Ilustrasi: jonpey
SEORANG pengemudi ojek daring berusia 23 tahun ditemukan tewas dengan kepala terpenggal pada 29 Juni 2022 di dekat perlintasan kereta api di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Saat ditemukan, tangannya masih memegang ponsel pintar yang biasa dia gunakan untuk menerima pesanan. Dia tewas ditabrak kereta api. Alih-alih kecelakaan, dia diduga sengaja mengakhiri hidup akibat depresi berat. Orang tua korban menyebut anak laki-laki mereka menunjukkan tanda-tanda depresi yang pemicunya adalah kondisi keuangan.
Kasus serupa kembali terjadi hanya berselang lima hari kemudian. Seorang pengendara sepeda motor berusia 35 tahun bunuh diri dengan cara melompat dari Jembatan Suramadu di Surabaya, Jawa Timur. Jenazahnya ditemukan terapung di laut dengan mengenakan jaket hijau berlogo Gojek. Sang pengemudi ojek daring itu diduga juga mengalami depresi akibat tekanan ekonomi.
Bunuh diri sangat tidak biasa dalam konteks Indonesia. Norma dan nilai sosial di negara ini tidak memberikan toleransi terhadap tindakan tersebut.
Kedua kasus tadi bukan insiden yang berdiri sendiri. Setidaknya 10 pengendara ojek daring dan empat pengemudi taksi daring di Indonesia melakukan bunuh diri dari tahun 2015 hingga 2022. Sebanyak 13 korban merupakan laki-laki dan sisanya perempuan. Mereka berusia rata-rata 33 tahun. Jumlah kasus bunuh diri ini tergolong tinggi menurut standar Indonesia dan ada dugaan kuat bahwa yang terjadi lebih banyak, tapi tidak dilaporkan atau tercatat.
Kami meyakini bahwa apa yang mendorong mereka untuk bunuh diri adalah kondisi pekerjaan yang buruk dan diperparah pandemi Covid-19. Bunuh diri adalah ekspresi paling ekstrem dari keputusasaan mereka. Dan kondisi mendasar yang berkontribusi terhadap keputusasaan tersebut tumbuh pada pekerjaan sektor transportasi berbasis aplikasi.
Bangkitnya Perusahaan Transportasi Berbasis Aplikasi
Dua perusahaan transportasi raksasa berbasis aplikasi di Indonesia, Gojek dan Grab, membuat klaim bahwa setiap tahun mereka berkontribusi hingga puluhan triliun rupiah bagi perkembangan ekonomi masyarakat. Gojek kini beroperasi di 167 kota dan kabupaten, sementara cakupan operasional Grab hampir mencakup 100 kabupaten/kota. Gojek dan Grab belum merinci jumlah pengendara ojek motor yang bekerja dengan mereka. Namun salah satu asosiasi pengemudi, GARDA, menyebut terdapat sekitar 4 juta pengendara ojek daring di Indonesia.
Indonesia terbukti merupakan pasar menggiurkan untuk sektor transportasi berbasis aplikasi karena besarnya jumlah tenaga kerja muda yang memahami internet. Selain itu, insentif pemerintah terhadap investasi bisnis dan minimnya peraturan ketat tentang hubungan kerja juga mendorong pertumbuhan pesat sektor ini.
Tidak mengherankan jika pengembangan sektor transportasi berbasis aplikasi dibangun di atas eksploitasi pekerja. Perusahaan terus mengurangi insentif yang berakibat pada anjloknya pendapatan pengemudi. Tidak ada pula peraturan tentang jam kerja dan upah layak. Ketiadaan asuransi kesehatan juga turut melemahkan kondisi dan keselamatan para pengemudi.
Kami ingin menyoroti dampak negatif yang serius pada pengemudi seperti bunuh diri dan lilitan utang. Kami pun ingin berfokus pada perlawanan para pengemudi yang didukung komunitas mereka untuk memperjuangkan kondisi kerja yang layak.
Berlomba Jadi Paling Bawah
Sejak tahun 2017, Gojek dan Grab secara bertahap mengurangi insentif, bonus dan tarif per kilometer. Kebijakan itu menekan pendapatan pengemudi. Dua perusahaan itu juga menaikkan target poin. Artinya, pengemudi harus mengejar banyak poin untuk mendapatkan bonus. Perubahan ini didorong oleh perlombaan menuju dasar digital (race to the digital bottom) oleh perusahaan transportasi berbasis aplikasi. Ini menguntungkan perusahaan dengan mengorbankan pengemudi.
Hasil wawancara kami dengan pengemudi menunjukkan bahwa sebagian besar pengemudi ojek berbasis aplikasi di Bekasi, Tangerang dan Serang mengalami penurunan pendapatan sekitar 50% sejak pandemi. Mereka mengeluh sulit mendapatkan pesanan.
Pengemudi di tiga kota tadi rata-rata harus bekerja antara 10 dan 15 jam setiap hari. Situasi ini membuat pengemudi tidak hanya rentan secara finansial, tapi juga menambah peluang sakit atau menderita luka akibat kecelakaan lalu lintas. Sejak 2015 hingga Juli 2022, tercatat 149 kecelakaan lalu lintas dengan korban meninggal 89 pengemudi motor dari berbagai perusahaan transportasi berbasis aplikasi di Indonesia. Angkanya berpeluang lebih tinggi karena banyak kecelakaan tidak muncul dalam pemberitaan media massa.
Banyak pengendara ojek berbasis aplikasi yang mengidap penyakit akibat kerja bahkan meninggal dunia karena kurangnya waktu istirahat. Mereka terus bekerja untuk mencapai target dan poin tidak masuk akal yang ditetapkan perusahaan. Para pengemudi menghadapi situasi tidak mengenakan itu demi memiliki cukup uang untuk memberi makan keluarga dan melunasi utang.
Para pengemudi berutang untuk menafkahi keluarga, memelihara sepeda motor, mencicil ponsel pintar dan menutup biaya rumah sakit jika sakit atau mengalami cedera akibat pekerjaan. Potongan saldo di rekening setiap hari adalah cara mereka membayar utang. Ini memberikan tekanan yang cukup besar pada pengemudi.
Skema pinjaman itu tidak lain disediakan Gojek dan Grab melalui kerja sama dengan perusahaan yang menggabungkan jasa keuangan dengan teknologi (fintech). Grab menggandeng Julo, sementara Gojek menyediakan skema pinjaman melalui Gopay Later. Perusahaan menuai keuntungan dari kemalangan pekerja yang penyebab awalnya tidak lain adalah kebijakan mereka sendiri.
Para pengemudi berkata bahwa mereka berada dalam situasi kalah-kalah. Ketika muncul banyak pesanan, mereka terpaksa menyelesaikannya. Jika tidak menuntaskan semua pesanan, mereka akan mendapat peringkat rendah dan akibatnya tidak punya cukup waktu untuk istirahat. Di sisi lain, ketika pesanan tidak banyak, pendapatan mereka turun drastis. Pengemudi, dalam skema seperti ini, semakin terbebani untuk mendapatkan peringkat yang bagus dan pendapatan yang tinggi.
Bagaimana Perusahaan Mengontrol Pekerja
Merujuk pada peraturan ketenagakerjaan, pengemudi ojek berbasis aplikasi adalah pekerja yang sah, bukan mitra seperti yang ditetapkan oleh perusahaan. Dasarnya adalah fakta bahwa mereka menerima pesanan dan upah serta mengenakan seragam yang disediakan perusahaan. Pengemudi juga tidak menjual pekerjaannya dari posisi yang setara dan mandiri seperti yang umumnya dipahami dalam skema kemitraan. Sebaliknya, perusahaan menetapkan harga secara sepihak serta melakukan kontrol terhadap pekerja.
Terlepas dari janji otonomi kerja, perusahaan menerapkan algoritma dan menggunakan pengawas yang disebut satgas sebagai mekanisme utama untuk mengontrol pengemudi dan memastikan maksimalisasi keuntungan.
Kontrol tenaga kerja algoritmik
Algoritma memantau akun pengemudi dan kemudian menentukan insentif dan hukuman. Sistem ini adalah manajer virtual yang bertugas menginstruksikan pengemudi untuk melaksanakan permintaan dari pelanggan–membawa mereka dari satu tempat ke tempat lain atau mengantarkan barang, makanan dan sebagainya. Jika menolak menerima pesanan, akun pengemudi akan dibatasi untuk menerima pesanan lainnya. Para pengemudi biasanya menolak pesanan untuk menghindari titik penjemputan yang jauh, daerah rawan kriminalitas dan kemacetan.
Menurut pengemudi, aplikasi sistem pemosisi global (GPS) terkadang menunjukkan jarak yang lebih pendek ketimbang jarak faktual yang harus mereka tempuh. Tarif yang ditentukan perusahaan hanya menghitung jarak antara titik penjemputan dengan tujuan, sedangkan jarak dari tempat pengemudi ke lokasi penjemputan tidak dihitung. Jarak dari tempat tujuan ke pangkalan pengemudi juga tidak dihitung.
Dua komponen biaya pemesanan yang sering menjadi polemik antara manajemen dan pengemudi adalah biaya per kilometer dan biaya jasa. Perusahaan memotong 20% dari hasil dari satu pesanan yang dituntaskan pengemudi. Perusahaan juga mengambil biaya aplikasi yang sepenuhnya menjadi milik mereka, bukan untuk pengemudi.
Perusahaan mewajibkan pengemudi untuk memiliki saldo di dompet atau akun digital mereka. Gojek dan Grab tidak akan memberikan pesanan kepada pengemudi jika saldo di dompet digital mereka kosong.
Peringkat dan komentar dari pelanggan juga penting untuk menentukan insentif dan bonus pengemudi. Penilaian pelanggan diproses perusahaan untuk menentukan reward atau punishment bagi pengemudi. Bentuk hukumannya beragam, dari penangguhan sampai pembekuan akun, baik sementara maupun permanen.
Penilaian dan komentar inilah yang menyebabkan banyak perselisihan antara pengemudi dan konsumen. Beberapa pengemudi berkata bahwa pelanggan kerap memberikan penilaian negatif yang tidak berdasar.
Beberapa kasus yang menyebabkan peringkat buruk terjadi karena kesalahan teknis. Misalnya, makanan yang dipesan pelanggan tidak sesuai dengan yang diantarkan. Pelanggan biasanya menyalahkan pengemudi meskipun kesalahan ini disebabkan kelalaian restoran. Pengemudi berkata, manajemen juga menjatuhkan hukuman hanya berdasarkan komentar dan peringkat dari pelanggan. Mereka tidak memverifikasi lebih lanjut komentar konsumen kepada restoran atau pengemudi.
Kontrol tatap muka masih berlaku
Pengemudi telah menggunakan banyak taktik dan strategi balasan untuk menyiasati kontrol berbasis algoritma. Mereka memanfaatkan “akun hantu” dan akun joki.[1] Dengan cara ini, pengemudi bisa meningkatkan pesanan, yang kemudian mendongkrak insentif dan bonus dari perusahaan.
Perusahaan akhirnya menyadari bahwa kontrol melalui algoritma memiliki batas. Mereka lantas merekrut satgas, sebagai pelengkap algoritma, untuk memperkuat kontrol terhadap pengemudi. Tujuannya adalah untuk memaksimalkan keuntungan secara terus-menerus. Beberapa personel satgas berstatus pensiunan polisi atau anggota militer.
Gojek pertama kali membentuk satgas pada 2015. Ini merupakan respons atas konflik antara pengemudi mereka dan pengemudi konvensional, baik taksi maupun ojek, yang tidak berbasis aplikasi.
Personel satgas ini ditempatkan di lapangan. Mereka bertugas mendisiplinkan para pengemudi agar bekerja sesuai dengan ketentuan operasional yang dibuat perusahaan. Mereka juga memastikan pengemudi memakai helm dan jaket berlogo perusahaan, kesesuaian antara nomor kendaraan dan identitas pengemudi serta hal-hal lainnya.
Selain itu, Gojek menugaskan satgas untuk membujuk dan mengajak para pengemudi konvensional untuk bergabung dengan mereka. Satgas itu memfasilitasi segala persyaratan bagi pengemudi konvensional yang bersedia menjadi pengemudi Gojek, seperti kredit kendaraan baru, ponsel dan pembuatan Surat Izin Mengemudi. Namun semua fasilitas tersebut tidak gratis. Pengemudi harus membayar kepada perusahaan dengan cara pemotongan saldo pendapatan.
Satgas juga berkolaborasi dengan pengemudi lama untuk merekrut pengemudi baru. Menurut beberapa pengemudi, jika mereka bisa merekrut pekerja baru, terutama pengemudi konvensional yang berbasis di lokasi strategis seperti stasiun kereta api, terminal bus, bandara atau mal, mereka akan mendapat komisi.
Kontrol atas basis pengemudi konvensional penting untuk mendominasi pasar dan memastikan operasi bisnis. Dengan mengendalikan pangkalan-pangkalan ini, satgas dapat dengan mudah mengendalikan para pengemudi.
Kesuksesan Gojek dalam membentuk tim satgas diikuti oleh Grab dan platform lainnya pada tahun-tahun berikutnya. Dalam kurun waktu dua hingga tiga tahun, Gojek dan Grab telah berhasil menguasai banyak basis pengemudi konvensional, mengubahnya menjadi basis pengemudi ojek daring dan menyiapkan titik penjemputan di sana.
Bentuk pengamanan operasional bisnis lain yang dilakukan satgas adalah memberantas pengendara yang menggunakan aplikasi GPS palsu. Pada periode awal atau pada masa “bakar duit”, Gojek dan Grab masih menawarkan insentif yang tinggi. Sekelompok pengemudi yang memiliki pengetahuan tentang teknologi informasi menemukan cara untuk mendapatkan lebih banyak pesanan dengan mudah. Mereka menciptakan apa yang mereka sebut “akun hantu” dan juga GPS palsu.
Pengemudi mengatakan menggunakan GPS palsu bukanlah kecurangan melainkan hanya bukti adanya kelemahan dalam sistem di aplikasi. GPS palsu mempercepat proses penerimaan pesanan oleh pengemudi. Cara ini juga dapat menyelesaikan order dalam jumlah banyak, sehingga memberikan keuntungan berupa insentif dan bonus kepada para pengemudi.
Operasi pemberantasan “akun hantu” dan GPS palsu mulai meningkat antara 2017 hingga 2019. Selama periode tersebut, Gojek dan Grab membawa lebih dari 20 pengemudi yang diduga menggunakan “akun hantu” atau akun palsu ke meja hijau.
Pengemudi lalu melawan juga melalui pengadilan dengan menggunakan Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Satgas perusahaan bekerja sama dengan beberapa kepolisian daerah (polda) mengkriminalkan para pengemudi. Di Makassar, misalnya, satgas Grab bekerja sama dengan tim cybercrime Polda Sulsel untuk memperkarakan tujuh pengemudi mobil Grab yang menggunakan GPS palsu.
Satgas juga merekrut pengemudi dan menugaskan mereka sebagai mata-mata. Mata-mata ini diminta memberikan informasi dan melaporkan kepada satgas tentang peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di komunitas mereka. Mereka juga melaporkan kegiatan pengemudi yang dianggap merugikan perusahaan.
Dengan bantuan mata-mata ini, satgas kerap lebih dulu mengetahui rencana protes atau mogok yang dirancang oleh komunitas pengemudi. Satgas juga berperan dalam menangkal aksi unjuk rasa. Mereka mengirimkan pesan berantai melalui Whatsapp yang berisi larangan aksi. Satgas mengadakan pertemuan dengan warga, mendatangi para pengemudi yang memimpin unjuk rasa, bahkan mengancam mereka.
Pada November 2021 di Bandung, misalnya, seorang pengendara ojek berbasis aplikasi mendapatkan ancaman tersebut. Seorang personel satgas dilaporkan menodongkan pistol tepat ke kepala seorang pengemudi. Intimidasi ini dilakukan karena sang sopir adalah seorang organisator yang menggerakkan rekan-rekannya untuk melakukan protes.
IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.
Mengapa Pekerja Berutang
Beberapa pengemudi di Tangerang mengatakan dalam setahun terakhir mereka menyelesaikan rata-rata 10 pesanan per hari. Walaupun jumlah pesanan bervariasi, dengan menggunakan perhitungan dasar, kami asumsikan untuk setiap pesanan penumpang membayar sebesar Rp14.000. Setelah menghitung potongan, diperkirakan pengemudi mendapatkan Rp102.000 per hari atau Rp3.060.000 per bulan.
Peraturan upah minimum di Tangerang untuk tahun 2022 adalah Rp 4.285.000. Penghasilan mereka sebagai pengemudi ojek berbasis aplikasi hanya 71% dari upah minimum tadi.
Pada suatu kesempatan, Lembaga Informasi Perburuhan Sedane (LIPS) berdiskusi dengan para pengemudi mengenai pengeluaran bulanan keluarga mereka. Kami mendapat gambaran bahwa terdapat defisit pengeluaran bulanan sebesar Rp940.000 di keluarga pengemudi. Total pengeluaran keluarga pengemudi per bulan sekitar Rp4.000.000, sedangkan total pendapatan per bulan mereka hanya Rp3.060.000. Sebagian besar pengemudi berutang untuk menutup defisit ini.
Beberapa pengemudi pun akhirnya menetapkan target pribadi: tidak akan pulang jika target pendapatan harian belum menutup kebutuhan sehari-hari. Salah satu pengemudi mengatakan akan meninggalkan rumah lebih awal agar bisa mendapatkan lebih banyak pesanan. Pengemudi lain berkata harus menghabiskan banyak waktu di atas sepeda motor untuk mencari lokasi yang memungkinkan mereka mendapatkan lebih banyak pesanan.
Keadaan Mendorong Protes
Pendapatan yang menurun, jam kerja yang panjang, kurangnya jaminan sosial serta kebijakan sepihak dan sanksi yang berat mendorong para pengemudi untuk melawan, baik terhadap perusahaan maupun melawan pemerintah.
Protes para pengemudi dalam beberapa tahun terakhir telah melampaui protes serikat pekerja, terutama di industri manufaktur dan jasa. Ini bukan untuk mengatakan bahwa perlawanan serikat buruh sudah usang. Namun perlawanan para penggerak akan menjadi faktor penting bagi masa depan gerakan buruh.
Sejak 2015 hingga Juli 2022, setidaknya terdapat 133 aksi protes yang dilakukan para pengendara ojek berbasis aplikasi di berbagai kota di Sumatra, Jawa, Kalimantan dan Sulawesi terhadap perusahaan seperti Gojek, Grab, Shopee dan Maxim. Terdapat solidaritas antarpengemudi lintas perusahaan transportasi berbasis aplikasi, terutama jika pengemudi di perusahaan tertentu melakukan protes.
Sebagian besar tuntutan yang mereka ajukan berfokus pada tarif (30%), insentif (25%) dan denda (11%). Pengemudi juga menuntut perusahaan menertibkan praktik pungutan liar saat merekrut pengemudi baru dan mencabut beban biaya parkir dari pengemudi.
Namun, resistansi sporadis semacam ini memiliki dampak yang terbatas dalam mendorong perubahan. Perusahaan terus melakukan pemotongan tarif dan insentif secara sepihak yang berdampak pada penurunan pendapatan pengemudi.
Sementara itu, resistensi yang ditujukan kepada pemerintah menyorot pengaturan tarif per kilometer yang adil yang dapat digunakan perusahaan untuk menghitung insentif dan bonus. Mereka juga meminta pemerintah mengubah konsep hubungan semu dari kemitraan menjadi ketenagakerjaan. Dalam konteks ini, protes biasanya dilakukan pengemudi lintas perusahaan dan komunitas.
Perlawanan yang ditujukan kepada pemerintah memungkinkan perubahan karena dilakukan oleh semua pengemudi terlepas dari perusahaan tempat mereka bekerja. Jenis perlawanan ini mengingatkan kita pada gerakan buruh beberapa tahun lalu yang berhasil melancarkan serangkaian pemogokan umum[2] serta pemogokan di beberapa kawasan industri di Jawa yang menuntut kenaikan upah dan penghapusan sistem kerja paruh waktu.
Tantangan ke Depan
Pertumbuhan bisnis transportasi berbasis aplikasi di Indonesia dicapai dengan mengorbankan para pengemudi. Keuntungan perusahaan terus tumbuh sementara pendapatan pengemudi menurun. Pengemudi terjebak dalam utang bahkan saat mereka bekerja lebih lama dan lebih lama.
Sejak tahun 2015, resistansi pengemudi berbasis aplikasi telah meningkat. Namun perlawanan kepada perusahaan memiliki keterbatasan dalam mendorong perubahan kondisi kerja, sementara perlawanan kepada pemerintah memungkinkan terjadinya beberapa perubahan.
Untuk mengubah kondisi kerja dan memastikan bahwa mereka dilindungi oleh Undang-Undang Ketenagakerjaan, pengemudi perlu terus melakukan pengorganisasian dan mobilisasi. Bagaimanapun terdapat pelajaran yang bisa mereka petik dari perlawanan gerakan buruh sebelumnya, yang tidak hanya melakukan pemogokan tetapi juga penggerebekan pabrik.
[1] Wening Mustika and Amalinda Savirani. 2021. “’Ghost Accounts,’ ‘Joki Accounts’ and ‘Account Therapy:’ Everyday Resistance among Ride-hailing Motorcycle Drivers in Yogyakarta, Indonesia”, The Copenhagen Journal of Asian Studies Vol. 39, Issue 1, https://doi.org/10.22439/cjas.v39i1.6175
[2] Fahmi Panimbang and Abu Mufakhir (2018), “Labour Strikes in Post-Authoritarian Indonesia, 1998-2013”, In J.Nowak, M. Dutta, & P. Birke (Eds.), Strikes and workers movements in the 21st century (pp. 21–43).Rowman and Littlefield. https://www.academia.edu/38530868/Labour_Strikes_in_Post_Authoritarian_Indonesia_1998_2013
Artikel ini pertama kali terbit di Asian Labour Review pada September 2022, ditulis oleh Sugeng Riyadi, Alfian Al-Ayubby Pelu dan Lukman Ainul Hakim, diterjemahkan oleh Abraham Utama. Dimuat ulang untuk tujuan pendidikan.