Membicarakan Negara: Kritik atas Tulisan Muhammad Ridha

Print Friendly, PDF & Email

MUHAMMAD Ridha melalui tulisannya yang berjudul Problem Negara dan TKI: Menempatkan Negara Kapitalis pada Tempatnya, yang  mengritisi tulisan Hizkia Yossie Polimpung sebelumnya, menarik untuk didiskusikan lebih lanjut.

Dalam tulisannya ini, Ridha menyatakan bahwa analisa Polimpung, pertama, terlalu mengagungkan kedaulatan otonom negara. Menurut Ridha negara bukanlah entitas otonom karena ia tidak mampu berdiri berdaulat ketika berhadapan dengan kapital. Kedua, Polimpung ‘mengabaikan aspek basis sosial dan politik dari negara, yang di dalamnya berbagai relasi kelas-kelas sosial politik saling berkontradiksi satu dengan yang lain.’

Membaca tulisan dan analisa Ridha tersebut, kritik saya akan dibagi ke dalam dua bagian: pertama, kritik  atas ide yang dikemukakannya berkaitan dengan teori tentang Negara; dan kedua, kritik  atas bangunan tulisan Ridha.

Bagian pertama

Ide yang dikemukakan Ridha merupakan pendekatan tipikal yang digunakan oleh para Marxian untuk menganalisis sepak terjang Negara, baik di level domestik maupun internasional. Inti dari pendekatan ini menyatakan, pertama, di dalam ruang sosial bersistem kapitalis, kapital atau modal merupakan raja. Seluruh institusi sosial patuh pada kemauan kapital; kedua, di dalam sistem kapitalis terdapat konflik permanen antara kelas borjuasi dan proletariat. Borjuasi adalah para penguasa modal, sementara proletariat adalah mereka yang bekerja pada borjuasi dengan mengandalkan tenaganya.

Di dalam definisi Marxian, Negara merupakan institusi yang berada di suprastruktur, dimana suprastruktur ini dikendalikan oleh struktur bawah yang ditentukan oleh model produksi. Jika model produksinya kapitalisme maka Negara akan bertindak sesuai dengan kemauan atau kepentingan dari para pemilik modal (borjuasi). Dengan kata lain, Negara tunduk pada modal dan menjadi alat penindasan terhadap para proletar.  Benarkah Negara tunduk pada modal?

Negara tunduk pada modal merupakan hal yang mungkin saja terjadi. Namun bukan kemutlakan. Jika Negara mutlak tunduk pada modal atau pada kemauan para pemilik modal, lalu bagaimana menjelaskan sikap pemerintah yang telah membekukan 30 perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI)? Jika mengikuti ide di atas, logikanya pemerintah tidak akan membekukan 30 PJTKI tersebut, melainkan  akan melindungi mereka. Lalu mengapa Negara sampai membekukan 30 PJTKI?

Untuk memahami alasan dibalik pembekuan tersebut ada dua konsep yang harus dipahami terlebih dahulu. Pertama, harus ada pembedaan antara negara, pemerintah dan masyarakat. Negara merupakan institusi yang memiliki hak untuk mengatur masyarakat yang ada di wilayah yurisdiksinya. Hak untuk mengatur ini juga diikuti oleh hak untuk menggunakan kekerasan secara terbatas. Negara merupakan institusi netral. Pemerintah merupakan sejumlah orang yang menjalankan negara. Pemerintah umumnya terbagi ke dalam tiga lembaga: eksekutif, legislatif dan yudikatif. Masyarakat merupakan sekelompok besar orang yang berada dalam satu wilayah yurisdiksi tertentu. Masyarakat terbagi-bagi ke dalam beragam kelompok berdasarkan bermacam-macam pembeda sosial: etnis, agama, profesi, pendapatan ekonomi, dan lain-lain. Pembeda sosial ini hampir tidak terbatas.

Di dalam negara interaksi terjadi secara vertikal dan horizontal. Interaksi vertikal merupakan interaksi antara pemerintah dan masyarakat. Interaksi horizontal merupakan interaksi antar kelompok-kelompok di dalam masyarakat. Interaksi-interaksi inilah yang menentukan sikap Negara atas sebuah permasalahan. Jika sebuah kelompok masyarakat mampu mengajak kelompok masyarakat lainnya untuk mendukung apa yang mereka perjuangkan dan mampu memaksa pemerintah untuk mengkomodasinya maka negara akan bersikap sejalan dengan apa yang diperjuangkan tersebut.

Dengan demikian, dalam konteks pembekuan PJTKI tadi, kebijakan tersebut lahir karena keberhasilan tekanan yang diberikan oleh masyarakat atas pemerintah, khususnya melalui  organisasi masyarakat sipil (OMS). Namun tekanan ini belum cukup besar untuk membuat pemerintah memiliki kepedulian penuh pada persoalan TKI. Sebagai contoh, isu TKI belum mampu membuat pemerintah yang berkuasa berisiko kehilangan kekuasaannya di pemilu, jika gagal menyelesaikan masalah-masalah TKI.

Dalam pandangan Saya, Ridha menyederhanakan masalah ketika ia berpandangan bahwa hanya ada dua kelompok sosial di dalam sebuah negara dan kelompok-kelompok sosial ini saling menafikan. Negara berisikan pemerintah dan masyarakat, dimana masyarakat berisikan berbagai kelompok sosial berdasar etnis, profesi, ideologi, dan lain-lain. Relasi antar kelompok bersifat kompleks. Konflik dan harmoni antar kelompok berlangsung dinamis. Kasus Ruyati memperlihatkan kepedulian luas lintas kelompok. Namun, sayangnya, kepedulian ini belum bermuara pada sebuah tekanan besar terhadap pemerintah. Kepedulian belum berujung pada aksi politik yang berisiko membahayakan kekuasaan yang dimiliki oleh pemerintah saat ini untuk pemilu berikutnya.

Bagian kedua

Membaca judul artikel Ridha, tampak jika ia ingin menjelaskan persoalan TKI dari kacamata Marxian. Sayangnya upaya ini tidak terbangun dengan baik. Ketika menyatakan Negara lemah saat berhadapan dengan modal, Ridha tidak mampu menjelaskan hubungan antara lemahnya Negara di hadapan modal dengan persoalan TKI di Arab Saudi. Ridha malah sibuk menjelaskan kondisi Indonesia pada masa pemerintahan Orde Baru.

Hal yang sama juga terjadi ketika Ridha menjelaskan tentang relasi sosial yang berlangsung di Indonesia. Ridha sudah berusaha menghubungkan antara persoalan relasi sosial dengan kepedulian pemerintah terhadap persoalan TKI, dengan menulis ‘dalam persoalan TKI, misalnya, peran negara yang cenderung mengabaikan nasib TKI di luar negeri lebih banyak merupakan konsekuensi logis dari kemenangan logika kelas tertentu di Indonesia.’ Namun, penjelasan-penjelasan selanjutnya yang mengikuti pernyataan tersebut tidak mampu menjelaskan hubungan tersebut.

Ketidakmampuan memberikan penjelasan tersebut akhirnya menyebabkan hipotesis Ridha mentah dengan sendirinya.***

Wendy Prajuli, Mahasiswa Hubungan Internasional di Tamkang University, Taiwan

Kepustakaan:

“Pemerintah Bekukan 30 PJTKI,” KBR68H, http://www.kbr68h.com/berita/nasional/4957-pemerintah-bekukan-30-pjtki.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.