Lenin, PKS dan Realisme

Print Friendly, PDF & Email

Kritik atas Kritik Ted Sprague atas Ragil Nugroho

DALAM tulisannya, PKS dan Lenin, Ragil Nugroho mengangkat sebuah wacana yang mengagetkan bagi sebagian aktivis-pemikir Marxis. Ia menunjukkan bagaimana, pada periode pasca-Reformasi, kemerosotan gerakan Kiri yang berbanding terbalik dengan penguatan gerakan Kanan, justru disebabkan karena metode analisis politik Leninis telah ditinggalkan oleh gerakan Kiri dan diadopsi dengan sukses oleh gerakan Kanan. Inti dari metode tersebut adalah, seperti ditulis Ragil, ‘bekerja pada alam nyata’: berangkat dari asumsi yang sesuai dengan kenyataan yang ada, betapapun kenyataan tersebut terkesan remeh-temeh dan ‘tidak revolusioner’ di mata kader. Metode analisis politik Leninis inilah yang ditinggalkan oleh gerakan Kiri dan justru terwujud dalam strategi PKS. Ini nampak seperti dalam pernyataan kader PKS yang dikutip Ragil: ‘Mari kita perbaiki jalanan berlubang dan sediakan sanitasi yang bagus sebelum berpikir memaksakan perempuan berkerudung.

Tulisan itu menuai kritik dari Ted Sprague yang mengecamnya, dalam PKS Bukan Lenin, sebagai ‘Reformis’ dan bahkan—lagi-lagi—‘Stalinis.’ Bagi Ted, kritik Ragil atas gerakan Kiri, yang dianggap telah melupakan Lenin, justru berakibat ‘memerosokkan banyak orang’ ke dalam Ekonomisme. Karena Ragil menekankan pentingnya politik Kiri yang membumi pada persoalan sehari-hari, Ted menganggapnya membawa kecenderungan oportunis yang membuat gerakan terhenti pada isu-isu ekonomis (seperti persoalan upah, jaminan keamanan kerja, dll) dan abai pada dimensi politisnya, yakni pentingnya menanamkan kesadaran komunis pada massa. Dengan berbekal montase kutipan dari Lenin, Ted mau memperlihatkan adanya kecenderungan kontra-revolusioner dalam tulisan Ragil, yaitu bahaya terjatuh ke dalam reformisme yang menegasi potensi revolusi. Akhirnya, Ted mengindikasikan bahwa implikasi lanjutan dari posisi Ragil adalah jatuhnya gerakan pada politik pengambil-alihan negara dan tidak mendestruksi bentuk-negara itu sendiri. Padahal apa yang seharusnya diperjuangkan oleh kelas proletar adalah, dalam ungkapan Ted, “membentuk sebuah pemerintahan buruh yang baru dan sungguh berbeda.’ Dengan kata lain, Ragil seperti Stalin: melanggengkan bentuk-negara itu sendiri. Tepatnya, seperti ‘kaum Stalinis yang zig-zag, yang banting stir ke kiri dan kanan.’

Melalui tulisan ini, saya akan menjalankan kritik atas kritik Ted atas Ragil. Secara umum, tulisan ini sepakat dengan isi tulisan Ragil. Bedanya, saya akan mendudukkan persoalan ‘Lenin dan PKS’ ini dalam kerangka filsafat. Hal ini penting karena dengan begitu kita akan dapat menyaksikan secara langsung konsekuensi teoretik dari penolakan Ted atas Ragil terhadap totalitas pemikiran Marxisme-Leninisme itu sendiri. Kita akan melihat apa implikasi teoretik posisi Ted terhadap Marxisme-Leninisme, dan baru setelahnya kita akan lihat juga implikasi praktisnya pada level pengorganisasian. Untuk itu, kita akan berangkat dari sebuah tulisan Lenin yang popularitasnya di Indonesia kalah jauh dibandingkan What’s To Be Done? yang dikutip berulang-kali dalam tulisan Ted. Tulisan Lenin yang dimaksud adalah Materialism and Empirio-criticism.

Lenin dan Realisme[1]

Buku Materialisme dan Empirio-kritisisme, tidak secara langsung berbicara tentang politik. Buku itu adalah sebuah buku filsafat. Di sana, Lenin mengritik filsafat empirio-kritisisme yang dirumuskan oleh Ernest Mach dan Richard Avenarius. Filsafat ini mengajarkan bahwa kenyataan material-objektif yang sepenuhnya terlepas dan independen terhadap pengamat itu tidak ada.  Bagi Mach, ada/tidaknya realitas objektif yang eksternal dari subjek pengamat itu tidak penting bagi pengetahuan ilmiah. Yang penting adalah, ada kesan-kesan indrawi yang tersusun secara reguler sehingga kita bisa membuat kesimpulan yang koheren. Sehingga kalaupun realitas ini hanyalah mimpi belaka, asalkan semua hasil persepsi kita terhubung secara stabil, maka kita juga bisa berkegiatan ilmiah di dalamnya (Mach 1959: 11). Apa yang disebut materi, bagi Mach, hanyalah ‘simbol mental’ untuk menandai suatu penampakkan indrawi yang relatif stabil (Mach 1959: 311). Demikian pula, Avenarius menyatakan bahwa masa lalu maupun masa depan tidak riil karena keduanya hanyalah ‘proyeksi mental’ sang subjek pengamat di masa kini (Lenin 1962: 76-77).

Pemikiran empirio-kritisis ini berkembang di Rusia, utamanya, dalam pemikiran seorang Marxis bernama Alexander Bogdanov. Ia menulis dengan bersemangat: ‘Marxisme mengandung sebuah penolakan tanpa syarat terhadap objektivitas dari setiap kebenaran, penolakan terhadap semua kebenaran abadi […] Kebenaran adalah suatu bentuk ideologi, suatu bentuk pengorganisasian pengalaman manusia’ (seperti dikutip dalam Lenin 1962: 122-123). Oleh karena realitas objektif yang eksternal dan independen terhadap manusia ditolak, maka kebenaran objektif juga ditolak. Kebenaran, karenanya, hanyalah efek ideologi—kebenaran adalah soal politik.

Dalam buku yang tebalnya nyaris 400 halaman itu, Lenin membongkar kekeliruan filsafat empirio-kritisisme. Ia menyerangnya sebagai filsafat idealisme yang mereduksi realitas material pada kesadaran. Idealisme, bagi Lenin, akan selalu berakhir pada solipsisme, yakni pengertian tak ada sesuatupun di luar diriku sendiri. Pada titik ini, pilihannya jelas menurut Lenin: pilih materialisme atau terjatuh ke dalam solipsisme (Lenin 1962: 81). Apabila kita memilih materialisme, maka konsekuensinya secara epistemologis kita menganut realisme, yakni pandangan bahwa ada realitas yang eksternal dan independen terhadap subjek penahu. Jelas bahwa bagi Lenin, Marxisme hanya cocok dengan epistemologi realis yang mengakui objektivitas kenyataan dan kebenaran—tidak dengan epistemologi idealis yang menisbikan realitas objektif dengan membuatnya relatif terhadap subjek. ‘Watak fundamental materialisme,’ demikian ia tulis, ‘adalah bahwa ia berangkat dari objektivitas sains, dari pengakuan akan realitas objektif yang direfleksikan oleh sains, sementara idealisme membutuhkan ‘gerakan-gerakan memutar’ untuk ‘mendeduksikan’ objektivitas berdasarkan pikiran, kesadaran, yang-‘psikis’” (Lenin 1962: 294). Lenin menyelami setumpuk literatur sains untuk membangun argumennya: ia bahkan terlibat dalam perdebatan filsafat sains tentang status hukum fisika (Lenin 1962: 293).

Pertanyaannya: mengapa Lenin merasa perlu meluangkan waktunya sebagai aktivis Kiri untuk memberikan pembuktian filosofis tentang realitas eksternal dan kritik atas epistemologi idealis? Apa relevansinya bagi gerakan? Inilah yang juga menjelaskan kebingungan para kader partai yang lain terhadap Lenin pada waktu itu.[2] Mestikah kita menafsirkannya, seperti Tony Cliff (Rees 1998: 175), sebagai bukti ‘keterasingan Lenin dari situasi gerakan yang konkrit’? Tafsiran gampangan semacam ini dengan sendirinya terbantah apabila kita mengetahui bahwa Lenin menuliskan sebuah surat kepada editor penerbitnya agar mempercepat penerbitan buku tersebut karena ia mengemban, sebagaimana dinyatakan dalam surat itu (Lenin 1962: 397, Lampiran), ‘kewajiban politik yang serius berkenaan dengan penerbitannya’? Artinya, ada hubungan langsung antara realisme epistemologis yang dibangun Lenin dalam karya tersebut dengan situasi gerakan.

Untuk memahami kaitan ini, kita mesti menyadari bahwa naskah tulisan itu ditulis Lenin awal tahun 1908 dan terbit 1909. Buku ini, dengan demikian, mesti dibaca dalam konteks Revolusi 1905. Gerakan moral ratusan ribu buruh yang dipimpin oleh pendeta Gapon di lapangan Istana Musim Dingin, menghimbau agar Tzar diberikan ‘suara hati’ untuk mengulurkan tangan pada kaum miskin. Namun aksi yang diiringi dengan nyanyian Tuhan Lindungilah Tzar itu diakhiri dengan serbuan kavaleri Tzar yang menewaskan ribuan buruh. Konjungtur situasi yang mengikutinya membuat Tzar merestui berdirinya Duma atau lembaga perwakilan rakyat pada tahun 1906. Baru pada 1907 gerakan Kiri memutuskan untuk terjun ke dalamnya, ke dalam arena politik parlementer.

Kendati Lenin telah mengadvokasi pentingnya strategi intra- sekaligus ekstra-parlementer melalui Dua Taktik Sosial-Demokrat dalam Revolusi Demokratik (1905) dan dengan itu mendorong gerakan untuk terjun ke dalam politik parlementer, tetapi keputusan gerakan sendiri tak sepenuhnya bulat. Ada yang mendukung aktivitas intra-parlementer sambil menolak sepenuhnya yang sebaliknya (kelegal-legalan), dan ada yang mendukung ekstra-parlementer sambil mengecam yang memilih intra-parlementer (keilegal-ilegalan). Adalah hal yang menarik bahwa Bogdanov, aktivis Partai Buruh Sosial-Demokrat Rusia yang mengangkat filsafat empirio-kritisisme, berada pada jalan yang kedua: menolak sepenuhnya jalur parlementer karena itu tak sesuai dengan ‘nilai-nilai Marxisme.’ Krupskaya, partner Lenin, mengingat slogan Bogdanov di kemudian hari, ‘Seorang Bolshevik mesti keras dan pantang tunduk,’ sementara Krupskaya mengisahkan sikap Lenin terhadapnya: ‘Lenin menganggap pandangan ini keliru. [Sebab] itu berarti melepaskan kerja-kerja praktis dan berdiri terpisah dari massa ketimbang mengorganisasikan mereka dengan berlandaskan persoalan hidup sehari-hari. (seperti dikutip dalam Le Blanc 2006: 97).

Sampai di sini kita mulai dapat melihat alasan historis mengapa proyek pembangunan epistemologi realis begitu mendesak bagi Lenin, sehingga ia perlu meluangkan waktunya untuk studi di perpustakaan Société de Lecture (Jenewa), British Museum (London), dan Bibliothèque Nationale (Paris) selama setahun untuk menghasilkan buku Materialisme dan Empirio-kritisisme. Lenin jelas melihat bahwa epistemologi idealis Bogdanov berhubungan langsung dengan pandangan politiknya yang kekiri-kirian. Karena realitas eksternal yang independen terhadap subjek itu dianggap tidak ada, maka realitas tak lain adalah kesadaran. Implikasi politis dari idealisme ini dengan jelas kita saksikan: voluntarisme. Karena kondisi objektif dipandang tidak ada, karena konsep ‘kondisi objektif’ itu sendiri dipandang sebagai konsep kaum oportunis-reformis, maka yang ada hanyalah kehendak (voluntas) revolusioner. Akibatnya, realitas objektif direduksi pada realitas subjektif. Kenyataan dijadikan relatif terhadap kesadaran revolusioner. Dengan begitu, Marxisme direduksi menjadi sekadar agama, menjadi sekadar kumpulan nilai-nilai dan nubuat-nubuat revolusioner. Dalam Bogdanov, kita saksikan bagaimana Marxisme direduksi menjadi Hegelianisme borjuis-kecil dan, ironisnya, hal ini dijalankan secara heroik: seolah-olah demi menegakkan Marxisme itu sendiri. Proses reduksi atas Marxisme menjadi sekadar Moralisme inilah yang ditentang mati-matian oleh Lenin sebab ia sadar betul bahwa proses itu akan melikuidasi Marxisme itu sendiri. Itulah kenapa Lenin begitu menekankan bahwa Marxisme bukan relativisme, bahwa Marxisme mengakui adanya kebenaran dan kenyataan objektif, bahwa Marxisme mesti berangkat dari apa yang memang—meminjam istilah Ragil—‘bekerja pada alam nyata.’

Dalam realisme epistemologisnya inilah terletak fondasi dari realisme politik Lenin yang legendaris itu. ‘Tahu kapan berkompromi dan saat mempertahankan pijakan.’ Inilah yang disadari oleh Georg Lukács dalam monograf pendeknya untuk memperingati wafatnya pemimpin besar itu. Lukács menunjukkan bahwa yang mau dilawan oleh realisme Lenin ini adalah segala bentuk idealisme, yang disebutnya dengan tepat sebagai ‘utopianisme’.

Tujuan dari realisme Lenin, realpolitik-nya, adalah penghapusan total atas segala bentuk utopianisme, pemenuhan konkrit atas isi dari program Marx: sebuah teori yang menjadi praktis, sebuah teori tentang praktik. […] Utopianisme revolusioner adalah suatu upaya untuk mengangkat diri dengan jalan menarik rambutnya sendiri, untuk mendarat dengan sekali lompatan ke sebuah dunia yang sepenuhnya baru, ketimbang melalui pemahaman—dengan bantuan dialektika—tentang evolusi dialektis yang baru dari yang lama (Lukács 1971: 73-75).

Idealisme dalam berbagai namanya (moralisme ultra-kiri, utopianisme revolusioner, voluntarisme) selalu mau cepat-cepat melampaui situasi objektif dengan cara menghujaninya dengan putusan moral, agar massa cepat sadar tanpa dirinya sendiri sadar bahwa ada syarat-syarat objektif yang harus dipenuhi agar apa yang disebut ‘sadar’ itu dimungkinkan.

Sosialisme tidak dibangun dengan cara memukuli massa agar massa itu cepat memiliki kesadaran revolusioner, tidak juga dengan cara memukulinya dengan kata-kata yang seolah jelas dengan sendirinya tanpa dibuktikan. Singkatnya, sosialisme tidak dibangun dengan cara menyalahkan massa: bahwa mereka oportunis, egois, korup, malas, bodoh, tidak suka baca buku, tidak bisa bahasa Inggris, tidak pernah bergaul dengan aktivis sedunia, sulit solider dengan perjuangan rakyat Eskimo dan seterusnya. Lenin tahu ini—juga semua kawan yang pernah berlibat dalam pengorganisasian basis mulai dari serikat buruh kuning sampai ‘buruh cuci-setrika.’ Teks Komunisme ‘Sayap Kiri,’ Sebuah Penyakit Kekanak-kanakan berbicara dengan sendirinya:

Kaum revolusioner yang belum berpengalaman biasanya berpikir bahwa metode perjuangan yang legal itu oportunis sebab, di lapangan ini, kaum borjuis telah kerapkali menipu para pekerja (terutama di masa ‘damai’ dan non-revolusioner), sementara metode perjuangan ilegal bersifat revolusioner. Ini, bagaimanapun juga, keliru. […] Bukanlah hal yang sulit untuk menjadi seorang revolusioner ketika revolusi telah meledak, ketika setiap orang bergabung dengan revolusi hanya karena mereka terbawa suasana, sebab itu hampa, dan terkadang berdasarkan motif-motif kariris. […] Adalah hal yang jauh lebih sulit—dan jauh lebih berharga—untuk menjadi seorang revolusioner tatkala kondisi bagi perjuangan massa revolusioner yang langsung dan terbuka belum ada, untuk mampu memimpin kepentingan revolusi (melalui propaganda, agitasi dan organisasi) dalam badan non-revolusioner, dan kerapkali dalam badan yang terang-terangan reaksioner, dalam situasi non-revolusioner, di antara massa yang belum mampu mengapresiasi langsung keperluan bagi metode aksi yang revolusioner (Le Blanc 2008: 314-315).

Dengan kata lain: ‘Mari kita perbaiki jalanan berlubang dan sediakan sanitasi yang bagus sebelum berpikir memaksakan perempuan berkerudung.’

Membaca Marx Perlahan-lahan

Realisme Leninis ini bukanlah hal yang baru dalam Lenin. Materialisme historis Marx-Engels, juga sudah dibangun atas dasar epistemologi realis: mengakui adanya kondisi-kondisi objektif—realitas ekonomi-politik—sebagai basis yang mengondisikan terbentuknya realitas superstruktural yang spesifik. Materialisme historis adalah sebuah pengakuan bahwa tak ada perubahan politik yang berarti tanpa pemahaman tentang sesuatu yang mau diubah dan sesuatu itu bukanlah sekedar perluasan kehendak, mimpi dan ekspektasi revolusioner kita sendiri, melainkan objektif terlepas dari apa yang kita imajinasikan.  Inilah realisme yang disadari dengan baik oleh Marx. Inilah juga yang memungkinkannya menulis dalam Conspectus of Bakunin’s ‘Statism and Anarchy’: ‘Tuan Bakunin samasekali tidak mengerti tentang revolusi sosial, [yang ia mengerti] hanya frase-frase politiknya. Prakondisi ekonomisnya tidak ada bagi dia. […] Kehendak lah, dan bukan prakondisi ekonomi, yang menjadi fondasi dari revolusi sosialnya’ (Marx 1981: 334-335).

Tak ada yang lebih dikecam Marx dalam berbagai tulisannya ketimbang voluntarisme—yang merupakan konsekuensi filsafat idealisme dalam politik. Voluntarisme menekankan kualitas-kualitas subjektif, seperti kehendak dan kesadaran revolusioner, sebagai dimensi terdalam kenyataan. Dalam visi ini, kenyataan secara hakiki bersifat subjektif: tergantung kehendak kita. Dengan kata lain, iman. Dengan iman (revolusioner) sebesar biji sesawi, kita akan memindahkan gunung—sesungguhnya inilah inti pemikiran kaum voluntaris. Apabila gunung itu belum juga berpindah, berarti iman kita yang belum kuat dan harus ditempa lagi dengan merapal ulang frase-frase revolusioner. Tak pelak lagi, basis filsafatnya adalah idealisme. Marx selalu jeli dalam mengidentifikasi simptom idealistik di pemikiran lawan-lawannya: mulai dari Hegelian Muda seperti Bauer sampai anarkis seperti Stirner, Proudhon dan Bakunin. Mereka semua selalu mereduksi kenyataan objektif pada skema subjektif. Garis besar epistemologi mereka inilah yang dikritik dalam German Ideology sebagaimana terungkap dalam prolognya yang legendaris:

Pada suatu ketika seorang kawan yang gagah berani memiliki ide bahwa manusia dapat tenggelam dalam air hanya karena mereka memiliki ide gravitasi. Apabila mereka dapat menyingkirkan konsep gravitasi ini dari kepala mereka, misalnya dengan mengutukinya sebagai takhayul atau konsep religius, maka mereka telah memberikan pembuktian jitu untuk menyangkal berbahayanya air. […] Kawan yang gagah berani inilah jenis filsuf-filsuf revolusioner baru di Jerman (Marx & Engels 1976: 29-30).

Perlawanan atas filsafat idealisme dalam berbagai bentuknya merupakan basis epistemologi Marx. Perlawanan inilah juga yang menjelaskan, mengapa ia memilih untuk masuk ke dalam proyek kritik ekonomi-politik dan tidak tinggal diam dalam kritisisme kultural. Kalau Marxisme-Leninisme dapat disebut sebagai sains, itu karena Marxisme-Leninisme dibangun atas dasar epistemologi realis yang mengakui keberadaan realitas eksternal-objektif yang menjadi titik berangkat analisis.

Maka dari itu, kita mesti baca kembali Marx secara perlahan-lahan. Kita mesti mempelajarinya tidak untuk memburu frase-frase revolusioner yang terdengar high-sounding untuk dikutip dan menakut-nakuti massa dengannya. Kita mesti belajar dari Marx dan Engels, bagaimana mereka mengartikulasikan ‘patahan epistemologis’ terhadap Moralisme Kiri dalam berbagai bentuknya. Ada baiknya kita membaca dua teks kembar Political Indifferentism (Marx) dan On Authority (Engels) yang diterbitkan di sebuah almanak Italia pada tahun 1874. Kedua teks itu ditulis dalam konteks yang sama, yakni untuk melawan tendensi ‘ultra-kiri’ di Italia, yang menolak perjuangan politik proletariat dalam partai yang tersentralisir karena menganggap bahwa sentralisme itu niscaya birokratis (dan karenanya buruk, jahat), penuh otoritas (dan karenanya otoriter, kejam), yang menolak perjuangan ekonomi karena menganggap bahwa perjuangan untuk kenaikan upah berarti mengakui relasi kerja-upahan, dan yang menolak segala bentuk negosiasi politik karena menganggapnya jatuh pada kompromi (dan karenanya tidak otentik, penuh dosa). Dalam Political Indifferentism, Marx menulis:

[Marx merumuskan logika dari kaum ‘ultra-kiri’ yang dilawannya:] ‘Kelas buruh tidak boleh membangun sebuah partai politik. Mereka tidak boleh, atas alasan apapun, terlibat dalam aksi politik karena melawan negara adalah berarti mengakui negara—dan ini berlawanan dengan prinsip abadi. Para buruh juga tidak boleh melakukan pemogokan karena berjuang menuntut kenaikan upah atau menolak penurunan upah adalah seperti mengakui upah—dan ini berlawanan dengan prinsip abadi emansipasi kelas buruh! Jika dalam perjuangan politik melawan negara borjuis kaum buruh hanya berhasil memperoleh konsesi-konsesi, maka mereka bersalah karena telah melakukan kompromi—dan ini berlawanan dengan prinsip abadi. […] Kaum buruh tidak boleh memperjuangkan batasan legal bagi jam kerja karena ini berarti berkompromi dengan majikan, yang kemudian akan menghisap mereka selama sepuluh atau dua belas jam, ketimbang selama empat belas atau enam belas jam. Mereka tidak boleh mengupayakan secara legal untuk melarang dipekerjakannya anak-anak di bawah usia sepuluh tahun, karena dengan cara itu mereka tidak menghentikan penghisapan bagi anak-anak di atas sepuluh tahun—karenanya mereka terjatuh dalam kompromi baru yang menodai kemurnian prinsip.’

[Komentar Marx kemudian:] Jika para nabi indiferentisme politik mengekspresikan pandangan mereka sejelas ini, kaum buruh tidak akan kesulitan mengenali mereka dan akan merasa terhina oleh […] fantasi-fantasi idealis yang didewa-dewakan oleh para doktor ilmu sosial ini dalam nama: Kebebasan, Otonomi, Anarki (Marx 1981: 327-329)

Demikianlah kritik Marx atas Moralisme Kiri yang melikuidasi gerakan konkrit menjadi gerakan moral puritan, yang membuat gerakan menjadi buntu dan tak strategis secara politik karena disibukkan dengan persoalan menjunjung tinggi nilai-nilai luhur Humanisme Universal. Perlawanan Lenin di kemudian hari menghadapi kaum ultra-kiri seperti Bogdanov, adalah kelanjutan dari tradisi realisme Marx dan Engels. Realisme Lenin adalah penerapan materialisme historis dan materialisme dialektis sebagai metode berpikir politik yang diterapkan untuk membaca situasi objektif Rusia. Hasilnya kita tahu: PKS—sori, Partai Bolshevik—menang.

Pentingnya Epistemologi Kiri

Realisme Leninis inilah yang hilang dalam kritik Ted. Realisme Leninis digantikan dengan frase-frase Leninis. Ted hanya memahami Leninisme sebagai kumpulan frase revolusioner, tetapi gagal memahaminya sebagai metode berpikir politik. Dengan bersenjatakan kutipan-kutipan revolusioner, ia menyerang Ragil secara heroik sambil mengira telah meluruskan Marxisme yang sejati. Ia tak menyadari bahwa pembelaannya atas Marxisme, sejatinya justru mematikan Marxisme itu sendiri. Sungguh pemandangan yang langka: Marxisme dibunuh oleh Marxis yang mengaku militan dan dirayakan dengan tempik-sorak dari mereka yang mengaku Kiri. Pemandangan yang membikin kita mual. Pemandangan ini betul-betul membuat kita tercenung: jangan-jangan selama ini tak ada orang yang sungguh-sungguh membaca Marx dan Lenin, jangan-jangan mereka hanya memperlakukan teks-teks Marx dan Lenin sebagai ladang kutipan, tetapi justru gagal memahami logikanya, metode berpikirnya. Pantas saja tulisan Ragil membuat banyak orang tersinggung. Ragil telah menangkap metode berpikir Marxis-Leninis dan, oleh karenanya, tidak perlu memberikan lip service frase-frase revolusioner. Orang-orang yang mengaku Kiri, sebaliknya, terus-menerus gagal memahami bahwa Marxisme bukanlah lip service, Marxisme bukanlah kumpulan kutipan, bahwa Marxisme adalah sains yang bertumpu pada metode analisis dan filsafat yang implisit, yang seringkali tidak langsung terlihat pada level kutipan-kutipan, yang mengandaikan pembelajaran akan sejarah pemikiran dan realitas objektif. Pantas banyak orang yang marah dengan si tukang pencemooh dari lereng Merapi itu. Mereka marah karena sang pencemooh tidak sedang mencemooh, tetapi sedang menceritakan apa adanya. Realitas ‘apa adanya’ (baca: realitas objektif) inilah yang sukar diterima oleh para Marxis puber dan juru kutipnya, Ted Sprague.

Tugas intelektual gerakan Kiri di Indonesia memang harus memerangi Reformisme. Saya sepakat dengan itu. Kita memang mesti melawan para nabi kebudayaan kelas menengah yang mengkhotbahkan relativisme dan dengan itu mendelegitimasi semangat saintifik Marxisme-Leninisme. Kita mesti tetap mengritik habis setiap khotbah sekuler para ‘begawan kebudayaan’ yang merapal dogma pascamodern bahwa ‘tak ada realitas objektif’, bahwa ‘tak ada sesuatupun di luar teks/diskursus,’ bahwa ‘manusia adalah makhluk dhaif/fana  yang tak bisa mengakses kebenaran objektif.’ Dogma pascamodern ini penting untuk diperangi intelektual Kiri, karena dogma itu itu akan membius kita untuk masuk ke dalam perayaan demokrasi liberal sebagai satu-satunya alternatif. Inilah filsafat galau yang mesti terus diperangi oleh setiap Marxis. Dengan menampik adanya realitas dan kebenaran objektif, para reformis galau ini membuat segala analisis ekonomi-politik yang berpretensi ilmiah dan objektif menjadi nampak sia-sia. Konsekuensinya adalah obskurantisme atau sikap anti- terhadap ilmu pengetahuan dan pembuktian. Akibatnya bagi gerakan adalah bahwa gerakan akan kehilangan metode berpikir Marxis yang ilmiah dan tenggelam dalam hilir-mudik opini media massa borjuis. Implikasinya pada level pengorganisasian adalah kasuisme, ‘setia meratap’ pada kedurjanaan dunia dan akhirnya fiksasi pada level advokasi semata, tanpa kejelasan political gain yang mungkin didapat dari suatu aktivitas. Dan satu-satunya pihak yang diuntungkan dengan relativisme dan obskurantisme semacam ini adalah demokrasi liberal bersama para donaturnya. Para ‘begawan’ shoegazer ini mesti ditelanjangi dengan cara menjalankan kritik sistematik atas filsafat relativis kontemporer, yakni pascamodernisme.

Namun, tidak kekanan-kananan bukan berarti lantas kekiri-kirian. Di sinilah kekeliruan Ted. Karena dengan terjatuh ke dalam Marxisme yang direduksi menjadi Moralisme, kita sejatinya tak berbeda dengan para ‘begawan’ reformis itu. Di mana letak kesamaannya? Pada fakta bahwa keduanya sama-sama membuang realitas objektif dan menggantikannya dengan kualitas-kualitas subjektif. Tak ada realitas objektif yang dapat diakses karena manusia hanyalah makhluk fana dan realitas objektif adalah sejenis fiksi yang dicipta manusia sehingga tatanan politik yang ideal adalah tatanan yang mampu mengakomodasi conditio humana ini, yakni demokrasi liberal, kata para nabi kegalauan. Tak ada realitas dan prakondisi objektif sebab yang ada hanyalah kesadaran revolusioner, yang menentukan adalah level kehendak kita sendiri, sehingga setiap pihak yang mau menganalisis kondisi objektif mesti dilihat sebagai ‘menebar kebingungan di antara massa,’ kata para nabi ultra-kiri. Singkatnya, baik para nabi Reformisme maupun nabi ultra-kiri sama-sama mengadopsi suatu epistemologi yang anti-realis. Keduanya hanya berbeda dalam mood dan kosakata, tetapi identik dalam substansinya. Keduanya sama-sama anti-Marxis.

Pada akhirnya, ini soal pendidikan dalam tradisi Kiri. Sudah saatnya kita mempelajari Marxisme tidak sebatas verbal, sudah saatnya kita belajar bahwa Marxisme mesti diangkat menjadi metode berpikir politik. Sudah waktunya kita berhenti menjadi Marxis yang eksibisionis dan mulai memperbaiki-diri menjadi Marxis yang metodologis. Sudah saatnya kita berlatih memberikan assesment politik berdasarkan metode berpikir Marxis dan merumuskannya dalam kosakata yang non-Marxis. Ini penting karena pada aras pengorganisasian kita mesti memberikan penjelasan politik pada massa yang non-Marxis, dalam lingkungan yang seringkali anti-Marxis. Untuk itu, kita mesti belajar memilah kategori objektif dari kategori subjektif, memilah mana yang memang merupakan realitas dan mana yang merupakan imajinasi ‘revolusioner’ kita sendiri. Ragil tahu ini, Ted tidak. Perhatikan deskripsi dalam tulisan keduanya. Ragil menampilkan potret kenyataan di sekelilingnya: apa saja terbitan yang dikeluarkan oleh organ-organ PKS, berapa oplahnya, apa segmennya; berapa pilkada yang dimenangkannya, lewat koalisi macam apa; aktivitas basis apa saja yang dijalankannya. Sekarang perhatikan deskripsi dalam tulisan Ted: tak lebih dari Rusia, Rusia dan Rusia, seabad yang lalu. Satu abad—inilah jarak antara Ted dan Ragil. Jarak antara keduanya adalah seperti jarak antara khayalan dan kenyataan, antara idealisme dan realisme materialis, antara Bogdanov dan Lenin, antara para aktivis facebook Kiri dan aktivis PKS.***

Martin Suryajaya, anggota kelompok kajian AGITPROP

Kepustakaan

Mach, Ernest. 1959. An Analysis of Sensations diterjemahkan oleh C.M. Williams. New York: Dover Publications.

Lenin, V.I. 1962. Materialism and Empirio-criticism. (Collected Works Volume 14) diterjemahkan oleh Abraham Fineberg. Moscow: Foreign Languages Publishing House.

Rees, John. 1998. The Algebra of Revolution: The Dialectic and the Classical Marxist Tradition. London: Routledge.

Le Blanc, Paul. 2006. Marx, Lenin and the Revolutionary Experience: Studies of Communism and Radicalism in the Age of Globalization. London: Routledge.

——– ( ed). 2008. Lenin: Revolution, Democracy, Socialism: Selected Writings. London: Pluto Press.

Suryajaya, Martin. 2012. Materialisme Dialektis: Kajian tentang Marxisme dan Filsafat Kontemporer. Yogyakarta: Resist Book. forthcoming.

Lukács, Georg. 1971. Lenin: A Study on the Unity of His Thought diterjemahkan oleh Nicholas Jacobs. Massachusetts: MIT Press.

Marx, Karl. 1981. “Conspectus of Bakunin’s Statism and Anarchy” dalam Karl Marx, Political Writings Volume 3: The First International and After diedit oleh David Fernbach. London: Penguin.

——— 1981. “Political Indifferentism” dalam Karl Marx, Political Writings Volume 3: The First International and After diedit oleh David Fernbach. London: Penguin.

Marx, Karl dan Frederick Engels. 1976. The German Ideology. Moscow: Progress Publishers.

 


[1] Secara substantif, bagian ini merupakan versi lain yang lebih ringkas dari sebuah Bab dalam buku saya, Materialisme Dialektis: Kajian tentang Marxisme dan Filsafat Kontemporer (Yogyakarta: Resist Book), forthcoming.

[2] Kesan ini dicatat oleh seorang aktivis dan sejarawan Bolshevik, M.N. Pokrovsky: ‘Ketika Ilyich mulai bertarung dengan Bogdanov dalam perkara empiriomonisme, kami angkat tangan dan menyimpulkan bahwa Lenin sudah sedikit gila. Momennya kritis pada waktu itu. Revolusi tengah memudar. Kami dihadapkan pada kebutuhan bagi perubahan radikal di dalam taktik kami. Namun pada saat itu Ilyich malah menenggelamkan diri dalam Bibliotheque Nationale [di Paris], duduk di sana sepanjang hari, dan menulis sebuah buku filsafat. Cibiran muncul tanpa henti.’ (seperti dikutip dalam Rees 1998: 169).

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.