Bahaya Politik Populis di Indonesia

Print Friendly, PDF & Email

KEMENANGAN Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama, yang lebih dikenal sebagai Jokowi-Ahok, pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta, bulan September 2012, tak pelak menimbulkan euforia tersendiri bagi banyak kalangan.

Bagi masyarakat ibukota, seperti yang dipresentasikan banyak media massa, kemenangan pasangan itu diharapkan bisa menyelesaikan berbagai persoalan ekonomi dan sosial. Masyarakat di daerah lain, kemudian terjangkiti harapan yang sama dan menginginkan pemimpin seperti Jokowi. Sementara para politisi di daerah lain yang akan mentas di pilkada, seakan mendapat durian runtuh karena mendapat model pencitraan dan strategi ideal untuk digugu bahkan ditiru habis-habisan.

Para intelektual juga tak mau ketinggalan dalam pesta kemenangan, yang menurut mereka, (kemenangan Jokowi-Ahok) ikut membuka kembali kemungkinan kekuatan populisme mendominasi jagad perpolitikan nasional.

Terutama, kekuatan populisme yang direpresentasikan oleh dua partai politik (parpol) pengusung pasangan tersebut, Partai Gerindra dan PDI Perjuangan. Bahkan, banyak pula yang mengatakan Pilkadi DKI Jakarta merupakan geladi sekaligus investasi politik kedua parpol tersebut, sebelum menantang klik SBY-Partai Demokrat dalam Pemilu 2014.

Kekuatan politik populis, dalam setiap lembar kesejarahan, memang mampu tampil bak mesiah di tengah kebijakan rejim yang semakin anti-rakyat, serta tersumbatnya saluran partisipasi politik masyarakat. Populisme, mampu kembali membangkitkan gairah masyarakat untuk melakukan perjuangan politik.

Namun, dalam tulisan ini, saya ingin mengetengahkan asumsi berbeda: kemenangan Jokowi—yang dianggap manifestasi kesuksesan proyek politik kekuatan populis—bakal mampu digunakan oleh kelompok atau kekuatan serupa guna meraih posisi dominan dalam pertarungan politik di tingkat daerah maupun pusat.  Selanjutnya, konfigurasi politik seperti itu, justru akan berakibat negatif terhadap kemajuan gerakan-gerakan rakyat, terutama di kalangan tani. Kekhawatiran yang utama adalah, terjadinya disorientasi gerakan dan ideologi massa.

Gerakan Revivalis

Raut wajah Mukhlis Basri nampak semringah, serasi dengan kemeja kotak-kotak ala Jokowi yang dikenakannya, ketika berpose untuk para jurnalis, akhir September lalu. Betapa tidak, dirinya kembali terpilih menjadi Bupati Lampung Barat dengan meraup 89,38 persen suara pemilih.

Perolehan suara yang fantastis, jauh melebihi perolehan suara rekan separtainya, Jokowi (53,81 persen). ‘Dia sosok populer di mata masyarakat, dan konsisten mengusung program populis, pro-rakyat,’ tandas salah satu eksponen gerakan mahasiswa 1998, yang menjadi anggota tim suksesnya pada pilkada lima tahun silam.

Populisme, dalam  gelanggang politik secara umum seringkali diartikan sama dengan populer atau dikenal baik oleh masyarakat. Tapi dalam khasanah akademis, populisme menjadi terminologi yang samar.

Agar menjadi jelas, populisme biasanya dikenali melalui sejumlah ciri khas yang melekat ketika konsep tersebut dimanifestasikan  dalam strategi dan juga ideologi politik. Sebagai strategi politik, ciri utama populisme adalah selalu berupaya untuk mengindentifikasikan serta melegitimasikan dirinya sendiri sebagai bagian integral dari lapisan masyarakat lintas-sektor yang tersisih. Sedangkan ciri khas populisme sebagai ideologi adalah, menolak rejim status quo beserta seluruh kebijakannya yang dinilai anti-rakyat. (lihat: Raadt, Hollander, Krouwel 2004).

Dalam kasus Indonesia kontemporer, kita akan mudah menemukan ciri populisme dalam bentuk strategi maupun ideologi parpol semacam PDIP, Gerindra, Hanura, dan Nasdem sebagai contoh terbaru. Kesemua parpol itu, mengidentifikasikan dirinya masing-masing menjadi bagian atau alat politik bagi segenap masyarakat yang dirugikan oleh rejim SBY-Boediono. Tak jarang, retorika mereka tentang hal ikhwal kemiskinan, diterima dan mampu menggerakkan rakyat dalam perjuangan politik elektoral.

Tapi, melalui strategi populis, masyarakat yang tertindas tidak lantas memiliki ruang yang luas untuk mengarahkan perjuangan parpol tersebut sesuai dengan kepentingannya—atau dalam bahasa intelektual pembela populisme: terciptanya demokrasi partisipatoris. Pasalnya, relasi antara parpol populis dengan masyarakat di Indonesia merupakan padanan patron-klien pada masa feodal. Alhasil, identifikasi mereka sebagai alat perjuangan kaum tertindas, hanyalah strategi untuk memenangkan persaingan antarfaksi populis demi meraup banyak klien pendukung politiknya masing-masing.

Sebagai konsekuensinya, gerakan massa yang terkooptasi oleh parpol maupun kekuatan populis lainnya melalui relasi patron-klien itu, tidak memiliki kebebasan mengekspresikan kepentingan klasnya masing-masing. Dengan kata lain, terjadi disorientasi  politik gerakan massa demokratis.  Terlebih lagi, populisme secara ideologis tidak menilai rakyat sebagai suatu masyarakat berstratifikasi yang terbagi dalam klas-klas, melainkan sebagai suatu masyarakat ideal yang dijiwai oleh nilai-nilai tradisional, seperti saling bantu dan kerjasama yang luwes (Wertheim 1976: 413).

Berangkat dari penilaian tersebut, meski terdapat parpol populis yang konsisten menjadi oposan seperti PDIP, mereka tidak mampu mengartikulasikan kepentingan setiap klas tertindas dalam masyarakat menjadi serangkaian program yang utuh sebagai antitesis program kompradoris rejim SBY-Boediono.

Program perjuangan mereka, justru lebih mencerminkan gerakan revivalis dari kekuatan-kekuatan politik lama yang ingin kembali berkuasa. Secara riil, Wertheim dengan mengutip Peter Worsley menilai, ideologi politik yang revivalistis ini lazimnya berkaitan dengan stadium dimana jumlah terbesar dari rakyat masih hidup di pedesaan.  Sebuah ideologi yang khas bagi suatu bangsa yang terutama terdiri atas pemilik-pemilik tanah kecil, seperti yang tercermin dari punggawa-punggawa utama parpol-parpol populis di banyak.

Saya kembali akan mengajukan Mukhlis Basri sebagai contoh terbaik populis-revivalis tersebut. Mukhlis ‘sang populis’ yang dua pekan sebelum kemenangannya, menjual lahan rakyat kepada kekuatan imperial, dengan memberikan izin kepada PT Chevron Geothermal untuk mengaduk perut lahan masyarakat setempat. ***

Reza Gunadha, Jurnalis Persda Kompas Gramedia group; tinggal di Provinsi Lampung

Referensi:

Raadt, Jasper de; Hollanders, David; Krouwel, André, Varieties of Populism: An Analysis of the Programmatic Character of Six European Parties, Working Papers Political Science No. 2004/04, Vrije Universiteit Amsterdam

Wertheim, WF, De Lange Mars der Emancipatie (Herziene druk van ‘Evolutie en Revolutie’), Uitgeverij en Boekhandel Van Gennep bv, Amsterdam. Edisi Indonesia: Gelombang Pasang Emansipasi, Garba Budaya KITLV ISAI, tanpa tahun.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.