Catatan Tentang Luta, Manusia yang Hidup Abadi

Print Friendly, PDF & Email

Cerita Pendek

HELMUT Herzog, seorang antropolog Jerman, pernah memperlihatkan potret lelaki ini pada saya tiga tahun lalu. Ketika itu Helmut tengah meneliti tentang orang-orang yang hidup abadi. Dia sempat pergi selama dua bulan ke  berbagai tempat di Kalimantan untuk mengumpulkan cerita-cerita tentang mereka.

Lelaki dalam potret itu tertawa lebar, berjongkok sambil memegang seekor ayam jantan. Helmut menemuinya satu kali, lalu pulang ke Jerman untuk libur musim panas. Tapi ternyata Helmut tidak kembali lagi ke Indonesia. Dia menulis surat elektronik untuk saya, mengabarkan antara lain dia bertemu dengan pacarnya waktu masih kuliah dulu dan kembali jatuh cinta, lalu mereka memutuskan berkeluarga. Dia meminta saya melanjutkan penelitiannya dan memberi nama-nama yang bisa saya hubungi untuk membantu saya menemui orang-orang yang hidup abadi itu. Saya tidak langsung mewujudkan permintaan Helmut, karena kesibukan saya meneliti piring-piring beracun di Aceh.

Pada 17 September 2011  saya pergi ke Kalimantan. Saya memutuskan mencari lelaki dalam potret tersebut, seseorang yang setidaknya pernah bertemu Helmut dan mengerti maksud penelitian ini.

Luta, nama lelaki itu, ternyata tidak lagi tinggal di tempat yang sama. Saya lumayan putus asa, sampai akhirnya seorang pemuda  suku Meratus mengetahui tempat tinggalnya yang baru dan bersedia mengantar saya serta seorang penerjemah ke sana.

Saya menyampaikan salam Helmut kepadanya saat kami bertemu. Lelaki Iban ini bertinggi sekitar 160 sentimeter. Bertubuh kurus. Kedua lengan, kaki, dan pundaknya, dada maupun punggungnya penuh rajang warna biru dan hijau. Di kebun ini dia tinggal bersama 17  harimau, yang terdiri dari tiga harimau dewasa, dua betina dan seekor jantan, dan 14 ekor  anak harimau.

Harimau-harimau tersebut berasal dari perbatasan Serawak, Sumatra dan Riau. Mereka diterbangkan dari tempat-tempat itu untuknya. Sebelum pindah bersama rumah dan 17  harimaunya ke Kuala Kapuas, dia  tinggal di pegunungan Meratus. Katanya, dia baru pindah seminggu yang lalu, dengan terbang.  Kadang-kadang dia naik garuda emas peninggalan Ayahnya untuk bepergian ke lain pulau atau menyeberang laut sendirian. Dia  lebih suka menunggang harimau putih untuk bepergian di daratan yang sama.

Beberapa harimau mondar-mandir di halaman rumahnya pagi itu. Mereka kelihatan tidak peduli pada tamu-tamu Luta. Sebenarnya saya merasa takut dan mencoba menyembunyikan perasaan itu dengan bersikap tenang. Luta tiba-tiba berkata, ‘Harimau-harimau ini jinak.’

Usia Luta 350 tahun. Dia hanya makan sekali setahun, saat upacara. Makan lemang persembahan. Agamanya, Hindu Kaharingan. Kata yang terakhir ini berarti ‘kehidupan,’ Pemeluk Hindu Kaharingan memuja Sanghyang Jagat Dewa Bhatara dan percaya bahwa mereka merupakan keturunan langsung Bhatari Maluja Bulan dan Sanghyang Babariang Langit atau disebut Ibu Bulan dan Bapak Langit.

Luta hidup abadi untuk menjaga sukunya dari kepunahan dan bahaya.  Dia bertapa selama 30 tahun untuk itu. Mereka yang gagal dalam pertapaan  langsung meninggal dunia.  Luta punya tiga teman seperguruan: Datu Pasir, Datu Kutai dan Panglima Burung, yang lebih suka disebutnya sebagai kakak seperguruan. Usia Panglima Burung paling tua di antara mereka berempat, delapan ratus tahun.  Tinggi tubuhnya dulu sekitar tiga meter. Sekarang Panglima Burung menjelma lelaki setinggi Luta, 160 sentimeter. Di masa sekarang badan yang terlalu tinggi akan membuat orang takut, kata Luta,  mengulang ucapan Panglima Burung tentang  tinggi tubuhnya yang berubah.  Kata Luta, kakak seperguruannya itu tengah berkebun di satu pulau, tanpa memerinci letak pulau tersebut. Luta tidak yakin apakah Panglima Burung bersedia diwawancarai oleh saya. Ketika kami sedang bercakap-cakap, Luta tiba-tiba menunjuk ke lantai kayu dan berkata, ‘Ini Datu Pasir.’ Seekor bengkarung kecil melata di lantai.

Helmut belum pernah bertemu Datu Pasir. Saya cukup beruntung bertemu dengan sahabat Luta ini. Datu Pasir bersedia diwawancarai, kata Luta. Nanti dia akan menjelma manusia lagi kalau harus menjawab pertanyaan-pertanyaan saya.

Ibu Luta  juga hidup abadi, begitu pula abangnya, Menoa. Ibu dan abangnya sekarang tinggal di perkampungan orang-orang Kenyah. Ibunya fasih berbahasa Kenyah dan hanya menggunakan bahasa Iban saat bertemu Luta.  Menoa adalah kepala suku di situ.

Menurut Luta, Ibunya  telah mandiwata atau menjadi dewa.  Seperti perempuan Iban pada umumnya, Ibu Luta bertelinga panjang dengan gelang-gelang logam di cuping. Kekuatan Ibunya makin melemah, sehingga tidak lagi mewujud. Luta harus menyelenggarakan upacara atau bebalian untuk membuat Ibunya kembali memiliki tubuh yang nyata. Dia juga rajin membakar dupa untuk Ibunya. Asap dupa yang harum itu tercium sampai ke kampung orang-orang Kenyah. Ibunya senang sekali.

Ketika ingin bertemu Ibunya, Luta langsung mewujud di kampung orang-orang Kenyah. Dia tidak menjelma makhluk lain, kecuali dirinya sendiri. Beberapa orang yang dia kenal menjelma bengkarung, burung, tupai, angin atau guci emas. Gurunya, seorang balian sakti bernama Datu Garuhuk, selalu menjelma sebatang ranting kering. Datu Garuhuk  tinggal dalam gua di Gunung Bondang.  Dia raja seluruh hantu dan memiliki puluhan ribu pasukan samar. Usia Datu Garuhuk  lima ribu tahun.

Luta bersahabat akrab dengan manusia abadi lainnya, Datu Papua. Mereka bertemu waktu Luta bertapa di Puncak Jaya.  Dulu Datu Papua pernah menawarkan diri untuk menerbangkan sepasang harimau dari hutan Riau ke muka rumah Luta  di pegunungan Meratus itu. Tapi tubuh dua ekor harimau  ternyata terlalu berat bagi Datu Papua, yang akhirnya menyerah. Luta maklum.  Dia  juga khawatir  harimau-harimau  tersebut tiba-tiba jatuh dari langit dan menimpa orang-orang yang sedang berkebun atau tengah mendayung  sampan di sungai, gara-gara Datu Papua tak sanggup memikul mereka sambil terbang.  Dia juga tidak ingin dua ekor harimau itu terhempas di keramaian pasar atau di kantor  pemerintahan di tengah kota dan menimbulkan kegemparan.

Akhirnya Panglima Burung membantu Luta. Panglima Burung tidak hanya memindahkan sepasang harimau dewasa itu, melainkan 14 anak harimau dan seekor induk harimau dari hutan Sumatra serta perbatasan Serawak. Luta ingin menghadiahkan semua harimau untuk cucu Datu Tingkas, raja manusia harimau di Sumatra. Secara tak sengaja, dia berpapasan dengan Harimau Garang di hutan. Pemuda itu tengah dalam perjalanan ke Serawak, melarikan diri dari kejaran polisi untuk kejahatan yang tidak dilakukannya.

Luta mengatakan pada saya bahwa  Harimau Garang kini berada di Malaka. Dia telah memberi Luta sebuah telepon seluler, supaya mereka mudah berhubungan. Seorang pemuda suku Ngaju telah mengajarinya menggunakan telepon itu.

Di malam hari Luta membawa seluruh anak harimau tidur bersamanya, tapi saat dia terjaga tidak seekor harimau pun ada di dekatnya. Harimau-harimau ini turun ke tanah sebelum hari terang. Mereka sebenarnya tidak tahan bau manusia, katanya. Tiga ekor harimau dewasa lebih senang duduk-duduk di bawah rumah atau tidur di siang hari.  Empat belas anak harimau itu senang bermain-main dan mandi di sungai.

Seekor anak harimau agak berbeda perangainya dibanding yang lain.  Kemampuannya mengejutkan Luta.  Dengan gesit  harimau kecil  ini menerkam seekor ikan di sungai, lalu menyeret tubuh ikan yang hampir sebesar dirinya itu ke hadapan saudara-saudaranya untuk dimakan bersama. Kuning bulunya lebih cemerlang, berkilau seperti emas.

Luta meninggalkan kampung halamannya saat berusia 11 tahun. Dia tidak pernah kembali lagi ke situ. Sejak saat itu pula dia terus terpisah dengan Ibunya, mencari penghidupan sendiri yang tidak mudah. Di usia 11 tahun  dia juga pertama kali ikut perang dan mengayau atau memenggal kepala musuh.  Dia langsung dirajang sesudahnya, lalu memperoleh gelar bujang barani.

Mengayau dan mengembara merupakan tradisi  penting bagi laki-laki suku Iban.  Namun,  tradisi mengayau tidak dijalankan lagi di masa sekarang. Pada abad ke-19, pemerintah kolonial Belanda melarang suku-suku Dayak mengayau.  Meski tradisi mengayau hanya terjadi di kalangan suku-suku Dayak dengan sasaran orang-orang Dayak, tapi pemerintah kolonial cemas  kalau tradisi ini meluas dan menjadikan orang-orang kulit putih sebagai sasaran umum.  Beberapa tentara dan pastor memang  telah jadi korban.  Menurut catatan antropolog  Jan van Kampen, pengayauan terhadap orang-orang kulit putih sebenarnya merupakan  tindakan perlawanan terhadap penjajah kolonial. Para pastor  yang tidak punya kaitan langsung dengan administrasi kolonial dianggap sebagai  kaki tangan penjajah, karena warna kulit mereka sama.  Di lain sisi, kebiasaan mengayau juga merugikan orang-orang Dayak. Suku-suku Dayak terancam punah bila tradisi ini tetap berlangsung.  Ketika satu suku kehilangan 10 laki-laki mereka, maka suku itu harus mengayau atau memenggal kepala 10 laki-laki  dari suku musuhnya.

Dalam sejarahnya, laki-laki suku Iban juga melanun. Pada abad ke-18 orang-orang Sulu mengajari  orang-orang Iban melanun, karena  gagal menaklukkan mereka. Semula orang-orang ini  ikut kapal lanun orang Sulu, tapi setelah itu membuat armada lanun sendiri dan berlayar sampai ke Vietnam,  Teluk Tongkin, India dan Siam.

DI usia 20 tahun, Luta telah mengayau 200 musuh dan mendapat gelar pamegen. Roh-roh musuh itu, berdasarkan kepercayaannya, akan mengabdi sebagai budak di alam sebelah atau disebut jipen.

Kakek ayahnya adalah pamegen  terbesar, yang memenggal Raja Mempawah, sekutu Mahapatih Gajah Mada waktu perang di Siam.

Majapahit adalah kerajaan besar waktu itu. Armada lautnya menguasai pantai dan laut kerajaan Siam, sehingga orang-orang Siam hanya menguasai kota-kota saja.   Kerajaan Siam dan negara-negara pantai harus membayar upeti pada Majapahit, kalau tidak ingin dirompak di wilayah mereka sendiri. Dari Teluk Benggala sampai  Teluk Tongkin, mulai perbatasan Vietnam hingga Laut Cina Selatan, dikuasai armada laut terkuat di Asia Tenggara ini.

Majapahit juga menaklukkan kerajaan Kutai Martadipura di Muara Kaman. Orang-orang yang tidak mau tunduk akhirnya menyingkir ke pedalaman.  Luta tidak mengalami peristiwa itu. Dia belum lahir. Tapi beberapa abad kemudian, hantu-hantu bumburaya, pemakan bangkai hewan dan manusia, mengancam nyawa orang-orang di berbagai tempat di pulau ini. Ciri-ciri hantu bumburaya: tinggi tiga meter, berbadan gempal, berkulit hitam legam, bulu-bulu yang tumbuh lebat di badannya sebesar jari kelingking, dapat menjelma anjing atau kerbau, menggendong salipang atau keranjang rotan yang di dalamnya tersimpan senjata untuk perang seperti parang, selain obat-obatan maupun azimat-azimat.

Menurut Luta, dia dan orang-orang sukunya  tidak keberatan hidup berdampingan dengan hantu. Sebab  mereka  terbiasa bergaul dengan berjenis-jenis hantu. Tapi hantu bumburaya bukan hantu pada umumnya. Hantu jenis ini tidak ingin tinggal berdampingan dengan manusia. Mereka ingin membangun negeri hantu. Mereka  merusak balai-balai pemujaan dan mendirikan rumah-rumah di hutan-hutan larangan, termasuk di permukiman pertama kakek moyang manusia berajang dan bertelinga panjang, Datah Otap.  Mereka punya Tuhan sendiri yang dipuja dengan dengung. Bunyi dengung itu membuat binatang-binatang langsung sakit, mati atau mandul.  Banyak pohon tumbang.  Sungai-sungai mengering. Keterangan tentang keberadaan hantu bumburaya ini pertama kali diungkap seorang kolonel Belanda yang suka berjalan-jalan keluar bentengnya di Kuala Kapuas pada akhir abad ke-19 dan dicatat antropolog Christopher Otten sebagai ‘makhluk yang belum diketahui asal-usulnya.’

Hantu bumburaya  akhirnya membunuh manusia. Perempuan hamil diserang di hutan. Bayinya dikeluarkan dan dimakan. Lama-kelamaan hantu bumburaya  sengaja berburu perempuan-perempuan hamil untuk mengambil bayi-bayi mereka.

Para kepala suku  mulai marah. Mereka sepakat bertindak. Panimba Sagara, Pembelah Batung, Garuntung Manau dan Garuntung Waluh adalah nama-nama kepala suku utama yang mengusulkan upacara penting itu diselenggarakan. Semua panglima dan rakyat dikumpulkan  di balai pemujaan untuk melaksanakan upacara bedarak begelak, memberi makan roh binatang, manusia dan jin untuk bersama-sama melawan hantu bumburaya. Kamang tariu akan membangkitkan pasukan gaib yang paling ganas.

Balai besar ini didirikan di tanah petak malai. Tanah bertuah. Di tanah semacam ini sering terjadi keanehan, seperti ular diinjak tidak mau mematuk, nyamuk hinggap tidak mau menggigit.

Untuk menghadapi hantu, upacara lain diselenggarakan. Para panglima yang telah tiada dipanggil ke alam manusia.  Bebalian besar ini akan membuat mereka kembali berjasad.

Ketika seorang pemimpin atau panglima meninggal, jasadnya dibaringkan di atas balai kayu setinggi 2,5 meter.  Jasad itu diselimuti kain. Di bawah jasadnya diletakkan belanga besar atau tajau.  Dupa dibakar. Asap menyentuh mayat. Daging mulai meleleh, lalu menetes ke dalam tajau.  Cairan mayat ini nanti dicampur dengan minyak kelapa gading dan bermacam ramuan lain, lalu disimpan sebagai minyak pusaka suku tersebut. Bila terjadi perang besar, maka bebalian dilaksanakan untuk menghidupkan kembali para pemimpin. Mereka akan menjelma manusia dan memimpin pasukan manusia serta pasukan gaib untuk mengalahkan musuh. Persembahan upacara bermacam-macam, seperti kerbau, babi, anjing,  ayam atau lemang.

Tiang untuk menggantung benda-benda upacara di balai pemujaan terbuat dari kayu pulantan. Tiang lalalai tidak boleh berasal dari kayu lain. Para pemimpin pernah mengadakan sayembara untuk membuat tiang lalalai. Luta ingat bahwa Marubai raja dari Melawi ikut dalam sayembara ini. Marubai terkenal sakti. Tapi Luta tidak gentar. Dia langsung menerbangkan pohon pulantan yang berdiameter sedepa dari hutan Serawak dan mendarat  tegak lurus sebagai tiang di tempat itu. Dalam keadaan normal, kayu pulantan sebesar ini hanya mampu dipikul 100 orang. Itulah kayu terbesar yang pernah dilihat orang-orang sukunya.

Tiang kayu pulantan melambangkan batang garing atau pohon kehidupan.  Dalam kepercayaan leluhur  Luta, pohon adalah asal-mula kehidupan. Emas, batu, manusia, semua yang ada di muka bumi  berasal dari pohon yang sama.

Tidak semua suku memiliki balai pemujaan, meski sama-sama mempercayai pohon kehidupan. Dua ratus tahun lalu Luta membangun balai pemujaan untuk orang-orang Meratus. Sejak itu pula orang-orang Meratus mengenal balai pemujaan. Dia juga pernah jadi kepala suku Meratus. Sebagai seorang Iban sejati, Luta selalu mengembara. Di mana dia singgah, dia biasanya dihormati atau diangkat sebagai kepala suku.

Hantu-hantu bumburaya kemudian berhadapan dengan pasukan manusia dan pasukan gaib. Mereka kalah, kemudian menyingkir lebih jauh ke pedalaman. Luta  memusnahkan seribu hantu dalam pertempuran itu. Kadang-kadang sejumlah orang melaporkan melihat hantu bumburaya berkelebat di hutan setelah perang berakhir. Tapi hantu-hantu tidak berani mendekati mereka.

MANUSIA abadi hanya punya satu persoalan, yaitu kesepian abadi. Memiliki sahabat amat penting untuk menjalani hidup sampai akhir zaman.  Sebagian besar manusia abadi, menurut Luta, mengasingkan diri dari keramaian dan menjalani hidup hanya dengan bertapa.  Luta tidak seperti itu. Dia senang bertemu orang-orang di berbagai tempat dan membantu menyelesaikan masalah-masalah mereka.  Dia mempunyai lima anak angkat, yang membantunya merawat  anak-anak harimau.

Tapi beberapa waktu lalu Luta sempat terganggu oleh mimpinya yang sama dan berulang-ulang. Dalam mimpi, dia melihat seekor burung raksasa berdiri menjulang di hadapannya.  Ketika dia menengadah, di punggung burung itu tampak seorang lelaki duduk memegang tombak di satu tangan dan tangan yang lain menggenggam tali kekang.  Dia tiba-tiba mendengar teriakan perang yang dikenalnya.  Dia melihat burung-burung raksasa bergerak maju di belakang pemimpin pasukan ini.  Para penunggangnya orang-orang berkulit merah, seperti dirinya.

Lelaki-lelaki hitam berbaju kulit macan tutul menyongsong kedatangan pasukan burung  dengan perisai dan lembing. Tapi dengan cepat  tubuh mereka terjungkal dan terlentang di tanah begitu tombak menembus dada. Dengan cekatan, prajurit- prajurit kulit merah turun dari punggung burung, lalu menghampiri tubuh-tubuh yang sekarat  tersebut dan memenggal  kepala mereka dengan pedang.

Luta sudah mengunjungi  seorang basir  untuk mengetahui arti mimpinya.  Basir  segera membuka tusut, kitab tentang asal-usul Iban, termasuk tentang datu  pertama dan  perang-perang yang telah terjadi. Tapi basir  tak menemukan kisah yang sesuai dengan mimpi Luta. Peristiwa itu tentu lebih tua dari apa yang tertulis.

Basir sang penghubung  alam manusia dan alam roh,  mengetahui  masa lalu dan masa depan, mulai mencari jawaban dengan cara lain, ia menembus ke alam roh.

Menurut basir, itu para leluhur Luta, penakluk Hujung Wulangga, tanah asal buah Pao Janggi.

Hujung Wulangga berarti Madagaskar.

Pada abad pertama Masehi, orang-orang Dayak telah mengarungi lautan ke arah barat, sejauh belasan ribu kilometer, mengkoloni dan menguasai pulau terpenting di sebelah timur benua Afrika, yang kita kenal kemudian sebagai Pulau Madagaskar. Mereka mendirikan Kerajaan Merina, melakukan kegiatan penambangan dan menghormati buaya yang menunjukkan tradisi kepercayaan bangsa Melayu.

Bangsa ini tetap jadi kelompok dominan di Madagaskar sampai dikalahkan Perancis sebagai kekuatan imperialisme Barat modern menjelang abad ke-20.

Fakta terakhir juga menunjukkan bahwa orang-orang bertelinga panjang di kepulauan Paskah di Samudra Pasifik, penyebaran awalnya berasal dari kepulauan Nusantara.

Burung-burung raksasa dalam mimpi Luta merupakan unggas purba yang hidup di Madagaskar, dikenal dengan nama aepyornis maximus atau orang-orang Inggris menyebutnya, burung gajah. Tingginya sekitar tiga meter, berat 400 kilogram, dan  ukuran telurnya 160 kali telur ayam. Burung itu terakhir dilihat orang di abad ke-17 dan setelah itu hilang atau punah.  Sebab-sebab kepunahan tidak diketahui dengan jelas. Penulis HG. Wells pernah mengarang satu cerita pendek dengan judul “Aepyornis Island”, terinspirasi oleh burung terbesar dalam sejarah ini.

Luta berencana  ke Madagaskar, tapi dia tidak akan membawa serta rumah dan seluruh harimaunya. Dia hanya akan  melihat-lihat tempat itu.

‘Mungkin Datu Pasir akan ikut,’ katanya, seraya menatap bengkarung yang melata di lantai. Mereka akan terbang ke sana.***

Linda Christanty, wartawan-cum sastrawan, kini tinggal di Banda Aceh

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.