BARANGKALI berbicara tentang sepakbola tidak ada sangkut pautnya dengan kiri atau gerakan kiri. Jika pun ada, saya terlalu naif untuk bisa menangkapnya. Namun, tulisan ini tergelitik oleh keramaian yang ada di sekitar tempat saya tinggal beberapa hari lalu, tepatnya Rabu 18/9. Keramaian dipicu oleh sukses Timnas Sepakbola Indonesia U-19 menahan imbang Malaysia 1:1, sehingga berhak melaju ke semifinal turnamen Piala AFF U-19. Di sana, Indonesia sudah ditunggu Timor Leste.
Menghadapi kenyataan yang demikian, seorang tetangga, yang baru selesai menyaksikan keberhasilan Indonesia melaju ke semi final berujar, ‘yah, semi finalnya Indonesia ketemu Indonesia juga.’ Karena itu kalimat langsung dalam pembicaraan, saya sebenarnya tak tahu apakah salah satu dari kata Indonesia yang diucapkannya diberi tanda petik ataukah tidak. Jika diberi tanda petik, barangkali kita bisa lebih paham apa yang dimaksudkannya. Tapi ketika itu saya tak terlalu peduli dengan kata-katanya.
Jumat 20/9, hal yang sama kembali terulang. Kali ini bukan oleh tetangga saya namun ke luar dari mulut seorang supir angkot. Saya jadi heran. Apa yang ada dalam kepala kedua orang tersebut yang bisa menganggap pertandingan antara Indonesia vs Timor Leste adalah pertandingan antar sesama Indonesia? Bahkan ketika mampir sebentar di sebuah warung yang dipenuhi pedagang asongan, satpam, tukang parkir yang sedang menyaksikan pertandingan Indonesia vs Timor Leste melalui layar kaca, saya dengar seseorang berkata, ‘sayang ya dulu ga ada yang kita ambil jadi Timnas, pada bagus-bagus mainnya.’ Tentu saja kalimat terakhir itu merujuk pada penampilan tim Timor Leste yang cukup memukau.
Tetap saja saya tak terlalu paham apa yang ada di dalam kepala tiga orang yang saya kutip di atas. Di lain pihak, beberapa berita dari media online yang saya baca, tak ada satu pun menyinggung perihal itu. Komentator sepanjang pertandingan pun, sejauh yang saya amati, tak sekali pun mengutarakannya. Yah. Barangkali sepak bola adalah hiburan paling banal bagi masyarakat kecil dan saya lantas tak bisa seketika paham apa yang mereka pikirkan. Tetapi coba bayangkan apa yang ada di dalam kepala mereka setelah empat belas tahun berlalu? Masih ada sisa-sisa imajinasi kebersamaan, yang ada di kepala mereka Timor Timur adalah bagian dari Indonesia. Sedangkan bagi saya, misalnya, hal itu sudah berlalu. Terlalu banyak informasi dan pengetahuan di kepala saya yang lantas memisahkan secara tegas kedua negara tersebut. Maka, saya lantas punya asumsi demikian; andaikan saja ketiga orang tersebut kira-kira hanya tamat SMP dan selanjutnya tak pernah lagi mendapatkan pendidikan politik atau apa pun lainnya. Dari ‘pengatahuan sekolahannya’ Indonesia terdiri dari sekian provinsi dengan provinsi termuda adalah Timor Timur. Dan pendidikan pada tingkat tersebut saudara, ternyata mencengkram kesadaran begitu rupa.
Namun demikian, dalam sepakbola kita akan menemukan gerombolan manusia dengan animo menonton dan solidaritas yang kuat terhadap tim pujaannya. Bahkan, barangkali, demi menonton tim kesayangannya berlaga, beberapa hal yang lain terasa perlu ditunda. Bolehlah beberapa pemikir melabeli sepakbola sebagai agama modern atau, dan ini memang benar, pada sepakbola-lah perdagangan manusia yang kasat mata masih terlihat. Namun terlepas dari itu, pada sepak bola barangkali mereka yang menontonnya membagikan kepenatan hidup.
Berbicara tentang Timnas sepakbola sebuah bangsa dan prestasi serta pencapaiannya, kita tentu saja berbicara juga tentang sebuah indikasi kapasitas dan kemampuan sebuah bangsa memanajemen peri kehidupannya. Atau sejauh mana sebuah bangsa berpikir tentang kebanggan diri dan kualitas bangsanya yang perlu ditunjukan pada bangsa lain. Memang, bukan hanya di ranah olahraga hal itu hendak ditunjukkan; hal yang sama berlaku juga dalam hal pencapaian-pencapaian keilmuan.
Sejak digulirkannya Piala AFF tahun 2002, Indonesia baru akan melaju ke final pada tahun ini. Coba bandingkan dengan Timor Leste yang baru dua kali mengikuti turnamen ini dan pada tahun keduanya berhasil melaju ke Semi Final. Indonesia memang terkenal dengan kemampuannya mengerosikan bakat dan kemampuan manusia. Lihat saja cabang-cabang olahraga yang kita yang pernah berprestasi. Lama kelamaan mulai menurun dan lantas bisa saja hilang dan tinggal kenangan dan kebanggan pada masa lalu yang entah. Padahal, kebanggaan akan Indonesia pernah diejawantahkan oleh Soekarno melalui cabang ini. Televisi pertama kali muncul di Indonesia bahkan dalam rangka perhelaan di bidang olahraga.
Bukan saja di ranah olahraga, ranah lain pun demikian. Contoh kecil bisa diajukan; Sinematek yang adalah pusat dokumentasi pertama di Asia Tenggara lambat laun tak terawat. Manajemen SDM barangkali memang bukan bakat bangsa ini. Timnas U-19 yang berhasil mengalahkan Timor Leste tadi, apakah beberapa tahun lagi masih sanggup mengalahkan mereka?
Bangsa ini masih memanfaatkan manusia seperti sapi perah. Ketika tahu seseorang punya potensi tertentu, dieksploitasilah potensi itu tanpa sedikit pun berpikir untuk mengakomodasi untuk mengembangkan lebih jauh potensi tersebut. Analogi gampangnya, secara tak sadar bangsa ini masih mempraktikkan ladang berpindah-pindah dari pada ladang yang menetap. Ketika potensi tersebut habis dan sadar tak ada gantinya, barulah kita mulai bernostalgia dan berlari ke masa lalu yang gemilang.
Barangkali bukan sekadar negara yang melakukan itu. Kita semua pun melakukan hal tersebut dalam lingkup yang berbeda-beda. Dan hari minggu ini, Timnas U-19 kita akan menghadapi Vietnam di final AFF U-19. Saya pribadi berharap ada sedikit cerita manis dalam kehidupan bangsa ini, walau pun sekadar sesaat dan menipu, di tengah segala carut marut berita di sekitar kita; mobil murah untuk rakyat, terancam kehilangan pekerjaan untuk beribu-ribu tenaga honorer, gorengan tempe yang semakin kurus, dan lain sebagainya dan lain sebagainya.***