Teori

Mendengar Musik

Bagi kebanyakan orang mungkin judul artikel ini terdengar remeh temeh. Saya tidak menyalahkan pandangan demikian. Banyak orang merasa mampu mendengarkan musik, tentu dengan asumsi bahwa pendengaran mereka berada di tingkat yang cukup mampu untuk dapat mendengarnya. Properti fisik dan mental mereka mendukung untuk mendengar musik. Bahkan sebagian individu mendaku bahwa musik sudah sejiwa dengan hidup mereka, sehingga judul artikel ini bak lelucon baginya. Pertama-tama saya harus memperjelas apa yang tidak hendak dikatakan artikel ini. Artikel ini bukan mengenai apa itu esensi musik atau kategori ontologis sehingga sesuatu bisa dikatakan sebagai musik. Artikel ini juga tidak membahas estetika. Oleh karenanya, saya mohon maaf jika ketidakpuasan akan muncul pada pembaca yang berharap menemukan kategori estetis.

Ideologi dan Kritik Sastra: Ketika Politik Jadi Panglima, 1920-1965

Kritik sastra adalah produk budaya modern; bukan sesuatu yang lahir dari kebudayaan-kebudayan lokal atau nasional Indonesia. Namun kebudayaan Indonesia memiliki semacam ‘basis material’ yang memungkinkan kritik sastra modern itu bisa tumbuh. Kritik sastra di Indonesia tidak bekerkembang dari ruang kosong; bukan tiba-tiba saja orang-orang bule datang dan ‘menghadiahkan’ kritik sastra pada pribumi, melainkan juga karena dalam kultur pribumi sendiri, ada lahan yang memungkinkan bibit-bibit kritik sastra untuk bersemai.

‘Basis material’ dari kritik sastra Indonesia modern adalah, pertama-tama, bahwasanya kritik adalah sesuatu yang internal dalam sastra itu sendiri. Tentu hal ini tidak berlaku secara general; tidak semua karya sastra merupakan kritik. Rumusan ini setidaknya menunjukkan bahwa sastra pada dirinya sendiri memiliki kemungkinan untuk menjadi kritik dan, dalam berbagai karya, ia menjelmakan kemungkinan itu. Imanensi kritik dalam sastra ini mengemuka dalam dua modalitas; pertama, ia adalah kritik atas realitas, dan kedua, ia adalah kritik atas karya yang lain. Dalam modalitas pertama, sastra tampil dalam relasinya dengan realitas sosial yang melatari sekaligus memungkinkannya, mengenali kontradiksi-kontradiksi yang inheren di dalamnya, untuk kemudian memformulasikannya dalam bentuk sastrawi. Dalam modalitas kedua, kritik (yang internal) dalam sastra merupakan rentetan relasi internal dalam semesta sastra itu sendiri; dicirikan oleh oposisi suatu karya dengan karya yang lain. Karena aktivitas sastrawi menyangkut produksi dan reproduksi makna, maka konfigurasi oposisi itu tidak sepenuhnya bergantung pada kontradiksi spesifik yang melahirkan mereka, melainkan terutama dipengaruhi oleh situasi sosial tertentu yang menuntut pemaknaan tertentu pula.

Rangkaian kritik terhadap tiga pendekatan ‘kritis’ kajian budaya (Bag. 3, habis)

Mungkin tidak ada kata yang sepopuler istilah ‘critical’/’kritis’ dalam ilmu sosial dan humaniora dewasa ini. Selain ‘seksi’, istilah ini sering dipakai untuk memberikan nuansa ‘kebaruan’, ‘tidak ikut arus utama’ maupun ‘anti-tradisi.’ Mirip dengan penggunaan istilah-istilah lain—walau berbeda makna—seperti ‘interdisipliner’, ‘transdisipliner’ dll, kata ini menjadi paspor agar sebuah analisis dianggap ‘berkualitas’. Namun, seringkali kata ini kehilangan makna dan digunakan tidak lebih dari sekedar bungkusan belaka. Terutama di bawah payung postmodernisme, istilah ‘kritis’ ditelanjangi dari akar sejarahnya dan digunakan untuk semangat dekonstruksi tanpa rekonstruksi.

Rangkaian Kritik terhadap Tiga Pendekatan ‘Kritis’ Kajian Budaya (Bag. 2)

Pada bagian pertama tulisan ini, sudah dibahas perkembangan cultural studies sebagai salah satu pendekatan dalam kajian budaya yang berangkat dari kritik terhadap dikotomi superstruktur dan basis dalam sebuah aliran dalam Marxisme. Pendekatan lain dalam kajian budaya yang juga berangkat dari permasalahan yang sama adalah political economy. Namun, tidak seperti cultural studies yang lahir di Inggris, kajian political economy terhadap budaya pertama kali berkembang di benua Amerika. Basisnya pun tidak sama. Cultural studies lekat dengan aktivitas politik para pendirinya dalam gerakan kiri, terutama Workers Educational Association (WEA); sedangkan political economy dimulai sebagai kritik akademik terhadap sebuah pendekatanpenelitian. Political economy berkembang di universitas-universitas dan pusat-pusat penelitian, terutama tumbuh subur dalam bidang komunikasi dan kajian media. Sementara di dalam bidang cultural studies atau bidang-bidang sejenis, seperti kajian ras, agama, dan gender, penerimaannya cenderung minim, walau observasi ini tentu tidak bisa digeneralisasi.

Marx-Engels: Tentang Produksi Artistik dan Realisme

Teori Marx yang kerap diaplikasikan untuk membaca relasi antara produksi artistik—dalam konteks ini seni—dengan produksi material—dalam konteks ini ekonomi—adalah teorinya tentang struktur masyarakat. Dalam teori tersebut, Marx melihat bahwa dalam sebuah masyarakat terdapat dua buah struktur, yakni ‘struktur atas’ atau suprastruktur dan ‘struktur bawah’ atau basis. Suprastruktur secara umum terdiri dari entitas kesadaran, sedangkan basis struktur secara umum terdiri dari entitas material. Lebih lanjut, seni—seperti halnya hukum, ilmu, politik, filsafat, ideologi—merupakan bagian dari entitas kesadaran atau suprastruktur, sedangkan ekonomi merupakan bagian dari entitas materi atau basis struktur.

Rangkaian Kritik Terhadap Tiga Pendekatan ‘Kritis’ Kajian Budaya (Bag. 1)[i]

TIGA pendekatan ‘kritis’ terhadap kajian budaya lahir beberapa dekade yang lalu sebagai kritik terhadap Marxisme yang dominan di Uni Soviet saat itu. Tiga pendekatan tersebut adalah cultural studies, political economy of culture dan critical theory. Ketiganya muncul sebagai reaksi terhadap dikotomi superstruktur dan basis yang dianut aliran ini dan juga terutama terhadap pandangannya yang ekonomistik dan positivistik. Klaim ‘kritis’ ketiga pendekatan ini berdasar pada dua hal: pertama, mereka lahir sebagai bentuk kritik terhadap sebuah tradisi dalam Marxisme, dalam hal ini tradisi yang dominan saat itu; kedua, agenda kritik ini dilakukan dalam semangat untuk kembali pada proyek intelektual Karl Marx, yaitu materialisme sejarah dan dialektika sebagai landasan metode berpikir dan praksis. Oleh karena itu, pemilihan ketiga pendekatan ‘kritis’ ini tidaklah sembarang karena ketiganya memiliki sejarah asal yang sama yaitu pemikiran Marxis dan lahir pada saat yang hampir bersamaan. Dalam kritik terhadap sebuah tradisi dalam Marxisme, ketiganya pada saat yang sama melanjutkan proyek kritik Marxisme.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.