Relevansinya dengan Diskursus Politik Kontemporer
Pengantar
Civil society sudah menjadi mantra baru dalam konstelasi politik kontemporer. Betapa istilah ini sudah sedemikian berkembang luas, bahkan terjadi ekstrapolasi yang cukup jauh, hingga pada akhirnya jatuh dalam pemiskinan konsep . Tak dimungkiri ramifikasi gagasan civil society sudah sedemikian luas, dari aras liberalisme hingga marxisme. Paparan berikut hendak menyajikan diskursus civil society dari perspektif pemikiran Antonio Gramsci dan melihat relevansinya dengan pemikiran politik kontemporer. Akan ditempuh langkah-langkah (1) menyajikan wacana tentang civil society untuk merangkum satu benang merah problematik dan merumuskan sebuah tesis; (2) menyajikan secara ringkas runutan perkembangan gagasan civil society, secara khusus dari pemikir liberal seperti Thomas Hobbes dan John Locke, hingga ke pemikiran Hegel dan Marx; (3) memaparkan upaya Gramsci memikirkan ulang sekaligus merumuskan secara baru gagasan civil society berdasarkan konteks sejarahnya; (4) melihat relevansi gagasan Gramsci dalam tata diskursus politik kontemporer; dan (5) tinjauan kritis serta beberapa usulan refleksi lebih lanjut.
Civil society: “Somewhere in Beetwen”
Istilah di atas dipilih sebagai sub judul untuk memberikan potret bahwa gagasan dan diskursus civil society sungguh beragam jika tidak dikatakan kabur. Setidaknya ditemukan beberapa gagasan yang sengaja dipungut secara selektif untuk mencerminkan dugaan itu, misalnya:
- Ide tentang Global Civil society yang diusung sebagai alternatif tandingan bagi globalisasi kapitalistik-neoliberalistik.
- Civil society yang dibatasi sebagai ranah Non-Govermental Organization (NGO) sebagai antidote dari Negara.
- Civil society sebagai ide ‘kiri’ yang dijadikan keranjang sampah alibi keburukan dan kegagalan mengelola tata pemerintahan neoliberalisme-kapitalistik.
- Civil society yang tetap kabur dan masih dicari kejelasannya, untuk tidak mengatakannya sebagai gagasan yang sungguh tidak jelas batasannya.
- Civil society yang diterjemahkan dan disamakan begitu saja dengan istilah teknis lain misalnya ‘masyarakat madani’ tanpa sudi melihat lebih jauh kompleksitas masalah, kandungan substansi, dan historisitas lahir dan berkembangnya gagasan tersebut.
Tentu saja contoh di atas sekedar menunjukkan sulitnya melihat gagasan civil society dalam satu kerangka pemikiran tertentu. Sebelum masuk lebih dalam ke konsep pemikiran Gramsci, perlu diperjelas istilah ‘civil’ yang akan digunakan. Secara etimologis kata civil diturunkan dari istilah Latin untuk citizen yaitu civis, dan istilah untuk komunitas politis yakni civitas. Memahami konteks ini menjadi penting untuk memahami keseluruhan gagasan civil society dalam kaitannya dengan Negara dan kekuasaan.
Pilihan subjudul ‘somewhere in between’ sekaligus hendak menunjukkan dominasi pemikiran yang menempatkan Negara dan civil society dalam dua ranah berbeda dan tak mungkin dipersatukan, atau dengan kata lain sifatnya oposisional. Problem yang hendak dielaborasi dalam paper ini adalah (1) gagasan civil society yang berkembang mengalami pemiskinan dan menunjukkan ketakmampuan gagasan-gagasan itu menampung dinamika, konflik dan tegangan seputar hubungan civil society dan Negara, khususnya yang berakar dari tradisi liberal; dan (2) Gramsci, setidaknya melalui penafsiran dan elaborasi pemikir post-gramscian, menunjukkan pisau analisis baru untuk memahami ini.
Genealogi Civil society
Gagasan modern tentang civil society diawali dengan menyurutnya pengaruh kekuasaan Gereja Katolik, lahirnya perlawanan terhadap feodalisme, dan tumbuhnya kelas borjuis baru di Eropa, yang lahir bersamaan dengan zaman Rennaisance. Karya politik yang menandai ‘perpisahan’ ilmu politik sebagai ilmu tentang kekuasaan dan lepas dari moralitas adalah The Prince dari Machiavelli. Lalu di saat bersamaan bermunculan aneka gagasan mengenai state of nature manusia, kebebasan, dan masyarakat. Hukum alam (the natural law) dan hak alamiah (the natural right), dibangun tidak lagi berdasarkan teori hukum kodrat Thomas Aquinas di abad Pertengahan. Baik Hugo Grotius, Pufendorf, Thomas Hobbes, maupun John Locke menggagas hal yang sama sekali berbeda, yakni hukum kodrat dan hak alamiah kini dipahami dalam konteks bahasa kontraktualisme, individualisme, kebebasan, dan prioritas pada hak milik pribadi. Secara teoritis ini juga menandai transisi dari zaman medieval ke pemikiran politik modern dan transisi dari masyarakat tradisional dan feudal ke masyarakat modern dan borjuis. Secara khusus tilikan berikut akan difokuskan pemikiran Hobbes, Locke,Hegel, dan Marx.
Baik Hobbes maupun Locke, menggambarkan kondsi pra-sosial atau keadaan alamiah yang diliputi ketidakpastian. Khususnya Hobbes, keadaan alamiah adalah perang sehingga terkenallah ungkapannya, ‘perang semua melawan semua.’ Ia menggambarkan keadaan alamiah di mana manusia secara ekstrem individual mutlak dan hidupnya diliputi konflik. Ini menandai keretakan atau diskontinuitas dengan keyakinan nilai moral tradisional, yakni relativisme moral dan pengedepanan nilai-nilai pasar. Kedaulatan mutlak individu dan etika yang didasarkan pada kepentingan diri membutuhkan bangunan Negara yang kuat untuk menjamin keamanan, kepastian relatif, dan kemungkinan antisipasi bagi hadirnya civil society. Pergeseran dari kondisi alamiah menuju civil society ini dicapai melalui tegaknya “Leviathan” atau “mortal God” yang bernama Negara. Bagi Hobbes fungsi normal civil society – produksi dan pemerolehan property baik akumulasi modal aupun ekspansi pasar, budaya, seni, dan hal-hal umum yang dibutuhkan dalam kehidupan – tergantung pada Negara yang kuat. Artinya negaralah yang membuat eksistensi civil society menjadi mungkin.
Di pihak lain, Locke memiliki konsepsi relasi antara Negara dan civil society yang berkebalikan dari Hobbes. Dalam pemikiran Locke, transisi dari keadaan alamiah ke civil society tidak dicapai atau dimediasi oleh Negara yang kuat. Individu-individu berada dalam relasi mutualistis satu sama lain yang diwujudkan dengan terbentuknya civil society yang akhirnya membentuk Negara. Terbentuknya civil society ditandai dengan dikenalkannya uang (sebagai tanda persetujuan). Dalam banyak hal, hubungan Negara-civil society ditentukan oleh kegiatan ekonomi dan kekuatan pasar. Jika Hobbes memandang Negara mengungguli civil society dan prasyarat terbentuknya civil society adalah Negara, sebaliknya bagi Locke negaralah yang tergantung pada civil society. Dalam Locke kontrak sosial dimaksudkan diperbarui dan dinegosiasi ulang secara konstan, berbeda dengan Hobbes di mana kontak sosial bersifat tetap untuk membentuk sebuah Negara secara permanen.
Kita dapat melihat konsepsi Negara modern pada pemikiran Locke, bahwa peran Negara sangat minim (sebagai “night-watchman”). Civil society diyakini sebagai ruang kebebasan, wilayah dimana hak warganegara dan individu dielaborasi dan dipraktekkan, pun ranah di mana persetujuan dan persuasi dihasilkan. Ini berarti: civil society adalah ranah kebebasan dan persetujuan, dan Negara adalah wilayah paksaan dan tekanan. Yang sosial adalah asosiasi bebas, independen, dan otonom, karenanya yang sosial mendahului yang politis sebab yang politis berarti ruang di mana aktivitas manusia dibatasi dan dihalangi aturan-aturan Negara.
Liberalisme modern dengan demikian dapat dilacak dalam individualisme metodologis Hobbes dan konstitusionalisme Locke. Oposisi dalam paham liberal antara Negara dan civil society diteorisasikan pada era ekspansi pasar, transformasi ekonomi, dan munculnya kelas sosial baru di Eropa. Individualisme metodologis Hobbes setidaknya tampak dalam dua hal: pertama, seluruh badan korporasi bersifat artifisial dan konvensional; dan kedua, realitas secara hakiki bersifat individual. Kebebasan dan kekuasaan selalu berada dalam “satu paket” karena kebebasan akhirnya dimengerti sebagai “tiadanya oposisi eksternal atau halangan-halangan eksternal.” Individu-individu atomis adalah halangan eksternal, pula Negara menjadi semacam “external impediment” yang mengancam kebebasan individu. Maka, Negara dalam konsepsi politik liberal, lahir sebagai buah persetujuan antarindividu dan kekuasaannya legitim sejauh ia merupakan kepanjangan tangan dari persetujuan individu-individu. Di sini tampak kaitan logis dan metodologis antara individualisme atomistik dengan konstitusionalisme liberal. Ini berarti meski konsepsi state of nature antara Hobbes dan Locke berbeda, mereka sampai pada sebuah kesimpulan yang sama tentang hubungan Negara dan civil society karena koneksi ontologisme antara individualisme dan kepemilikan (hak milik pribadi).
Meski berada dalam tradisi kontraktual seperti Hobbes dan Locke, Hegel dan belakangan Marx memberi pendasaran yang berbeda. Mengikuti Rousseau, Hegel berpendirian bahwa relasi sosial dalam civil society juga merupakan ekspresi dari konflik dan kompetisi akibat akuisisi kepemilikan dan akumulasi modal. Jika bagi Hobbes dan Locke lahirnya civil society berarti terbentuknya komunitas, Rousseau dan Hegel tidak bersetuju titik tolak individu. Bagi Rousseau, civil society tidak lahir dalam transisi dari masa feudal ke masyarakat modern, yakni masyarakat yang didasarkan pada kepentingan diri, nafsu, dan hasrat egoistik. Yang sejati adalah kehendak umum (general will), yang akan membimbing masyarakat pada kebaikan umum. Hasrat dan kepentingan diri bersifat partikular. Hegel melanjutkan pemikiran Rousseau ini dengan memberi prioritas pada Negara yang diyakini sebagai lembaga yang mampu mengintegrasikan potensi konflik ini. Negara adalah realisasi rasio dalam masyarakat. Menurut Hegel, civil society adalah “sphere of necessity” yang berisi “system of needs” seperti keinginan, selera, insting, kebutuhan ekonomis. Di sini, sekilas Hegel meneruskan paham libreral Hobbes dan Locke. Namun, melampaui mereka, Hegel menekankan bahwa kebebasan itu secara esensial politis, dan individu bebas hanya sebagai entitas politis. Ide ini berakar jauh pada pemikiran Yunani antik, di mana polis diyakini sebagai bentuk tertinggi dari perkumpulan manusia, ruang di mana manusia dimungkinkan merealisasikan diri, sebagaimana Aristoteles mengatakan bahwa manusia bertransformasi dari sekedar berkepentingan diri dan memikirkan nilai guna (homo oeconomicus) menuju makhluk rasional dan berkesadaran (homo politicus).
“Negara,” demikian Hegel,” adalah aktualitas dari Ide etis.” Karenanya Negara itu rasional absolut. Negara dalam konsepsi Hegel, menyelesaikan sekaligus mentransendensikan kontradiksi yang terjadi dalam civil society. Dalam Negara tercipta sintesis antara kekuatan politik dan pemikiran filosofis, atau dalam bahasa Hegel Negara adalah ”the Idea of Spirit” yang merupakan manifestasi eksternal dari Kehendak dan Kebebasan manusia. Civil society memeroleh makna dan tujuannya melalui Negara. Kita dapat menyimpulkan, dalam pemikiran Hegel, konflik yang terjadi dalam civil society dikonsepsikan dalam istilah “entrepreneurs and laborers” dalam sistem pasar, dan terpusat pada problem ekonomi.
Idealisasi Hegel tentang Negara menunjukkan kegagalan Hegel memisahkan Negara dan aparatus Negara, bahwa melalui aparatur dan sistem administrasinya, Negara dapat mengintervensi civil society. Seolah-olah diandaikan begitu saja sebuah Negara etis yang memiliki legislatif yang impersonal, sistem peradilan yang imparsial, birokrasi dan loyalitas altruistik yang anonim.
Gagasan civil society Hegel di kemudian hari menuai kritik dari Marx. Jika domain civil society adalah ekonomi semata, konsepsi Negara Hegel tidak dapat mengatasi konflik dan kontradiksi yang terjadi dalam civil society. Civil society tetaplah menjadi ajang konflik, sejauh di dalamnya pertarungan antarkelas akibat ketidaksetaraan (inequality) ekonomi tetap terjadi. Marx menolak superioritas, netralitas, dan universalisme Negara dalam kerangka empirik, bahwa terjadi asimetri antara kebebasan borjuis dan hak milik pribadi. Maka, dibutuhkan restorasi politis terhadap civil society melalui penghancuran Negara dan organ-organnya. Namun, Marx tetap mengikuti Hegel, yang mendefinisikan civil society sebagai penjumlahan dari relasi-relasi sosial di luar ranah Negara. Dan, bertolak belakang dengan pengandaian liberal, Marx mengatakan
“It is natural necessity, essential human properties, however alienated they may seem to be, and interest, that old the members of civil society together; civil, not political life is their real tie… only political superstition today imagines that social life must be held together by te state hereas in reality the state is held together by civil life.”
Yang penting dari Marx adalah penekanannya pada “bourgeois civil society” dan kekuatan internalnya yang memostulatkan keunggulan ekonomi atas politik. Baginya, civil society adalah ranah kelas, ketidaksetaraan dan eksploitasi, dan bentuk dari basis alamiah dari Negara modern. Negara modern eksis karena kontras antara kehidupan publik dan privat, kepentingan umum dan partikular. Kelemahan Marx adalah fokusnya pada kelas dan corak produksi kapitalistik yang mengakibatkan pengabaian pada analisis institusional terhadap civil society dan Negara itu sendiri. Problem mendasar marxisme yang selalu terjadi adalah subjek politis dan historis yakni, bagaimana menghasilkan kesadaran politis yang niscaya dan memadai untuk mengorganisir dan merealisasikan perubahan revolusioner.
Sejak paruh kedua abad ke-19, analisis ekonomi menunjukkan bahwa perkembangan kapitalisme (secara material, teknologis, dan ekonomis) dan perkembangan masyarakat borjuis (secara kultural, saintifik, dan intelektual), telah mencapai fase historis di mana kondisi objektif bagi transisi ke fase lebih tinggi hadir. Apa yang diperlukan adalah pengembangan kesadaran politis/kelas dalam kelas proletar, kesadaran yang selalu gagal dikembangkan dan dibangun. Bertolak dari fakta inilah revisi terhadap formulasi orisinal Marx dan Engels dilakukan, misalnya reformisme dan demokrasi sosial oleh Eduard Bernstein dan SPD, developmentalisme evolusioner Karl Kaustsky, dan Bolshevisme Lenin.
Pada irisan problematik inilah pemikiran Gramsci menemukan konteksnya. Dalam paparan berikut akan dielaborasi lebih jauh pemikiran Gramsci mengenai civil society, bagaimana ia mengembangkan dan melampaui gagasan Hegel dan Marx, serta berbeda dengan pemikir liberal, Gramsci membangun teorinya atas dasar situasi Italia di zamannya.
bersambung……
Justinus Prastowo, kelahiran Jogjakarta, pernah belajar ekonomi, kini sedang menyelesaikan tesis tentang Karl Polanyi di Program Magister Ilmu Filsafat STF Driyarkara, aktif di Komunitas Filsafat AGORA, peminat kritik kapitalisme dan globalisasi.