BAHASAN ini, saya akui, sama sekali bukanlah suatu analisis atas sebuah isu yang sedang hangat akhir-akhir ini, yang memenuhi headline surat kabar atau menjadi perbincangan di sudut warung kopi. Namun, sebagaimana skenario sandiwara Orde Baru bahwa PKI adalah aktor tunggal dari tragedi G30S dan semua orang yang ‘berhasil’ ditangkap serta diberangus oleh pemerintah adalah para pendosa atas negara dan bangsanya, penanaman makna dari kata-kata ‘agama adalah candu’ yang disampaikan oleh Marx, juga tidak bisa dikesampingkan sebagai bahan pembicaraan dan analisis. Sampai sekarang masih saja ada yang menghubungkannya dengan ateisme, dan penghubungan sepihak yang minim atas analisis tersebut bahkan merembet sampai ke keseluruhan teori yang diperkenalkan oleh Marx atau tokoh-tokoh sosialis lain, bahkan sampai yang sifatnya mendasar seperti filsafat materialisme-dialektis.
Kali ini saya akan mendiskusikan satu topik penting, kontroversial sekaligus paling banyak disalahpahami, yakni pernyataan Karl Marx bahwa ‘agama adalah candu masyarakat.’‘Die Religion … ist das Opium des Volkes’ awalnya tercantum pada pembukaan tulisan Marx: A Contribution to the Critique of Hegel’s Philosophy of Right, yang ditulis oleh Marx pada tahun 1843 dan terbit pada tahun 1844 di Paris dalam jurnal Deutsch–Französische Jahrbücher, yang dieditori oleh Marx dan Moses Hess. Pernyataan tersebut kemudian melalui beberapa proses penerjemahan dalam beberapa bahasa, dengan salah satunya yang paling sering dikenal oleh khalayak adalah dalam bahasa Inggris yakni: ‘Religion is the opium of the people’, atau dalam bahasa Indonesia -kurang lebih maknanya juga sedikit berubah- menjadi ‘Agama adalah candu masyarakat’.
Yang menarik, menurut hemat saya, seorang Marx bersama dengan teman-temannya -atau bahkan seorang Gramsci yang memfokuskan analisisnya terhadap hegemoni budaya dan sosial- tidak pernah meramalkan bahwa ‘Die Religion … ist das Opium des Volkes’ atau segala terjemahannya dalam bahasa lain akan digunakan sebagai senjata propaganda paling mematikan dari sebuah rezim pemerintahan di sebuah negara di Timur Asia yang umurnya masih muda -jika dibandingkan dengan Perancis, Jerman, dan Uni Soviet- namun sempat mencetak sejarah sebagai negara dengan basis partai komunis terbesar di dunia, yakni Indonesia. Hal yang seringkali terjadi dalam proses penyebaran informasi ini adalah penghilangan bagian sebelum kalimat tersebut, yang menjadikan konteks dan pemaknaannya bergeser. Sesuai dengan terjemahan bahasa Inggris, pernyataan penuh dari kalimat yang ditulis Marx tersebut adalah: “Religion is the sigh of the oppressed creature, the heart of a heartless world, and the soul of soulless conditions. It is the opium of the people” (Agama adalah keluh kesah dari masyarakat yang tertindas, hati dari dunia yang tidak berhati, dan jiwa dari keadaan tidak berjiwa. Agama adalah opium masyarakat). Mungkin beberapa pembaca bisa menyadari bagaimana pengaruh dari proses terjemah, editing, dan lain-lain dalam usaha publikasi yang ternyata jelas mengubah konteks pemaknaan suatu pemikiran. Namun analisis ini tidak akan berhenti dalam penjelasan tekstual saja, karena pemaknaan dari ‘Die Religion … ist das Opium des Volkes’ -khususnya di Indonesia- telah masuk pada ranah ideologis, sehingga analisis lebih lanjut masih diperlukan.
Adalah hal yang kurang tepat untuk mengatakan bahwa Marx adalah seorang pemikir yang anti agama, karena ia telah banyak menulis topik tentang agama di awal karirnya sebagai penulis dan jurnalis, walaupun secara pribadi ia tidak memiliki komitmen dengan satu agama apapun. Ketertarikannya untuk memasukkan gagasan tentang agama diawali dengan ketertarikannya pada kritik agama yang disampaikan oleh Bruno Bauer dan terutama oleh Ludwig Andreas von Feuerbach atau lebih dikenal sebagai Ludwig Feuerbach secara radikal. Pada saat itulah Marx menemukan adanya hubungan ‘kotor’ antara gereja dengan pemegang kekuasaan yang terjadi di ranah agama dan politik Eropa pada abad 19. Marx sadar dan geram dengan kenyataan bahwa kaum elit penguasa itu menggunakan agama untuk memobilisasi rakyat untuk memenuhi kepentingan mereka sendiri. Argumen Marx bersama kawannya Friedrich Engels yang paling berpengaruh adalah bahwa agama harus dijelaskan dalam konteks kondisi sosial dan ekonomi, tidak melulu teologis dan terkotakkan pada dikotomi pahala-dosa dan surga-neraka. Dalam tulisan ini akan dibahas dua gagasan -yang paling fenomenal- dari sekian diskursus penting dari analisis Marx tentang agama, yakni agama dan tuhan sebagai produk kehidupan masyarakat dan agama merupakan ilusi masyrakat untuk memaknai (lagi) agama adalah candu.
Perlu diketahui bahwa diskusi tentang agama dan teks-teks teologis -dalam hal ini Kristiani- bukanlah sesuatu yang tidak menarik bagi masyarakat Eropa, terutama di kalangan pemikir dan filsuf semasa Marx hidup. Malah tiap-tiap negara hampir memiliki tokoh-tokoh dengan jalur analisis terhadap agama yang unik dan berbeda dari negara yang lain. Dan karya-karya teologis seperti Injil-lah yang menjadi pemantik dari diskusi beberapa pertanyaan sosial dan ekonomi yang fundamental, seperti demokrasi, hak individual, kebebasan media, dan lain-lain. Pada titik inilah Marx berkecimpung dalam lapangan filosofis dan politik.
Marx jelas-jelas adalah seorang pemikir dan teoris yang memegang filosofi materialisme dibandingkan idealisme. Menurutnya, dalam buku yang sama, bahwa masyarakatlah yang membentuk agama: ‘Man is the world of man – state, society. This state and this society produce religion, which is an inverted consciousness of the world, because they are an inverted world’, mencerminkan konsep materialisme yang dianutnya. Gagasan bahwa agama dan tuhan merupakan proyeksi dari manusia merupakan sebuah terobosan yang luar biasa karena berhasil mendobrak kepercayaan umum masyarakat tentang sosok ketuhanan. Poin utama dari analisis Marx tentang asal muasal agama adalah seperti adanya suprastruktur ideologis masyarakat yang lain, agama merupakan sebuah produk dari realitas material. Pemikiran tersebut merupakan perpanjangan dari konsep “inversi Feuerbachian” yang ditunjukkan pada salah satu karya analisis teologi paling berpengaruh pada saat itu, The Essence of Christianity. Gagasan awal Feuerbach adalah bahwa analisis yang dilakukan selama ini terhadap agama berawal dari titik yang salah, yakni di tengah. Tuhan bukanlah makhluk yang eksis sebelum kita dan menentukan eksistensi manusia (pre-existing being) namun keberadaan manusialah yang menentukan eksistensi tuhan. Marx berpihak pada gagasan tersebut, dan menyatakan dengan tegas bahwa pada titik itulah kritik agama sudah berakhir, dengan berpendapat bahwa kritik agama yang merupakan premis dari semua kritik diawali oleh Luther dan diakhiri oleh Feuerbach.
Yang menarik, namun seringkali dilewatkan, adalah bagaimana sebenarnya Marx menghargai eksistensi agama dalam kehidupan manusia sebagai sesuatu yang besar: It (religion) is the fantastic realization of the human essence since the human essence has not acquired any true reality. Di saat yang sama, kekuatan agama yang besar tersebut, menurut Marx, bisa membentuk ilusi akan kebahagiaan di dalam pikiran manusia dan menjadi semacam ‘opium’ bagi orang-orang yang sakit sebab bisa meredakan penyakit dan kesengsaraan. Inilah yang dikritik Marx, yakni ilusi kebahagiaan yang bisa melemahkan semangat perlawanan kaum tertindas terhadap kelas di atasnya yang bersifat opresif dan menjadikan masyarakat sebagai orang yang tidak berjiwa dan tidak berperasaan. Bagi sebagian orang yang menganut agama, gagasan bahwa mereka akan bertemu lagi dengan orang-orang tercinta yang sudah meninggal terlebih dahulu di sebuah tempat yang jauh lebih baik dari dunia (surga), membantu mereka untuk berhadapan dengan ketidakadilan dan kekecewaan yang mereka alami di kehidupan sehari-hari.
Seperti yang sudah disebutkan di atas, tidak seperti para filsuf dan kritikus agama lain yang memilih jalur teologis, Marx melakukan analisis terhadap agama dengan mengaitkannya pada aspek sosial dan ekonomi. Jalur analisis yang dipilihnya tersebut melahirkan suatu penekanan pada hubungan antara alienasi dan agama. Dalam tulisannya di awal tahun 1840an, ia menjelaskan panjang lebar alienasi manusia karena kekuasaan kapitalisme; kita teralienasi saat perkembangan kapasitas manusia digagalkan karena opresi dari pemilik modal dan permesinan. Alienasi merupakan suatu fitur permanen yang akan selalu ada dalam masyarakat yang terbagi atas kelas-kelas. Dalam hal ini, menurut Marx, agama merupakan refleksi dari alienasi manusia dalam masyarakat yang setiap harinya merasa tertekan dengan kekuatan kapitalisme. Dalam kata lain, agama akan menjadi sebuah penenang atau pereda rasa sakit yang digunakan oleh orang-orang yang tertindas secara sosial dan ekonomi dalam masyarakat yang terbagi atas kelas-kelas.
Sebagai kesimpulannya, Marx memiliki alasan kuat yang untuk menyatakan bahwa tuhan dan agama terbentuk karena adanya suatu masyarakat kelas dan mereka membantu individu bertahan hidup di bawah tekanan. Sebagai seorang materialis yang peka terhadap lingkungan masyarakat sekitar, ia menyadari bahwa agama terkadang digunakan sebagai alat penggerak dan pendompleng kekuasaan oleh kaum kapitalis dan pada saat yang sama dijadikan sebagai sebuah ilusi untuk membuat mereka yang tertindas terus patuh dan tidak berdaya terinjak oleh kekuasaan. Jika kita mampu menelisik lebih dalam pada diskursus yang disampaikan Marx, kita akan menyadari bahwa ia sebenarnya berupaya menyadarkan umat beragama agar tetap menjadi bijaksana atas apa yang dipercayainya, bukan menyebarkan paham atheisme seperti yang digembar-gemborkan melalui propaganda rezim Orde Baru.
Setelah memahami dasar pemikiran Marx yang mendasari kritiknya terhadap agama, perlu bagi saya untuk menekankan sekali lagi bahwa Marx bukanlah seorang pemikir yang anti agama. Jika ia adalah seorang anti agama maka tidak akan lahir analisis-analisis sosial politik yang secara esensial sebenarnya bercikal bakal dari representasi kehidupan yang ada di karya-karya teologis. Dalam kata lain, secara esensial, apa yang selama ini dilakukan terhadap ‘Die Religion … ist das Opium des Volkes’ oleh beberapa pihak adalah interpretasi tidak utuh yang dibumbui dengan kepentingan politik atau ekonomi, atau jika meminjam istilah Marx, kepentingan kekuasaan kapitalisme. Dalam hal ini saya pun tidak menyangkal pentingnya kemampuan serta pemahaman bahasa serta ketelitian menganalisis dalam memaknai suatu diskursus. Terakhir, bayangkan jika pemaknaan dan penjelasan yang disampaikan selama ini dilakukan secara utuh secara tekstual dan bersih dari kepentingan maka Marx tidak perlu menjadi musuh kaum agamis -setelah menjadi lawan dari masyarakat kapitalis- yang terus menjadikannya bahan ceramah pembenaran atas diri sendiri.***
Penulis adalah seorang penulis lepas