RUU Sisdiknas Tetap Mempersulit Akses ke Pendidikan Tinggi

Print Friendly, PDF & Email

Ilustrasi: Getty Images via Today.com


TUNTUTAN pekerjaan di pasar global sekarang membutuhkan orang yang mengenyam bangku pendidikan dan dengan berbagai keterampilan. Kondisi ini membuat lulusan perguruan tinggi lebih diminati oleh perusahaan besar (Handayani, 2015). Namun, data Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) pada tahun 2022 menunjukkan jumlah penduduk di Indonesia yang sudah mengenyam pendidikan tinggi hanya 6,41%.

Salah satu faktor eksternal tidak melanjutkan kuliah ialah persoalan biaya. Hal ini tidak lepas dari praktik liberalisasi. Pendidikan dibebaskan sebagai tanggung jawab negara dan diserahkan kepada pasar. Negara hanya sebagai fasilitator dengan regulasinya. Swasta memiliki tujuan profit dan pendidikan bagi mereka sekadar barang dagangan. Bahkan Perguruan Tinggi Negeri-Badan Hukum (PTN-BH) juga perlahan meniadakan keterlibatan negara dalam pembiayaan (Rizky, 2020). Akhirnya, pendidikan tidak menjadi hak yang seharusnya bisa dinikmati oleh semua masyarakat.

Rancangan Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) yang terakhir dipublikasikan pada Agustus 2022, dikeluarkan dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2023 tapi mungkin masuk lagi tahun depan, tak menyelesaikan masalah. Darmaningtyas, aktivis pendidikan dari Tamansiswa, menilai RUU Sisdiknas segregatif, komersial, liberal, dan etatis. RUU Sisdiknas justru semakin kental konsep liberalisasi–yang sudah muncul sejak rezim Orde Baru.


Latar kemunculan liberalisasi pendidikan 

Liberalisasi berarti menghapus peran negara untuk memperlancar perdagangan walaupun pada akhirnya mengorbankan kesejahteraan sosial. Liberalisasi diatur dalam Washington Consensus yang memuat 10 resep kebijakan ekonomi, yaitu:

  1. Disiplin fiskal
  2. Penataan kembali prioritas pengeluaran publik
  3. Reformasi pajak
  4. Liberalisasi suku bunga 
  5. Nilai tukar yang kompetitif
  6. Liberalisasi perdagangan
  7. Liberalisasi investasi asing langsung masuk ke dalam 
  8. Privatisasi
  9. Deregulasi 
  10. Perlindungan hak milik

Sepuluh poin tersebut bisa dikategorikan lagi ke dalam tiga asas dasar, yaitu deregulasi, privatisasi, dan liberalisasi. Poin-poin tersebut pada akhirnya menyebabkan pasar terbuka seluas-luasnya dan bergerak sebebas-bebasnya, termasuk di sektor pendidikan. Konsensus ini ditawarkan sebagai obat penyembuh bagi Indonesia yang mengalami krisis moneter sejak tahun 1997 oleh International Monetary Fund (IMF).

Selain itu, Indonesia juga bergabung dengan World Trade Organization (WTO) pada tahun 1995 sehingga harus menandatangani General Agreement on Trade in Service (GATS). Implementasi GATS adalah meliberalisasi sejumlah sektor jasa, termasuk pendidikan.

Tapi Orde Baru sudah mulai melepaskan tanggung jawab negara terhadap pendidikan jauh sebelum dua peristiwa di atas. Dalam UU No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, disebutkan bahwa pendidikan tidak hanya tanggung jawab negara, tapi juga peserta didik atau keluarganya. 


Sejarah ongkos perguruan tinggi

Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa setiap warga berhak mendapatkan pendidikan. Tidak heran jika di era awal masa kemerdekaan, kebijakannya adalah pendidikan tidak dipungut biaya. Sejak tahun 1950, pemerintah membuat program wajib belajar yang bebas dari pungutan dari SMP, SMA, universitas, dan sekolah calon guru. Bahkan dibangun perumahan untuk dosen dan asrama bagi mahasiswa. Para mahasiswa diberikan akses pendidikan gratis apabila mau bekerja pada pemerintah atau perusahaan yang ditunjuk selama tiga tahun berturut-turut, yang diatur melalui UU No. 8 tahun 1961 tentang Wajib Kerja Sarjana dan Peraturan Pemerintah (PP) tentang Dewan Penempatan Sarjana.

Di era Soekarno memang pendidikan tidak sepenuhnya gratis karena masih ada syarat harus mengabdi. Namun hal tersebut menjadi tahap awal yang bagus bagi negara baru merdeka dan memiliki masalah dari segi ekonomi dan politik.

Pergantian kekuasaan tidak hanya ditandai dengan pembantaian terhadap gerakan kiri namun juga kebijakan yang berpihak kepada masyarakat. Di tahun 1968, Soeharto mencabut seluruh PP yang dikeluarkan Soekarno. Akibatnya, subsidi di sektor pendidikan mulai berkurang. Soeharto juga membebani masyarakat dengan biaya belajar lewat Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) melalui UU No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Soeharto hanya tidak membuat masyarakat bertanggung jawab atas biaya pendidikan, namun juga mengubah pendidikan menjadi komoditas dagang karena menyetujui GATS dari WTO.

Soeharto, singkatnya, menghancurkan fondasi kebijakan biaya pendidikan yang berpihak kepada rakyat.

Lengsernya Soeharto tidak menyelesaikan masalah tingginya biaya perguruan tinggi. Di era ini muncul uang pangkal yang dikelola secara otonom untuk pengembangan kampus. Hal ini membuat adanya dua biaya yang harus dibayarkan oleh mahasiswa, yaitu SPP dan uang pangkal. Ada juga pungutan lain seperti biaya KKN, wisuda, dan sebagainya. Akhirnya, pada tahun 2013, dikenalkan sistem Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang membuat uang pangkal, SPP, dan pungutan lainnya menjadi satu. Namun, dalam perkembangannya, melalui permendikbud ataupun permenristek yang dikeluarkan berkali kali dari tahun 2013-2022, pungutan seperti uang pangkal dan biaya praktik dilonggarkan kembali. Bahkan “jalur mandiri” yang dikenal sebagai jalur mahal diperbolehkan menerima sampai 50% dari total kuota.

Dari uraian singkat ini dapat dilihat bagaimana perkembangan kebijakan akses pendidikan, dari yang awalnya cenderung terjangkau lalu dihancurkan dan bertahan sampai sekarang. Bersamaan dengan itu, sudah banyak gerakan yang menolak liberalisasi pendidikan. Namun, tuntutan tidak didengarkan dan negara justru ingin mengeluarkan UU Sisdiknas baru yang masih mencerminkan kebijakan lepas tanggung jawab.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


Lepasnya tanggung jawab negara

Berikut beberapa garis besar mengapa RUU Sisdiknas tetap saja bermasalah.

Biaya Pendidikan. Negara semestinya memiliki tanggung jawab besar untuk mengalokasikan dana yang cukup pendidikan. Dalam pasal 8 RUU Sisdiknas (versi terakhir, Agustus 2022), diamanatkan minimal 20% APBN untuk kebutuhan biaya pendidikan. Sementara pasal 5 menjelaskan bahwa pendidikan bersifat inklusif, artinya siapa pun bisa mengakses pendidikan. Dalam Naskah Akademik RUU Sisdiknas, disebutkan bahwa prinsip inklusif sejalan dengan prinsip UNESCO, yaitu tidak memandang gender, kondisi fisik, dan anak dalam kondisi rentan. Inklusif yang dimaksud tidak termasuk inklusivitas dalam hal ekonomi. Negara seolah melindungi hak asasi masyarakat, namun tidak dalam hal ekonomi di pendidikan. Masyarakat diberikan tanggung jawab menanggung biaya pendidikan.

Berkali-kali disebut bahwa masyarakat juga bertanggung jawab atas pendidikan, dan di antaranya eksplisit dalam hal pendanaan. Hal tersebut tertuang dalam:

  1. Pasal 13
  2. Pasal 14, ayat 1 & 2
  3. Pasal 16
  4. Pasal 58
  5. Pasal 61, ayat 1
  6. Pasal 106, ayat 2

Pasal-pasal tersebut membolehkan negara atau institusi pendidikan melemparkan tanggung jawab pembiayaan (biaya masuk maupun pengembangan universitas) ke masyarakat.

Orang tua ataupun individu yang ingin melanjutkan pendidikan terutama ke perguruan tinggi baik itu negeri mapun swasta harus mengeluarkan uang baik melalui UKT, SPP, uang pangkal, dan uang tambahan yang dikeluarkan saat mengembangkan pengetahuan baik melalui praktikum, magang, penelitian, seminar, dan sebagainya. Akibatnya tidak semua masyarakat bisa mengakses pendidikan terutama pendidikan tinggi karena faktor ekonomi. Ini semua membuktikan “inklusif” yang dimaksud di RUU Sisdiknas tidak mengikut sertakan aspek ekonomi.

Pelaksanaan Institusi Pendidikan. Negara tidak hanya melepaskan tanggung jawab terhadap biaya pendidikan, namun juga penyelenggaraan institusi pendidikan itu sendiri dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Hal ini sejalan dengan GATS yang membuat pendidikan menjadi salah satu sektor yang diperjualbelikan secara bebas. Tentu saja konsekuensinya adalah, biaya pendidikan yang ditentukan oleh swasta baik individu ataupun organisasi berbadan hukum lebih mahal (Leonard, Meek, & Rose, 1960).

Banyak sekali pasal di RUU Sisdiknas yang menjelaskan bahwa masyarakat baik melalui individu maupun organisasi berbadan hukum bisa membuat institusi pendidikan, yaitu:

  1. Pasal 15, ayat 1
  2. Pasal 22, ayat 1 & 2
  3. Pasal 40, ayat 1 & 6
  4. Pasal 48, ayat 1 & 2
  5. Pasal 65, ayat 2
  6. Pasal 68, ayat 3

Walau dalam pembangunan institusi pendidikan diharuskan dengan prinsip nirlaba, termasuk yang swasta, namun yang terjadi tetap saja biaya pendidikan yang ditetapkan mereka lebih mahal karena harus mencari sendiri. Uang dari peserta didik menjadi tumpuan utama. 

PTN menjadi PTN-BH. Liberalisasi dimulai ketika pendidikan tinggi didesentralisasi melalui sistem Badan Hukum Milik Negara (BHMN). BHMN pada praktiknya memberatkan masyarakat. Sistem BHMN tidak berpihak kepada keluarga yang tidak mampu karena biaya pendidikan menjadi lebih tinggi. Sebabnya adalah pemerintah mengurangi subsidi ke perguruan tinggi yang memiliki status tersebut. Ini adalah langkah awal komersialisasi institusi pendidikan (Welch, 2006).

Perguruan Tinggi BHMN akhirnya berubah menjadi PTN-BH melalui Undang-Undang No. 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Spirit lepasnya tanggung jawab negara terhadap pendidikan semakin kuat melalui transformasi ini. Hal tersebut sangat terlihat di “jalur mandiri”, di mana kuotanya bisa mencapai 50%, diatur lewat Permendikbud No. 48 tahun 2022. Jalur mandiri dikenal sebagai jalur yang hanya bisa diakses oleh orang dengan ekonomi tinggi karena mengharuskan pembayaran uang pangkal serta UKT yang lebih tinggi dibandingkan jalur lain, yaitu SNBP (undangan) dan SNBT (tes).

Tidak semua PTN di Indonesia adalah PTN-BH. Namun, Pasal 141 RUU Sisdiknas mengatur agar seluruh PTN menjadi PTN-BH. Akibatnya, kampus akan lebih sering dan banyak mencari dana sendiri. Maka uang kuliah akan semakin mahal, jalur mandiri semakin dibuka lebar, dan seterusnya. 


Penutup

Pendidikan adalah aspek yang penting bagi kehidupan masyarakat, namun negara semakin lepas tanggung jawab, dan yang terkini melalui RUU Sisdiknas. Liberalisasi pendidikan ini pun tidak lepas dari pengaruh global dengan kebijakan GATS di WTO, di mana Indonesia tergabung sebagai anggota. 

Ketika negara lepas tangan atau liberalisasi pendidikan terus dijalankan, konsekuensinya adalah dikorbankannya kesejahteraan sosial. Masyarakat dengan ekonomi lemah akan sangat terdampak karena biaya pendidikan semakin mahal. Mereka tidak bisa mengenyam pendidikan seperti masyarakat ekonomi menengah ke atas, yang juga mengakibatkan ketimpangan semakin tinggi. Orang-orang yang tetap dapat berkuliah meski kurang mampu mungkin akan bekerja demi tetap melanjutkan studi, tapi tentu waktu untuk belajar dan istirahat berkurang.


Muhammad Aminullah Thohir adalah mahasiswa Magister Sosiologi, Universitas Gadjah Mada.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.