MAY Day 2008 tergolong istimewa bagi gerakan buruh. Untuk pertama kalinya kaum elite mulai bermain mata, berusaha merayu gerakan buruh dengan memberi tempat di “pekarangan politik” dengan merayakan Hari Buruh. Pesta itu digelar di Istora Senayan dengan tajuk May Day Fiesta, yang sedianya dihadiri sejumlah besar pejabat, tokoh masyarakat dan juga pengusaha yang sebenarnya ikut bertanggung jawab atas kemelaratan hidup rakyat pekerja. Kehadiran Ketua MPR Hidayat Nur Wahid dan Anggota DPR Suripto, saya kira memberi warna politik yang jelas bagi perayaan itu. Dari perspektif pemenangan pemilu, May Day Fiesta adalah langkah yang pas. Bagi politisi, bukan kaum buruh.
Panitia rupanya tidak sembarangan memilih istilah “fiesta” untuk perhelatan ini. Istora ditata sedemikian rupa sehingga acaranya lebih mirip panggung hiburan daripada peringatan Hari Buruh Internasional. Dan memang benar, sejak awal suasana yang dibangun adalah pesta. Nidji, grup musik anak muda yang mengisi acara jelas mengatakan “kami hanya ingin menyenangkan para buruh.” Dan ribuan buruh yang hadir asyik berjingkrak mengikuti musik mereka. Beberapa hari sebelum acara digelar beredar berita bahwa Presiden dan Wakil Presiden pun akan hadir, tapi sampai acara berakhir keduanya tidak muncul.
May Day Fiesta jelas sebuah perayaan. Pertanyaannya kemudian, merayakan apa? Sistem outsourcing makin merajalela, semakin banyak orang kehilangan pekerjaan tetap diganti dengan sistem kontrak. Upah buruh sudah beberapa tahun belakangan sepertinya berjalan di tempat, serta harga-harga terus meroket. Kesehatan dan keselamatan kerja masih jadi angan-angan. Belum lagi bicara nasib TKI yang menderita di negeri orang karena tidak ada perlindungan yang efektif dari pemerintah. Dan sementara buruh melarat, pengusaha terus mendapat keringanan pajak dan bermacam fasilitas lain. Jadi, kalau May Day Fiesta adalah perayaan, sebenarnya perayaan untuk apa?
Di sini saya kira kita perlu membedakan perayaan dan peringatan. Keduanya tidak sama. Orang bisa memperingati sesuatu dengan merayakan, misalnya tanggal yang membahagiakan seperti ulang tahun. Tapi May Day punya sejarah yang lain. May Day bukan ulang tahun dari gerakan buruh, tapi peringatan untuk melanjutkan perjuangan. Orang juga bisa merayakan untuk melupakan, mengguyur kesedihan dengan pesta. Dan itu yang saya kira terjadi dalam May Day Fiesta di Istora. Persis seperti Hari Kartini, yang semestinya mengenang perjuangan pembebasan perempuan, tapi jadinya malah memaksa anak-anak perempuan menjalankan “peran tradisional” yang ingin dibongkar oleh Kartini.
Tentu saya tidak bermaksud mengatakan bahwa buruh tidak berhak akan hiburan. Justru sebaliknya, saya sangat yakin bahwa buruh semestinya punya waktu luang lebih banyak dengan upah lebih besar. Tapi merayakan hari penting yang menandai tonggak perjalanan gerakan buruh untuk mengurangi waktu kerja dengan upah lebih besar dengan pesta, saya kira sudah berjalan ke arah yang salah. Saya kira ini adalah bentuk pengalihan (potensi) radikalisme buruh, dengan menyedot mereka ke Istora lalu disuguhi tontonan yang membuat mereka lupa sejenak akan kesulitan hidup. Padahal tujuan awalnya adalah memperingati, bukan melupakan.
Di luar Istora juga ada puluhan ribu memperingati May Day dengan cara mereka masing-masing. Saya memilih ikut barisan ABM dan FPR yang berjalan dari HI sampai Istana Negara selama sekitar dua jam. Para pemimpin serikat bicara bergantian, mengingatkan orang tentang penderitaan akibat kebijakan ekonomi pemerintah yang neoliberal, cengkeraman imperialisme dan neoliberalisme, serta pentingnya buruh bersatu, memimpin negeri ini dan bersama-sama mencari jalan keluar. Sejumlah aktivis menyerukan sosialisme sebagai jawaban. Dan tentu saja juga ada lagu dan tari, lama dan baru, yang mengingatkan orang bahwa gerakan buruh punya sejarah yang panjang.
Inilah peringatan yang sesungguhnya, yang tidak membuat orang lupa, tapi mengingatkan tentang sejarah panjang gerakan buruh, kekuatan dari gerakan buruh jika bersatu, tentang perlunya perubahan dan yang paling penting mengingatkan bahwa perubahan itu mungkin. Saya kira aksi selama dua jam itu membuat banyak buruh sadar dan mengerti bahwa perubahan itu perlu dan mungkin. Jauh lebih mengerti daripada membaca terbitan aktivis yang kadang terlalu abstrak, berbelit-belit dan tidak jelas maksudnya. Jauh lebih jelas daripada ceramah-ceramah panjang yang disajikan dalam acara pendidikan kader di masing-masing serikat.
Saatnya mobilisasi! Itulah inti peringatan May Day. Pada hari itulah rakyat pekerja dari berbagai latar belakang berkumpul, berhimpun dan memperingati sejarah mereka yang panjang, kekuatan mereka yang besar (walau masih tercerai), dan bersama-sama melihat kemungkinan mengubah dunia menjadi tempat yang lebih layak untuk dihuni.***
Jakarta, 1 Mei 2008
Penulis adalah peneliti dari Jaringan Kerja Budaya (JKB)
Artikel ini terbit pertama kali di http://www.prp-indonesia.org, 5 Mei 2008.