Di Bawah Naungan Pohon Jati: Fragmen Kehidupan di Pesantren

Print Friendly, PDF & Email

Latar

SENORI, desa kelahiranku, dan desa tetangganya tempat orang tuaku kemudian bermukim, Bangilan, merupakan daerah berkapur di Kabupaten Tuban yang seluruh penjuru wilayahnya dikelilingi oleh hutan-hutan jati. Karena itu dapat dikatakan jika secara kultural Senori adalah ‘desa santri,’ maka secara ekologis desa ini dan desa-desa sekelilingnya adalah ‘desa jati.’

Geografi daerah ini memang bagian dari Pegunungan Kendeng Utara yang didominasi batuan gamping atau karst yang cocok sebagai habitat pohon jati. Kawasan karst ini membentang sepanjang garis pantura, meliputi Kabupaten Pati (bagian selatan), Grobogan (bagian utara), Rembang, Blora, Tuban, Bojonegoro (bagian utara) dan Lamongan (bagian barat). Air permukaan sangat minim di kawasan ini akibat sifat batuan kapur yang mudah meloloskan air. Tingginya tingkat porositas (lolosan) air dan sifat batuan kapur yang mudah larut oleh air hujan, menciptakan banyak sekali rekahan alami yang membentuk gua-gua alam dengan stalaktit dan stalakmit yang menakjubkan. Proses alam yang sama juga menghasilkan jaringan sungai bawah tanah yang rumit dan unik di daerah ini.

Dari segi struktur tanah, daerah ini didominasi tanah kapur yang terbentuk dari proses panjang pelapukan batuan gamping. Tepatnya, jenis tanah di daerah ini adalah mediteran, yaitu campuran dari proses pelapukan batuan gamping dan batuan sedimen. Warna tanah jenis ini adalah kemerahan sampai coklat. Renzina adalah jenis tanah kapur lainnya  yang berwarna hitam dan miskin zat hara, seperti dijumpai di daerah Gunung Kidul (DIY). Meski tanah mediteran kurang subur untuk pertanian, namun jenis ini amat cocok untuk tanaman-tanaman tertentu seperti palawija, tembakau, jambu mete dan, termasuk juga, pohon jati.

Pohon jati, atau tectona grandis sp. dalam istilah latin, tumbuh dengan ideal pada tanah yang mengandung banyak kapur dan fosfor, memiliki kadar keasaman rendah (basa), dan tidak banyak tergenang air. Semua syarat itu ditemukan dengan baik di Senori dan desa-desa sekitarnya, sehingga pohon yang bernilai ekonomi tinggi ini dapat tumbuh subur dan mendominasi lanskap perbukitan setempat. Seperti disinggung di atas, kondisi inilah yang menyebabkan daerah ini dapat disebut sebagai ‘desa jati.’

‘Di bawah naungan pohon jati,’ dengan demikian, adalah perumpamaan yang tepat untuk menggambarkan pengaruh ekologi hutan jati terhadap kehidupan sosial-ekonomi masyarakat, sebagaimana perumpamaan ‘di bawah naungan kitab kuning’ menggambarkan pengaruh tradisi pesantren terhadap kehidupan sosial-budaya mereka. Berada di bawah dua ‘naungan’ ini, pertanyaan yang selalu menggoda adalah bagaimanakah dua faktor ini (agro-ekologis dan kultural-ideologis) saling berinteraksi satu sama lain di daerah ini? Ini adalah pertanyaan besar yang menarik untuk dikupas lebih dalam, dan ia tidak akan cukup untuk sekedar disinggung dalam sebuah catatan pendek semacam ini.

Perjumpaan

Terkecuali para santri kalong, yakni mereka yang tetap tinggal di rumah orang tuanya di sekitar pesantren, kebanyakan santri, terutama yang berasal dari luar daerah, menetap di kompleks pemondokan pesantren. Mereka tinggal di bilik-bilik kecil yang disebut gothakan, terikat dengan berbagai aturan hak dan kewajiban santri, mengikuti rutinitas pengajian di ndalem kyai dan sekolah di Madrasah, dan sebagainya.

Namun para santri di Senori tidak pernah terkucil dari kehidupan luarnya. Sebagai misal, sebagian santri harus mencari sumber penghidupan dengan bekerja pada warga desa sekitar, mereka juga mengurus sendiri belanja dapurnya dengan pergi ke pasar yang buka tiap hari Pon dan Kliwon dalam penanggalan Jawa, berpartisipasi dalam kegiatan sosial dan keagamaan desa, dan masih banyak lagi interaksi sosial dengan warga di luar pesantren. Lagi pula, para santri juga tidak pernah mau ketinggalan jika ada layar tancap di lapangan Sendang atau Wanglu Kulon; dan bilamana putaran kompetisi bulu tangkis atau sepak bola sedang berlangsung, atau Mike Tyson akan bertanding tinju, maka rumah-rumah warga desa yang memiliki televisi akan dipadati oleh para santri yang berjubel menonton.

Maka mondok di pesantren tidak membuat para santrinya berada di luar ‘naungan pohon jati’ sama sekali. Pesantren adalah satu rumah tangga juga (atau tepatnya himpunan rumah tangga), sebagaimana halnya rumah tangga warga desa pada umumnya. Dan banyak sekali kebutuhan rumah tangga berasal dari hutan jati sekitar, baik yang terkait dengan kebutuhan pangan, papan atau energi. Rumah tangga pesantren-pesantren di Senori juga tidak terlepas dari situasi ini, meski lokasinya berada di pusat kota kecamatan dan tidak berbatasan langsung dengan kawasan hutan jati. Pesantren-pesantren itu turut pula menjadi situs dari sirkulasi aneka barang yang berasal dari hutan jati, berikut aneka gagasan, regulasi dan agensi yang menyertainya. Dus, perjumpaan dengan hutan jati dalam aneka manifestasinya turut membentuk kehidupan sehari-hari para santri; dan dalam arti itu, maka ia merupakan sebuah kenyataan rutin ketimbang perkecualian.

Bahwa bangunan pesantren dan Madrasah, demikian pula meja, kursi dan papan tulis, kebanyakan atau semuanya terbuat dari kayu jati, barangkali hal itu dianggap given oleh para santri. Semua itu sudah ada sebelum mereka datang ke pesantren, dan diterima sebagaimana adanya. Namun, tentulah tidak demikian halnya dengan hal-hal yang terkait dengan kebutuhan subsistensi mereka, yakni kebutuhan makan mereka sehari-hari. Pada saat saya mondok di Senori paroh akhir 1980-an, hampir semua tahapan dalam penyiapan makanan tak terlepas dari interaksi dengan benda-benda yang berasal dari hutan jati, mulai dari tahap belanja bahan masakan, proses memasaknya, hingga makanan dihidangkan dan siap dikonsumsi.

Daun jati adalah bungkus semua jenis makanan yang amat populer di daerah ini, bahkan hingga saat ini. Dalam kondisi masih segar (basah), daun ini bukan hanya berfungsi sebagai pembungkus. Ia juga digunakan sebagai pemberi aroma dan penambah rasa pada masakan tertentu. Sayur gulai (atau becek dalam istilah setempat) akan memiliki rasa dan aroma yang lebih nikmat jika dituangkan panas-panas pada nasi yang ditaruh di atas daun jati. Demikian pula sayuran lodeh,  nasi rames, nasi pecel, dan banyak masakan lain yang menggunakan kuah santan. Para santri, yang anggaran belanjanya selalu terbatas, akan mengoptimalkan kiat ini untuk bisa makan enak. Salah satu fragmen ritual makan di pesantren yang saya alami sewaktu mondok melibatkan tahapan berikut ini.

Kelompok masak saya pada satu kesempatan bermaksud memasak sayur lodeh buah labu, artinya buah itu dimasak dengan bahan santan. Anggota kelompok pun segera berbagi tugas. Ada yang pergi berbelanja ke pasar membeli cikalan (kelapa tua yang sudah dikupaskan), ada yang membersihkan panci dan mencuci beras (mususi), dan ada yang pergi ke sungai di belakang pesantren untuk mencari serpihan kayu jati dan ranting bambu sebagai bahan bakar–syukur jika berhasil pula menemukan jamur liar.

Setelah semua anggota kelompok berkumpul kembali dan siap memulai kegiatan memasak, maka inilah pernik-pernik bagian hutan jati yang dipergunakan dan mengalami perubahan wujud (konversi) selama proses memasak para santri. Tidak mampu membeli rencek, yakni kayu jati yang sudah dikampak menjadi potongan-potongan kecil untuk bahan bakar, serpihan kayu jati yang telah dipungut dari pinggiran sungai digunakan sebagai bahan bakar utama memasak. Untuk menyalakannya, kadangkala minyak tanah dipergunakan sebagai pemicu awal. Namun minyak tanah adalah bahan energi utama untuk penerangan di malam hari, dan santri yang hemat akan memanfaatkan daun-daun jati kering dan ranting bambu untuk memulai pembakaran.

Dalam tulisan sebelumnya sudah saya sampaikan bagaimana makanan dihidangkan di nampan dan para santri jongkok berkeliling untuk menyantapnya. Di sini perlu saya tambahkan bahwa bilamana sayuran itu berbahan santan, seperti masakan lodeh buah labu di atas, maka nampan akan dialasi terlebih dulu dengan susunan daun-daun jati segar. Baru setelah itu nasi dan sayuran dituangkan di atasnya, dibiarkan beberapa saat supaya aroma daun jati meresap, dan hidangan pun siap dinikmati. Tambahan lain, cara kami memasak sayur lodeh saat itu amatlah unik. Setelah kelapa diparut dan kemudian diperas untuk diambil santannya, maka ampasnya tidak dibuang melainkan dimasukkan sekalian ke dalam kuali dan menjadi bahan sayur itu sendiri.. 🙂

Bukan hanya barang-barang dari hutan jati yang mendatangi pesantren, namun juga orang-orangnya. Teman santri saya yang berasal dari Jatirogo dan Parengan berasal dari desa di pinggir kawasan hutan jati. Dan keduanya tidak sendirian. Ada kawan dari Mlagen di Pamotan, Rembang yang saya rasa juga merupakan desa yang berbatasan langsung dengan hutan jati. Beberapa kawan dari Bojonegoro juga berasal dari desa dengan ciri serupa. Dan masih ada beberapa lagi. Mereka ini berasal dari desa-desa yang interaksinya dengan hutan jati demikian erat, berbeda dengan pusat Kecamatan Senori (yakni, Jatisari, tempat pesantren kami berada) yang tidak berbatasan langsung dengan hutan jati. Sebagai anak kecil (saya mulai mondok saat usia 11 tahun dan keluar pada usia 15 tahun), saya belum begitu maklum mengenai masalah pelik yang terjadi di desa-desa semacam itu, selain berita sayup-sayup yang kadangkala saya dengar mengenai ‘pencurian’ kayu oleh para blandong. Baru beberapa tahun kemudian, setelah meninggalkan kampung halaman untuk melanjutkan sekolah di luar, saya dapat memahami lebih mendalam konflik agraria yang mewarnai desa-desa sekeliling hutan jati itu yang ternyata sudah berusia panjang sejak era kolonial.

Demikianlah, ilustrasi mengenai barang-barang dan orang-orang dari kawasan hutan jati yang datang ke pesantren. Dan dalam contoh terakhir, yang datang itu juga mewujud sebagai regulasi dan ideologi: bahwa ada hukum tertentu yang mengatur hutan jati, dan mengambil kayunya dapat dianggap sebagai tindakan ‘mencuri.’

Perjumpaan pesantren dan hutan jati tidak hanya bersifat satu arah. ‘Arus balik’ juga terjadi, dalam arti para santrilah yang mengunjungi hutan jati, baik sekedar sebagai ‘perlintasan’ maupun sebagai ‘tujuan.’ Dalam arti paling sederhana, mendatangi hutan jati sebagai perlintasan adalah sekedar melewati hutan jati dalam suatu perjalanan. Tidak ada yang istimewa dari hal ini karena ke arah manapun seseorang meninggalkan desa Senori dari titik perempatan jalan di pusat kotanya, perjalanannya itu pasti akan melewati pinggiran hutan jati. Toh, cuma melewati hutan jati tidaklah tanpa makna sama sekali. Saya selalu mengalami perasaan syahdu yang sulit dijelaskan kalau melewati hutan jati Nglirip yang teduh dan senyap dalam perjalanan menuju Tuban, misalnya. Saya juga selalu senang jika diajak Mbah Yik mengambil uang pensiun di kantor pos Jatirogo, karena kami akan naik kereta api melewati areal hutan jati yang cukup panjang (bahkan monyet-monyet liar yang berlompatan di pohon bisa saya saksikan dari balik jendela kereta saat itu).

Salah satu penyakit yang biasa dialami para santri pada masa itu adalah penyakit kulit, mulai dari gatal-gatal sampai korengan. ‘Belum sah seseorang mondok kalau belum pernah mengalami penyakit kulit,’ demikian pameo yang biasa diujarkan. Pernah satu ketika penyakit ini berjangkit seperti wabah, dan hampir semua santri menderitanya pada saat bersamaan. Pengobatan yang biasa dilakukan para santri adalah pergi ke nganget, yakni pemandian air panas alami yang mengandung belerang. Lokasi nganget yang terkenal di Kabupaten Tuban berada di Desa Nganget, Kecamatan Parengan. Di tempat ini terdapat pusat perawatan penderita kusta yang konon sudah berdiri sejak jaman Belanda. Namun, Bapak saya biasanya tidak membawa saya berobat ke tempat yang sudah tersyohor itu, melainkan ke nganget terdekat yang berada di Kecamatan Bangilan, tepatnya di Mojo, desa Sidorejo. Kedua nganget ini, baik yang terkenal maupun bukan, berada di dalam kawasan hutan jati.

Sepanjang riwayat saya mondok di Senori, sudah beberapa kali saya terjangkit penyakit kulit ini. Jika diajak berobat ke nganget Mojo, Bapak akan memboncengkan saya naik sepeda, melewati Sambong Lombok di mana pemerintah kolonial dulu membangun bendungan irigasi (yang tetap bertahan kuat sampai sekarang, meskipun airnya sudah tidak ada lagi), sampai kemudian perjalanan bersepeda berakhir saat tiba di stasiun kereta api Mojo. Di sini sepeda harus dititipkan karena perjalanan selanjutnya hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki melewati jalur setapak dalam kawasan hutan jati. Ada dua kolam air panas yang bisa ditemui di nganget Mojo ini yang dijuluki dengan nganget lanang dan nganget wadon. Keduanya berbeda dalam tingkat kepanasannya, tetapi saya sudah lupa manakah di antara dua nganget itu yang lebih panas. Saya ingat bagaimana antusiasme saya saat menempuh perjalanan kaki ke nganget Mojo karena inilah pertama kali saya masuk dan berjalan di tengah hutan. Dalam kesempatan lain ketika datang kembali ke tempat ini, juga bersama Bapak saya, kami berpapasan dengan beberapa orang yang bergegas lari meninggalkan hutan. Ternyata hari itu sedang dilakukan operasi oleh mantri hutan, meskipun kami sendiri tidak berjumpa dengan para petugas tersebut sepanjang hari itu.

Bila digambarkan dalam sebuah peringkat, maka pengobatan kulit ini hanyalah tangga paling bawah dalam tujuan santri mendatangi hutan jati. Dalam pendakian menuju tangga yang lebih tinggi, maka tujuan itu lebih bersifat spiritual untuk penyucian diri, atau paling tidak terkait dengan kegiatan religius. Bagi mereka yang pernah mengecap dunia pesantren, tradisi menyepi (khalwat) tentulah pernah didengar dan bukan sesuatu yang dianggap aneh. Salah seorang santri senior saat saya mondok dulu sering pergi malam-malam, dengan hanya berbekal teplok sebagai alat penerangan, ke kompleks pekuburan di belakang pesantren. Ia menyepi untuk menghafalkan Alfiyah, yakni kaidah gramatikal bahasa Arab berbentuk sajak berlagu dengan jumlah bait sebanyak 1000 buah.

Bentuk menyepi lain adalah yang memang bertujuan laku tirakat, mendekatkan diri pada Tuhan. Saya tidak tahu tempat-tempat khusus di kawasan hutan jati yang biasa dipakai ber-khalwat untuk tujuan ini. Yang jelas, dalam persepsi kultural orang Jawa, hutan selalu dianggap sebagai tempat menyepi dan menempa diri untuk memperoleh entah ‘kesaktian’ atau ‘kesucian diri’ (tergantung niat yang bersangkutan). Satu hal yang saya tahu pasti, makam beberapa ulama terkenal yang sering diziarahi masyarakat berada di pinggiran hutan jati. Salah satunya adalah makam Mbah Jabbar di pertigaan Bakalan. Pada saat-saat tertentu, makam Mbah Jabbar ini banyak dikunjungi oleh para penziarah dari berbagai daerah, sementara acara haul (peringatan hari wafat) beliau yang dilaksanakan di Jojogan selalu ramai dipadati pengunjung. Tentunya, termasuk para santri Senori yang tidak akan melewatkan acara penting ini. Paman jauh saya yang kini tinggal di Jombang satu ketika pernah menyatakan keinginannya menghabiskan masa tua di Jojogan, untuk menyepi di sana dan ngrumati peninggalan Mbah Syahid. Mbah Syahid adalah leluhur kami, dan merupakan ayah mertua dari beberapa pendiri pondok pesantren di Senori, yang semasa hidupnya mewakafkan sejumlah tanah untuk kepentingan agama.

Demikianlah, ada ‘keakraban’ dalam perjumpaan pesantren dengan hutan jati. Suatu keakraban yang dibentuk mulai dari rutinitas harian di mana barang-barang dari hutan jati mendatangi pesantren, hingga sebaliknya, para santri penghuni pesantren itu sendiri yang mengunjungi hutan jati, baik dalam arti fisik maupun spiritual.

Benturan

Dari rumah saya menuju stasiun kereta api Bangilan, ada dua tempat terkait hutan jati yang akan dilewati jika mengikuti rute jalan setapak, dan bukannya berkendaraan melalui jalan raya. Kedua tempat itu menimbulkan reaksi yang berbeda pada diri saya semasa masih anak-anak. Tempat pertama adalah bangunan perkantoran yang papan namanya berwarna hijau tua dihiasi logo akar pohon jati, namun yang tulisannya menunjukkan urutan hirarki yang selalu mengherankan saya. Pasalnya, urutannya tidak sesuai dengan tingkatan desa, kecamatan, kabupaten dan provinsi yang saya hapal baik. Sebagai kanak-kanak, saya pernah membubuhkan alamat demikian pada buku tulis saya: ‘Desa Bangilan Kecamatan Bangilan Kabupaten Tuban Provinsi Jawa Timur Indonesia ASEAN PBB Bumi’ (seolah-olah urutan itu berada dalam satu kategori). Tetapi urutan yang tertulis di papan nama itu tidaklah demikian sehingga selalu menimbulkan reaksi rasa heran setiap kali saya lewat dan membacanya.

Saat kecil saya memang tidak peduli kantor apakah itu. Yang saya peduli adalah, teman baru saya di sekolah tinggal di sebuah rumah dalam kompleks kantor itu, dan kalau saya main ke rumahnya saya bisa memetik pohon arbei di halaman belakang, dan mencicipi abon sapi dan saos tomat botolan yang untuk pertama kali saya lihat sewaktu di rumahnya itu. Saya juga dapat membawa pulang tumpukan kertas bekas dari kantor ayah kawan saya itu, antara lain yang saya masih ingat berupa buku ukuran folio yang penuh dengan tabel-tabel isian. Saya menyesal tidak hapal lagi nama teman itu, tetapi saya tetap ingat pekerjaan ayahnya: sinder. Sayang, tidak lama kemudian ayahnya dipindahtugaskan, dan kepergiannya ke tempat dinas baru itu diantarkan oleh banyak tetangga, termasuk orang tua saya. Setelah kepergian ayah teman saya itu, sepanjang ingatan saya tidak pernah lagi terdapat keakraban serupa antara pegawai di kantor itu dengan masyarakat sekitar.

Tempat kedua yang akan dilewati adalah bangunan yang tepat berada di seberang stasiun, dipisahkan oleh beberapa jalur lintasan kereta api (spoor), selokan lebar, dan hamparan tanah yang dipenuhi tanaman liar. Kami mengenalnya dengan sebutan TPK, dan seiring pertambahan usia saya kemudian mengerti kepanjangannya: Tempat Penyimpanan Kayu. Yang kini saya bisa kenang dari tempat itu adalah bangunan yang tinggi dan panjang tanpa dinding, di dalamnya penuh tumpukan kayu-kayu jati besar, sebagian tampak berusia sangat tua. Di sekeliling bangunan itu berdiri kokoh pohon-pohon besar yang rerimbun kanopinya membuat bangunan TPK itu terlihat gelap dan menakutkan. Perasaan angker adalah reaksi yang saya alami semasa kecil setiap kali melewati bangunan ini. Jadi, meski saat kecil itu saya sering bermain di lingkungan stasiun (antara lain untuk melindaskan paku di rel menjelang kereta lewat sehingga menghasilkan bentuk parang mini), namun saya tidak berani mendekati bangunan TPK yang terlihat angker itu.

Saat menginjak sekolah menengah saya mulai paham bahwa kedua tempat itu saling berkaitan, yakni milik Perhutani. Dan bahwa hutan jati yang biasa saya datangi kalau berobat ke nganget itu ternyata ada yang memiliki. Dan bahwa apa yang saya anggap sebagai urutan hirarki yang aneh pada papan nama itu adalah hirarki pemangkuan hutan dalam rangka Perhutani menjaga hutan kepunyaannya itu. Saya kemudian menjadi paham apa makna ‘pencurian’ kayu oleh blandong. Terutama setelah saya menyaksikan satu kejadian ketika kantor ini dipenuhi petugas bersenjata api, dan ternyata mereka sedang persiapan operasi penertiban ‘pencurian’ kayu.

Nalar saya saat itu tentu saja belum sampai pada tahap mempertanyakan klaim ‘kepemilikan’ hutan jati oleh Perhutani. Toh, secara intuitif saya merasa bahwa dalam arti tertentu, ‘pencurian’ itu dapat dibenarkan, atau setidaknya dapat dimaklumi. Secara jlentreh, saya belum mampu merumuskan sikap peraguan saya saat itu, namun barangkali dapat dibahasakan dalam bentuk sejumlah pertanyaan yang kurang lebih sebagai berikut. Apabila masyarakat demikian kuat ketergantungannya pada hutan jati seperti yang tercermin pada contoh-contoh di atas, bagaimana mungkin hutan itu tidak boleh mereka manfaatkan? Dari manakah masyarakat memenuhi kebetuhan terkait pangan, papan, dan energi selain mengandalkan bahan-bahan yang dapat diperoleh dari hutan jati? Apakah semua kegiatan masyarakat memenuhi semua kebutuhan itu dari hutan jati dapat disebut ‘pencurian?’

Pertanyaan-pertanyaan demikian menunjukkan bahwa makna ‘perjumpaan’ seperti yang dipaparkan di atas tidak hanya terwujud dalam bentuk keakraban, namun juga benturan! Itulah benturan ideologi yang terwujud, misalnya, dalam ambigunya definisi ‘pencurian’  yang secara samar-samar dan masih terpendam mulai saya ragukan waktu itu. Apakah ‘pencurian’ pada hutan jati oleh masyarakat sama artinya dengan definisi pencurian yang hukumnya haram seperti saya pelajari di pesantren, dan yang pada masa Nabi harus dihukum potong tangan itu? Tetapi jika begitu, mengapakah saya saksikan beberapa keluarga yang saya kenal, termasuk keluarga kyai, membeli kayu dari blandong untuk membangun rumahnya? Mengapakah pula gamping dibeli untuk adonan bahan bangunan atau untuk nglabur (mengecat) dinding dan pagar, padahal ia ditambang dari areal kawasan hutan milik Perhutani? Dan bukankah kayu bakar yang dibeli dari pedagang rencek diambil dari hutan jati dengan cara yang sama dan dapat dianggap sebagai ‘pencurian’ juga?

Bukan hanya secara ideologi, benturan itu juga hadir dan mewujud secara material. Benda-benda yang berasal dari hutan jati dan mendatangi pesantren ternyata tidak semuanya berupa barang-barang yang baik dan berguna (goods), tetapi juga yang buruk dan menimbulkan kerugian (bads). Salah satunya berwujud banjir bandang yang melanda sungai di belakang pesantren kami, seperti pernah saya saksikan semasa saya mondok di Senori. Saat itu, hujan deras yang terjadi di daerah hulu telah menggelontorkan jutaan kubik air bercampur lumpur yang memenuhi badan sungai, dan bersamanya turut hanyut gelondongan kayu jati, bekas tebangan dan cabang pohon jati, rumpun pohon bambu yang tergerus dari tebing sungai, dan puluhan macam benda-benda lainnya. Banjir bandang itu, berikut benda-benda dari hutan jati yang dihanyutkannya, memberi petunjuk mengenai sejauh mana eksploitasi yang telah berlangsung di sana.

Padahal di hari-hari normal, dasar sungai yang cukup lebar itu hanya sedikit saja yang digenangi air, yakni pada alur-alur kecil yang dialiri gemericik air dangkal; menyisakan lebih banyak lagi gundukan tanah yang tak terendam air. Bagian yang tak terendam itu banyak dimanfaatkan oleh penduduk sekitar untuk berbagai kegunaan. Ia menjadi sumber nafkah bagi para penggali pasir jika kebetulan memiliki kandungan pasir yang cukup banyak. Jika tidak, dan lebih banyak mengandung tanah subur, maka penduduk menanaminya dengan tanaman musiman seperti jagung atau kacang-kacangan. Sementara aliran airnya dimanfaatkan penduduk untuk mencuci pakaian dan buang hajat besar, namun bukan untuk mandi. Khusus untuk keperluan terakhir ini mereka melakukannya di sungai yang sama, namun dengan cara yang berbeda seperti akan diuraikan di bawah.

Bagi para santri, sungai ini juga memiliki fungsi yang amat penting. Di atas telah disiratkan bahwa melalui sungai inilah para santri terhubung ke hutan jati untuk dapat memperoleh serpihan dan potongan kayu jati yang mengapung-apung mengikuti arus air atau yang terdampar di pinggiran sungai. Apabila sungai ini belum lama sebelumnya mengalami banjir, meski tak selalu sebesar seperti digambarkan di atas, maka potongan-potongan kayu itu banyak ditemukan tersangkut di tebing-tebing sungai sehingga dapat diambil lebih mudah tanpa harus turun ke dasar sungai. Melalui cara itulah para santri memenuhi kebutuhan mereka akan kayu bakar.

Ada satu cerita yang pernah saya dengar bahwa seorang santri pernah mengambil potongan-potongan kecil kayu bekas nisan yang hancur dimakan rayap dan banyak tercecer di lokasi pekuburan, dan lantas menggunakannya untuk kayu bakar. Tak lama kemudian ia jatuh sakit tanpa bisa diketahui apa jenis penyakitnya sehingga para santri kemudian mengaitkan penyakit itu dengan ulahnya membakar kayu bekas nisan. Karena cerita dari santri senior itulah kami memilih untuk bersusah payah mencari serpihan kayu-kayu jati di sungai ketimbang memungut potongan-potongan kayu bekas nisan di pekuburan.

Ada fungsi lain dari sungai ini bagi santri, yaitu sebagai tempat mandi. Di pesantren tentu sudah disediakan beberapa bilik kecil untuk tempat mandi. Tapi jumlahnya tidak mencukupi untuk semua santri, terutama di pagi atau sore hari saat banyak orang ingin membersihkan diri pada waktu bersamaan. Bagi santri yang tidak kebagian tempat atau yang giliran antrinya terlalu lama, maka alternatifnya adalah pergi mandi di sungai. Hal yang sama bahkan menjadi pilihan utama pada saat kemarau panjang, dan sumur di pondok mengalami kekeringan. Pada kondisi demikian, maka air yang cuma tersedia terbatas di sumur akan diprioritaskan untuk kebutuhan minum dan masak.

Mandi di sungai adalah satu pengalaman tak terlupakan bagi saya. Bahkan, ada nuansa ‘eksotisme’ tersendiri di sana. Bayangkan, mandi bugil di sungai, kadang berdampingan berdua, tanpa seorang pun memiliki pretensi apa-apa dengan aktivitas itu–ya, tentunya selain mandi itu sendiri, yakni membersihkan dan menyegarkan badan. Bukan hanya santri, namun penduduk sekitar juga melakukan hal yang sama. Hanya orang yang berpikiran jorok saja yang akan menganggap aktivitas itu sebagai pornografi!

Selain eksotis, mandi di sungai adalah satu seni sendiri. Mengapa begitu? Sebab, hal itu tidak dilakukan di bagian aliran sungainya, melainkan di bagian yang tidak terendam air dan berpasir. Di tempat itulah digali sumur-sumur kecil dengan kedalaman hanya setengah sd.1 meter saja. Air akan segera keluar deras dari lubang sedangkal itu karena perbedaan permukaan air dengan bagian sungai yang digenangi/dialiri air. Sumur itu perlu terlebih dulu dilindungi dengan tumpukan batu-batu sebesar kepalan tangan untuk menjaga agar pasirnya tidak melorot dan menutupi kembali lubang yang sudah digali. Selanjutnya, air yang masih keruh itu (karena teraduk begitu rupa saat melakukan penggalian) harus dikuras terlebih dulu sampai habis sehingga air yang muncul kemudian adalah air bening karena tersaring oleh pasir dan batu di sekeliling dinding sumur. Dengan begitu, selesailah pembuatan sumur kecil itu dan menjadi apa yang dalam bahasa setempat disebut belik. Di belik inilah kegiatan mandi dilakukan dengan cara berjongkok agak menjauh dari pinggir bibir belik.

Meskipun orang yang membuat belik berhak untuk terus menggunakannya selama sumur kecil itu masih ia rawat, namun ia tidak punya hak eksklusif terhadapnya. Jika ia tidak sedang menggunakannya, maka orang lain pun boleh menggunakan belik tersebut. Terkadang, dua-tiga orang mandi bersama dari belik yang sama. Bagi santri, di sinilah seninya mandi di belik. Mereka telah belajar di pesantren mengenai perbedaan antara air yang suci dan bisa mensucikan, air suci namun tidak bisa mensucikan, dan air yang terkena najis. Salah satu yang membuat air suci tidak bisa mensucikan adalah kalau dia sudah pernah dipakai (air bekas), alias air musta’mal. Oleh karena itu, santri yang mandi di belik akan berusaha keras untuk tidak membuat guyurannya terpercik kembali ke dalam belik, apalagi sampai bekas air yang dipakainya mengalir ke arah belik. Dan di sinilah terletak seninya! Maka mandi di belik menjadi sebuah ritual yang penuh kehati-hatian bagi seorang santri: dengan gayung yang berlengan panjang dia menyendok air dari belik dengan hati-hati, dan kemudian mengguyurkannya ke anggota tubuh dengan pelan-pelan. Dilakukan dengan cara berbeda, maka air dalam belik itu akan menjadi air musta’mal karena volume belik yang kecil, yakni memuat air kurang dari ukuran dua qulah (setara 270 liter) sebagai batas yang akan membuat percikan semacam itu dapat ditoleransi. Dengan kehati-hatian itu, maka orang yang melihat dari atas tebing sungai sudah bisa membedakan apakah orang yang mandi di belik itu mengikuti ketentuan Fathul Qarib (kitab standar ilmu fiqh yang dipelajari di pesantren) ataukah tidak…:)

Kembali ke banjir bandang tadi, gelontoran air bercampur lumpur yang membawa serta berbagai macam benda yang diterjangnya sepanjang perjalanan membuat semua fungsi sungai di atas lenyap seketika. Para penggali pasir kehilangan mata pencahariannya. Tanaman musiman yang diusahakan penduduk di badan sungai yang tidak tergenang air lenyap tanpa sisa. Demikian pula, belik-belik turut musnah dihantam terjangan arus air. Bahkan setelah banjir surut, dan dasar sungai muncul kembali, akan butuh waktu beberapa lama untuk bisa menghasilkan belik dengan air yang jernih seperti semula. Sebab, lumpur yang mengendap di dasar sungai kadangkala cukup tebal dan tidak akan lenyap dalam waktu singkat, dan hal itu akan membuat air belik berwarna keruh.

Lebih parah lagi, banjir bandang besar yang sekali pernah saya saksikan selama mondok itu juga membuat beberapa bagian tebing sungai runtuh karena erosi, membawa hanyut semua yang ada di atasnya. Yang menyedihkan, beberapa makam yang berada di pinggir tebing sungai saat itu ada yang turut runtuh dan lenyap tanpa bekas. Dalam masyarakat di mana tradisi ziarah ke makam para leluhur dan ulama demikian kuat, saya tidak bisa bayangkan kehampaan rohaniah dari keluarga-keluarga yang makam leluhurnya tiba-tiba lenyap itu. Beberapa kilometer ke arah hilir, banjir yang sama juga menyebabkan longsor dan amblesnya satu ruas jalan raya di pertigaan lapangan Wanglu Kulon. Ruas jalan raya itu tepat berada di titik kelokan badan sungai. Terkena terjangan lurus arus banjir bandang, tebing sungai di titik kelokan itu pun runtuh dan memicu longsor pinggiran sungai dalam jarak yang cukup luas.

Tantangan

Pengalaman perjumpaan sebagaimana terperi di atas merupakan kenyataan yang dialami oleh pesantren-pesantren di Senori–yang secara ekologis memang berada di bawah ‘naungan pohon jati.’ Pengalaman itu adalah nyata, tak bisa diingkari, melibatkan baik ‘keakraban’ maupun ‘benturan’ pada berbagai tingkatan: mulai dari sirkulasi barang dan ideologi hingga interaksi antar pelaku. Ia juga menghasilkan tidak hanya goods, tetapi juga bads. Pertanyaannya kemudian, sejauh manakah pengalaman riil itu secara sadar dijadikan basis empiris untuk sebuah refleksi teologis? Dengan kata lain, dijadikan titik tolak untuk sungguh-sungguh bisa menghasilkan respon keagamaan yang otentik?

Pertanyaan ini tentu tidak dapat dijawab dengan mudah dan singkat, dan butuh serangkaian tulisan tersendiri untuk merefleksikannya. Namun sebagai santri yang selama mondok mengalami ketegangan berbagai perjumpaan di atas, dan saat ini berada dalam posisi cukup berjarak (secara waktu dan tempat) untuk merefleksikannya, maka tidak ada salahnya apabila dalam kesempatan ini saya ingin berbagi kegelisahan. Dengan harapan, hal itu kiranya dapat dianggap sebagai satu tantangan untuk mewujudkan refleksi teologis sebagaimana dimaksud di atas.

Ada dua poin yang ingin saya kemukakan di sini. Pertama, ambiguitas makna ‘pencurian’ sebagaimana terungkap dalam benturan ideologis yang diuraikan di atas bagi saya menunjukkan pentingnya pengembangan sebuah ‘fiqh agraria’ yang baru. Sebuah fiqh yang menyadari bahwa dalam konteks daerah tropis tanah itu sendiri yang bernilai pada dirinya sendiri, dan yang memungkinkan penghidupan sejumlah besar smallholders. Jadi, bukannya air atau oase atau aflaj yang menjadi penentu nilainya, seperti ditemukan dalam konteks daerah arid di Timur Tengah. Bagaimanakah nalar dasar dari ‘fiqh agraria’ yang kental dengan symptom daerah arid ini dapat ditafsir ulang sehingga relevan dan kontekstual untuk daerah tropis? Tidakkah absennya upaya rekontekstualisasi ini yang agaknya membuat Pengurus Syuriyah PBNU pada tahun 1961 mengharamkan land reform (tepat pada tahun yang sama ketika program ini dicanangkan pelaksanaannya oleh pemerintah), karena secara naif dianggap melanggar himayatul mal (melindungi property) yang menjadi salah satu tujuan Syariah?

Apabila logika keputusan ini secara formal diikuti, maka–kembali ke kasus hutan jati di atas–mengambil benda-benda dari hutan jati untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga sehari-hari juga haram hukumnya karena melanggar hak milik pihak lain. Namun secara faktual hal ini berlawanan dari kenyataan sehari-hari yang saya saksikan dan alami. Praktik pembelian ramuan rumah berupa kayu, papan dan gamping, demikian pula kayu bakar untuk memasak, ternyata dilakukan secara luas dan tidak pernah dilarang sebagai sebuah perbuatan haram. Padahal semua benda itu berasal dari kawasan hutan jati, dan pengambilannya melibatkan cara-cara yang bisa dianggap ‘mencuri’ dan ‘melanggar hak milik’ dalam penalaran formal di atas.

Apa yang hilang dari penalaran formal semacam itu adalah kesadaran untuk melakukan historizing property relations, yakni memahami dan mempersoalkan relasi-relasi kepemilikan itu dalam konteks sejarah pembentukannya. Dalam pemahaman demikian, relasi-relasi kepemilikan tidak diterima begitu saja sebagai sesuatu yang given, melainkan dianggap memiliki asal-usul dan sejarahnya sendiri, yang jika ditelusuri seringkali berupa sejarah ketidakadilan dan perampasan (enclosure). Konsekuensinya, tampilan struktur kepemilikan tertentu pada satu titik waktu sama sekali bukan merupakan kenyataan alamiah (apalagi Ilahiah) yang tidak bisa digugat dan dipersoalkan (terlebih jika ia mencederai prinsip-prinsip keadilan), dan bahwa upaya untuk memperbarui relasi kepemilikan itu agar strukturnya lebih adil secara fundamental tidak bisa diidentikkan dengan tindakan merebut hak kepemilikan.

Dalam kasus hutan jati, struktur ketidakadilan agraria itu terjadi akibat warisan kebijakan kolonial yang menjadikan Perhutani ‘tuan tanah’ di pulau Jawa yang demikian padat penduduk (pulau terpadat di dunia). Perhutani menguasai bukan saja tanah jutaan hektar, namun juga seluruh tanaman dan sumberdaya di atasnya dan dengan begitu ia dengan leluasa menentukan hubungan-hubungan produksi yang lazimnya amat merugikan warga desa-desa di sekitarnya. Apabila etos dasar agama Islam adalah rahmatan lil ‘alamin, membawa rahmat bagi segenap alam, maka bukankah mengupayakan ‘keadilan agraria’ (agrarian justice) pada konteks struktur ketidakadilan semacam itu seharusnya menjadi bagian yang tak bisa dilepaskan dari pengertian rahmat itu?

Kedua, kejadian banjir bandang besar akibat kerusakan ekologis di daerah hulu seperti saya saksikan dulu bukanlah yang terakhir dan bisa terulang lagi, bahkan dalam frekuensi dan intensitas yang lebih tinggi sehubungan dengan pengaruh pemanasan global. Perubahan iklim global ini juga akan menciptakan ketidakpastian iklim pada tingkat lokal sehingga pergantian musim tidak bisa diprediksi lagi secara ajek, dan bencana banjir dan kekeringan pun akan menjadi ancaman yang nyata. Daerah berkapur seperti wilayah Tuban, yang sangat sedikit memiliki air permukaan, tentunya akan terkena dampak yang buruk dari perubahan iklim semacam ini.

Sudah lama sebenarnya ancaman kekeringan telah menjadi kenyataan yang dialami masyarakat daerah ini. Sungai irigasi pertanian yang membentang melewati Kecamatan Senori dan Bangilan dulu airnya berlimpah dan sering saya gunakan untuk bluron (mandi di sungai) bersama teman-teman sebaya. Saat ini sungai itu tak ubahnya seperti selokan yang berbadan lebar karena airnya sudah tidak mengalir lagi. Desa Sendang, sesuai namanya, dulu merupakan daerah yang menjadi jujukan (tempat yang dituju) desa-desa lain jika terjadi kemarau panjang. Rumah Bibi saya di desa ini halamannya dulu banyak dijadikan kolam ikan karena persediaan air yang mencukupi sepanjang tahun. Namun kondisi desa ini sekarang tidak jauh berbeda dari desa-desa lainnya. Dan bendungan Sambong Lombok bikinan pemerintah kolonial itu, demikian pula bendungan di perbatasan Kecamatan Bangilan dan Senori, sekarang menyerupai monumen gigantik belaka karena sudah tidak ada airnya. Semua perubahan ini praktis mengubah siklus pertanian di daerah ini karena tidak semua areal sawah dapat diairi lagi secara cukup. Akibatnya, sebagian besar areal sawah berubah menjadi sawah tadah hujan. Sementara itu, kebakaran hutan jati yang dulu kerap terjadi di masa kemarau (dan kalau malam hari menjadi tontonan jarak jauh yang menarik bagi saya) barangkali akan lebih sering lagi terjadi di masa depan dengan aneka konsekuensinya.

Berbagai manifestasi perubahan alam ini, yang di Senori dan daerah sekitarnya dialami secara nyata oleh masyarakat dan bukan sekedar dilihat di layar televisi, bagi saya menuntut kalangan pesantren untuk dapat mengembangkan cabang ilmu keislaman yang baru. Kalau dulu saat di pesantren saya belajar kitab Ta’limul Muta’allim mengenai etika belajar santri, atau kitab Ayyuhal Walad mengenai etika berbakti anak kepada orang tua, atau kitab-kitab akhlak lainnya (Akhlaq lil Banin untuk santri putra dan Akhlaq lil Banat untuk santri putri), maka agaknya kini diperlukan juga ilmu akhlak yang memedulikan secara khusus soal air ini, misalnya. Sebagai ilustrasi, kembali ke kasus belik di atas, jika ajaran pesantren demikian peduli dengan percikan air mandi yang dapat menodai belik dan menjadikan airnya musta’mal, maka mengapakah ia tidak harus peduli dengan ancaman gelontoran banjir bandang yang bukan saja akan menodai belik namun bahkan melenyapkannya sama sekali?

Dengan demikian, pembahasan mengenai air tidak lagi hanya menjadi bagian dari Kitabut Thoharoh (bab bersuci) dalam literatur fiqh, namun harus dikembangkan menjadi satu bab tersendiri, atau satu buku sendiri, dan bahkan menjadi satu sub disiplin sendiri dalam tradisi keilmuan pesantren. Misalnya saja, ‘ilmu akhlak air’ atau water ethics, yakni akhlak seputar pengelolaan, pengalokasian, penggunaan, dan distribusi air yang lestari dan adil. Dalam literatur Islam klasik, bahan yang dapat diolah untuk mengembangkan water ethics ini sangatlah berlimpah. Ingat saja kisah seorang pelacur yang masuk surga ‘hanya’ gara-gara dia memberi minum anjing yang hampir mati kehausan (sementara di Senori, kalau ada anjing nyasar masuk kampung pasti akan diuber dan dibunuh secara kejam). Namun, seperti diilustrasikan oleh contoh pemberian air untuk mengobati rasa haus, kebanyakan literatur itu momot dengan symptom daerah arid padang pasir yang berbeda sama sekali dengan kondisi tropis di Indonesia. Hal ini menuntut pesantren untuk gigih menafsir ulang literatur klasik itu dan mengupayakan bentuk-bentuk rekontekstualisasinya bagi kondisi alam di Indonesia.

Sebagai perbandingan, dalam khazanah literatur resource management dan environmental science, perbincangan mengenai kontribusi ajaran dan nilai-nilai Islam dalam pengembangan water ethics ini sudah mulai mengemuka. Beberapa artikel di jurnal internasional membicarakan hal ini dalam kaitan dengan relevansi prinsip-prinsip Islam terhadap ‘water management,’ ‘groundwater management,’ ‘water quality,’ bahkan juga ‘waste water reuse,’ ‘greywater use,’ dan ‘water demand management.’ Sebuah konferensi internasional mengenai ‘Water Management in the Islamic Countries’ belum lama ini juga diselenggarakan di Iran (tahun 2007). Namun, lagi-lagi, kebanyakan konteksnya adalah daerah arid atau semi-arid, sementara kontribusi dari  kesarjanaan Islam Indonesia yang berasal dari dan merefleksikan kondisi daerah tropis masih sangat sumir.

Penutup

Dua poin kegelisahan yang saya kemukakan di atas, secara ringkas dapat diistilahkan sebagai agenda ‘keadilan agraria’ dan ‘keadilan lingkungan’ (agrarian and environmental justice); dua agenda yang saling berjalin-berkelindan satu sama lain dan yang kondisinya makin genting untuk dijalankan dewasa ini. Memang dengan sedih harus saya katakan bahwa dua agenda inilah yang, akibat satu trauma sejarah yang pahit, cenderung dicoba untuk dihindari oleh kalangan pesantren.

Bagaimanapun, dua agenda ini harus dihadapi dan digulati jika masyarakat Senori dan sekitarnya dikehendaki berada tidak hanya di bawah ‘naungan pohon jati,’ namun juga di bawah ‘naungan kitab kuning’ dalam arti yang sebenar-benarnya.***

Amsterdam, Autumn 2011

Moh. Shohibuddin, Mahasiswa doktoral di University of Amsterdam, Belanda.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.