Housework Bukan Kodrat Perempuan! Bring Back to Commons!

Print Friendly, PDF & Email

Judul buku: Revolution at Point Zero : Housework, Reproduction, and Feminist Struggle
Penulis: Silvia Federici
Penerbit: PM Press, 2012
Tebal: 188h

KENANGAN apa yang kita ingat tentang ibu kita sewaktu kita masih kecil? Yang segera muncul adalah kenangan tentang ibu saya yang selalu memasak sepulang ia mengajar di sekolah, atau mencuci pakaian semua anggota keluarga, mencuci piring-piring kotor, dan menyiapkan baju kerja ayah saya. Lalu, kenangan apa yang kita ingat tentang ayah kita sewaktu masih kecil? Saya selalu teringat ayah saya yang mengomentari makanan buatan ibu saya, meminta ibu saya membuatkan kopi, dan menanyakan lokasi dasi miliknya di dalam lemari. Kenangan semacam itu tentang sosok seorang ibu dan ayah mungkin bukan hanya kenangan milik saya, mungkin juga kenangan anda, dan yang pasti, kenangan Silvia Federici, yang menulis buku yang sangat bagus mengenai posisi perempuan dalam housework dalam hubungannya dengan kapitalisme: Revolution at Point Zero: Housework, Reproduction, and Feminist Struggle.

Mengapa kenangan semacam itu terbentuk di benak banyak orang? Mengapa ibu –yang adalah perempuan- yang kita ingat sebagai orang yang bertanggungjawab atas pekerjaan-pekerjaan rumah tangga? Mengapa perempuan yang harus menanggung beban kerja ganda (di rumah dan di tempat kerja)? Apa hubungannya kerja domestik, reproduksi atau housework dengan subordinasi perempuan dalam kapitalisme? Bagaimana membaca akumulasi primitif di era kapitalisme global saat ini dan kaitannya dengan kerja reproduksi serta housework yang dibebankan pada perempuan? Apa yang harus dilakukan untuk melawan subordinasi perempuan melalui housework dalam era globalisasi saat ini? Bagaimana perjuangan feminis di seluruh dunia atas hal tersebut?

Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat kita jumpai dalam buku yang ditulis oleh aktivis gerakan perempuan yang tergabung dalam kampanye Wages for Housework ini. Buku yang ditulis feminis asal Italia ini terdiri atas 3 bab dengan ‘preface’ dan  ‘introduction’ yang ditulis dengan sangat menarik. Pada bagian ‘preface,’ Federici menceritakan bahwa buku ini ditulis berdasarkan riset dan pengalamannya sebagai aktivis gerakan perempuan selama lebih dari tiga puluh tahun. Selama kurun waktu tersebut, ia tak henti-hentinya mempertanyakan dan mengkaji hubungan antara housework, reproduksi sosial, dan kapitalisme.

Menurutnya, penolakan terhadap housework sebagai kodrat perempuan muncul pertama kali pada era pasca Perang Dunia II, dimana penolakan tersebut khususnya terjadi di Italia sekitar tahun 1950an. Selain itu, pada bagian preface ini, Federici juga mengungkapkan tesisnya mengenai reproduksi dan kerja domestik atau housework yang dilakukan perempuan. Menurutnya, kerja domestik yang unpaid atau tidak diupah itulah yang membuat dunia tetap bergerak hingga sekarang. Domestifikasi perempuan pada ranah housework yang dibungkus ilusi tentang cinta pun membuat perempuan tergantung pada laki-laki. Federici berpendapat, kerja reproduktif dan kerja domestik menguntungkan kapitalisme dan merugikan perempuan. Oleh karena itu, revolusi harus dimulai dari titik itu, dari titik dimana manusia menemui alienasinya yang paling mendalam, yakni dalam housework.

Pada bagian ‘Introduction,’ Federici menjelaskan bahwa housework merupakan faktor penting dalam mendefinisikan eksploitasi perempuan dalam kapitalisme. Dalam tahap pembangunan kapitalis, setiap relasi dihubungkan di bawah kapital dan tidak ada lagi perbedaan antara masyarakat dan pabrik. Masyarakat menjadi sebuah pabrik dan hubungan sosial/relasi sosial menjadi hubungan/relasi produksi. Dalam hal ini, social factory’ dimulai dari rumah. Pertanyaan mengenai makna produktivitas dalam housework pun dibahas Federici pada bagian ini.

Menurut Federici, kapitalis memang sangat berkepentingan untuk menciptakan pekerjaan reproduksi sebagai pekerjaan yang tidak diupah (unwage work), guna menghilangkan tanggung jawab kelas kapitalis –yang kebanyakan menguasai negara- dalam menanggung biaya reproduksi. Selama negara masih dikuasai kapitalis, selama itulah gerakan perempuan harus menuntut upah atas kerja-kerja reproduksi atau housework kepada negara. Disinilah Federici menjelaskan bahwa percobaan menuntut upah dari negara dalam membesarkan anak, pertama kali dicoba di Amerika Serikat pada tahun 1960an. Sementara itu, pada bagian berikutnya dari ‘Introduction’ ini, Federici menguraikan apa-apa saja yang akan ia ungkapkan pada bab-bab selanjutnya.

Wages for Housework dan Posisi Pekerja dalam Kapitalisme
Pada bab 1 yang berjudul’ ‘Wages Against Housewok,’ Federici menjelaskan siginifikasi memperjuangkan housework sebagai kerja upahan terhadap konsep upah dan signifikansinya pada status pekerja. Tesis Federici, diakuinya housework sebagai work atau kerja ditandai dengan diberikannya wages/upah. Dalam housework, keberadaan upah penting kaitannya dengan status dan posisi tawar mereka yang melakukan housework (sebagai pekerja) dalam kapitalisme. Tentunya, majikan di sini bukan orang-per-orang, melainkan negara. Kapitalisme menjadikan yang housework sebagai nature dari perempuan telah bertransformasi menjadi atribut alami dari fisik dan kepribadian perempuan, kebutuhan dasar, aspirasi, dan bahkan datang dari karakter dasar perempuan.

Pembentukan housework sebagai unpaid work atau kerja yang tidak diupah, dibutuhkan kapitalisme untuk menjamin suplai tenaga kerja tanpa perlu mengeluarkan biaya. Nyatanya, pembebanan housework as nature bagi perempuan menimbulkan banyak masalah lainnya, termasuk kekerasan pada perempuan. Ketika pemaknaan housework telah menjadi hegemonik sebagai bagian dari tubuh dan kepribadian bahkan karakter perempuan itu sendiri, maka masalah-masalah lain seperti kekerasan tak mungkin dihindari. Masalahnya, menurut Federici, perlawanan perempuan di ranah domestik seringkali tidak beranjak ke ranah yang lebih publik. Tugas feminis kemudian, adalah bagaimana membawa perjuangan atau perlawanan perempuan yang terjadi di ranah domestik menjadi perjuangan yang bersifat lebih publik, atau meminjam istilah Federici ‘..how to bring this struggle out of the kitchen and the bedroom and into the street.’

Namun, memperjuangkan housework menjadi pekerjaan dengan upah bukanlah ditujukan demi kepentingan mendapatkan uang, melainkan kepentingan hubungan/relasi antara kapital dan kelas pekerja. Unpaid labor seperti yang terjadi pada housework, menyebabkan posisi  tawar yang lemah bagi pekerja dalam pasar kerja. Demikian juga, tuntutan diberlakukannya wages dalam housework tidaklah dimaksudkan sebagai excuse atau insentif agar perempuan mau mengerjakan housework. Tujuannya untuk menonjolkan fakta bahwa housework merupakan sumber penghasilan kapital.

Lebih jauh, menurut Federici, pembongkaran posisi housework dalam kapitalisme ini harus ditujukan untuk menghancurkan rencana kapitalis atas perempuan. Dalam kaitan dengan itu, yakni penghapusan beban social necessary labour time yang meninggi akibat housework yang dibebankan pada perempuan.[1] Perempuan yang selalu diilusi dengan heroisme bahwa perempuan mampu menjalankan tugas dalam rumah tangga selain sebagai juru masak, nurse, dan sebagainya tidak lain merupakan project kapitalisme yang berkelindan dengan patriarki untuk melanggengkan pembebanan housework (kerja domestik dan reproduksi) pada perempuan. Di sisi lain, pembebasan perempuan, berupa pengakuan atas seksualitas perempuan, malah semakin mengintensifkan kerja perempuan.

Dalam kaitan dengan itu, Federici mengungkapkan bahwa sosialisasi dan kolektivisasi housework merupakan langkah penting dalam perjuangan feminis. Kapitalisme yang mengagungkan keluarga sebagai ‘dunia privat’ dilanggengkan dengan fakta bahwa housework dibebankan pada masing-masing keluarga dan bukan pada negara. Sementara, pemotongan anggaran selalu dilakukan pada bidang-bidang yang berkaitan dengan housework (pemenuhan kebutuhan pangan, sandang, papan). Di bagian akhir bab 1, Federici kembali menegaskan pentingnya perjuangan menuntut upah pada housework, diantaranya untuk menegaskan bahwa housework adalah work, yang memproduksi dan mereproduksi tenaga kerja, dimana selama ini housework tidak dilihat sebagai sebuah work karena gratis alias tidak dibayar. Selain itu, menurutnya, perjuangan upah untuk housework berarti membuka sebuah perjuangan langsung pada pertanyaan mengenai reproduksi dan membangun argumen bahwa membesarkan anak-anak dan merawat orang adalah tanggung jawab kolektif bukan individu-per-individu atau orang-per-orang, atau keluarga-per-keluarga. Terakhir, tapi tidak kalah penting,  perjuangan upah untuk housework ini penting dilakukan untuk menyapu bersih mitos-mitos tentang perempuan yang selama ini selalu dilekatkan pada mereka: menjadikan mereka  (perempuan) sebagai pihak yang paling bertanggungjawab atas housework.

Housework dan Globalisasi
Pada bab 2 yang berjudul ‘Globalization and Social Reproduction,’ Federici menguraikan argumennya bahwa gerakan perempuan harus kritis pada program-program IMF dan World Bank, dan bahwa perjuangan untuk housework ini sama sekali tidak berkaitan dengan itu. Federici menolak jika perjuangan perempuan – termasuk dalam hubungannya dengan housework ini- didasarkan pada program-program IMF dan World Bank yang melakukan genderizing pada semua program-program ‘pembangunan’ mereka. Karena kenyataannya, program-program, yang dikenal dengan nama  Structural Adjustment Programs tersebut, malah menjadikan perempuan sebagai korban terdepan, khususnya di negara Dunia Ketiga.

Menurut Federici, akar dari penindasan perempuan bukanlah apa yang dikenal sebagai human right, keterlibatan perempuan dalam pembangunan ala World Bank, dan sebagainya. Akarnya tertanam pada proses akumulasi kapital yang kian intensif melalui globalisasi pada tahun 1980an yang melibatkan banyak kekerasan di dalamnya, tidak terkecuali pada perempuan. Bagi Federici, perempuan di seluruh dunia  telah ‘terintegrasi’ dalam ekonomi dunia sebagai  produser/penghasil tenaga kerja, tidak hanya untuk ekonomi lokal, tepi juga untuk negara-negara industri, guna menciptakan komoditas murah demi ekspor skala global.

Berpindahnya industri-industri ke negara-negara dunia ketiga, menurut Federici, juga tidak lantas membuat atau menciptakan basis industri yang kuat di negara-negara dunia ketiga tersebut. Nyatanya, perempuan yang bekerja di industri negara Dunia Ketiga kebanyakan diupah di bawah standar UMR/UMK. Lebih dari itu, reproduksi mereka pun diatur oleh kapitalis. Pada banyak perusahaan, para pekerja perempuan, misalnya, tidak diperbolehkan untuk hamil dan punya anak karena dianggap akan mengganggu produktivitas. Sementara masih terjadi pemisahan antara pekerjaan yang dianggap produktif dan tidak produktif, pemerintahan negara-negara Dunia Ketiga yang taat pada agenda-agenda neoliberal terus melakukan pemotongan terhadap segala hal yang berkaitan dengan pelayanan sosial secara masif.  Structural Adjustment Programs yang banyak dijalankan negara-negara Dunia Ketiga pun, faktanya kian memiskinkan perempuan.

Pada bab 2 ini, Federici juga mengungkapkan hubungan antara pembagian kerja secara internasional, globalisasi, dan pembagian kerja di antara perempuan. Konsep Pembantu Rumah Tangga[2] yang masih digaji oleh majikan, yakni keluarga/rumah tangga masing-masing individu menempatkan perempuan masih sebagai yang bertanggung jawab atas housework, baik yang bekerja maupun yang memberi upah. Kapitalisme yang membebankan urusan housework pada perempuan, juga semakin mengintensifkan pembagian kerja perempuan secara seksual, termasuk sebagai Pekerja Seks Komersil (PKS).

Federici menegaskan tesisnya bahwa pembagian kerja secara internasional, globalisasi, dan pembagian di antara perempuan sesungguhnya telah mengeksploitasi perempuan. Karena itu politik feminis, menurutnya, harus diarahkan kembali ke dasarnya, yakni menuntut dikembalikannya lahan-lahan yang telah dirampas kapitalis, melakukan penolakan pembayaran utang luar negeri, dan menuntut penghapusan Structural Adjustment Programs dan privatisasi. Dalam kaitan dengan penolakan terhadap IMF dan World Bank, yang disebut Federici tengah melancarkan perang globalisasi baru, ia menyerukan bahwa perempuan harus menolak rekrutmen perempuan ke dalam militer -yang sering pula didengungkan feminis lainnya dalam perjuangan kesetaraan gender- karena militerlah salah satu yang merepresi perempuan secara brutal dalam perang baru globalisasi ini. Sebagaimana yang dikatakan Mariarosa Dalla Costa dalam Capitalism and Reproduction :

…A presupposition of capitalism’s birth was the sacrifice of a large part of humanity-mass extermination, the production of hunger and misery, slavery, violence and terror. Its continuation requires the same presuppositions.

Kapitalisme mensyaratkan penindasan dan kekerasan dalam setiap pelancaran misinya: akumulasi kapital sebanyak mungkin. Penindasan dan kekerasan ini mencakup seluruh kemanusiaan, alam, tidak terkecuali perempuan. Maka menolak segala macam yang mengakibatkan penderitaan termasuk bagi banyak perempuan, seperti militer, adalah keharusan.

Terakhir, pada bab 2 ini, Federici menguraikan beberapa faktor utama yang mentransformasi organisasi reproduksi dan hubungan/relasi kelas. Diantaranya bahwa terdapat ekspansi dari pasar kerja. Globalisasi telah memisahkan jutaan orang dari tanahnya, pekerjaannya, dan meningkatkan pekerja perempuan. Kedua, akumulasi primitif semakin permanen dengan adanya deteritorialisasi kapital dan finansialisasi dari aktivitas-aktivitas ekonomi, yang dipengaruhi ‘revolusi komputer.’ Selain itu, Federici juga mengungkapkan beberapa faktor yang memperpanjang kerja perempuan dimana ia berpendapat bahwa perempuan yang telah diserap dalam globalisasi ekonomi, diharuskan untuk mengkompensasikan pekerjaan mereka guna meningkatkan reproduksi tenaga kerja dan pertumbuhan jumlah pekerja perempuan serta restrukturisasi reproduksi, ternyata tidak mengeliminasi hierarki gender dalam kerja.

Housework Bukan Kodrat Perempuan! Bring Back to Commons!

Dalam bagian awal dari bab 3 yang berjudul ‘Reproducing Commons,’ Federici menguraikan pandangan-pandangannya mengenai kurangnya pusat perawatan bagi kaum lanjut usia (lansia) dalam kaitannya dengan urbanisasi dan globalisasi. Baginya, pusat perawatan bagi lansia dalam kaitannya dengan upaya mendekatkan hal-hal yang berhubungan dengan kerja-kerja reproduksi harus merupakan kerja bersama, bersifat kolektif dan mengalami sosialisasi dengan baik. Menurut Federici, kapitalisme yang tidak memandang lagi kaum lansia sebagai kaum yang produktif, telah membuat kalangan ini menderita baik secara kultural maupun sosial. Meningkatnya kapitalisme neoliberal hampir di seluruh belahan dunia, pun kian menyingkirkan kaum lansia. Tidak heran jika, menurut Federici, banyak lansia di seluruh dunia yang mati dalam kesusahan mengakses makanan, perumahan, dan sandang yang layak. Dalam hal ini, kaum lansia telah ditempatkan sama posisinya dengan mereka yang mengerjakan housework, yang dipandang tidak terlalu penting karena dianggap tidak produktif dan tidak benar-benar bekerja.

Kemudian, pada bagian selanjutnya, Federici menguraikan pandangannya mengenai watak akumulasi primitif kapitalisme yang telah menyebabkan banyak kerusakan dan penderitaan, terutama bagi kaum perempuan. Dalam hal ini, Federici memfokuskan pandangannya pada pengambilan lahan besar-besaran yang dilakukan perusahaan-perusahaan besar di seluruh dunia sebagai salah satu fokus yang harus dilawan dan menjadi agenda dalam perjuangan gerakan perempuan. Ia menjelaskan bahwa dalam berbagai penindasan yang terjadi tersebut, perempuan  telah menjadi pihak yang paling menderita sekaligus paling dapat bertahan, membangun sistem yang subsisten untuk kelangsungan hidup banyak orang.

Ia menjelaskan bahwa secara internasional, perempuan tengah membangun jalan menuju sebuah masyarakat yang non-eksploitastif, dimana ancaman kelaparan dan kerusakan ekologis akan disingkirkan. Pertanian-pertanian subsisten yang dibangun perempuan di berbagai belahan dunia menjadi salah satu buktinya. Tanah yang merupakan basis material bagi kerja subsisten perempuan, juga merupakan sumber utama dari ketahanan pangan bagi jutaan orang di seluruh dunia. Maka, menurut Federici, perjuangan perempuan untuk mendorong banyaknya pertanian-pertanian subsisten dan penggunaan sumberdaya alam secara nonkomersil menjadi sangat penting dilakukan. Ia lalu menguraikan contoh-contohnya di berbagai negara, seperti program ‘Housing’ di Kampala, Uganda, yang dilakukan oleh komunitas perempuan di sana yang menjadikan tanah untuk produksi makanan.

Federici menjelaskan, perempuan merupakan penghasil makanan terbesar di dunia. Di Afrika, misalnya, 80 persen dari total kebutuhan makanan dipenuhi oleh perempuan. Dalam kaitan dengan itu semua, Federici berpendapat bahwa kepemimpinan perempuan dalam usaha pengolektifan kerja-kerja reproduksi bukanlah upaya untuk mengakui bahwa housework merupakan tugas perempuan, tapi lebih menunjukkan bahwa perempuan telah melakukan upaya kolektivisasi kerja-kerja reproduksi dimana itu merupakan bagian dari perlawanan terhadap kapitalisme.

Secara historis, menurut Federici, perempuan –khususnya di Asia dan Afrika- telah banyak menunjukkan posisinya sebagai petani-petani subsisten yang menghasilkan makanan bagi keluarga mereka. Pertanian subsisten sendiri, menurutnya, sulit diukur karena kebanyakan merupakan unwaged work/tidak diupah dan tidak didefinisikan sebagai work/kerja. Malahan, kebanyakan perempuan yang melakukan pertanian subsisten ini tidak mendefinisikan kerja subsisten mereka sebagai kerja/work. Hal ini, menurut Federici, sejalan dengan fakta ekonomi terkenal lainnya, yakni bahwa jumlah pekerja housework dan nilai kerja mereka sulit untuk diukur. Housework tidak dianggap sebgai kerja/work dan tetap tidak dikenali banyak orang sebagai real work.

Buku yang ditulis Federici ini sangat baik dan direkomendasikan bagi siapa saja yang tertarik untuk melihat poisis housework dalam kapitalisme, dan tentu saja kaitannya dengan patriarki, sahabat sejati kapitalisme. Saya bersepakat dengan argumen-argumen yang dilontarkan Federici dalam buku ini termasuk mengenai perluasan pertanian subsisten.

Dari paparan Federici ini, saya menyimpulkan bahwa housework bukanlah kodrat perempuan. Kontruksi sosial atas housework sebagai kodrat perempuan, sesungguhnya merupakan bentukan dan kemudian dilanggengkan oleh kapitalisme yang berkelindan dengan patriarki. Mengikuti tesis Maria Mies dalam bukunya yang berjudul Patriarchy & Accumulation on a World Scale: Women in the Internasional Division of Labour, kerja domestik yang dibebankan pada perempuan merupakan strategi kapitalis dalam menciptakan workeforce atau tenaga kerja gratis. Semakin intensifnya pasar kerja fleksibel di era globalisasi pun,  kemudian membuat perempuan seolah tak bisa menghindar dari beban kerja ganda tersebut.

Saya mendukung ide bahwa konsep wages/upah dalam housework harus dituntut pada negara, sepanjang ia berguna untuk menjelaskan bahwa housework adalah work/kerja. Namun, saya lebih bersepakat jika housework lebih dilihat posisinya sebagai bagian dari commons dimana dalam tataran praktis perjuangan feminis, hal tersebut dimanifestasikan dalam bentuk penyediaan day careday care gratis yang berkualitas oleh negara. Selain itu, pemenuhan nutrisi bagi ibu hamil juga harus menjadi tuntutan mendesak dan mendasar pada negara, sebagaimana yang telah diimplementasikan di negara sosialis macam Kuba dan Venezuela. Konstruksi bahwa keluarga adalah ‘dunia privat’ yang kemudian menyebabkan tanggung jawab dalam kerja reproduksi seperti membesarkan anak sebagai tanggung jawab masing-masing keluarga, dan terutama perempuan, juga harus perlahan dihapuskan dengan cara penyediaan perlindungan sosial secara menyeluruh.

Adapun kelebihan dari buku ini, menurut saya, adalah analisis Federici yang mendalam atas wajah akumulasi primitif dari kapitalisme global dan kaitannya dengan posisi perempuan, yang menurutnya, telah melakukan kerja-kerja subsisten, selain housework yang dikenal sebagai kerja-kerja domestik rumah tangga. Analisis atas krisis ekologi akibat kapitalisme memang kian penting dikedepankan, apalagi (juga) menyangkut perempuan sebagai entitas yang paling dirugikan di dalamnya. Krisis ekologi yang membuat perempuan kian tersingkir, pada saat yang bersamaan mengharuskan perempuan masih harus bertahan dari gempuran krisis tanpa ada perlindungan sosial secara menyeluruh bagi perempuan. Bicara mengenai perlindungan sosial yang menyeluruh, housework dalam posisinya yang harus dikembalikan sebagai commons seharusnya menjadi bagian yang menyatu dalam konteks perlindungan sosial yang komprehensif.[3]

Fathimah Fildzah Izzati, anggota redaksi Left Book Review Indoprogress

Bacaan tambahan:

Mies, Maria. 1998. Patriarchy & Accumulation on a World Scale : Women in the Internasional Division of Labour.’  London. Zed Book Ltd.

[1]Hasil diskusi saya dengan Kawan Irwansyah, pengajar Ilmu Politik FISIP UI.

[2]Pembantu Rumah Tangga kini tengah diperjuangkan oleh beberapa elemen gerakan perempuan di Indonesia agar diakui sebagai pekerja dan mendapatkan upah sesuai dengan UMK.

[3] Terinspirasi setelah diskusi mengenai ‘Transformative Social Protection as Socialist Agenda’  dengan kawan-kawan PRP dan kawan dari AEPF, 13 Oktober 2013.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.