1. Beranda
  2. /
  3. Harian Indoprogress
  4. /
  5. Page 146

Harian Indoprogress

Terlepas dari bagaimana ujung konflik antar elite, gerakan protes yang organik mesti mewaspadai adanya risiko kooptasi oleh faksi-faksi elite yang berkompetisi.
Apakah kita ingin terus hidup dalam kediktatoran kapital, yang kini menawarkan demokrasi perwakilan sebagai cara untuk merawat kehidupan politik?
liberalisme politik punya utang nyawa yang terlampau besar kepada massa yang kerap dicitrakan urakan; kepada "sosialisme" dan berbagai bendera “puritan” lain yang membuat Ulil bergidik.

Harian Indoprogress

Housework Bukan Kodrat Perempuan! Bring Back to Commons!

KENANGAN apa yang kita ingat tentang ibu kita sewaktu kita masih kecil? Yang segera muncul adalah kenangan tentang ibu saya yang selalu memasak sepulang ia mengajar di sekolah, atau mencuci pakaian semua anggota keluarga, mencuci piring-piring kotor, dan menyiapkan baju kerja ayah saya. Lalu, kenangan apa yang kita ingat tentang ayah kita sewaktu masih kecil? Saya selalu teringat ayah saya yang mengomentari makanan buatan ibu saya, meminta ibu saya membuatkan kopi, dan menanyakan lokasi dasi miliknya di dalam lemari. Kenangan semacam itu tentang sosok seorang ibu dan ayah mungkin bukan hanya kenangan milik saya, mungkin juga kenangan anda, dan yang pasti, kenangan Silvia Federici, yang menulis buku yang sangat bagus mengenai posisi perempuan dalam housework dalam hubungannya dengan kapitalisme: Revolution at Point Zero: Housework, Reproduction, and Feminist Struggle.

Gerwani dan Perjuangan Politik Perempuan

BOLA mata para jendral dicungkil dari tempatnya, sekujur tubuhnya dikuliti dan kemaluan mereka dipotong. Mayat yang tak lagi utuh tersebut dikumpulkan dalam satu sumur mati di wilayah Lubang Buaya, Jakarta. Di atas sumur mati tersebut para wanita sundal menari ‘Tari harum Bunga’ dengan bugil merayakan kemenangan. Tarian setan tersebut diiringi lagu Gendjer Gendjer yang bernuansa mistis. Maka, lengkap sudah segala kegerian dimalam jahaman 1 Oktober 1965 tersebut.

Salvador Allende: Yang Mati Namun Tetap Abadi

SERINGKALI kita mengritik mesianisme dalam gerakan progresif karena kecenderungannya untuk mengarah ke semacam kultus individual. Tetapi, terkadang sebuah gerakan butuh figur yang kharismatik. Allende contohnya. Tentu saja dia menjadi semacam ‘juru selamat’ bukan karena berjarak dengan rakyat, melainkan dengan menghidupi kehidupan rakyat dan bergerak bersama mereka, karena pemerintahan Allende tidak mungkin bertahan tanpa massa rakyat yang militan

Arianto Sangaji: Pilihannya Sederhana, Sosialisme atau Barbarisme

PADA masa krisis kapitalisme global, Bloomberg, sebuah media korporat besar yang memfokuskan pada isu-isu ekonomi, sempat mengeluarkan sebuah artikel pada 2011 yang berjudul, ‘Give Karl Marx a Chance to Save Global Economy’ (Berikan Karl Marx Kesempatan untuk Menyelamatkan Ekonomi Global). Inti argumen dari artikel tersebut sangat sederhana, pandangan Marx mengenai kapitalisme sangat relevan dalam kondisi krisis kapitalisme sekarang. Bahkan secara implisit artikel tersebut hendak mengatakan kepada kita, alih-alih meninggalkan Marx karena prediksinya yang gagal mengenai kemunculan komunisme, kita harus kembali ke proyek awal Marx mengenai kritik ekonomi politik kapitalisme itu sendiri. Suatu hal yang setidaknya harus diajukan kembali dalam problem pengetahuan kita sekarang ini.

Aliansi Kelas Pekerja dan Reformasi Agraria di Indonesia

Indonesia adalah negara dengan kesenjangan ekonomi tinggi dan sekaligus merupakan negara terburuk dalam mengatasi kemiskinan di Asia Tenggara, karena jumlah penduduk miskin bertambah 2,7 juta dalam tiga tahun terakhir (Prakarsa Policy Review 2011). Salah satu penyebab tingginya kesenjangan ekonomi dan kemiskinan adalah ketiadaan keadilan agraria, yang ditunjukkan oleh koefisien gini kepemilikan tanah yang terus naik dari tahun ke tahun.

Pendidikan, Perempuan, Politik, Pinang, dan Bahasa Indonesia di Papua

BAGI warga desa terpencil di Kabupaten Nabire, Papua dan Wondama, Papua Barat, jadi pintar dan bekerja layak adalah bagian dari mimpi. Tak semua orang berhasil walau kesempatan terbentang. Warga membicarakan mimpi ini sambil mengunyah sirih dan pinang; sebagai bentuk ikatan mereka dari masa lampau.

Sejumlah perempuan, dengan mulut bergerak kiri kanan mengunyah pinang, dan bayi menggelendot di gendongannya melihat sulit menuju kehidupan cerah bila pasangan mereka bergaya barbar; mabuk, memukuli. Perempuan menyebutnya, laki-laki ringan tangan. Sebuah istilah yang tak beda dengan mulba..mulut ba air–berbicara tanpa bukti– yang ditujukan bagi politikus. Satu perempuan sedikitnya memiliki pengalaman minimal dipukuli 3 kali dalam hidup, baik oleh orangtua maupun oleh pasangannya. Lainnya, sebagian warga Papua, memiliki pengalaman lebih dari dua kali memilih pemimpin politik yang mulba.

Ruth Indiah Rahayu: Feminisasi Dunia Kerja Menguntungkan Kapitalisme!

Di Indonesia, jika Anda merekoleksi ingatan pada kebangkitan gerakan perempuan dekade 1980an sampai dengan dekade 1990an, tujuan keadilan gender sangat menguat pada kedua agenda perjuangan hak asasi manusia dan demokrasi. Itu sangat relevan ketika menghadapi otoritarianisme Orde Baru, dimana kaum perempuan mengalami berbagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia, dan tiadanya ruang demokrasi untuk mengartikulasikan kepentingan perempuan, bahkan untuk berorganisasi. Keadaan berubah ketika memasuki dekade 2000an, setelah masa yang disebut ‘reformasi politik,’ gerakan perempuan menguat di jalur demokrasi elektoral.

Coco Levy, Cerita Perjuangan Petani Filipina

ADA kabar gembira dari Filipina. Datangnya dari Willy Marbella, salah satu pemimpin Kilusang Magbubukid ng Pilipinas (KMP), Gerakan Petani Phillipina, yang saya temui di markasnya di Quezon city.

Pada sebuah pagi di bulan Juli 2013, Willy masih bercelana pendek dan kaos dalam berwarna putih. Ia jelas belum mandi, namun tak menghalanginya menceritakan kabar baik, yang membuat pagi itu terasa penuh semangat. ‘Ini tahun berbeda, perjuangan petani kelapa memasuki babak paling penting. Pengadilan Tinggi baru saja memenangkan gugatan petani. Mereka berhak atas dana pajak yang mereka bayar empat puluh tahun lalu,’ ujar Willy berseri.

Menemui Filep Karma

FILEP JACOB SEMUEL KARMA tak pernah bisa melupakan peristiwa 14 tahun silam pada suatu pagi di bulan Juli, di tempat kelahirannya sendiri, Biak, Papua. Bersama ratusan demonstran lainnya, dia mulai dikepung dan ditembaki aparat keamanan gabungan di sebuah tempat Tower Air, tak jauh dari pelabuhan kota tersebut.

Mereka telah bertahan selama empat hari untuk mengibarkan bendera Bintang Kejora, lambang kemerdekaan bangsa Papua, di menara tersebut. Kejadian 6 Juli 1998 itu kelak dikenal dengan peristiwa Biak Berdarah.

Filep sendiri ditendang kepalanya lebih dari sepuluh kali. Kedua kakinya ditembak peluru karet. Kepalanya dipopor dengan gagang senjata hingga pingsan sampai sadar kembali. Filep diseret, sebelum diangkut ke mobil truk bersama demonstran lainnya.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.