Arnold Ap (1 Juli 1946 – Dibunuh 26 April 1984). Kredit ilustrasi Alit Ambara (Nobodycorp).
“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan” (Pembukaan UUD 1945)
Mengapa kamu tidak berjuang di jalan Allah dan jalan orang-orang tertindas yang terdiri dari laki-laki, perempuan-perempuan dan anak-anak yang semuanya berdoa: Ya Tuhan kami, keluarkan kami dari negeri ini yang dzalim penduduknya (QS: An-Nisa [5]: 75)
SUARA menuntut “Referendum Ulang” di Papua Barat semakin gencar. Tahun 2017 lalu, sebanyak 1.8104.421 petisi ditandatangani masyarakat Papua untuk menuntut referendum diberikan kepada Komite Dekolonisasi PBB. Jumlah tanda tangan itu sudah mewakili 70,88% penduduk asli Papua Barat. Persoalan politik negara saja yang membuat petisi itu belum diloloskan Komite Dekolonisasi PBB.
Dalam skala internasional, dukungan terhadap kemerdekaan Papua Barat terus mengalir. Tujuh Negara Pasifik, Vanuatu, Tonga, Palau, Tuvalu, Kepualauan Marshall, Nauru dan Kepulauan Solomon sudah menyatakannya dukungannya secara terbuka. Tahun 2015, United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) atau Persatuan Gerakan Pembebasan Papua Barat diberikan status sebagai Peninjau di Melanesian Spearhead Group (MSG). Pemerintah Indonesia berupaya memotong langkah ULMWP di MSG dengan klaim, “Indonesialah yang berhak menjadi anggota MSG karena memiliki teritorial di Melanesia.” Meski berhasil untuk sementara (2017), masa depan ULMWP tetap terbuka menjadi anggota penuh MSG dalam beberapa waktu mendatang.
Bersamaan dengan itu, Pemerintah Indonesia terus ngotot meredam tuntutan referendum. Demonstrasi menuntut referendum dibubarkan paksa, pelakunya ditahan. Di era Jokowi (hingga 2016) penangkapan-penangkapan warga Papua meningkat sampai 6000 orang. Sekalipun tak dilakukan secara terbuka, kegiatan-kegiatan mahasiswa Papua lalu dibubarkan, pesertanya dipersekusi. Ada pula yang disetting sebagai konflik horisontal antara warga masyarakat dengan mahasiswa Papua seperti yang dialami Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) di Malang, 1 Juli kemarin. Pembubaran kegiatan, perusakan dan perampasan barang-barang mahasiswa Papua diopinikan di media dan lini masa dengan isu-isu yang tidak masuk akal, seperti tidak bayar kontrakan, tidak baiknya hubungan dengan warga sekitar, dll. Padahal, AMP Malang hanya melakukan kegiatan nontot film di sekretariat dan selama sembilan tahun berhubungan dengan warga sekitar. Ini menunjukkan bahwa Negara sudah kewalahan menghadapi tuntutan referendum yang merupakan bentuk hak asasi untuk menentukan nasib sendiri.
Tentu saja publik terpengaruh. Ungkapan-ungkapan rasis dan perlakukan diskriminatif lalu bermunculan. Ungkapan itu bertumpu pada asumsi bahwa bangsa Papua belum beradab, bangsa Jawa sudah beradab. (Padahal, mirip dengan ketika Cecil John Rhodes mengkoloni Zambia dan Zimbabwe dengan kehendak memperadabkan dunia lain, asumsi-asumsi itu secara tidak langsung menjadi pembenar atas kolonialisme Indonesia di Papua). Tak ketinggalan, mereka yang memperjuangkan referendum Papua juga dicap sebagai separatis dan mengancam disintegrasi NKRI. Di lini masa, kecaman terhadap gerakan kemerdekaan Papua diungkapkan dengan level kebencian yang sama terhadap zionis Israel. Tulisan singkat ini menyoal tuduhan separatisme terhadap gerakan menuntut referendum di Papua.
***
Separatisme kerap dipahami sebagai paham atau gerakan untuk memisahkan diri. Dalam konteks bernegara, separatisme merupakan paham atau gerakan untuk memisahkan diri dari negara tertentu. Makna ini mengandaikan bahwa separatisme selalu didahului dengan proses mengintegrasikan wilayah, penduduk, dan kekuasaan ke dalam teritori, kewargenagaraan, dan kekuasaan negara tertentu secara sukarela. Pertanyaannya, benarkah Papua Barat sebelumnya sukarela mengintegrasikan diri ke dalam NKRI?
Di Indonesia, tidak ada provinsi lain yang proses ‘integrasinya’ diperdebatkan serumit Papua. Asal-usul dan sejarah bangsa Indonesia dan Papua memang berbeda. Jika nation dimaknai sebagai satu persatuan nasib—seperti yang sering diungkapkan Sukarno dengan mengutip pernyataan Ernest Renan, nasib keduanya juga berbeda. Indonesia (Sabang sampai Amboina) dijajah oleh Belanda selama 350 tahun, sedangkan Papua Barat (Nederland Nieuw-Guinea) dijajah oleh Belanda selama 64 tahun.
Tak ada satu pun perwakilan Papua Barat berpartisipasi dalam Sumpah Pemuda 1928, juga pada saat mempersiapkan kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan 17 Agustus 1945. Mohammad Hatta dalam pertemuan antara wakil-wakil Indonesia dan penguasa perang Jepang di Saigon Vietnam, tanggal 12 Agustus 1945 menegaskan bahwa “…bangsa Papua adalah ras Negroid, bangsa Melanesia, maka biarlah bangsa Papua menentukan nasibnya sendiri…”.
Lalu kenapa Papua Barat dianggap merupakan bagian dari NKRI? Tanggal 19 Agustus 1945, Indonesia dibagi dalam delapan buah Provinsi. Salah satu Provinsinya adalah Maluku. Papua Barat diasumsikan masuk dalam wilayah Provinsi Maluku. Padahal, penguasaan wilayah Papua Barat dalam kekuasaan Provinsi Maluku direalisasikan sejak pembentukan sebuah Biro Irian tanggal 14 Desember 1953. Biro ini bertugas meneliti daerah Indonesia yang bisa dijadikan sebagai jembatan untuk merebut Irian Barat dari tangan Belanda. Hasil penelitian itu memilih wilayah Maluku Utara. Melalui UU No. 15 Tahun 1956 tentang pembentukan Provinsi Irian Barat, Soasiu ditetapkan sebagai ibukota Provinsi Irian Barat. Padahal, Soasiu berada di Kepulauan Maluku.
Setelah peresmian Provinsi Irian Barat Perjuangan, Papua Barat tetap menjadi sengketa Indonesia dan Belanda. Belanda berulang-ulang menyatakan bahwa Papua bukan bagian dari teritori Indonesia, seperti dalam Perjanjian Linggarjati dan Konferensi Meja Bundar. Merasa dikuasai Belanda, masalah Papua Barat dibawa Indonesia ke Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Konferensi Asia Afrika.
Pada 1 November 1961, Papua Barat sebetulnya sudah akan mendeklarasikan kemerdekaan. Tapi terganjal karena pemerintahan Belanda belum menyetujui. Hingga 1 Desember 1961, Papua Barat mendeklarasikan kemerdekaan, lengkap dengan Bendera Negara “Bintang Kejora” yang dikibarkan di samping Bendera Belanda, Lambang Negara “Burung Mambruk” dengan semboyan “One People One Soul”, dan Lagu Kebangsaan “Hai Tanahku Papua”.
Sejak semula, Sukarno berasumsi bahwa rencana pembentukan Negara Papua Barat merupakan negara boneka pemerintahan Belanda. Maka 19 hari pasca dideklarasikan atau pada tanggal 19 Desember 1961, Sukarno menyerukan operasi pembebasan Irian Barat yang kemudian dikenal sebagai Operasi Trikora (Tiga Komando Rakyat), yakni: gagalkan pembentukan negara ‘boneka’ Papua, kibarkan bendera Merah Putih di Papua Barat, dan bersiaplah untuk mobilisasi umum dalam mempertahankan kemerdekaan Bangsa dan Tanah Air. Suharto—mantan penguasa Otoriter Indonesia selama 32 tahun (1966-1998)—ditunjuk sebagai Panglima Komando Operasi itu.
Kenapa Sukarno memerintahkan Trikora? Ada tiga kemungkinan: pertama, Papua Barat diklaim sebagai bagian dari bekas kerajaan Majapahit. Kedua, Papua Barat dianggap sebagai bekas jajahan Hindia Belanda, sama dengan wilayah Indonesia yang lain. Ketiga, Sukarno ingin mencegah pengaruh imperialisme barat di Asia Tenggara. (Alasan pertama dan kedua hingga kini belum kuat dasarnya. Sedangkan alasan ketiga, justru terjadi ketika Indonesia dikendalikan kekuatan Orde Baru setelah berhasil menggulingkan Sukarno pada 1965-1966 hingga sekarang)
Sukarno pun mengancam akan meminta bantuan persenjataan Uni Soviet jika Belanda tak bersedia menyerahkan kedaulatan Papua Barat kepada Indonesia. Amerika Serikat yang takut Indonesia dan Papua Barat jatuh ke tangan kekuatan Blok Timur lalu mengancam Belanda jika tidak menyerahkan Papua Barat pada Indonesia. Sebagai tindak lanjut, AS mengunjungi pemerintah Indonesia untuk menyatakan dukungan agar Papua Barat jatuh ke tangan Indonesia.
Agar mendapatkan dukungan dunia, AS memfasilitasi dibuatnya perjanjian hukum antara Pemerintah Indonesia dengan Belanda di New York pada15 Agustus 1962. Perjanjian New York ini sama sekali tak mengikutsertakan wakil-wakil resmi Papua Barat. Padahal, hasil perjanjian ini berkaitan dengan kedaulatan atas tanah air mereka. Atas dasar itulah, orang-orang Papua Barat hingga kini mempermasalahkan perjanjian ini. Apalagi pada tanggal 1 Oktober 1962, Belanda sebetulnya sudah menyerahkan Papua Barat kepada PBB untuk membentuk Negara Papua Barat.
Perjanjian New York berisi kesepakatan untuk membentuk United Nation Temporary Excecutive Authority (UNTEA), semacam Pemerintahan Sementara PBB di Papua Barat, yang akan menyerahkan Irian Barat ke Indonesia sebelum tanggal 1 Mei 1963. Sementara Indonesia mendapat kewajiban untuk mengadakan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di Irian sebelum akhir 1969, dengan ketentuan bahwa: kedua belah pihak, Indonesia dan Belanda, akan menerima hasil referendum itu.
Pasca perjanjian ini, pemerintah Indonesia mulai menempatkan pasukan militernya dalam jumlah besar di seluruh tanah Papua, akibatnya, hak-hak politik dan hak asasi manusia dilanggar secara brutal di luar batas-batas kemanusiaan. Bahkan dalam pelaksanaanya pada 1969, Pepera didesain sedemikian rupa agar hasilnya ‘dimenangkan’ Indonesia. Sejumlah 1025 orang Dewan Musyawarah Pepera yang sejak awal Pro integrasi Indonesia dipilih oleh pemerintah Indonesia untuk menentukan nasib bangsa Papua. Jumlah ini tidak lebih dari 0,2 % dari total penduduk Papua yang saat itu berjumlah 815.906 jiwa. Padahal, Pepera seharusnya dilakukan dengan cara one man-one vote sesuai Perjanjian New York.
Teror, intimidasi, dan pembunuhan digunakan militer Indonesia untuk menyukseskan agar hasil Pepera ‘memenangkan’ Indonesia yang saat itu berada dalam kendali Orde Baru. Karena ketidakberesan pelaksanaan Pepera itulah, dalam arsip Harian Sinar Harapan tanggal 21 November 1969 diceritakan bahwa dalam dalam pemungutan suara yang dilakukan di Sidang Majelis Umum PBB untuk menerima atau tidaknya hasil pelaksanaan Pepera, 84 suara menyetujui, dan 30 abstain yang terdiri sejumlah negara Afrika dan Amerika Selatan.
Pasca itu, upaya memprotes pelaksanaan hasil Pepera di Papua Barat terus berlangsung. Namun, represi militer Indonesia juga semakin menjadi-jadi. Dalam catatan The Diplomat, beberapa tahun setelah referendum, kurang lebih 30.000 rakyat Papua yang dinilai memprotes integrasi Papua Barat ke NKRI dibunuh oleh militer Indonesia.
Kenapa militer Indonesia begitu brutal sejak menduduki Papua, hingga masa-masa Pepera dan setelahnya? Penulis menduga, ada hubungannya dengan kepemimpinan Suharto dan Orde Baru. Pada tanggal 13 Januari 1962, Suharto dilantik menjadi panglima Mandala dan dinaikkan pangkatnya menjadi Mayor Jenderal. Suharto juga merangkap sebagai Deputi Kasad Wilayah Indonesia bagian Timur. Atas perintah Sukarno, Suhartolah—yang penah dipecat sebagai Pangdam Diponegoro oleh Jenderal A.H. Nasution pada 17 Oktober 1959 akibat ulahnya yang menggunakan institusi militernya untuk meminta uang dari perusahaan-perusahaan di Jawa Tengah—yang memimpin Operasi Trikora sejak 19 Desember 1962. Pada 1 Mei 1963, ia diangkat sebagai Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Kostrad) dan membentuk Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib). Tanggal 3 Oktober 1965, Suharto diangkat sebagai Panglima Kopkamtib dan melakukan pembersihan besar-besaran. terhadap siapapun yang dituduh sebagai G30S.
Pasca itu, berbagai upaya ia lakukan untuk mengkudeta Sukarno yang sudah dalam posisi lemah seiring dihabisinya kekuatan PKI dan pendukungnya. Sejak 25 Juli 1966 hingga 17 Oktober 1967, Suharto adalah Ketua Presidium Kabinet yang menguasai pemerintahan menyusul keluarnya Surat Perintah 11 Maret 1966 yang konspiratif itu. 12 Maret 1967, saat dilantik sebagai Presiden, praktis sejak itulah, Indonesia sepenuhnya dalam kendali Orde Baru. Artinya, Suharto tidak lagi memegang urusan di Papua atas instruksi Sukarno, tetapi ia sendirilah yang mengintruksikan seluruh persoalan Papua sebagai kebijakan pusat. Maka sebelum Pepera dilaksanakan sekalipun, Suharto—dengan tabiat yang Anda bisa nilai sendiri—sudah berani meneken perjanjian Kontrak Karya dengan Freeport untuk mengeksploitasi perut pegunungan Grasberg pada tahun itu juga, tepatnya pada 7 April 1967. Awalnya 10 ribu hektare, lalu diperluas hingga 2,5 juta hektare pada 1989 dengan kontrak baru.
Tidak perlu penulis jelaskan bagaimana karakter kepemimpinan Suharto atau Orde Baru. Di masanya, menyebut “Papua” dituduh separatis, ditangkap tanpa pengadilan, dan/atau dibunuh. Human Right Watch mencatat, hingga 2006 telah lebih dari 500.000 warga Papua yang direnggut nyawanya secara sistematis, dan ribuan lain mengalami diskriminasi rasial, penangkapan sewenang-wenang, penyiksaan, pemenjaraan, dan pemerkosaan.
***
Hingga kini, Pemerintah NKRI menjadikan hasil Pepera 1969 sebagai dasar untuk mengklaim integrasi Papua dalam NKRI. Padahal, pelaksanaan Pepera sendiri sudah cacat. Orang Papua terus menyuarakan kemerdekaannya karena sejak awal ingin mendirikan negara sendiri. Dan NKRI memang belum memberikan kesempatan kepada mereka untuk menentukan nasibnya sendiri. Yang ada, NKRI menganeksasi sejak Trikora. Itulah sebabnya, kenapa stigma separatisme terhadap mereka memang tidak memiliki dasar.
Apalagi pasca aneksasi, hutan-hutan Papua ditebas, perut bumi dikuras. Tak peduli bahwa di beberapa wilayah itu sakral menurut kepercayaan lokal setempat, seperti yang dialami suku Amugme yang sebelumnya menduduki wilayah yang kini dikeruk Freeport.
Perlakuan NKRI terhadap Papua, hingga kini masih persis seperti apa yang pernah diungkapkan oleh salah satu arsitek Orde Baru, Ali Murtopo pada 1966 yang tertuang dalam buku Socratez Sofyan Yoman, Pemusnahan Etnis Melanesia (2007), “Bahwa Indonesia tidak menginginkan orang Papua, Indonesia hanya menginginkan tanah dan sumber daya alam yang terdapat di dalam pulau Papua. Kalau orang Papua ingin merdeka, silahkan cari pulau lain di Pasifik untuk merdeka. Atau meminta orang Amerika untuk menyediakan tempat di bulan untuk orang-orang Papua menempati di sana,”
Pasca reformasi, otonomi khusus memang sudah diberikan kepada Papua. Dimulai dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 dan diubah dengan UU No. 35/2008 di dua provinsi di Papua. Otonomi khusus memberi ruang fiskal yang besar bagi Papua, yaitu dana otonomi khusus dan dana tambahan untuk infrastruktur. Selain itu, diberikan dana bagi hasil atas minyak dan gas dengan komposisi 70 persen untuk Papua dan 30 persen untuk Jakarta. Sementara itu, dalam hasil tambang umum (mineral), Papua mendapat 80 persen, sedangkan Jakarta memperoleh 20 persen. Akan tetapi, bukan orang asli Papua yang menikmati. Dan, bukan itu yang mereka inginkan.
Belakangan, Presiden Jokowi juga kelihatan melunak soal Papua. Tahanan politik Papua diberikan remisi meski mereka menolak. Beberapa orang Papua diangkat sebagai pahlawan meski orang Papua menertawainya. Tetapi ingat, Orde Baru belum runtuh. Maka meski di hadapan publik Jokowi menyerukan dibukanya akses jurnalistik bagi wartawan asing, militer Indonesia terang-terangan menyatakan bahwa jurnalis asing tetap harus dibatasi. Situasi di lapangan lalu tak banyak berubah. Bahkan, jumlah militer terus diperbanyak. Akses pemberitaan tetap tertutup dan disaring. Tak sekali dua kali wartawan menjadi korban represi aparat. Wartawan media hanya boleh meliput peristiwa-peristiwa tertentu dengan koordinasi militer dan kepolisian terlebih dahulu. Sedangkan wartawan asing, tetap harus izin ke 12 kementerian dan lembaga untuk meliput. Tidak heran jika aksi-aksi besar demontrasi damai di Papua tak pernah terberitakan di media massa.
Di sisi lain, Jokowi menerapkan pembangunan infrsastruktur yang kelihatan bombastis. Pembangunan yang kian mengancam itu kian terasa ketika Instruksi Presiden Nomor 16 Tahun 2015 yang berisikan upaya mengeksploitasi sumber daya alam Papua untuk pembangunan diterbitkan. Harga BBM, semen, dll memang berupaya diseimbangkan. Di saat bersamaan, dibuka jalan-jalan baru, kawasan-kawasan industri baru, perkebunan-perkebunan baru, dsb. Tapi semua program ini lapar tanah dan berpotensi menajamkan konflik antara pemerintah dengan rakyat Papua. Jangankan di Papua, di luar Papua yang sepi dari tuntutan referendum, pembangunan seperti ini akan rentan menimbulkan konflik. Sebab, penikmat terbesarnya adalah investor.
Rakyat Papua justru termarginalisasi seiring dengan transmigrasi penduduk ke Papua yang menjadi mesin pembangunanisme di sana. Saat ini, jumlah pendatang melebihi penduduk asli Papua, 60-40. Tahun 2010, Riset Demografi Jim Elmslie bertajuk West Papuan Demographic Transition and the 2010 Indonesian Census: “Slow Motion Genocide” or not? menyebut populasi penduduk asli Papua lebih sedikit 1,760,557 atau 48.73% dibandingkan penduduk non asli Papua yang berjumlah 1,852,297 atau 51.27%. Diperkirakan, pada tahun 2020 akan naik menjadi Papuan population 2,112,681 28.99% Non-Papuan population 5,174,782 71.01%. Ketimpangan ekonomipun mencolok antara transmigran dengan penduduk asli Papua. Data BPS hingga kini menyebut Papua dan Papua Barat masih menjadi provinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi.
Pada saat bersamaan, kebebasan politik dan berpendapat di sana masih dipasung. Itu sebabnya pula, kenapa sejak operasi Trikora hingga sekarang, mereka menganggap Indonesia menjajah Papua. Pelanggaran HAM yang terjadi di Papua bukan hanya menimpa aktivis politik, tetapi juga warga sipil. Tahun 2016, Setara Institute mencatat sebanyak 2.214 warga sipil mengalami penangkapan, penyiksaan, dan pembunuhan, 489 orang di antaranya aktivis politik. Sementara, Laporan ELSAM tahun 2017 mencatat rentetan kekerasan aparat masih terus terjadi di Papua tanpa proses penegakan hukum yang optimal sehingga menebalkan impunitas kekerasan di sana. Sejumlah kasus pelanggaran HAM tak pernah terselesaikan, seperti kasus Biak (1998), Wamena-Wasior (2001), dan Paniai (2014).
Maka, stigma separatis pada rakyat Papua yang menuntut referendum sungguh menyesatkan, efektif untuk melegitimasi kolonialisme NKRI di Papua di mata orang Indonesia, sekaligus membungkam upaya perlawanan terhadapnya. Namun, ideologisasi NKRI harga mati, aksi bela negara, dll yang dijejalkan aparatur ideologis negara (lembaga pendidikan, ormas agama, politisi, dll) dan aparatur represif negara (militer, polisi) bekerja efektif membuta-tulikan masyarakat Indonesia. Jargon-jargon itu membuat suprastruktur dan infratrukstur penjajahan dan penghisapan di Papua tetap terjaga. NKRI lalu dipahami mayoritas penduduk bak anugerah Tuhan yang memiliki kesatuan absolut. Padahal, NKRI hanyalah negara, hasil dari konsensus masa lalu. Para pendirinya berbeda-beda pendapat, tidak hanya tentang konsepsi negaranya, dasar negara yang menopangnya, perangkat institusionalnya, tetapi juga dalam menentukan wilayah teritorialnya. Dalam perbedaan pendapat perihal terirotial, Mohammad Hatta sejak awal berpendapat bahwa Papua tidak termasuk dalam wilayah RI.
Dengan demikian, solusi terbaik untuk Papua adalah menginsyafi ‘penjajahan’ bangsa sendiri terhadap bangsa lain dan memberikan hak pada mereka untuk menentukan nasib sendiri.***
In’amul Mushoffa, Peneliti Intrans Institute, Pegiat Front Nahdiyyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA)
*) Artikel ini adalah pengembangan dari Artikel Penulis di Transisi.org (4/6), Papua, Referendum dan Tuduhan Separatisme