Gerakan Pekerja Harus Bisa Belajar dari Mana Saja, Termasuk Waralaba Mixue

Print Friendly, PDF & Email

Ilustrasi: Pixabay


DI AKHIR 2022 dan awal 2023 ini ada gejala menarik yang cukup menyita perhatian. Bukan, bukan lato-lato meski memang sama-sama viral. Saya baru tersadar bahwa ketenaran Alfamart dan Indomaret mulai tersaingi oleh waralaba bernama Mixue. Waralaba asal Henan Cina yang menyajikan minuman teh dan es krim sejak 1997 ini cukup menarik untuk dibicarakan. Apa yang membuat Mixue menarik? Bagi saya bukan menunya, tapi keberadaannya yang mengisi hampir setiap bangunan kosong, khususnya di ibu kota dan sekitarnya. Mengapa Mixue sampai bisa meramaikan Google Maps tingkat kecamatan, bahkan kelurahan? 

Sebenarnya pertanyaan di atas tidak penting-penting amat, tapi fenomena Mixue mengingatkan kepada fondasi masyarakat hari ini, kapitalisme. Kenapa? Karena berkat kapitalismelah benda-benda atau hal ihwal dapat hadir buat Anda bahkan sebelum Anda membayangkannya. Coba saja ke Indomaret untuk ambil uang di ATM. Setelah lewat lemari es krim, kok kita jadi ngiler lihat Paddle Pop Rainbow. Ambil satu deh, lumayan. Pas lewat rak sebelah kasir, wah, ada Whiskas. Beli satu deh buat street feeding sambil joging besok. Alhasil, yang awalnya ambil uang 50 ribu, keluar Indomaret sisa 40 ribu. Eh, iya, harus bayar parkir juga jadi tinggal 38 ribu deh. Tujuan awalnya ambil uang, eh malah jadi menghabiskan uang. Anda sering begitu? Tenang, saya pun sama.

Ada benarnya kalimat bab pertama buku tebal Das Kapital: bahwa kemakmuran masyarakat di mana cara produksi kapitalis dominan tercermin dari adanya timbunan banyak komoditas. Begitu mudahnya mengenal corak produksi ini dibanding dengan corak-corak produksi lain yang ada sebelumnya. Dari mana asalnya barang-barang itu? Tentu saja dari pabrik, dan sudah pasti bukan muncul karena simsalabim melainkan ada yang membuatnya. Siapa? Betul sekali: para pekerja yang mencurahkan tenaganya dalam jangka waktu tertentu, menggunakan alat-alat tertentu, lalu mengolah benda mentah yang disediakan oleh alam menjadi komoditas yang bisa dikonsumsi. 

Selain komoditas, tenaga kerja dan alat-alat produksi, tentu saja ada para pemilik modal atau kapitalis. Merekalah pemilik pabrik yang punya uang banyak untuk berinvestasi membeli alat-alat produksi dan tenaga kerja. Dari sinilah relasi produksi masyarakat kita hari ini bergerak dan proses penciptaan serta penumpukan kekayaan khas kapitalisme bekerja. Mulai dari akumulasi primitif, eksploitasi, nilai lebih, akumulasi kapital dan lain sebagainya. 

Satu hal yang mesti kita ingat adalah, di dunia nyata, masing-masing pemilik modal tidak memiliki satu kegiatan usaha saja namun banyak jumlahnya dan beragam. Jutaan pemilik modal memiliki jutaan perusahaan atau pabrik. Didukung dengan sistem logistik dan komunikasi modern, barang-barang tak hanya berdiri di rak toko atau etalase aplikasi, bahkan muncul di dalam pikiran ketika kita sedang memerlukannya atau saat melamun.

Misalnya ada tiga perusahaan pasta gigi dalam satu wilayah. Sudah tentu ada tiga merek pasta gigi di pasar atau rak toko swalayan setempat. Bisa dibayangkan kalau ada 10 perusahaan dengan 10 merek berbeda. Belum lagi ada perusahaan produsen sikat gigi, sabun mandi, sabun cuci tangan, sampo dan lain-lain. Ini baru peralatan mandi. Belum lagi yang lebih spesifik seperti khusus anak bayi, balita, perempuan, laki-laki, lansia, hewan peliharaan dan sebagainya. Ini saja baru untuk mandi, belum lagi peralatan hidup sehari-hari–dari peralatan masak hingga ibadah. Silakan Anda bayangkan.

Setidaknya inilah yang bisa kita pahami sementara: bahwa mode produksi kapitalismelah yang memungkinkan barang-barang atau komoditas tersedia melimpah di sekitar kita. Mulai dari kebutuhan hidup hingga yang hanya sekadar keinginan kita semua sudah tersedia, dari garam dapur hingga garam Himalaya, dari gula pasir hingga Mixue. Dari sinilah kita bisa mengetahui apa yang menjadi pendukung utama menjamurnya Mixue di ibu kota.

Pertama, Mixue bukan sekadar warung berdagang takjil yang membuat kolak atau biji salak untuk sehari saja, tapi ia berbasiskan aktivitas industri yang terstruktur dan terencana. Hal dibuktikan dari pendirian tim riset dan pengembangan beserta pabrik bahan mentahnya pada 2012. Lalu pada 2014, mereka pun membangun gudang dan sistem logistik sendiri sehingga rantai produksi semakin mumpuni. Tentu saja implikasinya yaitu besaran ongkos yang berhasil ditekan, sehingga Mixue dapat menjual es krim dengan lebih murah ketimbang pesaingnya. Dengan menguasai bahan baku, tentu saja berjualan tak perlu ragu. Inilah kuncinya.

Kedua, dengan didukung industri modern dan logistik yang efisien, mereka sanggup membuat produk dengan harga murah. Hal ini adalah gejala umum yang dikenal dengan nama skala ekonomi atau kondisi menurunnya biaya pembuatan per unit pada satu perusahaan ketika meningkatkan volume produksi. Misalkan Mixue menyiapkan modal 1 juta per bulan dengan jumlah produksi 100 es krim, maka biaya produksi per es krim itu 10 ribu. Dengan modal yang sama Mixue bisa memproduksi 200 es krim, maka biaya produksi per es krim menjadi 5 ribu. Jadi jangan heran kalau kita masih sanggup beli sampai tangan dan perut penuh.

Ketiga, Mixue memiliki tim riset dan pemasaran sendiri yang cukup realistis dalam mempelajari pasar. Karena mengembangkan strategi dengan skema usaha waralaba, Mixue mungkin berekspansi dengan pesat tak hanya di Cina namun di segala penjuru Asia Tenggara. Mixue sebagai franchisor juga mengadopsi taktik lain. Misalnya menyiapkan bahan dasar dan peralatan gratis bagi para franchisee yang diproduksi dari pabrik sendiri dengan sistem pergudangan serta logistik yang swasembada. Mereka memberikan potongan harga, menyiapkan tim pelatihan, buku resep, menu, seragam dan konon juga menyediakan pinjaman tunai tanpa bunga kepada franchisee yang mengalami kesulitan. Intinya, mereka mempermudah rekan kerja. 

Sebelum mengambil stratak tersebut, tentu saja ada riset yang tak biasa. Alih-alih menyasar kelas menengah atas, lewat harga murah mereka berusaha menguasai ceruk pasar kelas menengah bawah. Pemasaran mereka dimulai dengan diferensiasi produk yang sangat menyita perhatian dan tentu saja masih sanggup dibeli oleh kantong kelas pekerja. Silakan dicoba kalau Anda mampir ke gerainya. Pasti rasanya mau membeli semua es krim dan teh bobanya, padahal sebenarnya bahan dasarnya itu-itu saja. Di sini taktik media sosial sangat berpengaruh. Para pelanggan mengonsumsi Mixue bukan karena kebutuhan jasmani namun instagrami atau tiktoki akibat FOMO. 

Kombinasi antara kesiapan ranah produksi, distribusi dan konsumsi inilah yang merupakan kunci dari berhasilnya Mixue masuk ke dalam hatimu yang kosong itu. Eh, salah, ke sudut-sudut kosong ruang kota. 

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Lalu, kira-kira, apa hikmahnya? Pastinya kalau ingin jadi pengusaha kita bisa belajar skema modern kapitalisme dan sistem waralaba itu sendiri. Apa cuma itu? Tentu tidak. Juga ada beberapa hikmah yang dapat dipetik untuk gerakan kelas pekerja hari.

Untuk menjalankan agenda proletariat misalnya solidaritas, peningkatan kesejahteraan, advokasi, dan edukasi dibutuhkan organisasi yang punya pemahaman yang jelas soal kondisi nyata hari ini, atau dengan kata lain berangkat dari realitas. Bagai Mixue yang menjual es krim dan teh boba, organisasi kelas pekerja ini menjual gagasan dan harapan–tentu saja sosialisme dan yang lebih baik. Dari sana organisasi melalui tim riset mesti mampu menangkap mana ceruk yang dapat dimasuki oleh produk tersebut. Dari sini mulailah diferensiasi produk–ide, gagasan dan harapan–menyesuaikan keragaman pekerja yang ada. Lalu, jika sudah mengenal dengan baik mana saja segmennya, baru kita mainkan taktik FOMO melalui media sosial atau media-media lain dengan cara yang sesuai dengan kondisi yang ada. 

Tentu ini semua tak akan berjalan tanpa produksi yang menjadi basis. Jika Mixue mengandalkan pabrik serta logistik, organisasi kelas pekerja mesti mengandalkan para anggota untuk memproduksi gagasan dan mimpi. Tentu saja ini semua tak akan berjalan tanpa ada pelumas atau sang penyetara universal yaitu uang. Dari mana datangnya uang untuk memodali organisasi? Jika Mixue bisa dengan mudah menjawabnya, organisasi kelas pekerja kudu memutar otak.

Inilah kiranya pelajaran paling berharga yang dapat dipetik kelas pekerja dari kapitalisme, layaknya pesan Don Corleone: jagalah kedekatanmu dengan kawanmu, namun lebih dekatlah lagi dengan lawanmu. Ketimbang anti ini anti itu dan berhenti hanya di baca buku, alangkah baiknya berjalan ke luar kamarmu dan mampirlah sesekali ke gerai Mixue. Tidak perlu dengan pacar atau teman, sendiri saja sembari menyeruput boba dan menyadari betapa kapitalisme selalu selangkah lebih maju. Maka, jika kelas pekerja ingin juara, belajarlah bukan dari romantisme kemenangan-kemenangan masa lalu dan fafifu wasweswos borjuasi yang sok peduli, namun dari semua kekalahan pedih para pekerja dan kemenangan-kemenangan kapitalisme, lalu bersatu, berorganisasi dan susun strategi. ***

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.