1. Beranda
  2. /
  3. Topik
  4. /
  5. LBR Edisi XX/2014

LBR Edisi XX/2014

Edisi XX/2014

PADA tanggal 8 Maret lalu, Perempuan di seluruh dunia merayakan hari kemerdekaannya. Tidak terkecuali di Indonesia. 8 Maret adalah hari yang menandakan dimana perempuan adalah juga kelompok yang sangat revolusioner, yang tidak hanya terkungkung di bawah tempurung rumah tangga, yang sekadar berkutat dengan urusan dapur, sumur, dan kasur. 8 Maret adalah sebuah proklamasi bahwa perempuan adalah setara dengan laki-laki, memiliki hak yang sama di bidang sosial, ekonomi, politik, dan budaya.

Perjuangan Kelas Melalui Reklaiming Hak Atas Kota!

BEBERAPA bulan lalu, saya dan kawan-kawan terlibat dalam advokasi penggusuran pegiat usaha stasiun di Jabodetabek. Sebagaimana tulisan saya sebelumnya, Merebut Hak Atas Kota: Catatan Perlawanan Pegiat Usaha Stasiun Pos Duri[1], sedikit banyak disampaikan bagaimana pegiat usaha yang ada di Stasiun se-Jabodetabek digusur tanpa adanya kompensasi maupun relokasi oleh PT. Kereta Api Indonesia (PT. KAI) dari tempat usaha mereka yang telah sah dibeli secara hukum. Tak adanya tawaran solusi dari PT. KAI itu membuat pegiat usaha membentuk barisan untuk melawan bentuk peminggiran dan pemiskinan atas kehidupan mereka. Dalam perjuangannya tersebut, pegiat usaha melakukan berbagai metode perlawanan, baik diplomasi ke pihak pemerintah hingga aksi demonstrasi di lapangan. Meskipun akhirnya tergusur, tetapi pengalaman bersama para pegiat usaha dalam usaha melawan penggusuran tersebut, membuka tabir bagaimana kehidupan kota saat ini sebenarnya ditata. Bahwa kehidupan kota menjadi titik sentral dari akumulasi kapital yang mengondisikan usaha pengelolaannya.

Penghancuran Buku dalam Sejarah Umat Manusia

‘MENGAPA manusia menghancurkan buku?’ Pertanyaan ini adalah pertanyaan yang selalu hadir dalam setiap zaman, dalam setiap konteks sosial historis yang pernah ada, semenjak manusia mengenal cara merekam pengetahuan yang dimilikinya dalam media tertentu. Kini pertanyaan ini kembali mengemuka ketika beberapa waktu lalu terjadi peristiwa yang merupakan repetisi dari segala jaman yang merasa terganggu dengan lahirnya pengetahuan tertentu: pelarangan mendiskusikan buku tentang Tan Malaka oleh sekelompok ormas yang mengatasnamakan Pancasila dan Islam. Meskipun pelarangan mendiskusikan buku tersebut tidak diikuti dengan penghancuran buku dimaksud, tetapi pada akhirnya peristiwa tersebut adalah suatu contoh bagaimana buku menjadi arena kontestasi antara arus utama dan the others, antara kelas yang berkuasa dan kelas yang dikuasai, antara keperluan untuk melanggengkan hegemoni dan upaya untuk menggugat status quo.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.