1. Beranda
  2. /
  3. Topik
  4. /
  5. Page 87

Topik

Seni, Jalanan, dan Sketsa Awal Wajah Sosial

Jumat siang di jalanan Jogja, seperti juga di kota-kota lain, roda menggelinding mengantar beragam karakter manusia melaksanakan kepentingannya masing-masing. Sementara itu, dua manusia berseragam coklat sedang berbincang dan hanya sesekali mengawasi puluhan kendaraan, bahkan mungkin sudah ratusan, yang telah berlalu-lalang melaluinya. Tampaknya, mereka lebih mencurahkan perhatiannya kepada pengendara sepeda motor. Mungkin karena jenis kendaraan itu memang lebih mudah kedapatan menerobos lampu merah atau garis marka daripada kendaraan besar, seperti mobil dan truk.

Rangkaian Kritik terhadap Tiga Pendekatan ‘Kritis’ Kajian Budaya (Bag. 2)

Pada bagian pertama tulisan ini, sudah dibahas perkembangan cultural studies sebagai salah satu pendekatan dalam kajian budaya yang berangkat dari kritik terhadap dikotomi superstruktur dan basis dalam sebuah aliran dalam Marxisme. Pendekatan lain dalam kajian budaya yang juga berangkat dari permasalahan yang sama adalah political economy. Namun, tidak seperti cultural studies yang lahir di Inggris, kajian political economy terhadap budaya pertama kali berkembang di benua Amerika. Basisnya pun tidak sama. Cultural studies lekat dengan aktivitas politik para pendirinya dalam gerakan kiri, terutama Workers Educational Association (WEA); sedangkan political economy dimulai sebagai kritik akademik terhadap sebuah pendekatanpenelitian. Political economy berkembang di universitas-universitas dan pusat-pusat penelitian, terutama tumbuh subur dalam bidang komunikasi dan kajian media. Sementara di dalam bidang cultural studies atau bidang-bidang sejenis, seperti kajian ras, agama, dan gender, penerimaannya cenderung minim, walau observasi ini tentu tidak bisa digeneralisasi.

Akar Rumput Menuju Kemandirian

‘Membayangkan dunia tanpa petani/pertanian sama seperti membayangkan hidup tanpa pangan. Demikian pula, membayangkan negara yang abai pada rakyat sama seperti membayangkan negara tanpa kedaulatan. Saat ini, angan-angan (imajinasi) gelap itu justru hendak diwujudkan oleh penyelenggara negara, dengan cara menjadi budak/antek-antek korporasi.’

Demikian bunyi paragraf pertama dari ‘Pernyataan Sikap Kongres Petani Otonom II, Forum Komunikasi Masyarakat Agraris (FKMA).’ Sekitar pukul 14.00 WIB, pernyataan sikap itu dibacakan oleh Sumanto, petani dari Kulon Progo, di salah satu ruang milik Pondok Pemuda Ambarbinangun, Yogyakarta.

Limbah Hari Kasih Sayang

Bagi pasar, tak soal apakah Hari Valentine itu halal ataupun haram, yang penting jadilah konsumen yang baik. Sampaikan kasih sayangmu melalui hadiah, dan teruslah berbelanja. Itu sebenarnya pesan tahunan perayaan hari kasih sayang sedunia itu.

Saya tidak tahu pasti berapa uang yang dihabiskan orang Indonesia untuk berbelanja di hari kasih sayang itu Tapi di Amerika Serikat (AS), hasil Survey BIGinsight untuk National Retail Federation (2013) menyebutkan, negara berpenduduk paling padat nomer empat di dunia ini menaikkan anggaran belanja hari kasih sayangnya hampir 4 persen, dengan total pembelanjaan lebih Rp 171 Trilyun. Lebih 10 persen besaran APBN Indonesia tahun ini.

Edisi VII/2013

LENIN ketika meringkas sejarah pemikiran Karl Marx, mengatakan bahwa ada tiga sumber pemikiran Marx: filsafat Jerman, ekonomi politik Inggris, dan sosialisme Prancis. Dari ringkasan Lenin ini, tak terhitung gunungan buku yang mengulas bagaimana ketiga sumber pemikiran itu memberi basis bagi pemikiran Marx.

Di sini, kami ingin mengutip sepenggal pengaruh ekonom Inggris terkemuka David Ricardo kepada Marx. Ia bahkan meluangkan waktu lebih panjang untuk karya Ricardo ketimbang karya Adam Smith. Menurut Ricardo masyarakat kapitalis dalam perkembangan yang penuh terdiri atas tiga struktur kelas: pemilik tanah, kapitalis, dan buruh. Yang menarik, Ricardo melihat bahwa masyarakat kapitalis ini memiliki ciri-ciri: tingkat keuntungan yang cenderung menurun (the declining tendency of the rate of profit), antagonisme kelas (class antagonism), dan hubungan antara pengangguran dan teknologi (the relation between technology and unemployment). Tetapi pada saat yang sama, Ricardo juga percaya bahwa masyarakat kapitalis adalah sebuah masyarakat yang kekal, sehingga ketika ia melihat hukum kerja Malthusian, ia meratapi bahwa kelas buruh akan tetap miskin, walaupun mereka membanting tulang dengan sangat keras setiap harinya.

Metode Membaca Capital

Karl Marx tentu saja tidak membiarkan pembacanya terpelanting ke sana-sini dalam membaca karyanya itu. Dalam Capital, ia secara tidak langsung memberikan petunjuk pada pembacanya, bagaimana harusnya membaca Capital dan apa perangkat ilmu yang tepat untuknya. Petunjuk itu ia sisipkan dalam catatan kaki untuk mengomentari filsuf Inggris Jeremy Bentham. Di sana Marx mengatakan, ‘untuk mengetahui apa yang berguna buat seekor anjing, maka seseorang mesti menginvestigasi terlebih dahulu asal-usul anjing tersebut.‘ (1990:758).

Bagi yang menggeluti persoalan metodologi Marxis, pernyataan Marx ini memberikan pesan yang sangat jelas bahwa untuk bisa mengerti karya-karya Marx secara utuh, maka kita pertama-tama mesti mengetahui bagaimana metodologi pemikiran Marx itu sendiri. Dalam suratnya kepada Maurice Lachâtre, editor dari edisi I Capital berbahasa Prancis, Marx mengatakan bahwa ia memang menerapkan metode dialektika materialis ini dalam studi masalah-masalah ekonomi. Dengan demikian, jika kita ingin mengerti Capital dengan benar, maka tak ada cara lain, kita mesti mengerti dulu apa itu metode dialektika Marx. ‘Tetapi, untuk bisa mengerti metode dialektika Marx,’ demikian Harvey (2010), ‘maka kita mesti membaca Capital keseluruhan karena di situlah sumber-sumber aktual praktis berada.’

Ken Budha Kusumandaru: Bertutur tentang Perjuangan Lewat Fiksi Fantasi!

REALITAS bekerja dengan penuh keanehan layaknya fiksi. Dalam pengalaman kita sekarang, misalnya, kita bisa melihat bagaimana pembangunan besar-besaran atas nama profit dan ‘revolusionarisasi alat-alat produksi’ berdampingan dengan kemiskinan akut dan deprivasi besar-besaran nilai-nilai kemanusiaan. Ketika apropriasi akumulatif untuk meningkatkan keuntungan kelas kapitalis, hal itu mensyaratkan pengurangan masif kualitas hidup mayoritas rakyat pekerja. Dalam ketegangan ini maka fiksi menjadi sangat operasional. Fiksi berfungsi sebagai perekat ideologis dalam rangka ‘rasionalisasi atas irasionalitas dari sistem yang irasional,’ yang berfungsi untuk memastikan bahwa sistem yang kontradiktif dan berlaku masih dapat berjalan sebagaimana biasanya. Di sini kita akan menemukan bagaimana fiksi, sekaligus karya-karya fiksi, justru menjadi pelayan ideologis dari status quo serta kekuasaan kapitalisme itu sendiri.

Menemukan Indonesia Dalam Karya Marx

APA BEDANYA hasil dari mesin fotokopi dan pemikir? Kebaruan, kata Martin Suryajaya. Yang baru hanya muncul dari pemikiran. Menjadi pemikir berarti harus dapat melampaui kemampuan mesin fotokopi dalam sekadar mereproduksi. Menurut Martin, menjadi Marxis berarti berani menjadi pemikir. Tantangan yang diajukan Martin bukan perkara sepele. Sebagai pemikir, para Marxis harus mampu memunculkan hal-hal baru karena apabila tidak; apabila kita hanya mengulang-ulang apa yang sudah dikatakan Marx, maka mesin fotokopi jelas lebih Marxis ketimbang siapa pun karena kesanggupannya mengulang-ulang secara sempurna.

Beberapa Catatan untuk PULANG

Selama ini, membaca, bagi saya, adalah kegiatan yang nyaris sepenuhnya bersifat pribadi, yang baik dalam proses maupun hasilnya tidak melibatkan orang lain. Seperti halnya makan, buang hajat, dan menonton film yang senantiasa saya lakukan secara soliter. Namun, lama-kelamaan timbul juga keinginan untuk membaca dengan cara berbeda.

Mulanya memang tidak jelas apa yang saya maksud dengan “berbeda” itu, sampai kemudian seorang kawan mengajak saya membaca sebuah novel yang sama, membuat catatan atau komentar-komentar atas novel itu, lalu membandingkan catatan kami satu sama lain. Dengan kobar luar biasa—yang saya pikir agak salah tempat—si kawan berusaha meyakinkan saya bahwa cara tersebut sungguh efektif untuk membangun sikap kritis dalam membaca. Semangat saya, seperti biasa, tentu saja lebih redup dari siapa pun, tapi akhirnya ajakan itu tetap saya terima.

Saduran Puisi-Puisi Marx

Ada beberapa hal yang bisa dikritik dari Marx. Tentu, Franz-Magnis Suseno pun mengakui, Marx hanya manusia biasa, bukan Tuhan, dan—kita hanya perlu merujuk pada kapasitas Fraz-Magnis sebagai seorang pastor dalam hal ini—ia punya banyak salah dan dosa. Bangunan teoretisnya pun—lagi, seturut mazhab Jesuit—bertanggung jawab atas melayangnya jutaan nyawa manusia (sebagai orang beriman, Franz-Magnis melihat kematian sebagai takdir, dus “tanggung jawab” Tuhan), kemelaratan (lagi, ini semata-mata takdir), serta kekejaman (please, Tuhan memusnahkan Sodom dan Gomorrah hanya karena mereka gay!) di seantero dunia. Dengan demikian, Marx salah bukan hanya karena ia ingin membangun “kerajaan Allah” di muka bumi—suatu pekerjaan yang mustahil dan bahkan, jika kita hidup di abad pertengahan, menghina Tuhan—melainkan juga karena ia telah menghabiskan hidupnya untuk mengajarkan paham ekonomi-politik yang tidak manusiawi—dan kita tahu, dengan segala ke-maha-annya, Tuhanlah yang paling tidak manusiawi.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.