Neopopulisme

Print Friendly, PDF & Email

Pesta pemilu 2014 sudah tiba. Kita saksikan, para calon legislatif dan calon presiden, serta partai politik sudah jauh-jauh hari sebelumnya berkampanye, menyosialisasikan program-programnya. Program-program itu ada yang serius baik isi dan kemasannya, tak sedikit pula yang lucu-lucu.

Satu hal yang menarik, isi program mereka semuanya mirip: penguatan ekonomi kerakyatan, peningkatan hajat hidup rakyat, pemberantasan korupsi, serta kesatuan dan persatuan bangsa. Kepentingan rakyat, itulah tema besarnya. Entah itu jenderal seperti Prabowo Subianto dan Wiranto atau bahkan yang neoliberal seperti Gita Wirjawan. Apakah itu Gerindra, PDI-P, Demokrat, Golkar, PKS. Bagi mereka, rakyat tidak lagi diperlakukan sebagai warga negara, tapi melulu konsumen. Dan persis seperti iklan produk komersil, konsumen ini dijejali produk yang sama dengan isi dan kemasan yang berbeda. Dan seperti iklan komersil, ‘tidak ada kecap nomor dua.’

Mengapa para caleg, capres dan parpol ini mendadak jualan populisme? Bagaimana bisa mereka jualan nasionalisme ekonomi, sementara pada praktiknya mereka melaksanakan sistem ekonomi neoliberal? Apakah mereka sungguh-sungguh ingin memberantas neoliberalisme? Atau lebih populer lagi, apakah mereka sungguh-sungguh ingin mengontrol mekanisme pasar?  Tapi, tunggu dulu. Jangan-jangan pertanyaan di atas itu yang salah. Bagaimana kalau pertanyannya begini: apakah benar populisme bertentangan dengan neoliberalisme?

Sebagai proyek politik, populisme mesti dilihat pada tiga isu besar: ideologi, organisasi, dan kebijakan ekonomi. Secara ideologis pemimpin atau partai populis akan selalu mengampanyekan program-program yang membela kepentingan rakyat, di satu sisi,   dan bersamaan dengannya ia juga harus menunjukkan siapa-siapa saja yang disebut musuh rakyat. Jadi kalau ada yang bicara pro-rakyat, tapi ia tak bisa menunjukkan siapa yang menjadi musuh rakyat maka ia hanya jualan populisme.

Secara organisasi pemimpin populis tidak percaya pada organisasi-organisasi perantara, seperti LSM atau lembaga-lembaga kontrol lainnya. Ia lebih suka berhubungan langsung dengan rakyat, karena dari situ ia bisa mendengar dan menyerap aspirasi langsung dari rakyat, untuk kemudian secara ideologis mengklaim diri sebagai ‘bapak rakyat.’ Jadi, kalau ada elit yang baru menyapa rakyat pada musim pemilu, turba-turba ke basis massa dengan retorika-retorika populis maka ia populis palsu.

Terakhir, pada masa lalu, tepatnya era ketika negara melakukan kebijakan industrialisasi berorientasi impor, populisme ditandai oleh kebijakan-kebijakan makroekonomi seperti peningkatan upah buruh, redistribusi kemakmuran melalui pajak progresif, hingga stabilisasi harga untuk mengontrol laju inflasi. Kebijakan ekonomi seperti ini memang konsekuen dengan ideologi yang dianut oleh sang ‘bapak rakyat.’  Tetapi, era kebijakan industrialisasi berorientasi impor sudah lewat. Kini eranya neoliberalisme, dimana pasar menjadi panglima. Upah buruh diserahkan kepada mekanisme pasar, anggaran belanja negara untuk barang publik semakin menipis, perusahaan-perusahaan milik negara yang melayani kepentingan publik semakin diprivatisasi. Bagaimana bicara populisme di zaman ‘follow the money not the public’ ini? Bukankah ini tak masuk akal?

Ternyata tidak. Karena neoliberalisme semakin menyengsarakan kehidupan rakyat, maka ledakan-ledakan sosial pun lebih mudah terjadi. Nah untuk meredam terjadinya perlawanan sosial itu,  pemimpin populis kemudian membuat kebijakan-kebijakan mikro-ekonomi pada sektor-sektor tertentu yang tujuannya untuk mengkooptasi dan memoderasi perlawanan rakyat. Kebijakan mikro-ekonomi itu, misalnya, adalah kebijakan bantuan beras untuk rakyat miskin (Raskin) atau kebijakan bantuan langsung tunai (BLT). Setelah mencabut subsidi BBM, maka untuk mencegah munculnya gejolak sosial disuaplah rakyat dengan Raskin dan BLT.

Pada momen ini, populisme pada esensinya untuk memuluskan pelaksanaan kebijakan neoliberal. Inilah yang disebut Neopopulisme.  Dan pada politisi-politisi neopopulis ini kita harus tegas mengatakan: Cukup Sudah!!!***

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.