Hukum yang Retak dan Grebek Pabrik (1)

Print Friendly, PDF & Email

Catatan Awal Pergerakan Buruh di Bekasi

3 Oktober 2012, merupakan tanggal monumental dalam sejarah gerakan buruh Indonesia pasca kediktatoran rezim orde baru. Pada hari itu, tiga konfederasi besar serikat buruh yang tergabung dalam MPBI (Majelis Pekerja Buruh Indonesia), didukung beberapa federasi serikat buruh di luar MPBI, menjalankan aksi mogok nasional. Dengan jumlah massa ratusan ribu, yang berasal dari 754 perusahaan di 12 provinsi, 37 kabupaten/kota yang tersebar di pulau-pulau besar Indonesia seperti Jawa, Sumatera, Riau, dan Papua Barat,[1] MPBI menuntut penghapusan sistem kerja outsourcing, penolakan upah murah, dan pelaksanaan jaminan sosial. Inilah aksi mogok nasional pertamakali dalam sejarah gerakan buruh pasca-Soeharto. Pemogokan ini sukses melumpuhkan beberapa kawasan industri penting Indonesia secara serentak dalam satu hari. Melalui mobilisasi dengan memanfaatkan jalanan (kawasan industri) sebagai arena politik untuk menekan pemerintah, aksi mogok nasional telah menjadi salah satu respon terkuat serikat buruh ketika berhadapan dengan rezim pasar kerja fleksibel serta politik upah murah.

Sejak jatuhnya rezim Soeharto, walaupun posisi politik buruh lemah di dalam ruang-ruang politik formal, serikat buruh kembali menemukan jalanan sebagai ruang politik untuk menekan otoritas. Di tengah-tengah rezim upah murah dan pasar kerja fleksibel, serta tidak bekerjanya lembaga-lembaga politik formal, upaya-upaya untuk terus memperkuat kapasitas serikat buruh dalam melakukan mobilisasi politis di jalanan secara fundamental merupakan pilihan strategi yang realistis. Ketika merebut kembali jalanan sebagai ruang politik alternatif, secara mendasar serikat buruh telah menyediakan saluran baru bagi partisipasi politik, secara kualitatif memperluas basis demokratisasi, serta memaksa perubahan-perubahan mendadak dengan sifatnya yang terbatas pada relasi-relasi kekuasaan yang ada, –seperti pecahnya partai koalisi dalam kasus kenaikkan harga bahan bakar minyak (BBM)– bahkan membatalkan beberapa kebijakan pemerintah yang dinilai bertentangan dengan kepentingan kelas buruh, yang (saat ini) tidak mungkin didapat melalui institusi politik formal.

Sebagai gambaran, pada 2006, berbagai serikat buruh secara serentak di berbagai kota berhasil menentang rencana pemerintah untuk merevisi UU No. 13/2003. Dengan jumlah massa mencapai 100 ribu, aksi ini sering disebut-sebut sebagai aksi terbesar pada rentang periode pasca-Soeharto sampai tahun 2007. Di penghujung 2009, aliansi beberapa serikat buruh yang tergabung dalam Komite Aksi Jaminan Sosial (KAJS), melalui serangkaian mobilisasi selama hampir dua tahun, berhasil mendesak pemerintah untuk mengesahkan RUU Badan Pelaksana Jaminan Sosial (BPJS). Dalam beberapa aksinya, KAJS untuk pertama kalinya pasca-Soeharto menerapkan kembali strategi aksi ‘rapat akbar,’ sebuah strategi untuk memobilisasi dan mengumpulkan massa pada zaman pergerakan untuk menggalang kekuatan anti-kolonial. Mereka juga melakukan long march, dengan berjalan kaki dari Bandung menuju Jakarta, sepanjang 250 kilometer selama 5 hari. Pada 2010, untuk pertama kalinya pasca-Soeharto, serikat buruh mulai menerapkan strategi boikot dengan menutup kawasan industri, seperti yang  terjadi pada Kawasan Berikat Nasional Cakung, Jakarta Utara. Tahun 2011, serikat buruh Freeport melakukan aksi mogok selama hampir enam bulan, yang dinilai sebagai aksi mogok paling militan dan terpanjang dalam sejarah gerakan buruh Indonesia masa demokrasi elektoral.

Puncaknya terjadi pada 2012, dimana sepanjang tiga bulan pertama terjadi lonjakan skala dan intensitas aksi terkait dengan penetapan upah minimum dan rencana pemerintah untuk menaikkan harga BBM. Sepanjang Januari-Februari, puluhan ribu massa aksi melakukan penutupan Kawasan Berikat Nasional, Cakung, di Jakarta Utara, serta melumpuhkan 7 kawasan industri kota Bekasi –kota yang setidaknya menopang 70 persen ekport non-migas nasional.[2] Dalam rentetan aksi tersebut, beberapa jalur jalan tol dan kawasan industri yang menjadi bagian penting dari perekonomian Indonesia lumpuh dalam beberapa jam.

Rentetan aksi terus berlanjut pada bulan Maret, saat pemerintah berencana menaikkan harga BBM. Serikat buruh melakukan aksi massa secara terus-menerus di beberapa kota besar di Indonesia, untuk menolak rencana kenaikan harga BBM. Dalam aksi tersebut, sulit diingkari jika serikat buruh menjadi pelaku aksi yang paling dominan dengan kemampuannya memobilisasi massa. Saat itu, untuk pertamakalinya rencana kenaikkan harga BBM berhasil dibatalkan/ditunda, karena besarnya tekanan sebagai hasil dari mobilisasi massa yang sukses  memecah kelompok Parpol koalisi pendukung pemerintah. Selanjutnya, aksi peringatan hari buruh 1 Mei 2012 di Indonesia, disebut oleh beberapa media sebagai aksi May Day terbesar di Asia Pasifik. Tahun 2012 ini, aksi massa serikat buruh seperti menjelma menjadi mobilisasi politis dengan dampak mempengaruhi kebijakan yang cenderung lebih kuat dari aksi-aksi serikat buruh sebelumnya.

Sepanjang 2011-2012 ini, kita juga melihat munculnya serangkaian strategi ‘baru’ (atau digunakan lagi) dalam kerangka mobilisasi oleh serikat buruh pasca-Soeharto. Beberapa diantaranya: blokade jalan tol, menutup kawasan industri, rapat akbar, longmarch berhari-hari, sweeping, solidaritas antarpabrik dan lintas kawasan, bahkan mogok nasional, termasuk grebek pabrik. Sepengetahuan saya, kemunculan berbagai strategi mobilisasi baru tersebut belum banyak ditulis, dilihat faktor yang melatarbelakanginya, serta bagaimana strategi-strategi tersebut diwujudkan di lapangan. Karenanya tulisan ini dimaksudkan sebagai upaya untuk turut mendokumentasikan dan mendiskusikan salah satu dari strategi mobilisasi tersebut, yaitu grebek pabrik. Sebuah strategi mobilisasi yang pertama kali muncul di Bekasi pada akhir bulan Mei 2012, dan saat ini terus meluas sampai ke daerah Bogor dan Depok.

Dalam strategi grebeg pabrik (sebagian menyebutnya sebagai Greduk pabrik), pabrik-pabrik yang mempekerjakan buruh outsourcing yang melanggar ketentuan UU 13/2003, didatangi oleh massa dari sejumlah serikat buruh yang berasal dari pabrik-pabrik lain yang berdekatan. Mereka kemudian melakukan penutupan pabrik, pendudukan, bahkan menyandera pihak manajemen, dan menuntut agar buruh outsourcing diangkat menjadi buruh tetap. Menariknya, aksi grebekan hanya akan dihentikan ketika tuntutan tersebut dipenuhi. Beberapa aksi grebek bisa berlangsung 1 sampai 3 hari, pada beberapa kasus aksi grebek pabrik bahkan berlangsung lebih lama dari 10 hari.

Strategi grebek pabrik terus meluas dan menjadi momok bagi para pengusaha di Bekasi. Menurut pengurus asosiasi industri dan pabrik di kawasan Bekasi, saat ini sudah ada 100 pabrik yang terkena aksi grebek pabrik. Mereka menilai aksi grebek pabrik sebagai masalah yang dapat mengganggu industri serta mengancam laju investasi. Karena itu, mereka menemui Menteri Perindustrian, bahkan meminta bantuan TNI, untuk menghentikan aksi grebek pabrik tersebut.[3] Tulisan ini tidak ditujukan untuk membantah pernyataan tersebut. Tulisan ini bertujuan untuk mendiskusikan aksi grebek pabrik dari perspektif gerakan buruh. Terutama pada bagaimana aksi grebek pabrik dapat terus berkembang, juga telah dan dapat dimaknai sampai saat ini.

Situasi-situasi Yang Mendukung Grebek pabrik

Pada bagian ini, saya akan mendiskusikan bagaimana aksi grebek pabrik muncul dan berkembang, bagaimana pelaksanaannya di lapangan, serta faktor-faktor apa saja yang mendorong munculnya aksi grebek pabrik sebagai sebuah respon. Di antara itu dimasukkan pendapat dari kelompok serikat buruh yang tidak setuju dengan pelaksanaan aksi grebek pabrik.

Secara umum banyak yang sependapat jika aksi grebek pabrik berawal dari perkembangan lapangan aksi Hostum (Hapus Outsourcing dan Tolak Upah Murah), yang dicetuskan oleh MPBI ketika May Day 2012. Dalam perkembangannya, grebek pabrik menjelma menjadi metode baru yang dijalankan oleh beberapa serikat buruh untuk melawan semakin meluasnya sistem kerja outsourcing. Dalam menjalankan aksi grebek pabrik, terdapat kombinasi antara strategi solidaritas antar pabrik (dalam beberapa kasus juga lintas serikat dan lintas kawasan), pendudukan, blokade, dan taktik-taktik koordinasi cepat di lapangan. Bayangkan, jika dalam satu aksi grebek pabrik, sebuah serikat buruh mampu memobilisasi lebih dari 2000 peserta aksi dalam waktu kurang dari dua jam. Untuk menjalankan aksi ini secara terus menerus, secara spartan berpindah dari satu pabrik ke pabrik lain, nyaris setiap hari, jelas dibutuhkan organisasi serikat buruh yang memiliki kapasitas mobilisasi yang mampu bertahan dalam jangka waktu yang panjang.

Beberapa aktivis serikat buruh menceritakan aksi grebek pabrik di Bekasi, bermula dan terinspirasi dari aksi buruh PT. Hero Supermarket, Cibitung, bersama Serikat Pekerja Aneka Industri/SPAI-FSPMI. Dalam tulisannya, Sherr Rin, aktivis SPAI-FSPMI, menuliskan kisah aksi buruh PT. Hero, yang berawal dari pemecatan sepihak terhadap 514 buruh kontrak. Mereka yang rata-rata sudah bekerja 5-8 tahun dipecat begitu saja, hanya karena alasan pihak manajemen sudah tidak lagi suka dengan perusahaan kontraktornya. Pemecatan sepihak ini memaksa buruh PT. Hero, Cibitung, melakukan aksi sampai ke PT. Hero Pusat, Jakarta, pada 22 sampai 23 Mei 2012. Selain itu, bersama dengan FSPMI-KSPI dalam rangka aksi Hostum, mereka mendatangi Kemenakertrans, dan menuntut penghapusan sistem kerja outsourcing. Mereka juga melakukan aksi ke Disnakertrans Bekasi, menuntut dikeluarkannya Nota Dinas yang menginstruksikan agar PT Hero Spk Cibitung mempekerjakan kembali buruh-buruh yang telah di-PHK sepihak, kemudian mengangkat statusnya menjadi buruh tetap. Pada tanggal 23, Nota Dinas itu dikeluarkan. Namun, pihak manajemen hanya mengatakan akan mempertimbangkan Nota Dinas tersebut, bukan mematuhinya. Akibatnya, buruh PT. Hero bersama dengan massa FSPMI dari pabrik lainnya yang bersolidaritas melakukan aksi ke PT Hero. Mereka melakukan blokade gudang, hingga barang tidak bisa keluar-masuk. Aksi tersebut berlangsung sampai malam hari hingga dipenuhinya tuntutan buruh.[4]

Perjuangan buruh PT. Hero, menginspirasi banyak serikat buruh untuk melakukan strategi serupa. Mereka menuntut perusahaan untuk mengangkat status buruh tidak tetap menjadi tetap, dengan cara melakukan aksi mobilisasi menuju satu pabrik, kemudian dengan beragam cara menghentikan proses produksi sampai dipenuhinya tuntutan-tuntutan buruh. Melalui aksi grebek pabrik, serikat buruh secara telak memaksa pihak manajemen membuat kesepakatan-kesepakatan secara mendadak. Selanjutanya penulis akan mendiskusikan bagaimana aksi grebek pabrik dijalankan di lapangan, khususnya pada aspek taktik-taktik koordinasi untuk dapat mengumpulkan massa sebanyak mungkin.

***

Aksi grebek pabrik dapat berlangsung baik pada pabrik yang telah maupun belum memiliki serikat buruh. Pada pabrik yang belum memiliki serikat, beberapa buruh outsourcing yang mendengar cerita tentang buruh-buruh outsourcing di pabrik lainnya telah berhasil diangkat menjadi buruh tetap, karena bantuan serikat buruh melalui aksi grebek pabrik. Setelah mendapatkan kontak para buruh outsourcing ini kemudian menghubungi serikat buruh tertentu untuk meminta bantuan. Setelah itu biasanya mereka akan mendatangi sekretariat serikat buruh, atau saat ini juga terdapat beberapa shelter yang menjadi tempat berkumpul aktivis serikat buruh, tapi bukan merupakan kantor resmi serikat. Misalnya, Rumah Buruh yang dibangun oleh FSPMI Bekasi–  di sekretariat tersebut, mereka akan berdiskusi dan mendapatkan pengetahuan-pengetahuan mendasar mengenai hukum ketenagakerjaan, terutama terkait dengan penggunaan buruh outsourcing, hak-hak normatif, dan keserikatburuhan.

Setelah proses pembekalan singkat tersebut, dan disepakatinya beberapa hal, seperti akan menjadi anggota serikat buruh tingkat pabrik yang berafiliasi pada serikat yang melaksanakan grebek pabrik. Serikat yang diminta akan memutuskan untuk melakukan penggerebekan atau tidak. Jika diputuskan Iya, maka serikat tersebut akan menentukan kapan dan bagaimana aksi grebek dilakukan, untuk kemudian segera melakukan koordinasi lapangan.

Sedangkan pada pabrik yang telah memiliki serikat buruh, aksi grebek pabrik biasanya berawal dari tuntutan serikat agar pihak manajemen mengangkat status buruh outsourcing menjadi buruh tetap, yang diajukan melalui perundingan. Ketika proses perundingan menemui jalan buntu, saat itulah pengurus serikat menghubungi perangkat di atasnya untuk meminta bantuan aksi grebek pabrik.

Gambaran mengenai tahapan selanjutnya dari aksi gerebek pabrik, saya peroleh dari beberapa aktivis Forum Komunikasi dan Informasi (FKI-SPSI Bekasi). Karena itu, informasi berikut hanya menggambarkan bagaimana aksi grebek pabrik secara umum dilakukan oleh FKI, sehingga sangat mungkin terdapat beberapa perbedaan dengan cara dan langkah-langkah penggerebekan pabrik yang dilakukan oleh serikat lainnya.

Setelah menghubungi perangkatnya, mereka yang menjadi penangungjawab tertinggi di FKI (dalam bentuk Presidum yang terdiri dari tujuh orang, satu Pangkorlap, dan satu Sekjen), akan saling berkoordinasi untuk mengambil keputusan sesegera mungkin. Begitu keputusan didapat, Pangkorlap (Panglima Koordinasi Lapangan) FKI akan mengeluarkan instruksi untuk melakukan penggerebekan. Instruksi tersebut disebar melalui pesan layanan singkat/sms, baik secara langsung kepada ratusan anggota, atau melalui beberapa ketua serikat buruh tingkat pabrik, dan yang terpenting kepada anggota dan pimpinan Relawan FKI, sebuah organisasi sayap yang dibentuk dan bekerja untuk melakukan aksi-aksi langsung. Selain melalui sms, instruksi juga disebar melalui status dan group Facebook yang dibuat oleh FKI –saat ini jumlah anggotanya mencapai 3400. Sms instruksi tersebut kemudian berkembang menjadi pesan berantai: penerima tangan pertama akan melanjutkan sms itu ke beberapa temannya, dan terus demikian, sampai tidak jarang satu orang menerima dua sampai tiga sms yang sama dari nomor yang berbeda. Sms dan Facebook sebagai media untuk melibatkan sebanyak mungkin anggota pada aksi mobilisasi terbukti efektif, mengingat semakin banyak yang memiliki handphone dengan fasilitas koneksi internet.

Mereka yang sedang berada pada jam kerja saat instruksi dikeluarkan, biasanya akan datang bersama-sama menggunakan sepeda motor langsung ke pabrik yang menjadi target penggerebekan setelah jam kerja mereka selesai. Sementara, mereka yang tidak dalam jam kerja, akan berkumpul di sekretariat FKI (disebut Mabes/Markas Besar), kemudian berangkat bersama-sama di bawah pimpinan mobil komando, menuju pabrik target penggerebekan, dimana di sana telah menunggu massa buruh asal pabrik tersebut yang sedang melakukan mogok kerja dan menutup area pabrik. Mobil komando kemudian di parkir di depan pintu gerbang, dan secara bergantian beberapa orang berorasi, diselingi dentuman musik dari sound system mobil komando. Massa mendengarkan orasi, kemudian berjoget bersama, meneriakkan tuntutan dan yel-yel ‘Hidup Buruh!’ Mereka juga berjoget bersama dalam dentuman musik dan lagu-lagu perjuangan. Pada kasus dimana aksi penggerebekan berlangsung sampai malam hari, bahkan berhari-hari, massa yang terkumpul di lokasi secara bergantian datang dan pergi. Biasanya menjelang saat-saat pergantian shift kerja, jumlah massa akan berkurang, sebaliknya saat-saat setelah pergantian shift, jumlah massa akan kembali bertambah. Menjelang jam dua belas malam (shift 1), massa kembali berkurang, dan pada jam setengah satu sampai jam dua malam, massa akan kembali bertambah dan suasana bertambah riuh.

Mereka yang pergi karena harus bekerja atau beristirahat, sedangkan yang datang setelah jam kerja mereka selesai, biasanya karena enggan untuk langsung pulang ke rumah dan ingin menghabiskan malam bersama-sama. Mereka lalu beramai-ramai datang ke lokasi penggerebekan pabrik untuk melakukan solidaritas, walau sekedar datang, ikut berjoget dan meramaikan suasana. Tidak jarang, mereka juga membawa beberapa sumbangan logistik yang didapat dari iuran teman-temannya di satu pabrik seperti nasi bungkus, rokok, kopi, mie instan, dan air minum. Banyak yang datang merupakan mantan buruh outsourcing yang telah menjadi buruh tetap karena aksi-aksi grebekan sebelumnya. Selain itu, mereka yang datang pada malam hari, melakukan sesuatu yang dekat dengan tradisi bergadang atau melakukan ronda, sesuatu yang umum dalam masyarakat Indonesia. Secara umum ada dua pendorong utama terjadinya aksi solidaritas terhadap aksi grebek pabrik: pertama, karena pengalaman eksploitasi selama menjadi buruh outsourcing ditambah oleh rasa terimakasih mereka pada aksi-aksi grebek pabrik; kedua, latarbelakang kultural berupa bergadang dan ronda.

Mereka yang datang-pergi sesuai dengan pergantian shift, membuat jumlah massa kerap stabil, tidak berkurang atau bertambah dalam jumlah yang signifikan –kecuali pada aksi grebekan yang memakan waktu berhari-hari, jumlah massa yang bergiliran datang biasanya akan terus berkurang. Jumlah massa yang stabil, dan terus berteriak-teriak di luar pabrik, ditambah suara musik yang keras, telah membantu tim perunding yang masuk ke dalam pabrik untuk lebih mudah menekan pihak manajemen agar memenuhi tuntutan buruh. Tekanan massa, dan perasaan terancam pihak manajemen merupakan aspek vital pada aksi penggerebekan pabrik dalam menghasilkan kesepakatan yang menguntungkan pihak buruh.

Untuk menjelaskan aspek ini, salah satu Presidium FKI, Teguh Maianto, bercerita bahwa salah satu faktor penting yang mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan grebek pabrik adalah penentuan waktu mogok. Jika waktu yang dipilih ketika pihak manajemen tidak sedang berada di dalam pabrik, maka efektifitas aksi grebekan akan berkurang secara signifikan. Jika manajemen ada di dalam pabrik, kemudian terjebak dalam aksi grebekan dan tidak bisa keluar, secara pribadi ia akan merasa dalam kondisi terancam, dan dengan begitu pihak buruh akan memperoleh kesepakatan yang menguntungkan. Sebaliknya, jika pada saat penggerebekan manajemen tidak ada di dalam, maka tidak akan muncul perasaan terancam sehingga biasanya pihak manajemen akan mengulur-ulur proses perundingan, termasuk dengan cara melimpahkannya kepada pengacara yang dengan mudahnya akan meneruskan kasus ini pada proses pengadilan hubungan industrial. Hal ini jelas membuat proses penggerebekan memakan waktu lebih lama dan kehilangan efektivitasnya.

Sebagai catatan tambahan, dalam beberapa kasus, seperti yang terjadi pada PT. Toppan Printing, Cibitung, kondisi terancam pihak manajemen ketika melakukan perundingan dan mengambil kesepakatan di bawah tekanan massa, justru menjadi bumerang bagi serikat buruh di pabrik tersebut. Beberapa hari setelah kesepakatan pengangkatan status buruh outsourcing menjadi buruh tetap diambil (biasanya dalam bentuk Peraturan Bersama/PB, dan dikeluarkannya SK Pengangkatan), pihak manajemen mengingkari hasil kesepakatan tersebut dengan alasan berada dalam kondisi terancam ketika menandatangani hasil kesepakatan, kemudian menyerahkan kasus tersebut pada pengacara. Pada kasus PT. Toppan, tindakan pengingkaran pihak manajemen tersebut diikuti dengan tindakan pemecatan ketua dan pengurus serikat buruh PT. Toppan.

***

Selanjutnya saya akan mendiskusikan dinamika internal serikat buruh yang membuat aksi grebekan dapat berkembang, diterima, dan menjadi salah satu strategi konfrontasi yang populer. Aktivis LIPS Syarif Arifin, melihat aksi grebek pabrik sebagai pengembangan dari aksi-aksi solidaritas antarpabrik dan strategi aksi sweeping yang telah berjalan sebelumnya. Bentuk dari aksi solidaritas ini dimulai dari tindakan-tindakan sederhana, seperti saling menyumbang kebutuhan logistik mogok, melakukan orasi dan menyatakan dukungan di depan pabrik, ikut menginap atau bergadang di tenda yang didirikan di depan pabrik, sampai melakukan aksi advokasi bersama. Membangun aksi solidaritas antarpabrik, selain mensyaratkan adanya hubungan-hubungan yang membangun kedekatan antar pengurus serikat tingkat pabrik, juga mensyaratkan adanya praktik-praktik konsolidasi lintas pabrik dan lintas serikat.

Sementara aksi sweeping, merupakan salah satu strategi dengan tujuan praktis agar dapat secara cepat melakukan pengerahan massa sebanyak mungkin, yang sering dilakukan terutama pada aksi-aksi besar, seperti Hari Buruh 1 Mei dan Mogok Nasional 3 Oktober. Ketika mengikuti aksi Mogok Nasional 3 Oktober, dalam menjalankan aksi sweeping, serikat buruh yang menjadi ‘koordinator aksi’ akan mendatangi beberapa pabrik yang menjadi target –baik karena secara diam-diam diminta oleh pengurus serikat di pabrik tersebut yang merasa takut pada manajemen jika secara terang-terangan mengeluarkan anggotanya untuk ikut aksi, atau karena alasan lain seperti besarnya jumlah buruh di dalamnya– kemudian memaksa manajemen mengeluarkan pekerjanya supaya bisa tergabung dalam aksi. Paksaan kepada pihak manajemen biasanya diikuti dengan ancaman akan mengalihkan aksi di depan pabrik tersebut, atau memaksa masuk ke dalam pabrik dan menarik mereka yang masih bekerja untuk mengikuti aksi. Aksi sweeping sebenarnya juga merepotkan serikat yang melakukannya, karena harus berkeliling menuju pabrik-pabrik yang menjadi target, dan melakukan tawar-menawar secara keras kepada pihak manajemen, sebelum membawa rombongan massa menuju titik kumpul aksi. Dalam beberapa kasus aksi sweeping bahkan berpotensi melahirkan konflik antar serikat, ketika ada salah satu serikat yang tidak terima jika ada pabrik anggotanya mengalami sweeping oleh serikat yang berbeda afiliasi.

Bagi mereka yang lebih suka mengasosiakan aksi buruh sebagai aksi yang sudah seharusnya berjalan damai dan tanpa kekerasan, aksi sweeping seringkali dipandang secara negatif, karena dinilai dapat merusak citra aksi buruh. Pandangan tersebut, sedikit-banyak mengabaikan jalanan sebagai sebuah arena pertarungan kekuatan. Arena yang sehari-hari terus dijadikan ajang kekerasan, paksaan, dan ancaman. Dan pada kondisi jalanan seperti itulah serikat buruh sering berhadapan dengan kekuatan-kekuatan yang menekannya, seperti aparat keamanan yang melakukan pembubaran aksi, berhadap-hadapan dengan berbagai bentuk kekerasan dari preman yang disewa perusahaan, dan lain sebagainya. Di jalanan, serikat buruh juga terus menemukan dan mengembangkan berbagai bentuk pengorganisasian dan perlawanan, melakukan berbagai bentuk protes jalanan, blokade jalan, menutup akses-akses menuju kawasan industri, untuk menegaskan kembali eksistensinya.

Kedua pengalaman tersebut, ketika melakukan aksi solidaritas antarpabrik dan aksi sweeping, telah memberikan serikat buruh landasan pengalaman untuk melakukan pengembangan bentuk-bentuk mobilisasinya ke dalam aksi grebek pabrik.

Abu Mufakhir, peneliti Lembaga Informasi Perburuhan Sedane (LIPS)


[1] Angka tersebut merujuk kepada data kepolisian yang dikutip oleh harian Gatra: http://www.gatra.com/nusantara/nasional/18638-mogok-nasional,-buruh-kepung-jakarta.html

[4] Kisah perjuangan buruh PT. Hero spk, Cibitung ini dikutip dari tulisan Sherr Rin (2012), Pembebasan Budak, Menyebar Benih-Benih Perlawanan, di http://spai-fspmi.or.id/pembebasan-budak-menyebar-benih-benih-perlawanan/

 

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.