Kredit foto: Walhi Jambi
Kawan-kawanku sekalian,
PERDEBATAN-perdebatan terkini antara dua kandidat dalam pemilu presiden (Pilpres) Indonesia, mengingatkan kita bahwa pertarungan untuk memperebutkan tanah membentuk benang merah di sepanjang sejarah kapitalisme. Meski telah terjadi perubahan besar dalam hubungan antara akumulasi kapital dengan ekonomi petani (peasant economies), ada aspek yang terus berlanjut dalam cerita ini. Kendati ada beragam bentuk kepemilikan pribadi atas tanah dalam kapitalisme, dalam perkataan Marx di Volume III Kapital, akan selalu “berlaku bahwa orang-orang tertentu menikmati monopoli atas porsi tertentu dari dunia yang dijadikan area eksklusif dari kehendak pribadinya dengan mengeksklusikan orang-orang lain.” Dan karena proses eksklusi ini secara historis terhubung dengan perampasan dan pengusiran, kolonialisme dan penaklukan, spekulasi finansial dan perusakan lingkungan, permasalahan tanah tidak pernah lepas dari kotoran yang melekat pada tangan para anggota kelas penguasa yang terlibat di dalam semuanya ini.
Dalam surat ini, saya ingin berfokus pada pertanyaan mendasar: mengapa ‘masalah agrarian (agrarian question)’ terus relevan di bawah kapitalisme? Seperti halnya dengan semua pertanyaan mendasar lainnya, jawabannya tidaklah sederhana. Proses-proses konkret yang melaluinya ekonomi petani diintegrasikan ke dalam pasar global sangat bervariasi dari masa ke masa, antara wilayah-wilayah yang berbeda di dunia, zona-zona ekologis, dan bergantung pada karakter spesifik agen-agen kapital maupun relasi-relasi sosial sebelumnya di area tersebut pada momen perjumpaan mereka. Integrasi tidak pernah menjadi proses yang lancar-lancar saja, dan seringkali diiringi dengan kompromi-kompromi yang rumit antara aristokrat lama, pemburu rente yang baru dan kapitalis oligarkh, juga antara seluruh kelas-kelas pemilik tanah, negara, dan produsen-produsen kecil. Hasilnya, dalam banyak kasus, berbeda dari pola stereotipikal pertanian kapitalis yang dibayangkan oleh beberapa pemikir sosialis, di mana perkembangan kapitalis diyakini akan menciptakan buruh-buruh tani yang terproletarisasi secara penuh dan bekerja dalam lahan-lahan pertanian raksasa seperti di pabrik—meski tentu ada banyak kasus di mana kapitalisme pertanian mengambil bentuk ini.
Pengamatan-pengamatan ini telah membentuk titik tolak perdebatan panjang di antara para pemikir Marxis, yang kalau ditelusuri bermula dari Marx sendiri. Sebagaimana umumnya diketahui, teori sewa tanah, yang menjelaskan bagaimana kelas tuan-tuan tanah yang berada di luar inti dikotomi proletar-borjuis dalam masyarakat kapitalis, juga meraup nilai lebih tanpa menegasikan hukum nilai, adalah problem kunci yang harus dipecahkan Marx untuk dapat menulis Kapital. Bahkan setelah ia menuntaskan problem ini secara teoretis, hasratnya untuk menemukan penjelasan-penjelasan historis atas banyaknya variasi dalam bentuk-bentuk konkret kepemilikan tanah di Eropa, di koloni-koloni orang kulit putih, India, dan Rusia, telah menghambat upaya Marx untuk menyelesaikan manuskripnya untuk Volume III. Di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, masalah agraria membelah kaum Marxis Rusia dan kelompok populis dan menuntun pada polemik legendaris antara Lenin dan Karl Kautsky. Sepanjang abad ke-20, ekonom-ekonom pembangunan dan pemikir-pemikir teori dependensi menempatkan pertanyaan tentang pembagian tanah pada peran sentral dalam upaya-upaya bangsa terjajah, semi-terjajah, dan bekas terjajah untuk melepaskan diri dari kemiskinan. Perdebatan-perdebatan ini tidak pernah sekadar menjadi perdebatan abstrak. Gerakan-gerakan komunis di banyak bagian dunia menemukan posisi mereka di garis depan revolusi petani dan kaum miskin di desa melawan tuan-tuan tanah. Secara paradoks, dan patut disayangkan dari gerakan-gerakan yang seringkali heroik ini, ‘sosialisme negara’ juga terbukti telah menjadi perampas tanah petani yang agresif.
Pentingnya masalah agraria sepanjang sejarah kapitalisme secara langsung berhubungan dengan tema ‘akumulasi primitif’ yang telah saya diskusikan dalam dua surat sebelumnya (di sini dan di sini). Dalam Volume I Kapital, Marx membahas secara panjang lebar tentang komodifikasi tanah dan penghancuran komunitas-komunitas desa sebagai prakondisi penting untuk perkembangan kapitalis. Namun, beberapa kompleksitas yang dihadapi oleh penulis-penulis Marxis mengenai pertanyaan ini juga muncul dari sumber yang sama. Jika perkembangan kapitalis mensyaratkan penghancuran relasi sosial agraria pra-kapitalis, bagaimana bisa relasi-relasi pra-kapitalis ini terus ada dalam sistem kapitalis pada periode dewasanya? Saya percaya bahwa salah satu elemen krusial dari solusi atas pertanyaan ini adalah pengakuan bahwa bagi Marx, baik privatisasi tanah dan perampasan dari produsen-produsen langsungnya di satu sisi, maupun pengenalan modus produksi kapitalis dalam pertanian adalah dua momen perkembangan kapitalis, tetapi tidak selalu dan tidak harus terjadi secara berurutan. Tidak ada keraguan bahwa Marx melihat keduanya sebagai prakondisi perkembangan kapitalis. Tetapi yang terakhir dianggapnya hanya sebagai hasil jangka panjang. Pembagian ini sangatlah jelas dalam sebuah bagian di Volume III Kapital, yang secara eksplisit mulai dari diskusi mengenai ‘akumulasi primitif’ di Volume I.
“Dalam bab tentang “akumulasi primitif” kita melihat bagaimana modus produksi ini bergantung pada bagaimana para produsen langsung ini dibebaskan posisi marjinalnya atas tanah (sebagai hamba, budak, dll.) dan di sisi lain pengusiran massal manusia dari tanahnya. Dengan demikian, monopoli kepemilikan tanah adalah prakondisi historis modus produksi kapitalis dan tetap merupakan fondasi permanennya, sebagaimana moda produksi-moda produksi sebelumnya berdiri di atas eksploitasi massa dalam satu bentuk atau lainnya. Tetapi bentuk kepemilikan tanah yang menyambut modus produksi kapitalis pada mulanya tidak berkorespondensi dengan modus ini. Bentuk yang berkorespondensi dengannya hanya diciptakan oleh modus produksi kapitalis itu sendiri, melalui penundukan pertanian pada kapital; dan dengan jalan ini kepemilikan tanah feodal, klan atau petani kecil ditransformasikan ke dalam bentuk ekonomi yang berkorespondensi dengan modus produksi ini, bagaimanapun ragamnya bentuk-bentuk legal yang digunakannya.” (Huruf miring dari Marx, diambil dari terjemahan baru dari manuskrip Marx tahun 1864-1865. Bagian ini sendiri dimasukkan Engels secara penuh ke dalam edisi Volume III.)
Urutan yang ditunjukkan di atas selaras dengan keyakinan Marx yang sering diucapkan, bahwa “produksi kapitalis berkembang pertama-tama dalam industri, bukan pertanian, dan hanya menjumpai yang terakhir pada tahap-tahap berikutnya” (Teori Nilai Lebih, Volume III, bab 20.II.c).
Terus berlangsungnya proses ‘perjumpaan pada tahap-tahap berikutnya’ ini, dalam pandangan saya, kurang menyuguhkan problem teoretis dan lebih banyak merupakan serangkaian problem-problem historis-konkret, sama seperti keputusan akhir tentang bagian-bagian mana dalam kehidupan manusia yang dikomodifikasikan dan mana yang tidak, bergantung pada kondisi-kondisi historis dan bukan hanya pada batas teoretis komodifikasi dalam kapitalisme. Berekspansi ke wilayah kepemilikan tanah, bentuk-bentuk pertukaran dan produksi kapitalis menghadapi pada saat bersamaan seluruh kondisi-kondisi konkret yang membatasi. Tanah adalah sumber utama kekayaan dari seluruh kelas penguasa sebelumnya. Ia adalah fondasi material dari ekonomi subsisten dan komunitas yang menggarapnya. Ia adalah titik utama di mana alam sendiri berintervensi dalam produksi dan menaruh batas ekologis pada metabolisme sosial kapitalisme, interaksi manusia dengan lingkungannya yang terjadi secara sosial. Ia adalah fondasi teritorial yang di atasnya kedaulatan negara dibangun, dan juga sumber kunci pemasukan negara. Kadang-kadang ekspansi cepat dari sistem ini mendorong para kapitalis dan negara untuk menyerang batas-batas itu secara simultan, bahkan dengan meresikokan kesejahteraan sosial. Terkadang momen-momen stagnasi atau kontraksi dapat mentransformasikan pertanian di perbatasan akumulasi kapital menjadi buffer zones untuk “kehilangan” sejumlah tenaga kerja (tenaga kerja cadangan dalam istilah Marx), atau untuk membuang sebagian ongkos reproduksi sosial (istilah yang dipopulerkan oleh feminis sosialis seperti Tithi Bhattacharya). Aneka bentuk legal yang di bawahnya kemajuan kapital berlanjut seringkali mengizinkan kemajuan dan konsolidasi menampakkan diri sebagai pemeliharaan tradisi. Namun, sebagaimana ditunjukkan secara ekstensif oleh Jairus Banaji dalam studinya tentang hubungan antara petani-petani di India Selatan dan pasar global, apa yang nampak sebagai tradisi seringkali mengandung penciptaan bentuk-bentuk perantara baru di bawah payung kapital.
Beberapa upaya perjuangan politik yang serius dalam beberapa tahun terakhir adalah mengenai kontrol tanah, dari perampasan tanah-tanah orang asli untuk mengizinkan pembangunan pipa-pipa minyak di Amerika Utara hingga serangan dan pembunuhan pada gerakan buruh-tani tak bertanah (MST) di Brazil. Namun bagi politisi serakah dan tuan-tuan tanah besar, ini adalah masa yang penuh dengan peluang. Fase globalisasi yang sekarang telah ditandai dengan gelombang-gelombang baru reforma pertanian. Dalam situasi sekarang ini, agribisnis global, lebih daripada sebelumnya, menundukkan sistem-sistem produksi lokal ke dalam dikte pasar global, seringkali dengan label ‘tanggung jawab sosial’ dan ‘ramah lingkungan’ demi para konsumen kelas menengah di Barat. Proses penundukan ini melibatkan segala macam kesepakatan di balik layar dengan tuan-tuan tanah besar dan spekulannya dengan mengorbankan petani kecil, yang di bawah neoliberalisme bahkan kekurangan perlindungan minimum dari negara-negara developmentalis. Brutalnya gelombang baru ini semakin diperdalam dengan dampak perubahan iklim, yang melemahkan sumber daya perlawanan komunitas-komunitas miskin melawan korporasi multinasional dan negara lokal.
Namun, bahkan fase terakhir dari globalisasi kapitalis dan pembagian tanah tidak akan begitu saja menuntaskan pertanyaan agraria bagi kapitalisme, dengan melucuti seluruh titel tradisional atas tanah menjadi kategori tunggal penggunaan komersial dan dengan membagi mayoritas populasi pedesaan menjadi petani-petani kapitalis dan proletar. Sebagaimana sejarawan agrarian Marxis, Henry Bernstein, mencatat dalam artikelnya di tahun 2002,
“sebagaimana kapital agribisnis semakin mengonsolidasikan diri melalui ‘globalisasi’ …, buruh di dunia kapitalisme kontemporer semakin terfragmentasi secara struktural, khususnya di bumi Selatan. Fragmentasi ini — termanifestasi, inter alia, dalam kesempatan-kesempatan pekerjaan dengan upah stabil yang stagnan atau menurun, meningkatnya ‘sektor informal’ di perkotaan, dan penataan kembali pasar tenaga kerja, di desa maupun di kota — juga berkaitan dengan dinamika kelas yang terjadi dalam produksi komoditi pertanian.”
Tujuan dari kepemilikan tanah dalam fase yang baru ini tetaplah, seperti yang Marx katakan, untuk menetapkan seluruh porsi dunia sebagai area eksklusif untuk “kehendak pribadi para pemiliknya dengan mengeksklusikan semua yang lain”. Tetapi kehendak pribadi ini tidak harus dibiarkan merajalela tanpa perlawanan, betapapun kaya dan berkuasanya individu-individu yang menjalankannya.***
Pepijn Brandon adalah Asisten Profesor Sejarah Sosial dan Ekonomi di Vrije Universiteit, Amsterdam, dan Peneliti Senior di International Institute of Social History. Ia terhubung dengan Huntington Library, University of Pittsburgh dan Harvard University. Ia telah mempublikasikan secara luas karya-karyanya tentang sejarah perang, kolonialisme dan perbudakan di kerajaan Belanda, juga tentang ide-ide Karl Marx dan Rosa Luxemburg. Monografnya, War, Capitalism, and the Dutch State (1588-1795) diterbitkan dalam seri Historical Materialism dari penerbit Brill/Haymarket.
Artikel ini diterjemahkan oleh Daniel Sihombing.
Kepustakaan:
Banaji, Jairus, Theory as History. Essays on Modes of Production and Exploitation (Leiden / Boston, 2010)
Bernstein, Henry, “Land Reform: Taking a Long(er) View”, Journal of Agrarian Change, Vol. 2, No. 4 (2002), pp. 433-463
Bhattacharya, Tithi (ed), Social Reproduction Theory. Remapping Class, Recentering Oppression (London, 2017)
Marx, Karl, Capital. A Critique of Political Economy, Volume III (London, 1991) Part Six
Marx, Karl, Theories of Surplus Value, https://www.marxists.org/archive/marx/works/1863/theories-surplus-value/