Problem Negara dan TKI: Meletakkan Negara Kapitalis Pada Tempatnya

Print Friendly, PDF & Email

Tanggapan untuk Hizkia Yossie Polimpung

ARTIKEL  KAWAN Hizkia Yosie Polimpung yang berjudul Kegagalan Negara? Ketidak-Jelasan Nasib TKI? Sebuah Tawaran untuk Perubahan Paradigma menurut saya, adalah sebuah upaya yang penting untuk mengembalikan perhatian teoritis kita pada Negara. Dalam epos kapitalisme-neoliberal sekarang ini, yang digadang-gadang sebagai momen ‘hilangnya Negara,’ kawan Yosie mengambil posisi yang hampir bertentangan dengan kebijaksanaan umum yang tengah berlaku, dimana alih-alih hilang, Negara masih ada dan akan terus ada. Bahkan keberadaannya semakin kuat dari sebelumnya. Di sisi yang lain, posisi ini juga memberikan tantangan yang  serius bagi para pengamat atau siapapun yang tertarik akan peran Negara, yang masih terlena pada perspektif humanis tentang Negara: bahwa Negara teledor, lalai, dsb. Artikel kawan Yosie setidaknya memberikan pemahaman bahwa perspektif humanis tentang Negara, seringkali bertolak belakang dengan keseluruhan logika Negara itu sendiri. Di sini, akhirnya, Negara dengan moralnya – entah itu moral baik atau buruk – tidak lagi mencukupi untuk dapat menjelaskan karakter utama Negara.

Akan tetapi, menurut hemat saya, menilik analisa serta elaborasinya, artikel tersebut  ‘terlalu jauh’ sekaligus ‘tidak cukup jauh’ ketika hendak mengelaborasi pandangannya tentang Negara. Terlalu jauh ketika kawan Yosie terlampau menekankan pada aspek kedaulatan otonom Negara, yang pada tingkatan tertentu memiliki kemiripan dengan posisi Negara Leviathannya Hobbes. Tidak cukup jauh karena kawan Yosie hampir mengabaikan, jika tidak benar-benar mengabaikan, aspek basis sosial dan politik dari Negara, yang di dalamnya berbagai relasi kelas-kelas sosial politik saling berkontradiksi satu dengan yang lain. Dua keterbatasan ini membuat pilihan praktis, khusunya, permasalahan  TKI sebagaimana yang coba ditawarkan kawan Yosie dalam artikelnya, walau terdengar menarik di tataran retorika tapi terlampau sederhana untuk menyelesaikan permasalahan itu sendiri. Di sini mungkin tepat pernyataan kawan Yosie sendiri dalam artikel tersebut, ‘apabila suatu permasalahan berulang-ulang terjadi, dan telah berbagai cara dilakukan untuk mengatasinya, saya kira sudah saatnya kita duduk sejenak, membakar rokok, dan menyeduh teh hangat lantas berpikir: jangan-jangan kita telah salah menentukan titik masalah dari kasus yang kita hadapi; jangan-jangan justru cara kita mempermasalahkan sesuatu itu yang sebenarnya bermasalah.’

Terlalu Jauh! Kritik atas Fetisisme Kedaulatan Negara

Dalam pandangan kawan Yosie,  kedaulatan Negara bersifat absolut, berdiri dan mengatasi semua relasi sosial politik yang ada. Hal ini didasari pada argumen yangdapat ditelusuri genealoginya pada pemikiran Machiavelli hingga Foucault, dimana Negara memiliki logikanya dan memiliki kapasitas  mutlak untuk, “1) mempertahankan, mereplikasi, sekaligus melanggengkan kedaulatannya; dan 2) memerintah—lebih ke arah manajemen dan administrasi—(si)apapun yang berada dalam teritori kedaulatannya.”

Apa yang problematik dari argumentasi ini adalah, begitu kentalnya ramuan fetishisme atas kedaulatan Negara. Menggunakan analisa Marx tentang fetishisme komoditas, fetishisme adalah suatu kondisi dimana suatu hal atau aktivitas yang kita anggap sebagai sesuatu yang biasa saja, kemudian pada suatu kondisi tertentu kita telusuri ternyata memiliki suatu karakter magis di dalamnya.[2] Dalam hubungannya dengan kedaulatan Negara, ketika aktivitas keseharian dalam kedaulatan Negara mampu untuk memerintah sekaligus mempertahankan subordinasinya terhadap relasi sosial lainnya, hal itu membuat Negara terangkat pada suatu posisi mistis tertentu, Negara menjadi sebuah entitas yang magis, yang mampu mengatasi semua relasi sosial di dalamnya. Di sini kedaulatan Negara menjadi absolut, sebuah kondisi par excellence bagi kedaulatan Negara.

Kritik atas fetishisme kedaulatan Negara dapat dilihat pada bagaimana dinamika perubahan Negara dalam rentang waktu sejarah yang panjang. Dalam konteks Indonesia, misalnya, kita akan menemukan banyak temuan dimana logika Negara yang berdaulat secara absolut tidak pernah terjadi. Selalu ada momen-moment tertentu dalam gerak dinamis Negara, yang menunjukkan bahwa kedaulatan Negara pada dasarnya berubah secara relatif.

Ambil contoh pengalaman dinamika Negara Indonesia di bawah rezim Orde Baru (orba), misalnya. Banyak kalangan yang menganggap  Negara orba adalah Negara otoritarian bahkan cenderung totaliter. Dalam istilah yang telah disinggung sebelumnya, Negara mampu untuk ‘mempertahankan, mereplikasi, sekaligus melanggengkan kedaulatan dirinya.’ Hal ini tampak ketika Negara mampu  menciptakan mitos-mitos tentang dirinya yang berdaulat serta dapat memerintah dan ‘mengontrol secara ketat (si)apapun yang berada dalam teritori kedaulatannya.’  Tidak heran jika kita temukan banyak praktik-praktik keseharian yang pada dasarnya mengafirmasi posisi ini,  seperti upacara rutin setiap hari Senin dengan baju seragam putih-putih, penataran P4, keberadaan komando territorial pada struktur politik formal terendah, dll.

Namun penampakan-penampakan di atas akan terasa terasa paradoksnya, justru ketika  Negara orba sama sekali tidak berdaulat di hadapan kapital. Kudeta 1965, yang mengantarkan Soeharto ke puncak kekuasaan, hanya menghasilkan Negara dengan rezim yang sepenuhnya tunduk pada kekuatan modal, yang dalam hal ini modal asing. Hal ini dapat dilihat pada Konferensi tahun 1967 di Swiss, yang mempertemukan penguasa Indonesia dengan para pemodal asing seperti Rockefeller, yang berhasrat untuk mengeruk sumber daya alam indonesia.[3] Bahkan salah satu jenderal utama Soeharto, yakni Ali Moertopo harus ‘beriklan’ di Majalah Times pada saat itu untuk ‘menjual’ seluruh asset-aset nasional.

Tentu saja sejarah tidak berjalan linier. Perang Arab-Israel tahun 1973, telah mendongkrak naik harga minyak internasional. Indonesia, yang saat itu bertindak sebagai eksportir mendapat durian runtuh dari booming harga minyak internasional itu.  Di sini apa yang dipersepsikan sebagai kedaulatan Negara yang absolute mungkin dapat diterima. Pada fase ini, kekuasaan otoritarian rezim orba mampu menerabas semua pembatas yang ada. Kebijakan penyederhanaan partai dan organisasi massa serta asas tunggal, adalah contoh-contoh yang tepat bagi argumentasi ini.

Sayangnya,  apa yang yang dianggap bagus tidak dapat bertahan lama. Awal 80an, stabilisasi atas harga minyak internasional menyebabkan tingkat keuntungan dari minyak nasional pun ikut stabil bahkan turun. Hal ini telah memaksa Negara orba untuk menyesuaikan diri di hadapan perubahan struktural ekonomi politik internasional. Penyesuaian itu dicanangkan melalui  program penyesuaian struktural sektor keuangan dan perbankan dengan diperkenalkan kebijakan deregulasi, restukturisasi, serta  liberalisasi. Puncaknya adalah dikeluarkannya kebijakan Pakto (Paket Oktober) tahun 1986, yang menjadi pijakan awal bagi liberalisasi perbankan nasional.[4] Posisi ini tentu saja membuat Negara, yang dalam hal ini adalah bidang ekonomi, tidak dapat dikatakan berdaulat secara absolut.

Selain itu secara politik pun tidak serta merta Negara akan selalu memiliki kedaulatan yang par excellence. Kebijakan otoritarianisme ternyata mampu diatasi seperti yang saat  reformasi 1998. Perlawanan massa rakyat, yang kemudian berujung pada munculnya banyak kebebasan untuk berserikat, kebebasan media massa dan banyak kebebasan lainnya menunjukan, pasca reformasi Negara bukan lah suatu entitas yang dengan sendirinya absolute.[5] Negara dapat dibentuk dan dideterminasi oleh jenis kekuasaan tertentu yang secara inheren saling berkontradiksi dalam Negara itu sendiri.

Tidak terlampau jauh! atau tentang kritik ekonomi politik TKI

Kawan Yosie sebenarnya telah memulai dengan sangat baik ketika  berargumen bahwa Negara dalam kondisi kekinian tidak akan pernah berupaya untuk melindungi TKI. Sayangnya, argumen ini dibangun di atas pandangan bahwa kesemuanya ini dilakukan atas nama kedaulatan Negara. Jawaban ini seakan mengabaikan pertanyaan yang lebih fundamental, ‘jika memang atas nama kedaulatan Negara, hal apa yang menyebabkan Negara harus bertindak sebagaimana yang tengah dilakukannya sekarang ini?’ Disinilah tampak bagaimana bangunan argumentasi dengan menempatakan kedaulatan Negara yang absolute sebagai fondasinya terasa sangat terbatas.

Untuk mengatasi keterbatasan argumentasi ini, tentu saja harus dengan pemeriksaan lebih jauh tentang Negara itu sendiri. Sebagaimana saya tunjukkan sebelumnya, kedaulatan Negara par exellence adalah mustahil adanya. Yang justru terjadi,  derajat kedaulatan Negara ditentukan oleh dinamika  jejaring relasi sosial ekonomi politik (saya akan menyebutnya sebagai relasi kelas). Lebih tegas lagi, dinamika serta perjuangan dalam jejaring kelas inilah kemudian menentukan bentuk kedaulatan Negara seperti apa yang akan muncul.

Dalam permasalahan TKI, misalnya, peran Negara yang cenderung mengabaikan nasib TKI di luar negeri lebih banyak merupakan konsekuensi logis dari kemenangan logika kelas tertentu di Indonesia. Menurut hipotesa saya, kemenangan logika kelas ini disebabkan oleh struktur ekonomi indonesia yang semakin terintegrasi dengan ekonomi global pasca reformasi, dengan adanya globalisasi perdagangan bebas alias kapitalisme-neoliberal. Integrasi ini menyebabkan terjadinya transformasi serta perombakan besar-besaran konfigurasi kekuatan produktif atau industri nasional. Dengan kata lain, industri nasional harus menyesuaikan diri dengan kebutuhan serta kepentingan rejim kapitalisme-neoliberal. Jika sektor industri nasional gagal untuk mempertahankan daya saingnya,  maka sektor industri tersebut akan mengalami proses deindustrialisasi.

Di sini, deindustrialisasi menyebabkan terjadinya penghancuran atas kekuatan-kekuatan produktif yang berujung pada surplus tenaga kerja. Surplus tenaga kerja membuat upah tenaga kerja menjadi rendah dan ini membuat keseluruhan secara rata-rata upah riil buruh menurun. Lalu bagaimana peran Negara? Peran Negara menjadi sangat penting semenjak ia menjadi penjamin akhir bagi penataan surplus tenaga kerja. Manajemen atas surplus tenaga kerja yang buruk, hanya akan berujung pada ledakan pengangguran yang mana secara sosial akan menggerogoti Negara itu sendiri. Disinilah kelas yang berhasil memenangkan kontestasi politik di Negara, mengadopsi kebijakan pasar tenaga kerja yang fleksibel. Pilihan ini merupakan logika yang tengah berkembang dalam kelas kapitalis, ketika persaingan serta kekompetitifan suatu Negara menjadi pertimbangan utamanya.[6] Kebijakan pasar tenaga kerja yang fleksibel membuat mekanisme pasar menjadi instrumen utama bagi penyaluran tenaga kerja ini. Pola pengorganisiran tenaga kerja seperti ini menyebabkan terjadinya pemilahan besar dalam distribusi tenaga kerja, dimana ada tenaga kerja yang disalurkan di dalam negeri, dengan pola penyalurannya melalui kerja outsourcing, kerja kontrak, upah harian, dll, dan tenaga kerja yang disalurkan keluar negeri.

Apa yang terjadi kemudian dari bentuk penyaluran tenaga kerja ke luar negeri,  ia secara imperative mendorong akumulasi modal secara keseluruhan. Negara mendapatkan limpahan devisa buah dari kerja TKI. Di sisi lain modal penyaluran ini menciptakan modus akumulasi baru dimana institusi penyalur tenaga kerja baik yang diciptakan oleh Negara maupun swasta, mendapatkan keuntungan melalui pelayanan jasa penyaluran tenaga kerja ini. Hal ini menunjukkan, bagaimana kemenangan politik dari kelas sosial tertentu kemudian mendeterminasi bentuk dan logika Negara yang berhasil dimenangkannya. Dan ini juga menentukan bentuk kedaulatan apa yang muncul dari Negara yang ada.

Penutup

Negara adalah seperangkat relasi sosial ekonomi politik. Secara dialektis, pemahaman atas Negara itu tentu saja harus dijelaskan dari relasi sosial itu sendiri. Sayangnya, banyak dari kalangan ahli yang menganggap bahwa relasi sosial adalah sesuatu yang tetap dan selesai, yang sedikit banyak membuatnya diabaikan. Untuk itu menjadi penting untuk memahami bahwa relasi sosial adalah sesuatu yang selalu berproses dan bergerak. Hanya dalam gerak serta proses relasi sosial itulah maka kita dapat memahami secara teoritis bagaimana karakter Negara.

Pemahaman ini menjadi penting ketika kita berupaya untuk memahami bagaimana posisi TKI, yang saat ini diterlantarkan oleh Negara. Menurut saya,  minimnya peran Negara bukan karena kedaulatan Negara itu sendiri. Absennya Negara dalam kasus TKI, bukan karena Negara terlalu berdaulat, tapi Negara memang dipaksa untuk tidak campur tangan terlalu aktif dan jauh,  karena hanya akan berimplikasi secara negatif pada akumulasi dan ekspansi kapital yang telah terbangun. Secara politik, karena Negara tunduk secara sistemik pada logika kelas sosial tertentu, maka sasaran tembak atas situasi ini  justru harus ditujukan pada Negara. Dan ini membuka suatu kemungkinan munculnya logika kelas sosial tertentu yang berbeda untuk mengatasi problem Negara ini.***

Muhammad Ridha, anggota Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP)

 

[2]A commodity appears, at first sight, a very trivial thing, and easily understood. Its analysis shows that it is, in reality, a very queer thing, abounding in metaphysical subtleties and theological niceties. So far as it is a value in use, there is nothing mysterious about it, whether we consider it from the point of view that by its properties it is capable of satisfying human wants, or from the point that those properties are the product of human labour.” Teks ini menunjukan bagaimana fetisisme komoditas bekerja. Fetisisme justru berangkat pertama kali bukan dari mistisme atau efek magis dari suatu hal atau aktifitas, namun berkebalikan dari itu, fetisisme muncul dari kepercayaan kita bahwa hal atau suatu aktifitas yang kita anggap biasa saja ternyata memiliki implikasi magis dibaliknya. Lih. Karl Marx, ‘Capital: A Critique of Political Economy, Volume I,’ trans. Ben Fowkes (London: Penguin Classics, 1990). Hal. 164-5.

[3] Lih. Kajian Jeffrey Winters, ‘Power in Motion: Capital Mobility and the Indonesian State,’ (Ithaca: Cornell University Press, 1996)

[4] Lihat eksplorasi mengenai sejarah dan dinamika ekonomi politik indonesia dalam kajian Andrinof A. Chaniago,’Gagalnya Pembangunan: Kajian Ekonomi Politik terhadap Akar Krisis Indonesia,’ (Jakarta: LP3ES, 2001)

[5] Untuk memahami bagaimana dinamika antara kelas-kelas sosial dalam mempengaruhi kebijakan Negara dapat dilihat pada kajian Vedi R. Hadiz. Tesis Hadiz adalah dinamika antara kelas pekerja dengan kelas berkuasa di indonesia mempengaruhi modus akomodasi rezim (modes of accommodation) yang kemudian berimplikasi pada bentuk kebijakan Negara yang berlainan. Vedi R. Hadiz, ‘Worker and The State in New Order Indonesia,’ (London: Routledge, 1997).

[6] Guy Standing, ‘Global Labour Flexibility: Seeking Distributive Justice,’ (New York: Macmillan, 1999)

 

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.