Beberapa Catatan untuk PULANG

Print Friendly, PDF & Email

Selama ini, membaca, bagi saya, adalah kegiatan yang nyaris sepenuhnya bersifat pribadi, yang baik dalam proses maupun hasilnya tidak melibatkan orang lain. Seperti halnya makan, buang hajat, dan menonton film yang senantiasa saya lakukan secara soliter. Namun, lama-kelamaan timbul juga keinginan untuk membaca dengan cara berbeda.

Mulanya memang tidak jelas apa yang saya maksud dengan “berbeda” itu, sampai kemudian seorang kawan mengajak saya membaca sebuah novel yang sama, membuat catatan atau komentar-komentar atas novel itu, lalu membandingkan catatan kami satu sama lain. Dengan kobar luar biasa—yang saya pikir agak salah tempat—si kawan berusaha meyakinkan saya bahwa cara tersebut sungguh efektif untuk membangun sikap kritis dalam membaca. Semangat saya, seperti biasa, tentu saja lebih redup dari siapa pun, tapi akhirnya ajakan itu tetap saya terima.

Setelahnya, kawan saya itu pun menerangkan aturan main. Pertama, catatan yang akan kami buat mesti menyeluruh. Melingkupi semua lapis dalam novel itu—dalam hal ini novel Pulang. Mulai dari komentar atas hal-hal sepele hingga yang dinilai esensial dalam sebuah novel. Kedua, catatan itu tidak akan diperbandingkan dalam bentuk poin-poin umum sebagaimana slideshows yang biasa dipakai para dosen sebagai bahan ajar. Melainkan harus terlebih dahulu disusun dalam sebuah esai yang bisa menerangkan duduk perkara tanpa sokongan ceramah dari penulisnya.

Dengan demikian, inilah catatan saya atas novel Pulang karya Leila S. Chudori.

 

/1/

Chairil Anwar, James Joyce, Subagio Sastrowardoyo, Lord Byron, Goenawan Mohamad, John Keats, Pramoedya Ananta Toer, TS Eliot, Rivai Apin, William Shakespeare, WS Rendra, dan Walt Whitman. Sembari membaca Pulang, sesekali saya iseng mencatat nama-nama sastrawan yang disebutkan dan yang karyanya dikutip oleh tokoh-tokoh di dalamnya. Saya pikir, penyebutan sejumlah nama serta serangkaian pengutipan itu bisa berarti dua hal. Satu, Leila bermaksud menempatkan sastrawan-sastrawan Indonesia dalam posisi yang sejajar dengan sastrawan-sastrawan dunia: karya mereka sama dibaca, sama bermutu, dan sama layak direnungkan. Dua, Leila hanya ingin tokoh-tokohnya tampak cerdas dan luas bacaannya.

Yang pertama jelas menarik. Sebagai seorang pelaku sastra Indonesia, boleh jadi Leila merasa muak dengan kebanyakan koleganya yang tergeragap di muka kesusastraan dunia. Atau mungkin dia justru “marah” karena kesusastraan Indonesia dianggap terbelakang dan dikira sama primitifnya dengan birokrasi Indonesia, sistem transportasi Indonesia, dan Majelis Ulama Indonesia.

Yang kedua pun menarik. Seorang pengarang tak boleh dituntut hanya karena dia ingin tokoh-tokoh dalam ceritanya tampak pandai. Itu sepenuhnya pilihan, atau gampangnya: “suka-suka si pengarang”. Pembaca mungkin ingat, Francois Truffaut—yang di dalam film-filmnya bertebaran gambar buku-buku sastra dan adegan orang menyuntuki bacaan—pernah mengatakan bahwa dia hanya membuat film untuk para penonton yang membaca. Sebagian bisa berlaku sinis dan mencemooh Truffaut—juga Leila—sebagai snob, elitis, tukang pamer, dan sebagainya. Namun, itu tak penting. Sinisme semacam itu—pada taraf tertentu, sekaligus orang yang mengatakannya—layak dijebloskan ke keranjang sampah. Yang mesti diperhatikan adalah sejauh mana tumpukan bacaan itu bisa menghidupkan tokoh-tokoh dalam cerita, memengaruhi cara berpikir mereka, dan menjadikan mereka pribadi-pribadi yang unik sebagaimana manusia sebenarnya.

 

/2/

Dalam Pulang, terdapat tujuh orang juru kisah: Hananto Prawiro, Dimas Suryo, Lintang Utara, Vivienne Deveraux, Segara Alam, Bimo Nugroho, dan orang ketiga di luar cerita. Kecuali narator terakhir yang hanya digunakan Leila pada subbab Keluarga Aji Suryo (hlm. 329—363), enam narator lain berbicara mengenai diri mereka sendiri dan orang-orang di sekitarnya secara personal. Namun, tentu saja porsinya tak sama banyak. Bisa dikatakan, yang paling dominan suaranya dalam novel ini adalah Dimas dan Lintang. Dimas sebagai perwakilan generasi pertama—generasi yang berhubungan secara langsung dengan prahara 1965—dan Lintang sebagai juru bicara generasi kedua, generasi yang terkena imbas masa silam dan diharuskan ikut menanggung beban sejarah.

Tadi saya katakan bahwasanya para narator dalam Pulang berbicara secara personal. Ini benar, selama yang dimaksud adalah perkara sudut pandang. Kita bisa melihat sosok Dimas dari mata Vivienne, sosok Alam dari mata Lintang, atau sosok Prakosa dari mata Bimo. Kita tahu apa yang masing-masing narator pikirkan dan bagaimana penilaian mereka atas tokoh-tokoh lainnya. Tetapi, sayangnya hanya sebatas itu. Jika kita meninggalkan soal sudut pandang dan beralih pada perkara suara, bisa dikatakan lenyaplah segala keunikan, kekhasan, atau perbedaan antar-narator dalam novel ini. Abaikan saja siapa yang berkata “aku”, suara mereka tetap kedengaran sama belaka.

Adakah narator dalam Pulang yang menyatakan bahwa dirinya meyakini komunisme? Tidak ada. Dimas Suryo yang tak memilih ideologi tertentu itu menjerit pilu justru karena hak-haknya dirampas sebagaimana seorang komunis. Seakan “yang sungguh-sungguh komunis” lebih layak mengalami penderitaan itu ketimbang orang seperti dirinya—yang “tak bersalah” tapi ikut tersapu amuk tentara. Alam dan Bimo yang merupakan aktivis 1998 juga tak meyakini komunisme. Pun Lintang yang berpendidikan Sorbonne. Alam mengatakan, dia dan kawan-kawannya membaca literatur kiri justru karena hal itu dilarang di Indonesia. Dan dengan entengnya dia bilang: “mana ada yang bakal tertarik dengan ideologi ringsek yang gagal di mana-mana itu”. Satu-satunya narator yang percaya pada komunisme hanyalah Hananto Prawiro, itu pun tak kita dapati langsung dari penuturannya yang begitu singkat, melainkan dari cerita Dimas.

Yang jadi persoalan buat saya tentu bukanlah ketidakpercayaan mereka atas komunisme itu sendiri, melainkan bagaimana mungkin sekian banyak orang dengan latar pengalaman serta pendidikan yang berbeda bisa punya pendapat yang seragam mengenai hal tersebut. Seakan-akan “kegagalan komunisme” telah jadi hukum alam yang tak tergugat, seperti air yang selamanya mendidih pada suhu 100 derajat celcius.

Pembaca boleh tak sepakat dengan keheranan saya di atas, karena memang ada banyak yang bisa dijadikan pemakluman atas “keseragaman pendapat” para narator dalam Pulang terhadap komunisme. Pembaca bisa mengatakan, misalnya: lepas dari perbedaan pengalaman dan pendidikan, toh mereka membaca buku-buku yang sama, maka wajar saja jika pendapatnya mirip. Tetapi masihkah dapat dikatakan wajar apabila keseragaman suara para narator itu juga terjadi pada tataran cara bertutur? Tentu saja tidak.

Perhatikanlah narasi Dimas, Lintang, Alam, Vivienne, atau yang lainnya, niscaya kita akan menemukan kesamaan cara berkisah. Lupakan istilah-istilah gaul khas anak muda 90-an yang diselipkan di sana-sini dalam dialog antartokoh generasi muda—itu cuma tempelan. Sebagai gantinya, cermatilah monolog interior mereka, cecap rasa bahasanya. Mirip, bukan? Saya bahkan sempat mencatat beberapa istilah unik yang semestinya bisa dijadikan penanda kekhasan narator tertentu, namun (sayangnya) dipakai berulang-ulang secara keroyokan dan lintas generasi: “menggelinding pergi”, “membuhulkan hubungan”, “paranoia”, dan “merunduk.”

Karena keseragaman luar-dalam tersebut, saya pikir, Pulang telah gagal mengoptimalkan kerja perangkatnya yang paling potensial: tujuh orang narator yang berbeda. Pada akhirnya, perangkat tersebut hanya berguna untuk menghindarkan pembaca (juga pengarangnya, barangkali) dari deraan rasa jenuh.

Sebetulnya, ada contoh prosa Indonesia yang berhasil memanfaatkan rupa-rupa suara narator dengan baik: Tetralogi Buru. Saya tak bermaksud membandingkan Tetralogi Buru dengan Pulang. Itu tak adil. Yang satu terdiri dari empat buah novel, sementara lainnya hanya sebuah. Tapi memang bukan itu. Titik tekan saya adalah soal suara. Dalam Tetralogi Buru, kita akan mendapati dua orang narator: Minke untuk tiga buku pertama dan Pangemanann untuk buku penghabisan. Pramoedya menulis Rumah Kaca dalam gaya yang berbeda dengan tiga buku lainnya. Lengkap dengan istilah-istilah khas Pangemanann yang betul-betul berlainan dengan Minke.

Hemat saya: dalam Tetralogi Buru, suara Pramoedya selaku pengarang melebur di antara Minke dan Pangemanann, sedangkan Leila dalam Pulang justru sebaliknya. Serba tampak dan terdengar. Seolah-olah Leila sendirilah yang berbicara dalam novel tersebut, bukan para narator yang diciptakannya.

 

/3/

Sebagaimana tak pernah ada kehidupan manusia yang luput dari terjangan asmara, maka tidak sepantasnya pula sebuah novel (terutama yang bercorak realisme) mengabaikan aspek tersebut. Memangnya siapa yang betah membaca novel setebal 500 halaman yang tak ada kisah cintanya?!

Barangkali ada, tetapi jelas bukan saya.

Kebetulan, ada banyak kisah cinta dalam novel Pulang. Menurut saya, yang terbaik adalah antara Dimas Suryo dan Surti Anandari. Di luar perkara putusnya hubungan pacar-pacaran mereka sewaktu muda yang agak norak itu—karena Surti menginginkan kepastian yang tak bisa diberikan Dimas, dia meloncat macam seekor kutu ke pelukan Hananto Prawiro si tetangga—cinta yang mengikat keduanya selama puluhan tahun kemudian nyaris sedahsyat cinta Florentino Ariza dan Fermina Daza dalam Love in the Time of Cholera karya Gabriel Garcia Marquez.

Yang saya anggap paling murahan dan buruk adalah hubungan Lintang Utara dan Segara Alam. Leila memang menjadikan le coup de foudre, alias cinta pada pandangan pertama, sebagai trik untuk melangkahi proses yang agak berbelit dan makan waktu sebelum lazimnya sepasang manusia meyakini bahwa mereka saling mencintai. Namun, masalahnya bukan le coup de foudre itu sendiri. Dimas-Vivienne juga mengalaminya, tapi kisah cinta mereka tetap terasa indah dan tak terkesan picisan. Saya bisa memaklumi perasaan “ingin menyembuhkan” milik Vivienne sejak pertama kalinya dia melihat mata Dimas yang sarat kehilangan dan kesedihan. Tapi apa yang dilihat Lintang dari Alam? Laki-laki bergajul yang gagasannya tidak menarik, agak lihai omong-omong dan mengerjai perempuan, sekaligus tukang kelahi penuh ide-ide heroik? Bukankah Narayana, kekasihnya di Perancis sana, lebih unggul dalam banyak hal? Coba bandingkan dialog-dialog Lintang-Nara dengan Lintang-Alam. Maka besar curiga saya, ketertarikan Lintang terhadap Alam terutama dipicu oleh kegenitan serta hasrat mencobai sesuatu yang eksotis belaka.

 

/4/

Pulang adalah novel pertama tentang kehidupan orang-orang Indonesia di pengasingan pasca-prahara 1965 yang saya baca. Sebelumnya saya hanya mengenal tema tersebut lewat memoar Utuy Tatang Sontani yang berjudul Langit Tak Berbintang. Kebetulan, cerita Utuy tersebut hanya sedikit perbedaannya dengan kisah Dimas Suryo dalam Pulang. Keduanya sama-sama berada di luar negeri tatkala tanah airnya dilanda pergolakan itu, keduanya terpisah dengan orang-orang yang dikasihi, keduanya pernah menjalin hubungan dengan perempuan lain di pengasingan, serta keduanya meninggal dunia sebagai eksil. Bedanya: Utuy memang anggota Lekra, tidak ditemani tiga orang sahabat, tidak mendirikan restoran, dan tidak dimakamkan di Karet secara mengharukan sebagaimana Dimas. Selebihnya mereka punya gerowong yang sama di dalam hati masing-masing karena kobar kerinduan dan kenangan yang tersangkut pada Indonesia dan manusianya. Dimas di Perancis dengan toples-toples cengkih dan bubuk kunyit; Utuy di Cina dan Rusia dengan selembar potret sang istri yang di-repro nyaris setiap hari selama puluhan tahun.

Saya tidak tahu apakah Leila pernah membaca memoar tersebut atau tidak. Jika merujuk pada catatan referensi Pulang, buku Utuy itu memang tidak tercantum. Namun, ini justru menarik. Artinya, Leila telah berhasil menghidupkan sosok Dimas Suryo sebagai seorang eksil yang sangat representatif. Tak hanya mewakili kehidupan orang-orang yang diwawancarai dan dipelajari Leila dari buku-buku di daftar referensinya, tetapi juga mewakili kehidupan seorang lain yang bernasib sama.

Saya pikir, mengenal pengalaman dan perasaan orang-orang yang pernah ditolak pemerintah Indonesia selama puluhan tahun ini adalah bagian yang tak boleh dilupakan apabila kita hendak mempelajari prahara 1965 serta akibatnya pada bangsa ini secara utuh. Dan dalam konteks itu, Pulang adalah sebuah novel yang penting. Sama pentingnya dengan Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer dalam konteks mempelajari kebangkitan rasa berbangsa di Hindia atau Senja di Jakarta karya Mochtar Lubis untuk memahami kondisi sosial pada masa awal kemerdekaan Indonesia.

 

/5/

Sebetulnya masih ada beberapa hal yang menarik dan yang tidak menarik dari Pulang. Yang menarik, misalnya, adalah cerita kematian Dimas Suryo di penghujung buku. Mulai dari surat untuk putrinya, Lintang, hingga adegan di pemakaman yang membikin saya menangis. Yang tak menarik, misalnya, demarkasi yang agak kelewatan antara para protagonis dan antagonis. Pembedaan itu, saya kira, terlalu hitam-putih, seakan-akan manusia hanya terdiri dari satu sisi saja: baik atau buruk.

Parahnya lagi, pemisahan antara dua kubu ini tak dilakukan Leila pada tataran kepribadian dan sikap para tokoh semata, melainkan sampai meluber ke luar, ke tataran fisik. Adakah tokoh protagonis dalam Pulang yang wajahnya jelek dan otaknya kurang sekian gram? Tidak ada. Semua tampan atau cantik sekaligus cerdas gilang-gemilang. Kebalikannya, tokoh-tokoh antagonis nyaris semuanya buruk rupa dan kurang sehat pikirannya. Ada tentara pemberang yang mukanya legam macam ter, ada interogator mesum yang gemar melakukan onani sembari bertanya ini-itu kepada tahanan perempuan, ada tukang rebut istri orang yang hobi menyundut anak tirinya dengan rokok, ada intel bengak, ada putra pejabat yang imbisil, dan ada pula informan pemerintah yang serba menjijikkan.

Bukan saya hendak bersimpati pada tokoh-tokoh antagonis tersebut, hanya saja, menampilkan mereka sebagai manusia yang cuma gelap adanya justru memiskinkan Pulang sebagai sebuah karya sastra. Seandainya Pulang adalah sebuah sinetron, tentu saya tak bakal omong-omong soal ini. Tokoh informan yang dijuluki “si telunjuk” itu, misalnya, kenapa tak diberikan suara walau sedikit? Toh dari penuturan Dimas kita tahu, dia menjadi seorang pengkhianat karena tak tahan mengalami siksaan militer yang mahakeji—salah satunya: penisnya digencet dengan kaki kursi. Ini jelas potensial. Jika saja Leila mau memberikan sedikit ruang kepada “si telunjuk” yang malang itu untuk bercerita, saya pikir, akan ada tambahan efek yang signifikan bagi pembaca dalam memahami cara-cara kerja militer Indonesia di masa itu.

Dea Anugrah, Mahasiswa Fakultas Filsafat UGM Yogyakarta

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.