RESTORAN Tjikini 17, Jakarta, 12 Oktober 2011, mendadak sesak. Hari itu, seorang penulis dan aktivis terkenal, Tariq Ali yang kini bermukim di London, Inggris, secara dadakan didaulat untuk menjadi pembicara dalam sebuah diskusi informal. Acara utama Tariq Ali di Indonesia adalah mengikuti pertemuan pengarang Ubud Writer Readers Festival di Bali. Tapi menjelang kepulanganya, dua aktivis, yakni Rheinhard Sirait dan Hilmar Farid, berhasil membajak Tariq Ali untuk berdiskusi serius tapi santai di restoran Tjikini 17. Akhirnya, sore, sekitar pukul 16.00 WIB diskusi dapat diadakan. Tariq Ali yang kepanasan duduk dikursi sofa retro klasik berwarna putih. Fay (panggilan akrab Hilmar Farid), lalu membuka dan memandu acara obrol-obrol santai tapi serius dengan Tariq Ali.
Menurut Tariq Ali, perkenalan pertamanya dengan Indonesia bermula pada tahun 1967. Ketika itu gerakan massa-progresif sedang melakukan aksi-besar-besaran di Pakistan. Tariq Ali, yang hidup dipengasingan karena oposisi politiknya, kembali ke Karaci di Pakistan. Dari bandara, Tariq Ali langsung mengikuti aksi massa tersebut. Tiba-tiba saja kelompok politik Islam sayap kanan menyerang rombongan massa. Hal yang membuat kaget Tariq Ali adalah seruan dari pimpinan penyerang yang mengatakan, ‘Kami akan membantai kalian seperti di Indonesia.’
Sepulangnya dari aksi, Tariq Ali bertanya-tanya. ‘Ada apa dengan Indonesia? Kenapa kaum Islam sayap kanan menyerang kelompok massa progresif dan hendak melakukan hal yang sama seperti di Indonesia?’
Inilah latar belakang yang membuat ia tertarik dengan Indonesia. Kemudian ia mengetahui bahwa pada tahun 1965, telah terjadi pembantaian atas jutaan orang-orang yang dituduh kaum komunis oleh tentara dan milisi-milisi Islam yang diorganisir, didukung, dan difasilitasi oleh tentara. Tema ini pula yang membuat ia tertarik untuk mengetahui lebih dalam segala hal menyangkut peristiwa 1965 dan tragedi kemanusiaan yang menyertainya. Bahkan, dalam obrolan, Tariq Ali sempat menanyakan tentang kamp kosentrasi tahanan politik (Tapol) 1965 di Pulau Buru dan bagaimana caranya agar ia bisa berkunjung ke sana.
Kedekatan Tariq Ali dengan ideologi komunis bukanlah hal baru. ‘Ayah saya seorang komunis,’ ujarnya mantap.
Tariq Ali selama puluhan tahun dikenal sebagai aktivis dan penulis yang kritis terhadap kapitalisme, serta dukungannya terhadap berbagai gerakan progresif di seluruh belahan dunia, yang mencari jalan baru untuk keluar dari orbit neoliberalisme. Jadi, jangan heran bila perkembangan politik progresif di Bolivia dan Venezuela, menjadi salah satu model yang ia jadikan referensi bila berbicara tentang gerakan.
Jadi agak aneh menurut saya, bila orang di Indonesia hanya menempatkan intelektual hebat ini ‘sekadar sebagai penulis novel.’ Kebetulan, memang novel tetraloginya yang berlatar belakang sejarah sudah diterjemahkan ke edisi bahasa Indonesia.
Tariq Ali lahir di Lahore, kini ibukota provinsi Punjab di Pakistan, pada 1943. Keluarganya mempunyai latar belakang progresif. Seperti diakuinya, ayahnya seorang pendukung komunis. Dia mendapatkan pendidikan di Pakistan dan kemudian melanjutkan ke universitas Oxford, Inggris. Namun Tariq Ali bukan mahasiswa biasa, tapi juga seorang aktivis pergerakan progresif. Sikap politik oposisinya yang keras ia tunjukkan kepada kediktatoran militer. Akibatnya, ia dilarang kembali ke Pakistan dan menjadi kaum eksil di London, Inggris. Sejak tahun 1960-an, ia sudah menjadi salah satu intelektual gerakan kiri yang tekemuka. Dia menulis artikel secara reguler untuk koran Guardian dan menjadi editor jurnal kiri terkemuka New Left Review. Dia juga menjadi komentator politik yang pendapat dan tulisanya dipublikasikan di berbagai belahan dunia. Sejak tahun 1984 dia sudah menulis enam novel yang sudah diterjemahkan ke berbagai bahasa, memroduksi film dokumenter, dan menjadi penulis skenario untuk teater dan film.
Dominasi ‘Market Realism’
Diskusi dibuka dengan mengundang aktivis korban pembantaian 1965, Martin Aleida. Martin adalah seorang pengarang yang pernah dipenjara akibat peritiwa Oktober 1965. Dalam penuturannya, Martin mengemukakan keherananya mengapa tragedi kemanusiaan, salah satu yang terbesar di dunia dalam sebuah negeri, yakni Peristiwa 1965, tidak tercermin dalam berbagai karya seniman kontemporer Indonesia paska 1965. Martin seperti kembali menggugat sikap kemanusiaan pengusung ‘Humanisme Universil’ yang kemudian tumbuh dalam orbit politik kekuasaan orde baru.
‘Ketakutan dan Trauma adalah keberhasilan terbesar dari kekuasaan Soeharto,’ ujar Tariq Ali mengomentari keheranan Martin. Peristiwa 1965 dan tragedi kemanusiaan yang mengikutinya, merupakan akar yang menyebabkan ‘kesenian Indonesia tidak berkembang paska peristiwa 1965.’ Satu-satunya pengarang Indonesia terkenal, yang menurutnya tidak terkoptasi oleh ketakutan dan trauma adalah Pramoedya Ananta Toer. Menariknya, Pram justru adalah korban dari kediktatoran militer Soeharto, dan merupakan lawan dari kubu humanisme universal. Dengan popularitas karya dan dirinya yang pernah menjadi kandidat penerima nobel sastra, ‘Pramoedya dapat menjadi juru bicara untuk mengangkat isu pembantaian 1965 secara internasional.’
Pertanyaan senada dikemukakan sastrawan Eka Kurniawan, yang menggugat kecenderungan ‘privatisasi’ dalam ruang-ruang berkesenian dan pusat-pusat kesenian. Eka juga menggugat kebanyakan penulis di Indonesia, yang tidak mempunyai sikap atas kekuasaan yang melakukan represi atas para penulis, seperti pengarang Wiji Thukul, yang diculik oleh tentara dan tak tentu rimbanya hingga sekarang.
Gugatan Eka ini direspon Tariq Ali, dengan mengatakan bahwa kecenderungan yang bebahaya dalam dunia penulisan adalah ‘Salaryism,’ sebagai akibat dari privatisasi dalam karya penulisan. Para penerbit komersial hanya perduli pada keuntungan (bisnis) penjualan oplah buku dan pada pengarang yang ‘laku dijual di pasar.’ Akibatnya para penulis terkenal, menulis karena berorientasi pada ‘salary’ yang akan dia terima. Menurut Tariq Ali, setelah terpinggirnya sastra ‘socialist realism’ dan produksi buku oleh negara-negara sosialis yang hanya tinggal kenangan, maka dunia sastra sekarang ini dikuasai oleh ‘market realism.’ ‘Dalam kebudayaan di negeri-negeri Barat sekarang ini, kepentingan pasar atau market realism yang menentukan dan dominan,’ ujarnya. Jadi jangan heran bila novel sekuel Harry Potter menjadi best seller di Barat dan di berbagai belahan dunia. ‘Maaf, saya belum pernah membacanya,’ ujar Tariq Ali jujur.
Sementara itu, berkenaan dengan pentingnya mengampanyekan kasus peristiwa pembantaian 1965, Mugiyanto, ketua Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) dan salah satu korban penculikan komando pasukan khusus (Kopassus) TNI AD, di masa senja kekuasaan rejim orde baru, memberi tantangan kepada Tariq Ali. ‘Pramoedya sudah wafat beberapa tahun lalu, jadi tak mungkin menjadi jurubicara untuk kasus 1965. Anda adalah salah seorang penulis dan intelektuil terkenal dan berpengaruh secara internasional, bagaimana bila anda menjadi juru bicara korban kemanusiaan peristiwa 1965?’
Tantangan Mugiyanto itu tampaknya direspon positif oleh Tariq Ali. Dalam obrolan sambil menikmati makan malam bersama sejarawan Hilmar Farid (Fay), Tariq Ali sepertinya tertarik untuk menulis hal-hal yang berkaitan dengan Peristiwa 1965.
Gerakan Sosial dan Pelajaran Dari Amerika Latin
Tema hangat yang juga menjadi topik pembicaraan adalah tentang gerakan sosial dan pengalaman Amerika Latin. Gerakan sosial dan politik alternatif di Indonesia, tidak hanya kecil tapi juga masih terfragmentasi. Sementara krisis yang terjadi atas kapitalisme sekarang ini tidak menjadi pengetahuan di akar rumput. Gerakan sosial menyebar dimana-mana, tapi problemnya adalah terfragmentasi dan sulitnya mentransfer pengetahuan tentang krisis yang terjadi ke akar rumput, demikian paparan Jemi Irwansyah aktivis dari Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP).
Kejadian yang berbeda justru terjadi di Amerika Latin, ketika gerakan sosial dan politik alternatif menjadi gerakan politik progresif, mengusai pemerintahan dan menjadi alternatif di luar hegemoni neoliberalisme. ‘Pelajaran apa yang dapat diambil dari gerakan di Amerika latin dan apa saja limitasi atau keterbatasan yang harus dihadapi bagi gerakan di Indonesia?’ tanya Jemi.
Menurut Tarig Ali, di Amerika Latin, khususnya di Bolivia dan Venezuela, gerakan sosial dan politik alternatif menjadi serangan mematikan bagi neoliberalisme, karena langsung menyerang dominasi perusahaan multinasional. Serangan langsung kepada dominasi perusahan multinasional tersebut, sangat terkait dengan kekuasaan politik. Para elite politik pro-neoliberalisme di partai, birokrasi, dan militer adalah agen-agen korporsi multinasional yang menguasai negara.
‘Karena itu strategi utama gerakan sosialis di bawah Evo Morales, presiden Bolivia, adalah bagaimana mengambilalih kekuasaan politik di Bolivia’ ujar Tariq Ali.
Adapun di Venezuela, lanjut Tariq Ali, pemerintahan sosialis Bolivarian Hugo Chavez ‘menggunakan uang dari produksi minyak yang sebelumnya dikuasai para elite untuk program kesejahteraan rakyat, seperti pendidikan, kesehatan, perumahan dan kebutuhan dasar rakyat.’
Dengan demikian, menurut Tariq Ali, pondasi dasar dari kekuatan politik di Bolivia dan Venezuela adalah gerakan massa yang teroganisir. ‘Gerakan massa tidak bisa digantikan oleh jejaring sosial,’ ujarnya tegas. Di Bolivia, kekuatan paling besar adalah organisasi petani koka yang sebagian besar adalah keturunan indian, penduduk asli Bolivia. Tariq Ali lalu menceritakan bagaimana efektivitas gerakan massa mengalahkan kepentingan neoliberalisme dalam kasus penguasaan air oleh perusahaan multinational di Bolivia. Puluhan ribu orang turun ke jalan menentang privatisasi dan memajukan pegelolaan sosial untuk sumber daya air. Perusahaan multinasional itupun dikalahkan.
Gerakan massa juga menjadi pondasi penting untuk mengawal ’kemenangan’ dan kekuasaan politik kekuatan progresif ketika di kudeta oleh militer dalam kasus Venezuela. Seperti diketahui, presiden Chavez yang menang melalui pemilu demokratis pada 1999, kemudian sempat dikudeta oleh militer yang didukung oleh media massa dan korporasi pada tahun 2002. Selama satu hari militer berkuasa dan mengangkat presiden boneka, pengusaha Pedro Fransisco Carmona Estanga. Mendengar Chavez di kudeta, ratusan ribu orang turun ke jalan mengepung istana kepresidenan Miraflores, di Caracas, ibukota Venezuela, dan menuntut Chaves dikembalikan. Keesokan harinya, 14 April 2002, kudeta berhasil digagalkan dan Chavez dibawa kembali dari pengasingannya oleh tentara Bolivarian ke istananya.
Tentang kudeta ini Tariq Ali menceritakan sebuah kisah yang sangat menarik dan strategis. Ketika berhasil mengkudeta Chavez, seorang jendral memanggil prajurit untuk meniup terompet sebagai tanda sudah terpilihnya presiden boneka dari pihak militer. Dia lalu menunjuk seoang prajurit yang sedang berdiri dengan terompetnya.
‘Tiup terompet untuk presiden kita yang baru,’ ujar si jenderal
‘Presiden baru yang mana maksud anda jenderal?’ ujar si prajurit peniup terompet.
‘Presiden baru yang menggantikan Chavez,’ jawab si Jenderal.
‘Saya hanya meniup terompet untuk presiden Chavez,’ ujar si prajurit peniup terompet. Sang prajurit lebih lanjut mengatakan, ‘Bila anda ingin meniup terompet untuk presiden baru, TIUPLAH SENDIRI jenderal,” ujarnya sambil menyerahkan terompet kepada si jenderal.
Dalam hal kepemimpinan gerakan di Venezuela dan Bolivia, ‘pimpinan memberdayakan kekuatan rakyat,’ kata Tariq Ali. ‘Saya tahu persis bagaimana Chavez mendelegasikan kekuasaan kepada dewan-dewan komunitas yang ribuan jumlahnya di Venezuela. Dewan-dewan ini adalah bentuk demokrasi langsung, dimana rakyat yang menentukan semua hal yang menyangkut kebutuhan dan masa depannya,’ tambahnya. Sesuatu yang tidak terjadi di Indonesia. Di sini para pemimpin memberdayakan oligarki partai, keluarga, dan kelompoknya untuk mendapatkan keuntungan ekonomi sebesar-besarnya dan terus berkuasa hingga ke anak-cucu dengan membajak demokrasi dan menumpulkan kekuasaan rakyat.
Beberapa peserta, meskipun dengan cara berbeda juga mengangkat isu tentang peran NGO (baca:LSM) dan relasinya dengan gerakan sosial dan politik alternatif.
‘NGO hanya bicara civil society dalam penafsiran yang sempit,’ cetus ujar Tariq Ali. Dalam kasus Amerika Latin, secara tegas dinyatakan oleh Tariq Ali bahwa NGO justru dibuat untuk melumpuhkan gerakan rakyat, melakukan depolitisasi, dan menjalankan proyek-proyek yang dibiayai untuk kepentingan donor.
Pendapat Tariq Ali ini sebetulnya sudah sejak beberapa tahun lalu disuarakan oleh James Petras. Menurut Petras, NGO telah menyepelekan demokrasi melalui ‘pengambilalihan program-program sosial dari tangannya penduduk lokal’ dan menciptakan ketergantungan kepada pejabat-pejabat lokal dan asing yang tidak dipilih rakyat. NGO, misalnya, mengalihkan perhatian dari perjuangan merebut anggaran nasional. Hal ini membuat negara pro-neoliberal dengan gampang memotong biaya sosial dan memindahkan dana negara untuk mensubsidi hutang-hutang jahat bank-bank swasta. ‘Pertumbuhan NGO memecah komunitas-komunitas miskin ke dalam kelompok-kelompok sektoral dan sub sektoral dan mengakibatkan ketidakmampuan melihat gambar sosial yang lebih besar yang menjadi akar penyebabnya, dan bahkan lebih tak mampu lagi untuk menyatukan perjuangan melawan sebuah sistem,’ tulis James Petras dalam artikelnya ‘Imperialism and NGOs in Latin America.’
Salah satu keresahan yang juga muncul dari peserta adalah tentang tanggung jawab intelektual dalam perubahan politik. Menurut Usman Hamid, mantan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KONTRAS), intelektual tidak dapat berdiam diri, tapi harus melakukan aksi politik untuk membawa perubahan. Namun, problemnya di Indonesia, untuk perjuangan politik pilihannya adalah masuk melalui partai mainstream yang korup. Usman yang sempat dihebohkan akan dipinang salah satu partai besar, tampaknya menyadari bahwa kondisi partai besar yang korup bukanlah ’jalan terbaik’ untuk perjuangan politik bagi intelektual sekarang ini.
‘Intelektual kritis semakin berkurang,’ ujar Tariq Ali. Gejala ini terjadi hampir di seluruh belahan dunia. Bahkan di Amerika Latin, kebanyakan intelektual tradisional justru berseberangan dengan gerakan rakyat. Pengecualian adalah Cina, dimana banyak intelektual yang berseberangan dengan pemerintahan dan kemudian menjadi pelopor isu-isu demokrasi melawan ororitarianisme pemerintah Cina. ‘Tapi, sayangnya, kebanyakan mereka melakukannya dari Amerika.’ Bagi Tariq Ali, kaum intelektuil yang ingin melakukan perubahan haruslah ambil bagian dalam gerakan sosial yang lebih luas. ‘Yang harus diciptakan sekarang ini adalah intelektual organik yang mempunyai sambungan dengan gerakan massa dan politik alternatif,’ ujarnya.
Pernyataan Tariq Ali semakin menegaskan bahwa intelktual bukanlah superman yang dapat membuat perubahan sendirian atau hanya dengan sesama kaumnya, tapi harus menjadi bagian dari gerakan massa dan pembangunan kekuatan politik alternatif. Sesuatu yang jarang ditemui di Indonesia. Di negeri ini, kebanyakan aktivis lebih suka mengambil jalan pintas, masuk ke dalam partai mainstream dengan ilusi membuat perubahan dari dalam.
Pembicaraan yang serius tapi santai itu tampaknya cukup menguras energi Tariq Ali. Maklum, dalam waktunya yang sempit di Jakarta, ia kesana kemari, menerima wawancara dan memberikan diskusi. Fay lalu menutup sesi diskusi. Tariq Ali meneguk bir Heineken dingin yang dihidangkan dan memesan makan malam sambil melanjutkan obrolan santai. Para peserta sudah berpencar dalam berbagai meja di dalam restoran Tjikini 17. Beberapa orang meminta tanda tangan dibuku novel Tariq Ali. Akhirnya Tariq Ali pun harus kembali ke hotelnya di kawasan Kemang. Entah kapan lagi kita akan beruntung kedatangan intelektual progresif sekelas Tariq Ali.***
Wilson Obrigados, Sejarawan-cum Aktivis