Situasi ekonomi yang kian sulit di masa datang akan menempatkan buruh pada posisi tawar yang kian rendah. UUK dan revisinya akan jadi aturan normatif yang mengikat buruh bertahun-tahun ke depan. Karena itu kalangan serikat pekerja secara kolektif perlu menyetujui batas menimum kompromi yang dapat ditoleransi, terutama hal prinsip semacam sistem kontrak, outsourcing, upah dan besarnya pesangon (Dita Indah Sari, Kompas, 12 April 2006)
MENGAMATI fenomena yang terjadi, sering membuat kita lupa, sebenarnya telah terjadi penyimpangan isu yang cukup esensial pada pemaknaan kita terhadap realitas. Bahkan Dita Sari, aktivis buruh yang dikenal sebagai aktivis buruh ‘kiri,’ melakukan pe’maaf’an terhadap situasi ekonomi yang sulit. Sebuah sikap yang membuat gerakan sosial terjebak kompromi dengan sistem yang tengah berlangsung.
Kadang kita alpa bahwa sebentuk kesadaran palsu telah dibangun, yang menyebabkan kita luput untuk memeriksa kembali dan mencoba sedikit mundur guna melihat apa yang sesungguhnya tengah berlangsung.
Dalam keramaian penolakan terhadap revisi UUK 13 ini, hal yang paling mengemuka selain masalah kesejahteraan seperti upah dan pesangon, adalah fleksibilisasi kerja. Dalam berbagai tulisan para ekonom, bahkan pernyataan dari pemerintah sendiri, dikatakan bahwa fleksibilisasi kerja merupakan upaya mendorong investasi agar lebih bergairah. Kebenaran akan pernyataan ini secara konseptual haruslah dipertanyakan. Beberapa asumsi paradoks terhadap fleksibilisasi ini telah diungkap dengan jelas dan lugas oleh kawan Martin Manurung (lihat artikelnya di sini).
Melalui artikel singkat ini, saya ingin mengajak kita semua untuk merefleksi kembali latarbelakang munculnya konsep fleksibilisasi kerja ini. Kembali ke akar masalah adalah posisi yang mutlak, agar kita tidak terjebak pada perdebatan yang melulu teknis. Dari sana, saya ingin menunjukkan mengapa konsep ini harus ditolak.
Bila dulu kepemilikan orang atas tenaga kerja orang lain disebabkan oleh penundukkan dan penaklukan, kini kepemilikan itu dilegalisasi oleh keberadaan uang sebagai alat tukar yang melahirkan adanya kerja upahan. Secara singkat bisa dikatakan, fleksibilisasi kerja muncul akibat berlakunya konsep kerja upahan. Sejalan dengan lahirnya industrialisasi, manusia menjual tenaga kerjanya kepada seseorang yang membutuhkan kerja-nya: di pabrik, bank, supermarket, LSM, dan lain sebagainya. Dalam hubungan ekonomi kapitalis ini, orang ataupun sekelompok orang bisa membeli tenaga kerja orang lain.
Secara historis alasan mengapa kebanyakan kita bekerja untuk orang lain, karena kita memiliki pilihan yang terbatas. Kapitalisme dengan karakternya yang mencari laba akan terus mencari lingkungan yang produktif, lebih kompetitif, dan area yang lebih luas untuk terus beroperasi. Itu sebabnya, kapitalisme haruslah dilihat sebagai penyebab segala masalah yang muncul saat ini. Beberapa tulisan yang muncul menyatakan, penyebab mandegnya investasi bukanlah masalah perburuhan, melainkan masalah korupnya birokrasi, pungli dan lain sebagainya. Alasan ini mau menyatakan, ‘state’ merupakan penghalang investasi. Tapi, menurut saya, alasan ini hanya mencari kambing hitam dari masalah yang sebenarnya. Dan bila kita kritis, jelas alasan ini sejalan dengan agenda dari lembaga-lembaga internasional yang ingin memangkas peran negara sebagai regulator.
Fenomena fleksibilisasi kerja dengan outsourcing, subkontrak, PKWTT dan lain sebagainya, haruslah dimaknai bahwa banyak orang juga telah kehilangan makna akan ‘kerja’ yang sesungguhnya yakni, sebagai sebuah kegiatan subsisten ataupun kegiatan berkarya. Kapitalisme dengan bentuk terbarunya neoliberalisme, telah menggiring aktivitas kerja sebagai kegiatan dehumanisasi: menjadikan manusia sebagai komoditas. Bila pada tulisan Sylvia Tiwon (baca di sini), kita baca perempuan bisa merupakan komoditas, dalam hal perburuhan pun buruh telah menjadi komoditas yang dipaksa bersaing dengan komoditas lainnya.
Dengan meletakkan akar konsep fleksibilasai kerja ini, pada kerja upahan, menurut saya, tuntutan yang seharusnya diperjuangkan adalah mengembalikan proses produksi kepada buruh sebagai ‘creator.’ Intinya, buruh harus mengontrol alat-alat produksi. Dengan sendirinya, bentuk-bentuk komodifikasi rakyat pekerja yang sedang dilakukan pada pasar kerja saat ini, haruslah ditolak. Kontrol buruh terhadap produksi akan kembali me’manusia’kan buruh, dan jelas konsep seperti itu tidak bisa berjalan selama sistem yang sekarang ini (dengan logika akumulasi modalnya) masih eksis.
Selama ini solusi yang ditawarkan dari kalangan akademisi, LSM, maupun pemerintah sendiri, hanyalah bagaimana menyiasati agar kapitalisme tetap eksis. Kita akhirnya terjebak pada penelitian maupun kajian yang tujuannya agar manusia bisa nyaman dalam sistem seperti ini. Ini jelas sesuatu yang anomali sifatnya, karena kapitalismelah yang menghancurkan harkat manusia, menjadikannya sekadar komoditi.
Saya sendiri belum bisa memberikan solusi yang tokcer, tentang bagaimana cara membebaskan diri dari kungkungan kapitalisme ini. Tapi sikap saya jelas, penolakan terhadap kapitalisme neoliberal yang berarti juga penolakan atas segala konsekuensinya, merupakan posisi yang harus terus diingatkan, bahkan terhadap diri saya sendiri. Dan jelas upaya yang harus dilakukan sekarang adalah memperkuat pengorganisasian rakyat di segala level. Pengorganisasian ini bukan untuk kepentingan sesaat seperti aksi-aksi massa, ataupun Pemilu sekalipun. Dalam pandangan saya, pengorganisasian buruh harus diarahkan untuk penguatan organisasi, agar selanjutnya bisa menanggung beban untuk merebut alat produksi.***
Ika Wahyu Priaryani, alumni Fisip Universitas Indonesia