Catatan Kaki
Puisi F. Daus AR
HomeTopik
TIDAK lama lagi kaum buruh Indonesia akan melakukan Mogok Nasional. Salah satu tuntutan utama mereka adalah kenaikan upah. Ada yang menuntut kenaikan upah minimal 50 persen; ada juga yang menuntut kenaikan upah 60 persen. Wajar jika kaum buruh menuntut kenaikan upah tinggi, karena selama ini kontribusi mereka terhadap ekonomi Indonesia terus meningkat, sementara upah riil mereka stagnan. Upah murah memang merupakan sebuah masalah kronis di Indonesia. Pertanyaannya, apa penyebab dari upah murah di Indonesia?
TERTANGGAL 28 sampai 30 Oktober 2013 ini, Gerakan Buruh Indonesia kembali akan melakukan mogok kerja nasional. Mogok kerja nasional ini merupakan bagian dari tuntutan rakyat pekerja Indonesia kepada Negara, untuk segera merealisasikan kenaikan upah minimum secara nasional sebesar 50 persen dan UMP DKI Jakarta sebesar Rp. 3,7 juta/bulan. Dalam koordinasi aliansi Konsolidasi Nasional Gerakan Buruh (KNGB), mogok nasional kali ini bisa dikatakan cukup istimewa, mengingat hal ini merupakan bagian dari upaya mengatasi batas-batas lama keserikatan yang selama ini menghambat realisasi persatuan kelas pekerja Indonesia. Fragmentasi kepentingan jangka pendek organisasi kelas pekerja yang diciptakan oleh relasi kompetisi kapitalisme, adalah sesuatu yang nyata bagi kelas pekerja Indonesia itu sendiri. Belum lagi artikulasi ideologis dari relasi kompetitif ini telah menyebabkan banyak elemen dalam kelas pekerja Indonesia mengidentifikasi dirinya bukan sebagai kelas pekerja, namun sebagai kelas sosial baru yang memiliki perbedaan diametral dengan identitas kelas pekerja Indonesia.
KENANGAN apa yang kita ingat tentang ibu kita sewaktu kita masih kecil? Yang segera muncul adalah kenangan tentang ibu saya yang selalu memasak sepulang ia mengajar di sekolah, atau mencuci pakaian semua anggota keluarga, mencuci piring-piring kotor, dan menyiapkan baju kerja ayah saya. Lalu, kenangan apa yang kita ingat tentang ayah kita sewaktu masih kecil? Saya selalu teringat ayah saya yang mengomentari makanan buatan ibu saya, meminta ibu saya membuatkan kopi, dan menanyakan lokasi dasi miliknya di dalam lemari. Kenangan semacam itu tentang sosok seorang ibu dan ayah mungkin bukan hanya kenangan milik saya, mungkin juga kenangan anda, dan yang pasti, kenangan Silvia Federici, yang menulis buku yang sangat bagus mengenai posisi perempuan dalam housework dalam hubungannya dengan kapitalisme: Revolution at Point Zero: Housework, Reproduction, and Feminist Struggle.
BOLA mata para jendral dicungkil dari tempatnya, sekujur tubuhnya dikuliti dan kemaluan mereka dipotong. Mayat yang tak lagi utuh tersebut dikumpulkan dalam satu sumur mati di wilayah Lubang Buaya, Jakarta. Di atas sumur mati tersebut para wanita sundal menari ‘Tari harum Bunga’ dengan bugil merayakan kemenangan. Tarian setan tersebut diiringi lagu Gendjer Gendjer yang bernuansa mistis. Maka, lengkap sudah segala kegerian dimalam jahaman 1 Oktober 1965 tersebut.
Riuh rendah peringatan ‘Gestok’ (Gerakan Satu Oktober) sudah mulai reda. Tempo sudah mengeluarkan edisi khusus soal Lekra dan peristiwa 1965 sambil bersenandung lirih tentang kedhaifan manusia. Para aktivis HAM sedang menikmati gaji hasil jerih payah mereka bekerja. Aktivis-aktivis buruh sibuk mempersiapkan aksi mogok nasional untuk menuntut kenaikan upah. Sementara tempe sudah makin jarang hadir di kelas—maaf, meja makan. Kalau pun hadir di lembar absensi, badannya kurus seperti pesakitan.
Ibu-ibu selalu punya kesibukan. Sejak matahari terbit hingga terbenam ada saja pekerjaan yang harus mereka kerjakan. Mulai dari menyiapkan makan bagi anak dan suami, mengantar anak ke sekolah, mencuci bahkan ada pula yang mesti ikut turun ke ladang.
Setelah revolusi Oktober 1917 di Rusia, pergerakan politik di negeri-negeri jajahan terinspirasi untuk menjadi radikal, global, dan revolusioner. Di Hindia Belanda, lahir dari perkawinan antara partai sosialis ISDV (Persatuan Sosial Demokrat Hindia Belanda) dan kaum merah partai Sarekat Islam, Partai Komunis Indonesia didirikan di Semarang pada Mei 1920. Pada tahun yang sama PKI bergabung dengan Komintern (Komunis International) yang berpusat di Rusia.
KETIKA mata dunia berpaling ke Syria, mungkin banyak orang lupa bahwa revolusi Mesir belum selesai dan terus menunjukkan dinamikanya. Di antara negeri-negeri “musim semi Arab”,
SERINGKALI kita mengritik mesianisme dalam gerakan progresif karena kecenderungannya untuk mengarah ke semacam kultus individual. Tetapi, terkadang sebuah gerakan butuh figur yang kharismatik. Allende contohnya. Tentu saja dia menjadi semacam ‘juru selamat’ bukan karena berjarak dengan rakyat, melainkan dengan menghidupi kehidupan rakyat dan bergerak bersama mereka, karena pemerintahan Allende tidak mungkin bertahan tanpa massa rakyat yang militan
Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.