. Imperialisme merupakan jantung penggerak akumulasi darah kapital yang memungkinkan kapitalisme terus bertahan hidup. Namun, justru di sinilah terkandung kontradiksi terbesarnya. Kapitalisme itu seperti Raja Midas yang membuat setiap barang yang tersentuh olehnya menjadi emas, dan apabila semuanya sudah menjadi emas, maka tidak ada lagi yang bisa menjadi tempat untuk disentuh selain dirinya sendiri. Itulah yang terjadi dengan berkembangnya ekonomi finansial dan spekulasi.

Refleksi Terhadap The Accumulation of Capital

Sebagai permulaan refleksi, dapat dikatakan bahwa sebetulnya teori imperialisme Rosa Luxemburg muncul dari persoalan yang murni teoritik, yaitu kritik terhadap skema reproduksi diperluas yang disusun Marx di dalam jilid kedua Das Kapital. Kesulitan teoritis yang ditemukan Rosa Luxemburg di dalam jilid kedua Das Kapital ialah mustahilnya menggambarkan reproduksi kapitalis sebagai keseluruhan dengan skema yang disusun Marx sambil menghubungkannya dengan fakta historis konkret yang objektif. Menurut Luxemburg, skema abstrak Marx tentang reproduksi yang diperluas menampilkan gambar tidak realistik dari perkembangan kapitalis karena logika ekonominya sendiri keliru. Tidaklah cukup bahwa nilai-lebih yang disarikan dalam proses produksi itu teraktualisasi dalam sirkulasi komoditi (yaitu beralih rupa menjadi uang). Apa yang dibutuhkan sistem kapitalis yang memperluas dirinya itu ialah bahwa perusahaan-perusahaan kapitalistik harus sanggup menemukan lapak-lapak baru di masa depan dengan skala yang meningkat.

Bertentangan dengan latar belakang ini, struktur analitikal dari argumen Marx dengan jelas menunjukkan keterbatasannya. Skema Marx hanya cocok untuk kondisi pembukuan seimbang, ketika pemasukan dan pengeluaran setara. Tetapi, persoalan inti yang menjadi objek kajian Luxemburg adalah sebagai berikut: a) apakah kapitalis industri bisa menjual seluruh komoditi yang dihasilkannya ke pasar pada harga yang mencakup laba yang diharapkan? b) dari manakah datangnya permintaan-efektif yang memungkinkan realisasi dalam sirkulasi nilai dan nilai-lebih yang dihasilkan pada waktu tertentu? c) bagaimana bisa diterima begitu saja bahwa kapitalis industri bisa berharap dengan aman pertumbuhan penjualan untuk produksi masa depan?

Seperti yang sudah diulas di dua bab sebelumnya, dalam pemikiran Luxemburg, satu-satunya sudut pandang analitis yang relevan ialah tentang ‘total kapital’ yang secara sistematik diasumsikan oleh Marx dalam jilid ketiga Das Kapital. Di dalam konsepsi totalitas Hegelian, kapital sebagai keseluruhan ialah abstraksi ‘nyata,’ bukan hanya sebuah asumsi logis. Karena total kapital bukanlah fiksi, agregat laba kasar harus direalisasi dalam bentuk-uang—yakni dalam emas sebagai uang, karena Luxemburg, seperti juga Marx, menggunakan perspektif uang komoditi. Valorisasi atau proses perbanyakan diri dari kapital terjadi dalam kesatuan produksi serta sirkulasi yang sedang berlangsung, dan akumulasi memerlukan validasi uang terlebih dahulu dari keluaran proses valorisasi. Monetisasi komoditi yang diproduksi secara relatif muncul setelah produksi, tetapi ada terlebih dahulu sebelum investasi baru. Dalam pandangan ini, perekonomian uang adalah sebuah perekonomian yang di dalamnya komoditi tidak membeli komoditi-komoditi dan komoditi juga tidak membeli uang, tetapi hanya uang yang membeli komoditi. Lebih lanjut, ini adalah perekonomian yang di dalamnya terdapat persoalan uang tunai-yang-bertambah terus. Bagi Luxemburg, penghisapan yang didorong oleh permintaan dan kodrat dasar sistem keuangan kapitalis memiliki arti bahwa baik proses produksi maupun pengeluaran permintaan harus dibiayai dengan uang.

Di dalam sistem kapitalis yang murni dan tertutup, tidak ada arus masuk uang berkat realisasi komoditi yang berisi nilai-lebih. Mudah untuk melihat mengapa bagi Luxemburg tidaklah cukup permintaan efektif berjumpa dengan total nilai produk, jika ini mengandung nilai-lebih. Intinya adalah bahwa pembiayaan produksi dan pembiayaan permintaan secara langsung pada akhirnya muncul dari kelas kapitalis itu sendiri, dalam hal ini kapitalis industri dan penghasil emas. Luxemburg menekankan bahwa jawaban untuk permasalahannya haruslah pengeluaran produktif tertentu dalam konteks analisis Marxian: permintaan yang memungkinkan proses valorisasi baru. Itulah jalan keluar reproduksi yang diperluas: harus membuka jalan kepada investasi kapitalis sendiri di luar dirinya.

Inilah alasan mengapa peningkatan konsumsi kapitalis (teori Hobson) bukanlah jalan keluar, karena ia secara definisi hanya upaya menanam kembali nilai-lebih untuk kegiatan produktif. Peningkatan alamiah populasi juga bukan jalan keluar, karena ia hanya memberi jalan pada peningkatan umum kebutuhan konsumsi, tetapi tidak kepada permintaan yang didukung uang baru atau permintaan-efektif. Pengeluaran tambahan tidak bisa berasal dari lapisan sosial ‘ketiga’ seperti seniman, pegawai negeri, profesi bebas, dokter, perawat, pembantu, dan sebagainya: konsumsi mereka tidak produktif dan pendapatan uang mereka bersumber dari nilai-lebih atau dengan kata lain dari kantong kapitalis. Jadi, dari mana konsumen nilai-lebih itu berasal?

Dengan menerapkan pendekatan dialektika untuk kajian ekonominya, Luxemburg memahami kapitalisme sebagai suatu sistem ekspansif yang didorong oleh dinamika akumulasi. Kapital dalam bentuk uang diinvestasikan menjadi kapital dalam bentuk bahan baku, sarana produksi, dan tenaga-kerja. Kapital ini diubah dengan mencurahkan kerja aktual tenaga-kerja menjadi kapital yang berbentuk komoditi yang dihasilkan di sepanjang proses produksi. Kapital-komoditi ini direalisasikan nilainya melalui penjualan untuk mengubah kembali kapital menjadi uang seperti semula dengan tambahan berupa laba. Sirkulasi dan proses valorisasi kapital yang berujung pada perolehan nilai-lebih merupakan pendorong utama produksi kapitalis dan menjadi motor dinamika akumulasi kapital.

Skema Teori Imperialisme Rosa Luxemburg

Skema-TeorImperialisme

Analisis Luxemburg tentang proses akumulasi kapital mencakup kritik yang kompleks atas pemikiran ekonomi Marx di dalam jilid kedua Das Kapital. Bagian dari jalan keluar yang dianggapnya bisa memenuhi kekurangan dan ketidaklengkapan analisis Marx adalah dengan menjawab pertanyaan di seputar: bagaimana nilai-lebih direalisasi. Ia memusatkan perhatian pada dinamika global sistem kapitalis dan berpendapat bahwa imperialisme ada di jantung perkembangan kapitalisme.

Seperti sudah dipaparkan, di dalam The Accumulation of Capital, Luxemburg mengajukan analisis ekonomi yang jelas atas imperialisme. Ada beberapa tampilan teori imperialisme Luxemburg yang berbeda dengan teori-teori imperialisme dari tokoh Marxis lainnya. Luxemburg memusatkan perhatian pada ko-eksistensi aneka ragam budaya, jenis masyarakat, dan beragam moda produksi atau sistem ekonomi di dunia. Secara historis bentuk dominan perekonomian dunia ialah moda produksi berburu-meramu komunal yang di banyak tempat telah digantikan oleh sistem ekonomi agrikultural yang komunistik, atau apa yang disebut Luxemburg sebagai perekonomian petani primitif. Perekonomian petani ini pun digantikan oleh bentuk masyarakat berkelas melalui dominasi elit-elit militer yang digolongkan Luxemburg sebagai perekonomian perbudakan dan feodalisme. Kadangkala hidup bersama-sama, kadangkala penundukan, adalah karakter sistem produksi komoditi sederhana yang di dalamnya terdiri dari pengrajin dan petani yang menghasilkan komoditi untuk dijual di pasar dalam rangka memperoleh komoditi lain yang dikehendaki atau dibutuhkan. Moda produksi komoditi sederhana ini berbeda dari moda produksi kapitalis yang didorong oleh akumulasi kapital dengan peningkatan kekayaan dan kekuatan minoritas kapitalis di dalamnya.

Setidaknya ada tiga tampilan yang secara khusus membedakan analisis Luxemburg atas imperialisme dengan analisis para Marxis lainnya. Pertama, Luxemburg mengembangkan konseptualisasi hubungan imperialisme dengan eksploitasi kelas pekerja di negeri kapitalis maju. Karena pekerja menerima nilai yang kurang dari nilai yang mereka ciptakan, pekerja tidak bisa membeli atau mengkonsumsi semua yang telah diproduksi. Rendahnya tingkat konsumsi ini berarti bahwa kapitalis harus memperluas diri ke wilayah non-kapitalis, mencari-cari pasar untuk produk-berlebihnya, juga bahan baku untuk reproduksi diperluasnya, kesempatan untuk investasi, dan juga sumber-sumber baru tenaga-kerja, di luar lingkungan ekonomi kapitalis.

Dalam teori Luxemburg, wilayah-wilayah non-kapitalis merupakan lahan untuk perkembangan kapitalisme. Artinya, kapitalisme dihidupi dengan keruntuhan tatanan sosial-ekonomi non-kapitalis. Meski wilayah atau sektor non-kapitalis penting kedudukannya untuk akumulasi, mereka hanyalah media atau sarana yang harus ditelan habis untuk bisa menyuburkan kapitalisme. Penetrasi ke dalam wilayah atau sektor non-kapitalis memungkinkan kapital berakumulasi. Tetapi, di sisi lain, akumulasi kapital ini mengikis dan merengkuh mereka ke dalam proses produksi kapitalis secara umum. Artinya, muncul kontradiksi baru: kapital tidak bisa berakumulasi tanpa keberadaan wilayah atau sektor non-kapitalis, tetapi di sisi lain kapital tidak bisa membiarkan keberadaan mereka untuk hidup berdampingan dengannya. Kecenderungan dinamika akumulasi ini menghantar ke habisnya tanah subur untuk akumulasi kapital. Kapital pada akhirnya akan bergerak involutif dengan pertumbuhan ekonomi yang kian merendah. Akhirnya ketika semua wilayah dan sektor non-kapitalis tertelan, kapital tinggal menunggu waktu keruntuhannya sendiri.

Kedua, konseptualisasi Luxemburg atas imperialisme tidaklah terjebak pada persoalan-persoalan seperti ‘tahap tertinggi’ atau ‘tahap akhir’ kapitalisme. Alih-alih, Luxemburg melihat imperialisme merupakan sesuatu yang bisa ditemukan pada masa awal kapitalisme dalam rupa apa yang disebut Marx dengan akumulasi primitif, dan yang akan terus berlanjut tanpa henti dengan capaian dan kecepatan yang meningkat serta meluas hingga sekarang.

Dalam analisis Luxemburg, pada masa kematangannya, kapitalisme juga bergantung kepada semua lapisan sosial dan organisasi non-kapitalis yang hidup berdampingan dengannya, karena akumulasi kapital tidaklah mungkin tanpa lingkungan non-kapitalis. Penghancuran, perampasan, dan pengambilalihan wilayah atau sektor non-kapitalis merupakan prasyarat akumulasi dalam konteks historis. Bukan hanya ketika kelahirannya di Eropa Barat, tetapi juga saat perkembangannya meluas ke segenap penjuru dunia.

Ketiga, sumbangsih penting analisis Luxemburg atas imperialisme ialah kepekaan antropologisnya terhadap dampak ekspansi kapitalis ke berbagai wilayah dunia yang kaya ragam budaya dan organisasi sosial. Kepekaan antropologis ini tidak bisa ditemukan dalam analisis imperialisme tokoh-tokoh Marxis lainnya seperti Bukharin atau Lenin. Survei atas dampak ekspansi kapitalisme ada di dalam karya-karyanya, yang mencakup contoh:

  1. Penghancuran kaum tani dan pengrajin Inggris;
  2. Penghancuran penduduk asli Amerika;
  3.  Perbudakan orang-orang Afrika oleh kekuatan kapitalis Eropa;
  4. Peruntuhan pengusaha-pengusaha tani berskala kecil di wilayah barat dan barat-tengah Amerika Serikat;
  5. Penghancuran perekonomian tradisional Aljazair oleh kolonialisme Perancis;
  6. Penghancuran perekonomian dan masyarakat tradisional India oleh kolonialisme Inggris;
  7. Penghancuran perekonomian tradisional Tiongkok, terutama melalui Perang Candu yang dipimpin oleh Inggris;
  8. Penghancuran moda perekonomian suku-suku Afrika, kaum tani Boer di Afrika Selatan oleh kekuatan kolonial Inggris.

Luxemburg menegaskan berulang-kali bahwa ekspansi imperial selalu diiringi oleh perjuangan kapital melawan ikatan-ikatan sosial dan ekonomi pribumi. Perjuangan ini demi sarana produksi, terutama tanah untuk perkebunan, bahan baku, energi, dan juga tenaga-kerja. Dari sudut pandangan masyarakat pribumi, pertarungan ini adalah persoalan hidup dan mati, sehingga di mana-mana muncul perlawanan terhadap eksploitasi kolonial. Oleh karena itu, pendudukan koloni selalu menyertakan kekuatan militer. Kecenderungan ini melekat dalam setiap ekspansi kapitalis bahkan hingga sekarang. Demi pasokan dan cadangan minyak yang sangat strategis bagi sistem produksi kapitalis kontemporer, kekuatan-kekuatan kapitalis utama memanfaatkan kekuatan militer Amerika dan sekutu-sekutunya untuk menduduki Irak dan Afghanistan. Luxemburg menegaskan, sarana produksi penduduk pribumi serta tenaga-kerja murah mereka penting untuk kelangsungan kapitalisme. Pasokan tenaga-kerja bergantung pada keterlepasan mereka dari sarana hidup mereka. Oleh karena itulah penciptaan pekerja musti didahului dengan penghancuran sistem produksi lama dan pengambilalihan sarana produksi ini demi kepentingan kapitalis.

Bisa dikatakan bahwa kapitalisme lebih kompleks dan dinamis ketimbang yang dipaparkan Luxemburg. Tentu saja benar bahwa Luxemburg sudah mewanti-wanti keadaan dengan menyatakan, akumulasi kapital sebagai proses historis bergantung pada lapisan sosial dan bentuk-bentuk organisasi sosial non-kapitalis. Wilayah-wilayah non-kapitalis dunia jelas merupakan sasaran penetrasi dan penghancuran demi memaksimalkan laba. Tetapi, penetrasi tersebut juga terjadi di dalam aneka rupa aspek kehidupan masyarakat kapitalis yang non-kapitalistik. Ekspansi destruktif demi laba tidak hanya ditujukan ke wilayah-wilayah atau masyarakat non-kapitalis, tetapi juga ke dalam kebudayaan pada masyarakat kapitalis maju. Kapital membutuhkan sarana produksi dan tenaga-kerja dari seluruh dunia demi akumulasi tanpa batas. Ia tidak bisa melenggang tanpa sumberdaya alam dan tenaga-kerja seluruh dunia. Pernyataan ini benar untuk semua wilayah, termasuk tubuh, kehidupan keluarga, pertemanan, pemikiran, seksualitas, mimpi, dan beraneka ragam komuniti dan kegiatan budaya di dalam masyarakat kapitalis.

Terlepas dari kritik yang ditujukan kepada pemikiran Luxemburg tentang cara kerja dan dampak imperialisme. Arti penting investasi dan bantuan asing dalam proses ekspansi kapital yang saat ini merupakan bagian dari modernisasi beserta peran Bank Dunia dan International Monetary Fund (IMF) di dalamnya, sudah diantisipasi dalam pembahasan Luxemburg tentang ‘hutang internasional.’ Luxemburg mencatat, pertumbuhan dramatik pergerakan kapital dengan skala global. Dia mengamati bahwa wilayah yang secara ekonomi sedang berkembang, khususnya negeri-negeri yang baru merdeka, menjadi target untuk pinjaman luar negeri yang merupakan bantuan emansipasi bagi negara-negara kapitalis yang sedang berkembang. Hutang internasional merupakan ikatan penghubung antara para kapitalis di negara maju dengan kapitalis baru yang sedang berkembang di wilayah yang terkapitalisasi. Hutang ini pula yang menjadi saluran pengaruh, kendali keuangan, dan tekanan terhadap negara-negara kapitalis baru.

Luxemburg juga mengamati bahwa skema modernisasi, seperti pembangunan jalur rel kereta api, proyek irigasi, pembangunan pelabuhan, dan sebagainya, hampir secara khusus dijalankan untuk melayani tujuan dari kebijakan imperialis, yaitu monopolisasi dan penundukkan ekonomi negeri-negeri terbelakang dengan menghancurkan pola serta hubungan perekonomian tradisional dan mendesak semakin banyak orang menjadi tenaga-kerja yang siap dijual-beli di pasar tenaga-kerja. Luxemburg juga mengamati bahwa di dalam setiap pinjaman luar negeri, ada unsur rente yang menguntungkan para bankir Eropa. Pertanyaannya, siapa yang akan membayar semua hutang tersebut? Tentu saja penduduk wilayah yang sedang dibangun yang membayarnya dengan cara memajaki kaum tani dan kaum pekerjanya.

Investasi finansial asing di Dunia Ketiga sepanjang abad ini, dengan pengecualian sektor manufaktur kecil, telah dicurahkan untuk memenangkan dan mengekspor produk primer atau untuk memasang overhead sosial kapital yang membuatnya mungkin. Proposisi mendasar Luxemburg adalah bahwa wilayah sekitaran pada tahap peralihan ekonomi menciptakan permintaan atas keluaran yang meningkat dari pertumbuhan ekonomi kapitalis, yang tanpanya ekonomi akan runtuh. Jika di tahap akhir, ekspor barang-barang kapital dari negara-negara kapitalis maju menghantar ke pendirian landasan industrialisasi di wilayah sekitaran untuk mengekspor ke negara maju, yaitu jika pinjaman internasional menciptakan arus perdagangan bilateral, maka mekanisme realisasi surplus akan sia-sia.

Persoalan lain yang layak diangkat dari analisis Luxemburg ialah persoalan peran ekonomis dari militerisme dalam globalisasi perekonomian pasar. Dalam analisis Luxemburg, militerisme menyertai kapitalis di setiap tahap akumulasi sejak masa akumulasi primitif, kemudian penaklukan dunia untuk mendirikan koloni-koloni, lalu babak imperialisme modern abad ke-19 dan abad ke-20 hingga pecahnya Perang Dunia I. Tugas militer adalah menghancurkan organisasi sosial masyarakat pra-kapitalis, mengamankan perebutan sarana produksi serta kekayaan alam yang strategis bagi akumulasi kapital, mengamankan pemaksaan masuknya perdagangan komoditi, dan akhirnya menjadikan penduduknya sebagai buruh upahan untuk perkebunan-perkebunan kapitalis di wilayah koloni. Militer merupakan senjata di dalam pertarungan kompetitif antar-negara kapitalis dalam memperebutkan wilayah-wilayah non-kapitalis.

Tetapi peran militerisme lebih dari sekadar alat penghancur. Pengeluaran untuk kebutuhan militer seperti produksi persenjataan dan pengorganisasian tentara itu sendiri merupakan sektor akumulasi kapital yang penting bagi kapitalisme modern. Industri militer merupakan salah satu sektor penting hingga sekarang.

Analisis ekonomi atas peran militerisme dalam imperialisme merupakan salah satu kelebihan teorinya dibanding teori-teori imperialisme lainnya. Di sana tampak Luxemburg mengantisipasi kemungkinan penghancuran sarana produksi ketika terjadi krisis overakumulasi kapital. Dalam krisis overakumulasi, kapital terakumulasi melampaui kesanggupan perekonomian menyerapnya. Ketika komposisi organik kapital meninggi karena pasokan kapital terus-menerus meningkatkan kekuatan produktif, pada saat yang sama, tingkat laba rata-rata menurun. Akumulasi kapital mencapai titik jenuh. Jalan keluar untuk kejenuhan akumulasi kapital ialah penghancuran kekuatan produktif, entah dengan menunggu bencana besar atau menciptakan bencana kehancuran dengan perang. Perang, dengan demikian,  menunaikan dua fungsi sekaligus, sebagai sektor yang siap sedia menampung kapital ketika akumulasi mulai jenuh, sekaligus sebagai sarana penghancuran alat produksi lama yang menyusutkan komposisi organik kapital sehingga menaikkan kembali tingkat laba rata-rata bagi kapitalis yang sanggup bertahan. Analisis peran militer dan perang ini di kemudian hari dikembangkan oleh Naomi Klein (2007) lewat teorinya tentang disaster capitalism, kapitalisme yang menghidupi dirinya lewat penghancuran dan bencana. Klein, misalnya, menggambarkan bagaimana kekuatan korporasi-korporasi energi raksasa seperti Chevron, BP, Exxon Mobil, dan Shell, begitu terkait erat dengan kebijakan pemerintah Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya. Mereka memanfaatkan kekuatan militer negara mereka untuk menumbangkan rezim Saddam Hussein, menghancurkan kekuatan fisik perekonomian Irak, membentuk pemerintahan sementara yang mendukung keberadaan korporasi multinasional, dan kemudian membagi-bagi kekayaan minyak Irak di antara korporasi-korporasi tersebut.

Meski Luxemburg tidak membangun argumennya lebih lanjut berkenaan dengan militerisme dan perkembangan industri persenjataan sebagai salah satu sektor kapitalis, tetapi jelas pemikirannya mengandung benih bagi teori ekonomi persenjataan permanen yang berkembang sepanjang dasawarsa 1950-an untuk menjelaskan boom perekonomian jangka panjang dalam kaitannya dengan belanja massif negara dalam persenjataan.

Akhirnya bisa dikatakan, argumen Rosa Luxemburg bahwa kapitalisme tidak akan ada tanpa pasar-pasar non-kapitalis perlu dikritik. Kritik yang paling mengena mungkin ialah bahwa Luxemburg mencampuradukkan prioritas kapitalis-kapitalis individual dengan sistem kapitalis secara keseluruhan. Kapitalisme sebagai sistem memungkinkan kapitalis-kapitalis membeli komoditi dari sesama mereka, seperti dalam hal peralatan dan permesinan, untuk meningkatkan kemampuan mereka berproduksi. Menurut pandangan Luxemburg, hal ini akan berujung pada konsumsi tenaga-kerja menjadi semakin tidak penting sehingga produksi akan mengakhiri dirinya sendiri. Ini tampak tidak mungkin, menurut Luxemburg. Tetapi sistem kapitalis memang tidak diarahkan kepada peningkatan konsumsi pekerja-pekerjanya. Produksi kapitalis bertujuan untuk meningkatkan laba dan jika ada permintaan, entah datangnya dari pekerja, kapitalis, atau ‘orang ketiga,’ kapitalis akan menemukan jalan bagi realisasi labanya dari semua golongan itu di dalam masyarakat kapitalis. Jika kapitalis bisa menciptakan dan merealisasi laba dengan membuat permesinan, mereka akan melakukannya. Secara teoritis, produksi seperti itu bisa berjalan selamanya dan memunculkan lebih banyak permintaan. Tetapi ada banyak faktor yang bekerja melawan semua ini di dalam dunia anarkis perekonomian nyata.

Tesis bahwa imperialisme didorong oleh kebutuhan akan pasar-pasar baru untuk realisasi masa depan yang meningkat, juga sulit dipertahankan secara logis. Reproduksi kapitalis yang diperluas tidak secara inheren menyebabkan masalah realisasi nilai-lebih. Secara historis proses akumulasi kapital di dalam kapitalisme penuh dengan upaya peningkatan produktivitas kerja yang terus-menerus menurunkan nilai-tukar komoditi yang dihasilkan sekaligus mencipta massa nilai lebih yang semakin besar. Penurunan progresif nilai-tukar komoditi mencegah kemunculan masalah kurangnya kemampuan konsumsi masyarakat kapitalis untuk menyerap semua hasil produksi.

Sebagai tambahan, kapitalisme secara konsisten membuka dan mencipta terus kebutuhan-kebutuhan baru; kemungkinan-kemungkinan baru untuk pasar di dalam sistem itu sendiri. Pembukaan pasar tidak hanya berkenaan dengan perluasan jangkauan jelajah komoditi secara geografis, seperti yang dibayangkan Luxemburg, tetapi juga secara sosial dan kultural. Tugas yang seringkali dilakukan oleh orang per orang, seperti memasak, membuat pakaian, dan bahkan menghibur, sekarang telah menjadi komoditi yang bisa dibeli dan dijual di pasar. Lebih dari itu, untuk jenis produk yang sama, sabun mandi misalnya, kapitalis terus-menerus menciptakan pasar-pasar baru dengan memperluas cakupan melalui identitas sosial jender, usia, kesukubangsaan, dan bahkan latar belakang pekerjaan. Kapitalisme dengan cepat bisa mengeksploitasi apa yang disebut para ahli kajian budaya sebagai ‘pelipatgandaan kebutuhan-kebutuhan.’ Kapitalisme tidak hanya memproduksi komoditi, tetapi juga kebutuhan-kebutuhan akan komoditi. Tentu saja Luxemburg tidak sampai pada analisis soal perluasan pasar melalui pelipatgandaan kebutuhan, karena pada masanya belum terjadi apa yang oleh para ekonom disebut sebagai Revolusi Fordisme, yaitu masa produksi komoditi massal yang diiringi dengan konsumsi massal lewat berkembangnya industri periklanan dan media massa sebagai sarananya.

Ekonom Marxis lain yang mengarahkan perdebatan ke wilayah yang lebih terkait dengan persoalan sosiologis, lebih berbuah ketimbang yang dilakukan Luxemburg. Salah satu pengritik penting Luxemburg adalah Nikolai Bukharin. Penjelasan Bukharin lebih jernih ketimbang Luxemburg tentang bagaimana konsentrasi dan pemusatan kapital menghantar ke kian dekatnya ikatan antara kapital dan negara-bangsa sebagai lembaga politik penting, sehingga menghantar ke tahap baru perkembangan kapitalisme, yakni imperialisme (Bukharin, 1972: 151-172). Luxemburg tidak pernah mengembangkan analisis atas peran kapitalisme monopoli dan negara-bangsa sebagai pendorong ke arah imperialisme dan perang-perang imperialistik. Gagasan Bukharin justru yang kemudian banyak dikembangkan. Salah satunya oleh Hannah Arendt, seorang filsuf politik, yang dalam bukunya Asal-usul Totalitarisme Jilid II Imperialisme, menjelaskan munculnya kontradiksi antara struktur ekonomi kapitalis dan struktur politik negara bangsa sebagai penyulut imperialisme. Menurut Arendt, sementara struktur ekonomi kapitalis bisa memperluas diri hingga tak terbatas, struktur politik negara-bangsa yang beberapa abad sebelumnya merupakan kendaraan kelas borjuis untuk menghapus tarif perdagangan dan mobilitas antar wilayah di Eropa pada abad ke-19, tampak menghalangi perluasan kapital (Arendt, 1995: 10-12).

Sebagai tambahan, Luxemburg memang mengajukan penjelasan sugestif dan menantang terhadap jilid kedua Das Kapital. Tetapi dia tidak pernah menekuni secara mendalam jilid ketiga Das Kapital yang diterbitkan pada 1894. Apabila iya, dia akan menemukan bahwa di dalamnya Marx menekankan teori krisis kapitalismenya. Luxemburg berpandangan bahwa kekurangan permintaan akan menghasilkan krisis di dalam sistem. Marx memahami bahwa inilah unsur penting dalam kontradiksi kapitalisme. Tetapi Marx juga menekankan bahwa faktor kuncinya ialah kecenderungan jatuhnya tingkat laba rata-rata. Kapitalis inividual berlomba-lomba menanam kapital dalam permesinan untuk meningkatkan produktivitas kerja. Tetapi perlombaan ini berarti menetak potong per potong sumber nilai-lebihnya sendiri, yakni kerja hidup. Dengan peningkatan kekuatan produktif, tenaga-kerja dari pekerja-pekerja kian tersingkir atau terlempar dari sistem. Hal ini mengarah ke kecenderungan jatuhnya tingkat laba rata-rata. Inilah yang membuat Marx menyatakan bahwa halangan bagi kapital adalah kapital itu sendiri.

Meski ada banyak kritik yang bisa diajukan kepada teori imperialisme Luxemburg, tetapi Luxemburg memberikan sumbangsih terhadap ilmu dan filsafat ekonomi Marxis, antara lain: 1) merangkul kembali aspek inti Marxisme bahwa kapitalisme merupakan sistem paling produktif dalam sejarah manusia, namun digerogoti oleh kontradiksi bawaan yang berbahaya bagi sistem secara keseluruhan dan umat manusia pada umumnya, 2) dia menekankan bagaimana kapitalisme selalu bergantung kepada sarana kekerasan negara untuk membantu ekspansinya, 3) dia menekankan ketidakterelakkannya militerisme serta konflik antarnegara, dan dia juga menolak kemungkinan perkembangan dengan damai di dalam sistem kapitalisme sendiri. Sumbangsih paling pentingnya ialah pandangan bahwa imperialisme terikat dalam dinamika kapitalisme itu sendiri. Imperialisme bukanlah kebijakan keliru yang bisa diperbaiki. Imperialisme merupakan bagian organik dari sistem yang tidak bisa dielakkan. Imperialisme dihasilkan dari antagonisme yang mendalam dan mendasar antara kemampuan mengonsumsi dan kemampuan menghasilkan di dalam masyarakat kapitalis, yang secara berulang menghasilkan krisis dan mendorong kapital ke dalam perluasan pasar terus-menerus.

Dede Mulyanto, Dosen Antropologi di Universitas Padjadjaran, Bandung

 

Pustaka Tambahan

Arendt, H. 1995, Asal-usul Totalitarisme, Jilid II Imperialisme, terjemahan A.A. Nugroho dan J.M. Subijanta, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

Bukharin, N., 1972, Imperialism and the Accumulation of Capital, dalam R. Luxembug dan N. Bukharin, Imperialism and the Accumulation of Capital, hlm. 151-270, terjemahan Rudolf Wichmann, The Penguin Press, London.

Klein, N., 2007, The Shock Doctrin: The Rise of Disaster Capitalism, Metropolitan Books, New York.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.