Alangkah beruntungnya penguasa bila rakyatnya tidak bisa berfikir (Adolf Hitler)
Harapan adalah sarapan yang baik, tetapi merupakan makan malam yang buruk (Francis Bacon)
Dalam membangunkan harimau, gunakan tongkat panjang (Mao Zedong)
KITA bukan sekali punya wakil rakyat. Saat usia Republik masih muda, kita sudah punya anggota parlemen yang pintar. Berdebat soal ideologi, rumusan konstitusi hingga memastikan arah bangsa. Tumbuh pada masa pembentukan Republik, mereka seperti kilatan cahaya. Memberi kebanggaan dan inspirasi. Terutama pada saat ideologi apapun dapat berdiri. Natsir bisa debat dengan Aidit. Begitu pula Syafruddin Prawinagera bisa debat panas dengan Nyoto. Meski nanti berujung pada minum kopi bersama.
Garis hidup politisi saat itu simpel: sederhana, punya pikiran besar dan punya partai yang militan. Berlarut-larut perdebatan di antara mereka tak menciutkan hubungan erat yang terjalin. Kisah indah terukir bagaimana Natsir bisa bonceng vespa dengan Aidit. Sungguh itulah masa terbaik politisi kita: cerdik, tangkas tapi santun. Hingga Demokrasi Terpimpin mengubah suasana itu. Soekarno meneguhkan kekuasaanya, ia berayun di antara ideologi yang mau disatukan: nasionalis, agama dan komunis. Serdadu menyeret diri dalam medan politik. Periode ini ditutup dengan peristiwa keji yang hingga hari ini tak mudah dibongkar. Peristiwa yang mengantar Soeharto ke kursi penguasa.
Soeharto bukan politisi. Ia memimpin dengan keinginan sederhana: berkuasa tanpa batas dan gantungkan diri pada sistem kapitalis. Guna meraih itu semua dibonsailah partai politik. Jumlahnya diciutkan dan politisi hanya memerankan diri sebagai tukang stempel atas semua kebijakan dan keputusannya. Parlemen hanya jadi kepanjangan tangan Soeharto sehingga apapun yang Soeharto katakan sudah serupa dengan wahyu. Tak bisa digugat dan mustahil dibantah. Diktator ini diberi kekuasaan begitu panjang. Selama 32 tahun ia telah mengubah apa yang dinamakan dengan politisi. Bukan orang yang cakap dalam gagasan tapi orang yang mahir menyesuaikan diri dengan situasi. Tidak merupakan sosok yang pintar dalam berargumentasi tapi jadi pribadi yang berfikir untuk kepentingan dirinya sendiri. Maka politisi yang lahir di masa Orde Baru mirip dengan bunglon: berubah sesuai dengan keadaan dan berpendapat sejajar dengan situasi. Tak tahu Soeharto kalau dirinya memelihara monster. Politisi seperti inilah yang memakan dirinya ketika berada di posisi terpojok. Loyalitas mereka tak ada karena Soeharto hanya memupuk akal licik yang bisa dimanfaatkan kapan saja dan oleh siapa saja.
Maka saat Soeharto hengkang kekuasaan politisi jadi luar biasa. Diberi kewenangan oleh undang-undang mereka punya banyak peran. Terutama yang berhasil duduk sebagai anggota parlemen. Penentuan posisi penting mesti melalui pintu mereka. Senayan serupa dengan pengadilan hari akhir: jadi penentu karir siapa saja yang ingin mendapat posisi. Bukan hanya itu, semua urusan perundang-undangan melalui prosedur parlemen. Secara ideal bangunan demokrasi menyandarkan kekuasaan pada parlemen. Tapi selama Orba hampir tak ada kesempatan untuk membuat parlemen jadi kekuatan yang ideal: menjadi kekuatan pengimbang kekuasaan dan tempat berproduksi berbagai aturan. Lebih-lebih partai politik dipangkas peran ideologisnya sehingga menjadi tangga karir bagi segelintir orang yang mau mengubah nasib secara drastis. Saat reformasi berlangsung parlemen dipadati oleh politisi yang memang sudah terbiasa hidup dengan cara kerja Orba. Hanya kini kekuasaan tak lagi memusat ke Soeharto tapi berpencaran ke semua penjuru. Terutama pada partai politik yang menghasilkan produk namanya politisi. Mereka lahir dari rahim partai atas dasar modal dan popularitas. Kenyataan ini yang membuat Parlemen merupakan cerminan wajah politisi kita. Kebal, kuat dan terus meluaskan pengaruh. Sulit untuk membatasi pengaruh mereka apalagi melucuti wewenangnya.
Walau arus keras dan kritik berlangsung tapi parlemen seperti rumah baja. Kebal atas saran dan malas untuk mengikuti opini. Kasus yang belakangan ini jadi bukti: Pansus untuk KPK. Begitu percaya diri mereka melakukan rangkaian manuver untuk membekuk KPK. Seperti biasa, alasan yang digunakan prosedural dan sedikit patriotik. Meski ada partai yang menolak untuk terlibat tapi lebih banyak yang setuju dengan upaya membonsai peran KPK. Sebabnya sederhana: KPK telah membuka banyak mata atas busuknya parlemen. Kasus paling ngetop adalah E-KTP. Serupa kartu domino, kasus ini menyeret banyak anggota penting parlemen. Didesak oleh pengusutan KPK maka dengan geram parlemen mencoba membuat siasat dengan Pansus. Digebuk oleh pernyataan anggota Pansus, KPK jadi lembaga yang kini berhadap-hadapan dengan Parlemen. Lagi-lagi kita menyaksikan paradoks tentang anggota parlemen. Ia mengubah diri dari wakil rakyat menjadi wakil dirinya sendiri. Jujur saja godaan apa yang membuat mereka bisa-bisanya melakukan tindakan memalukan ini?
Mengusut riwayat sejarah parlemen tentu kita harus menciutkan target. Sejak Orba parlemen seperti panggung boneka. Digerakkan oleh kepentingan kekuasaan dan merumuskan agenda sesuai dengan nalar penguasa. Ketika Orba runtuh bukan berarti bangunan kekuasaanya ambruk. Sendi kekuatan bergeser ke tangan partai politik. Menjelma menjadi kekuatan penopang demokrasi partai politik muncul dengan keanggotaan yang sebagian adalah jaringan Orba. Golkar yang memiliki kekuatan dan jaringan terstruktur telah membuktikan diri mampu meraih posisi teratas. Konflik pengurus malah memunculkan partai politik yang tak beda jauh dengan Golkar. Sibuk merias diri dengan cita-cita perubahan tapi tak mendorong munculnya program yang progresif. Lebih-lebih regulasi Pemilu telah meniadakan munculnya partai alternatif. Syarat administratif yang ketat membuat partai politik harus punya modal besar dengan jangkauan yang tersruktur baik. Padahal politik massa mengambang pada masa Orba membuat kesempatan untuk membangun organ politik yang mengakar sulit dilakukan. Itulah yang kemudian melahirkan politisi mengambang.
Rahim yang melahirkan politisi ini jika diidentifikasi berasal dari berbagai latar belakang. Para pimpinan partai kebanyakan dari jaring penguasa di masa Orba. Sebagian di antara mereka alumni dari pengurus Golkar. Konflik saat Rakernas lalu mendirikan partai baru. Di antara mereka ada pula yang mantan jenderal. Di luar itu adalah aktivis Ormas yang mampu hidup karena mahir menyesuaikan diri dengan irama Orba. Pengalaman merawat jaringan membuat mereka mahir untuk menghidupkan mesin politik yang berujud parpol. Tapi ada arus lain yang kuat dan berpengaruh yakni pengusaha. Kekuatan modal yang dipunyai dan jaringan usaha telah memuluskan posisi mereka untuk menduduki jabatan politik penting. Para pengusaha yang menguasai parpol memberi warna budaya pragmatis. Tiap kali muncul keputusan publik tentu yang jadi penentu adalah keuntungan bagi investasi. Wajar kalau banyak proyek pembangunan diputuskan tidak dengan pertimbangan kesejahteraan tapi kepastian usaha. Didasarkan atas situasi seperti itulah maka partai politik seperti rumah keluarga dimana para pengurusnya saling melindungi, saling menjaga, dan sebisa mungkin mendapat keuntungan.
Itulah yang membuat politik berlangsung tanpa ide perubahan yang progresif. Partai politik makin personal karena dimiliki oleh sang ketua dan parlemen hanya kepanjangan dari kepentingan sempit. Maka perbincangan politik tak bermuara pada hajat publik tapi persekongkolan dan kesepakatan keji. Pansus KPK hanya contoh paling buram dari situasi ini. Namun karena kewenangan yang dimiliki luas maka parlemen mengubah arena permainan politik jadi brutal. Otoritas yang dimiliki parlemen membuatnya punya kewenangan raksasa. Maka posisi sebagai anggota parlemen bisa menjamin untuk duduk di posisi manapun: anggota parlemen bisa jadi menteri, gurbenur hingga hakim MK. Ritme permainan ini tak bisa diubah karena posisi pemerintah juga menyesuaikan dengan langgam parlemen. Ibaratnya kekuasaan bertahan karena dukungan parlemen. Keyakinan itulah yang membuat parlemen jadi kekuatan yang perkasa dan tak ada yang mampu menandinginya.Tapi berkaca dari kekuasaan Orba maka kekuasaan semacam ini bisa rontok dengan perantaraan situasi dan gerakan.
Situasi ketidakpercayaan pada parlemen sudah banyak diketahui. Terutama pada soal Pansus KPK. Banyak keberatan dilayangkan atas sikap parlemen. Juga korupsi yang dilakukan oleh anggota parlemen menciptakan citra yang makin kusut. Ibarat produk, parlemen telah banyak mengandung cacat. Ditunjang oleh strategi pemasaran yang buruk: politisi yang muncul seringkali tampil dengan apa adanya, bukan apa yang diharapkan. Bicaranya kadang blak-blakan, sembrono dan menyakitkan. Lebih dari itu tak muncul gagasan progresif yang diperjuangkan dengan sungguh-sungguh: soal pendidikan bermutu yang murah atau problem kepemilikan tanah yang terancam olek ekspansi pembangunan. Pada soal-soal gawat seperti itu suara parlemen senyap. Tapi spontan suara gemuruh jika itu berkait dengan revisi UU KPK, penambahan jatah kursi dewan hingga RUU Pemilu. Pada kepentingan dirinya sendiri Parlemen sangat antusias bersuara. Kenyataan ini sudah diketahui dan dikenal populer. Jelas kondisi ini menimbulkan kekecewaan yang jika ada gerakan yang memperantarai akan muncul perlawanan.
Tapi suasana gerakan berbeda sekali. Bisa jadi rasa kecewa itu sudah bulat tapi jembatan menuju gerakan tak ada. Kritik pada parlemen memang lantang dan data mengenai prilaku menyimpangnya banyak. Tapi penggerak yang mewadahi rasa kecewa itu tak ada. Harapannya politisi curang itu kelak tak dipilih kembali. Paling ancamannya partai yang dihuni mereka akan berkurang dukungannya. Ini harapan tanpa jaminan. Meski pernah terjadi pada sejumlah partai yang merosot suara karena pengurusnya tersangkut korupsi. Cuman gerakan tak bisa mengandalkan pada harapan melainkan pada tindakan strategis dan progresif. Tindakan itu tak bisa didasarkan pada kampanye moralistik seperti menolak politisi busuk. Melainkan pada upaya untuk menolak sistem kepartaian yang berhamba pada oligarkh dengan program politik yang pro-status quo. Itu artinya penting didorong munculnya partai alternatif yang tidak didasarkan pada syarat administratif tapi komposisi kepengurusan dengan ideologi gerakan. Begitu pula sudah waktunya partai politik yang pengurusnya korup dihukum dengan tidak diperkenankan ikut berlaga lagi dalam kompetisi politik berikutnya.
Usul ini didasarkan pada pertimbangan sederhana: politik tak mungkin berjalan stagnan seperti sekarang. Dihuni oleh politisi itu melulu dengan persoalan yang tak berubah. Bukan hanya itu kemenangan politik hanya didasarkan pada partai itu-itu saja. Butuh upaya radikal untuk mengubah aturan main dan membuat medan politik terbuka bagi tampilnya orang baru dengan gerakan politik yang berbeda. Sudah tentu usulan ini jangan dikembalikan pada ruang parlemen karena itu akan membuat kita berada pada kutukan yang sama. Politik tanpa perseteruan tapi penuh dengan perundingan. Usulan ini harus diperjuangkan oleh massa yang berjuang untuk tujuan sama dengan pertimbangan yang menguntungkan. Membayangkan parlemen berbeda isi dengan partai baru yang punya program lebih konkrit akan membawa optimisme dalam berpolitik. Bukan optimisme buta tapi keyakinan yang didasarkan pada kekuatan dan peluang yang tersisa. Jika dulu massa bisa menggenangi jalan menuntut Ahok, kini waktunya massa didorong untuk menuntut sesuatu yang lebih suci dan adil: permainan politik yang terbuka bagi siapapun dengan hukuman jelas untuk partai politik yang brengsek! Inilah dengung tuntutan sakral yang niscaya akan membuat kehidupan politik jadi punya makna dan arti agung.***