Redaksi

Edisi XV/2013

TERTANGGAL 28 sampai 30 Oktober 2013 ini, Gerakan Buruh Indonesia kembali akan melakukan mogok kerja nasional. Mogok kerja nasional ini merupakan bagian dari tuntutan rakyat pekerja Indonesia kepada Negara, untuk segera merealisasikan kenaikan upah minimum secara nasional sebesar 50 persen dan UMP DKI Jakarta sebesar Rp. 3,7 juta/bulan. Dalam koordinasi aliansi Konsolidasi Nasional Gerakan Buruh (KNGB), mogok nasional kali ini bisa dikatakan cukup istimewa, mengingat hal ini merupakan bagian dari upaya mengatasi batas-batas lama keserikatan yang selama ini menghambat realisasi persatuan kelas pekerja Indonesia. Fragmentasi kepentingan jangka pendek organisasi kelas pekerja yang diciptakan oleh relasi kompetisi kapitalisme, adalah sesuatu yang nyata bagi kelas pekerja Indonesia itu sendiri. Belum lagi artikulasi ideologis dari relasi kompetitif ini telah menyebabkan banyak elemen dalam kelas pekerja Indonesia mengidentifikasi dirinya bukan sebagai kelas pekerja, namun sebagai kelas sosial baru yang memiliki perbedaan diametral dengan identitas kelas pekerja Indonesia.

Edisi LKIP10

Riuh rendah peringatan ‘Gestok’ (Gerakan Satu Oktober) sudah mulai reda. Tempo sudah mengeluarkan edisi khusus soal Lekra dan peristiwa 1965 sambil bersenandung lirih tentang kedhaifan manusia. Para aktivis HAM sedang menikmati gaji hasil jerih payah mereka bekerja. Aktivis-aktivis buruh sibuk mempersiapkan aksi mogok nasional untuk menuntut kenaikan upah. Sementara tempe sudah makin jarang hadir di kelas—maaf, meja makan. Kalau pun hadir di lembar absensi, badannya kurus seperti pesakitan.

Edisi XIV/2013

DINI HARI, 1 Oktober 1965. Menteri Panglima Angkatan Darat (AD) Letjen Ahmad Yani dan lima orang jenderal yang menjadi staf umumnya, diculik oleh kelompok yang menamakan dirinya Gerakan 30 September (G30S). Gerakan ini menyatakan bahwa tujuan aksi mereka adalah mengamankan Presiden Soekarno dan mencegah kup kontra-revolusioner yang akan dilakukan oleh kelompok yang dinamakan Dewan Jenderal. Umur gerakan ini tidak panjang. Di Jakarta, G30S langsung dipukul mundur pada petang harinya oleh pasukan komando Mayor Jenderal Soeharto, yang mengambil alih komando AD setelah Ahmad Yani terbunuh. Hari berikutnya, 2 Oktober 1965, semua pasukan G30S sudah ditangkap atau melarikan diri. Sementara di Jawa Tengah, G30S hanya bertahan sampai 3 Oktober 1965.

Edisi LKIP09

Ketika isu-isu kekerasan ’65 semakin diangkat ke permukaan, suara anti-komunisme pun semakin keras. Dari jenderal hingga politisi sipil sudah mulai angkat bicara tentang ‘kebangkitan PKI’ atau menebar ancaman agar ajaran ‘Marxisme/Komunisme’ tidak disebarluaskan. Seorang pemuka agama yang rajin memberikan kuliah di hadapan tentara pun mengibas-ngibas rumor baru: ‘Awas, KGB (Komunisme Gaya Baru)!’ Orang tentunya bisa tertawa miris. Ini lelucon yang jauh dari lucu, sebab yang ia maksud ‘KGB’ adalah (bekas) aktivis kiri yang masuk pemerintahan atau partai-partai tertentu.

Edisi LKIP08

Sesungguhnya, kami ingin mengawali pengantar ini dengan ucapan Dirgahayu RI yang Ke-68. Namun, berita tentang pemboman di Wihara Ekayana yang berseliweran di timeline twitter serta jejaring sosial lainnya, membatalkan hal itu. Kami pun lantas hendak menundukkan kepala sejenak, mengheningkan cipta, berdoa. Tapi ah, sudah terlalu banyak doa didaraskan dari Sabang hingga Merauke, Sangirtalaut hingga Sabu, toh beberapa saat lagi kedukaan demikian berulang jua kita dengar.

Edisi XII/2013

ANTONIO Gramsci pernah berujar, ketika dunia lama tengah diterpa krisis dan dunia baru belum dapat berdiri, itulah masa untuk Sang Monster. Ya, sang monster adalah apa yang tengah kita hadapi sekarang. Atas nama penyelamatan diri dari krisis, dunia lama alias kapitalisme, harus berperilaku layaknya monster untuk mempertahankan dirinya sendiri. Eksploitasi masif massa rakyat pekerja, penghancuran total sumber daya alam, dan berbagai macam modus pencurian besar-besaran sumber daya publik adalah proses wajar dari kapitalisme sekarang. Layaknya monster, proses kerja kapitalisme ini bukan hanya mengancam bangunan sosial masyarakat modern, akan tetapi lebih besar dari pada itu, juga mengancam peradaban kemanusiaan yang sudah terbangun selama ini.

Edisi XI/2013

Disebutkan bahwa hanya Universitas Indonesia yang sanggup bertahan di posisi 100 universitas terbaik, tepatnya berada di ranking ke 64, sementara posisi kedua diisi oleh Institut Teknologi Bandung (ITB), yakni di urutan ke 129. Tapi, kalau dilihat dari konsistensi per tahun, maka posisi UI dan ITB justru semakin memburuk. UI pada tahun 2009 hingga 2011, selalu berada di posisi 50 besar, tapi sejak tahun 2012 posisinya melorot ke urutan 59. Sementara posisi ITB, walaupun tetap di bawah peringkat 100, tapi posisinya pada 2012 masih lebih baik, yakni di urutan 113.

Edisi LKIP06

“Sastra Indonesia miskin tradisi kritik”, mungkin ini salah satu ratapan yang kerap kita dengar dalam dunia sastra Indonesia. Kalau pun ada, dewasa ini produksi kritik sastra sering kali tampak hanya beberapa kali pasang, tapi banyak surutnya. Padahal pada gelombang lain, karya-karya sastra banyak ditawarkan secara online mau pun offline: di toko buku. Beberapa judul berhasil merayu. Sebagian membuat kita ragu. Di antara perasaan itu penilaian atas isi sebuah karya terasa perlu.

Namun, apa benar tuduhan di atas? Dalam ‘rubrik teori’ edisi ini, Yovantra Arief ingin membuka diskusi tentang masa depan tradisi kritik sastra Indonesia dengan memaparkan secara ringkas sejarah kritik sastra di Indonesia sejak masa Balai Pustaka hingga era H. B. Jassin dalam tulisannya bertajuk Ideologi dan Kritik Sastra: Ketika Politik Jadi Panglima, 1920-1965. Tidak lupa kami juga hadirkan sebuah tulisan lama dari A. S. Dharta yang bertajuk Ukuran Bagi Kritik Sastra Indonesia Dewasa Ini dalam ‘rubrik kliping’.

Edisi LKIP05

Dalam sebuah diskusi pada peluncuran film Jembatan Bacem, sejarawan Hilmar Farid mengingatkan keterpautan peristiwa tersebut dengan peristiwa pasca G30S. Dalam film tersebut memang digambarkan bagaimana para tahanan peristiwa tersebut di atas dijemput dari rumah tahanan dan lenyap tak berbekas. Dari sana sebuah pesan muncul pada kita, bahwa negara dan hukumnya tak kuasa menegakan hukum yang menjadi penopang negara itu. Hal ini terulang kembali dalam skala kecil pada peristiwa Cebongan dan juga tentu pada peristiwa lainnya yang begitu banyak terjadi dalam skala besar mau pun kecil di seluruh negeri kita. Tak heran, perlawanan rakyat akhir-akhir ini, juga dalam pelbagai bentuk, begitu banyak terjadi. Seorang kawan dalam kesibukan kerjanya sempat meluangkan waktu mengamati berita-berita perlawanan tersebut dan dia berani bertaruh bahwa dalam sebulan saja perlawan rakyat mencapai hampir 1000 perlawanan.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.