Foto: demonstrasi staf universitas di Inggris (Christopher Furlong/Getty Images)
BERSAMAAN dengan momentum bulan kemerdekaan Indonesia, pekerja dari berbagai perguruan tinggi negeri dan swasta mendeklarasikan pembentukan Serikat Pekerja Kampus (SPK) pada 17 Agustus 2023 lalu di Universitas Indonesia, Salemba. Serikat ini bertujuan mewakili kepentingan pekerja di sektor pendidikan tinggi, terutama dalam memperjuangkan lingkungan kerja yang baik dan adil (fair work) serta meningkatkan standar kesejahteraan.
SPK lahir sebagai respons atas berbagai masalah yang dihadapi pekerja di lingkungan institusi akademik, di antaranya adalah upah di bawah standar minimum, hubungan kerja tidak pasti, beban kerja berlebihan dan berbagai pelanggaran hak pekerja lainnya, serta pelanggaran atas kebebasan akademik.
Masalah-masalah ini tidak hanya terjadi di Indonesia, melainkan juga di negara-negara maju, termasuk Australia. Satu hal yang membedakan adalah pekerja di sejumlah negara maju telah memiliki serikat pekerja yang relatif kuat untuk memperjuangkan kepentingan mereka.
Kehadiran SPK memunculkan berbagai pertanyaan lebih lanjut mengenai reformasi pendidikan tinggi di Indonesia. Sejauh apa serikat ini dapat membawa perubahan dalam pengelolaan universitas? Apa saja tantangan yang mereka hadapi untuk memperjuangan kepentingan pekerja kampus?
Kami berpendapat bahwa tantangan terbesar yang dihadapi serikat, termasuk SPK, lebih bersifat internal ketimbang eksternal. Ancaman pemberangusan serikat (union busting) akan selalu ada dalam masyarakat kapitalis. Persoalannya, sejauh apa sebuah serikat mampu mengonsolidasikan kekuatan dirinya menghadapi ancaman-ancaman itu untuk melindungi kepentingan para pekerja dan anggotanya secara khusus.
Kontrol negara dan pasar
Tradisi berserikat di Indonesia sangat lemah, terutama pasca peristiwa 1965 yang membuat gerakan pekerja cenderung diasosiasikan dengan komunisme.
Sementara itu, liberalisasi dalam pengelolaan pendidikan tinggi terus meningkatkan kerentanan status kerja, di antaranya melalui kasualisasi tenaga kerja melalui sistem kontrak dan alih daya. Di sisi lain, pengelolaan universitas masih berada di bawah kendali kekuasaan negara, nyaris tak berbeda dengan keadaan di masa Orde Baru. Hasilnya, perguruan tinggi di Indonesia cenderung bekerja sebagai penyokong ekonomi pasar, namun menguntungkan kepentingan elite-elite predatoris.
Warisan Orde Baru memang telah menciptakan medan yang berat bagi pekerja kampus untuk berserikat. Kondisi ini juga diperburuk dengan tingkat kesejahteraan yang rendah dan status pekerjaan yang tidak menentu. Sebagai contoh, gaji dosen di jenjang jabatan asisten ahli berada di bawah Upah Minimum Provinsi Jakarta. Pekerja lepas dan kontrak merupakan kelompok yang paling tidak aman karena lingkup pekerjaan dan kompensasi yang diterima sering kali tidak jelas.
Keberadaan serikat pekerja perguruan tinggi sebenarnya bukan hal baru di Indonesia pasca-Reformasi. Organisasi-organisasi yang dibentuk untuk merespons masalah hubungan kerja di institusi kampus, misalnya Paguyuban Pekerja Universitas Indonesia, Serikat Dosen Indonesia dan Serikat Dosen dan Karyawan Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta. Akan tetapi, pembentukan serikat-serikat ini tidak ditopang oleh kepemimpinan yang efektif serta pengelolaan dan disiplin organisasi yang kuat. Ini semua pada akhirnya membuat mereka cenderung mati suri.
Kondisi pasca Reformasi yang memungkinkan pekerja untuk membentuk serikat sebenarnya membuat kendala-kendala sosial dan politik telah cukup berkurang. Oleh sebab itu, tantangan paling besar yang dihadapi serikat justru ada pada tren NGO-isasi serta kelemahan internal terkait kapasitas dan disiplin organisasi. Kami berpendapat gerakan sosial yang semakin terbawa ke dalam bentuk kerja-kerja NGO (non-governmental organisation atau organisasi non-pemerintah) telah menghasilkan kerusakan serius bagi gerakan. Yang kini makin tampak, gerakan sosial sulit menjadi kekuatan politik alternatif yang solid dalam menghadapi status quo. Akibatnya, kepentingan anti-demokratis justru semakin menguat seperti yang dapat kita amati dalam beberapa tahun belakangan.
Tendensi NGO-isasi
Absennya politik kiri sejak pembantaian komunis tahun 1965/66 membuat gerakan sosial didominasi oleh NGO. Secara historis, kemunculan NGO juga merupakan produk dari proyek-proyek bantuan pembangunan kepada negara-negara berkembang pasca-Perang Dingin.
Proyek ini dibangun di atas asumsi bahwa keberadaan NGO penting untuk membawa perubahan struktural dan demokratisasi. Pada kenyataannya berbagai NGO memang telah berperan penting dalam mempromosikan hak-hak asasi manusia dan keadilan sosial, akan tetapi setidaknya ada dua alasan mengapa gerakan sosial dalam bentuk NGO masih cukup sulit membawa perubahan yang signifikan.
Pertama, pendekatan yang digunakan oleh NGO cenderung bersifat apolitis. Artinya, NGO lebih berfokus pada upaya mendorong perubahan teknokratis yang hanya tampak di permukaan. Institusi-institusi baru memang telah terbentuk, tapi struktur kekuasaan yang melandasi bekerjanya institusi itu cenderung diabaikan. Kondisi ini bisa dilihat dari model advokasi NGO yang umumnya berbentuk intervensi kebijakan, lobi dan infiltrasi politik.
Kedua, NGO kurang memprioritaskan upaya membangun basis massa akar rumput yang kuat, termasuk yang berkaitan dengan kemandirian finansial. Kerja-kerja NGO cenderung berbasis pada dukungan finansial dari donor internasional. Akibatnya, struktur kepemimpinan dan pengelolaan organisasi NGO cenderung bergantung pada dan dikendalikan oleh donor, ketimbang bersandar pada kekuatan basis massa kolektif.
Bertolak dari situasi di atas, keberhasilan SPK dalam memperjuangkan kepentingan pekerja kampus sangat bergantung pada sejauh apa ia mampu melampaui kecenderungan NGO-isasi gerakan.
Tentu saja kita tidak bisa mengabaikan keberhasilan advokasi yang telah dilakukan dengan model kerja NGO, meski sangat terbatas. Sebagai contoh, Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) merupakan organisasi yang sangat berpengaruh dalam memperjuangkan kebebasan akademik. Melalui koalisi yang cukup kuat dengan organisasi masyarakat sipil lainnya, aktivisme KIKA telah berkontribusi dalam advokasi berbagai isu penting seperti pelanggaran hak asasi manusia, kasus-kasus kekerasan seksual di kampus serta konflik agraria dan lingkungan hidup.
Advokasi yang dilakukan koalisi masyarakat sipil sangat penting untuk membentuk opini publik atas masalah-masalah yang ada. Akan tetapi, kemampuan NGO untuk mengimbangi kekuatan politik yang dominan dan menentukan masih sangat terbatas. Keterbatasan ini yang kemudian telah diafirmasi oleh KIKA yang telah aktif menggagas dan berkontribusi dalam pembentukan SPK.
IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.
Beranjak dari NGO
Pembentukan SPK adalah upaya penting untuk menciptakan kondisi yang lebih baik bagi pekerja perguruan tinggi di Indonesia. Namun jika SPK hendak mengatasi masalah yang sebelumnya dihadapi oleh NGO, maka serikat ini perlu fokus pada upaya penguatan internal dan disiplin organisasi serta dukungan akar rumput.
Untuk melakukan hal ini, SPK perlu merumuskan strategi yang bersifat dua arah yang dapat mengatasi birokratisasi universitas akibat intervensi kuat dari pemerintah, dan kasualisasi tenaga kerja yang meningkat akibat model bisnis pendidikan tinggi di era neoliberal.
Hal ini juga berarti bahwa SPK perlu secara cermat merumuskan tujuan utama organisasi dan menerjemahkannya secara praktis ke dalam agenda-agenda jangka panjang dan pendek.
Tujuan “menciptakan kondisi kerja adil dan layak” bagi para anggota serikat, misalnya, adalah hal yang abstrak dan memerlukan artikulasi lebih lanjut. SPK menghadapi tantangan untuk menerjemahkan tujuan-tujuan abstrak ini dalam konteks hubungan industrial yang kompleks yang melibatkan berbagai jenis institusi pendidikan tinggi, mulai dari universitas swasta hingga negeri, di bawah Kementerian Pendidikan dan Kementerian Agama.
Yang terpenting dalam proses ini adalah SPK perlu beralih dari metode aktivisme akademisi yang konvensional yang merespons masalah dengan mengandalkan pernyataan publik, negosiasi yang tidak setara dan lobi-lobi yang sporadis.
Sebagai serikat pekerja, alat utama untuk menunjukkan kekuatan adalah melalui aksi industrial, seperti blokade, pemogokan dan disrupsi terhadap proses kerja. Hal ini hanya mungkin dilakukan apabila SPK mempunyai basis sosial yang kuat. Tanpa basis organisasi yang kokoh, SPK hanya akan mengulang kegagalan serikat pekerja yang telah ada sebelumnya atau hanya akan menjadi NGO pada umumnya.
Rafiqa Qurrata A’yun dan Abdil Mughis Mudhoffir adalah anggota Serikat Pekerja Kampus. Mereka menerjemahkan artikel ini, yang berasal dari artikel berbahasa Inggris karya keduanya untuk Indonesia at Melbourne pada 1 September 2023, dengan sejumlah penyuntingan. Penerjemahan dan penerbitan di IndoProgress seizin penulis dan penerbit.