TULISAN-tulisan di bagian sebelumnya mendiskusikan bagaimana pergerakan bintang, Matahari, dan Bulan dilihat dari Bumi. Pergerakan benda-benda langit tersebut ini, dan juga pergerakan planet-planet (yang bisa diamati dengan mata telanjang, yaitu pengamatan tanpa bantuan teleskop. Kita akan mendiskusikan pergerakan planet belakangan), telah diamati oleh manusia dari berbagai generasi, dan hasil pengamatan ini dicatat dalam berbagai wujud (misalnya dalam wujud tablet tanah liat seperti pada Gambar 1) untuk bisa dipelajari generasi selanjutnya.
Catatan-catatan pengamatan ini memungkinkan manusia menyadari adanya keteraturan dalam pergerakan benda-benda langit, sebagaimana telah kita diskusikan pada tiga tulisan sebelumnya. Dalam tataran praktis keteraturan ini berguna untuk pencatatan jalannya waktu, dan memungkinkan kita membangun sistem pencatatan waktu (timekeeping) yang salah satu wujudnya adalah kalender. Adanya kalender memungkinkan kita sebagai masyarakat untuk mengingat masa lalu dan membuat perencanaan masa depan. Kesadaran akan derap waktu memungkinkan kita mengorganisasikan kerja-kerja yang rumit secara bersama-sama sebagai masyarakat. Sistem pencatatan waktu berhubungan erat dengan corak produksi masyarakat.
Keteraturan pergerakan benda-benda langit juga memberikan kita perspektif mengenai adanya suatu tatanan di alam semesta, tentang adanya suatu hukum-hukum yang mengatur pergerakan tersebut. Kita bisa melihat adanya aspek kekacauan (chaotic) di alam ini, hal-hal yang tidak bisa kita prediksi, tapi di satu sisi kita juga melihat adanya keteraturan dan hal-hal yang bisa kita prediksi dengan tepat. Adanya keteraturan inilah yang mendorong keyakinan kita bahwa alam semesta punya aturan-aturan yang bisa kita pahami, dan mungkin saja fenomena yang kita amati sebagai kekacauan adalah karena kita belum mengetahui aturan yang mendasari fenomena tersebut. Ilmu alam adalah usaha manusia untuk mencari tahu aturan-aturan dari tatanan yang menghasilkan keteraturan ini.
Penjelasan atas fenomena yang kita amati disusun dalam teori ilmiah. Teori ilmiah yang baik tidak hanya mampu memberikan penjelasan menyeluruh atas fenomena yang bisa kita amati, tapi juga dapat memberikan prediksi, dan dengan demikian dapat diuji keabsahannya. Teori-teori ilmiah yang sudah banyak dibuktikan melalui berbagai percobaan dan pengamatan lah yang kemudian ditulis dalam buku-buku teks pelajaran sekolah dan buku-buku perkuliahan.
Teori ilmiah selalu berkembang dan berubah, seiring dengan bertambahnya pengetahuan kita mengenai gejala-gejala alam yang kita amati. Di antara teori-teori ilmiah yang berhasil dan dipelajari di sekolah dan universitas, ada juga teori-teori ilmiah yang usang dan tak dipakai lagi, dan dipelajari sebagai bagian dari sejarah perkembangan ilmu pengetahuan. Contoh teori ilmiah yang sudah usang adalah teori phlogiston yang mencoba menjelaskan proses pembakaran dengan mengasumsikan adanya zat bersifat api yang bernama phlogiston. Zat yang mudah terbakar seperti kayu dikatakan mengandung banyak phlogiston dan pembakaran adalah proses pelepasan phlogiston ke udara. Di kemudian hari kita menemukan penjelasan yang lebih kuat, bahwa pembakaran adalah proses reduksi-oksidasi, yaitu reaksi kimia di mana terjadi perpindahan zat oksigen antara bahan bakar (misalnya kayu) dengan zat pengoksidasi, misalnya udara.
Tidak semua teori ilmiah sepenuhnya usang, namun dapat juga ditemukan hanya berlaku dalam ranah atau kondisi tertentu. Contohnya adalah teori gravitasi Newton. Dalam kehidupan sehari-hari kita, teori Newton mampu menjelaskan dengan baik gejala-gejala alam seperti pasang-surut, dan dalam tataran praktis memungkinkan kita meluncurkan satelit ke antariksa atau meluncurkan rudal balistik. Akan tetapi, untuk menjelaskan fenomena-fenomena di sekitar medan gravitasi yang amat kuat semacam yang ada di seputar benda-benda amat padat seperti lubang hitam atau bintang neutron, dibutuhkan teori relativitas umum Einstein. Pemahaman teori relativitas umum juga dibutuhkan untuk mengukur posisi di Bumi dengan amat sangat akurat.
Pada akhirnya, teori ilmiah adalah usaha kita untuk menafsirkan alam di sekitar kita, dan untuk membuatnya menjadi dapat dimengerti. Kita sudah melakukan ini semenjak kita bisa berpikir. Kisah-kisah mitos adalah salah satu usaha paling awal untuk mencoba memahami dunia tempat kita tinggal dan peristiwa-peristiwa yang terjadi. Kisah penculikan Persephone—putri Demeter dewi bulir gandum—oleh Hades dewa dunia bawah tanah, adalah sebuah penjelasan mengenai perubahan musim. Datangnya musim dingin, dikatakan dalam mitos Yunani kuno ini, adalah karena Persephone harus tinggal bersama Hades di dunia bawah tanah, mengakibatkan alam menjadi dingin dan gandum tak tumbuh. Kembalinya Persephone ke dunia atas tanah membangkitkan kegembiraan Demeter dan tanah kembali menjadi subur untuk ditanami.
Thor, salah satu dewa dalam mitologi Skandinavia dan inspirasi untuk karakter bernama sama dalam komik-komik Marvel, adalah penjelasan untuk kilat dan guntur. Dikatakan bahwa kilat dan guntur akan timbul bila Thor mengayunkan senjatanya, sebuah palu sakti bernama Mjölnir yang hanya bisa diangkat oleh ia seorang.
Dari membaca kisah-kisah mitologi, kita bisa melihat bahwa fenomena alam disebabkan oleh aktivitas dewa-dewi yang memiliki sifat manusia (dalam istilah lain: dewa-dewi personal). Mereka memiliki kekuatan supernatural, namun juga memiliki emosi dan konflik antar dewa-dewi, dan juga turut campur dalam urusan manusia. Dalam Baratayuda dan juga Perang Troya, digambarkan bahwa peperangan antar manusia sesungguhnya adalah proxy bagi konflik dewa-dewi.
Bila kita melihat pantheon dewa-dewi dalam berbagai mitologi, kita bisa melihat bahwa seringkali dewa-dewi yang terpenting tinggal di langit, di kahyangan. Dengan mengamati pergerakan langit, tidak sulit untuk memahami metafora yang disiratkan langit. Keteraturan langit memberikan keteraturan, dan perulangan timbul dan tenggelamnya benda langit menyiratkan keabadian. Menafsirkan dan meramalkan pergerakan langit dengan demikian menjadi salah satu tugas pemuka agama. Inilah awal dari pencatatan posisi benda-benda langit dari waktu ke waktu, dan bagaimana astrologi dan astronomi dipraktikkan secara bersamaan. Di masa kini, barangkali astrologi sudah termasuk ke dalam adat dan paham tua, atau minimal untuk bahan lucu-lucuan sembari membaca tabloid bersama teman-teman di warung kopi, namun di masa lalu astrologi adalah bagian dari sistem kepercayaan yang dianut masyarakat, dan sebuah cara untuk membaca kehendak dewa-dewi.
Oleh karena itulah dilakukan pemodelan matematis, sehingga kita dapat meramalkan posisi pergerakan benda-benda langit di masa depan, mencoba mengetahui bagaimana posisi planet-planet relatif terhadap bintang-bintang, Matahari, dan Bulan. Astronomi, dengan demikian, bermula dari astrologi. Sekarang mereka adalah dua hal yang berbeda, namun pada awalnya astronomi dan astrologi adalah satu.
Usaha untuk memodelkan pergerakan telah dilakukan oleh bangsa Babilonia kuno, namun ini baru diketahui belakangan setelah ditemukan tablet-tablet kuno yang mendeskripsikan model-model matematis yang dikembangkan bangsa Babilonia di sekitar abad ke tiga sebelum Masehi. Kita mungkin masih harus menunggu hasil-hasil penelitian terbaru untuk bisa memahami bagaimana bangsa Babilonia mencoba menafsirkan dunia di sekitar mereka berdasarkan data yang telah mereka amati sendiri.
Filsuf-filsuf Yunani adalah orang-orang pertama yang diketahui mencoba menggunakan pemodelan matematis untuk menjelaskan pergerakan benda-benda langit yang diamati. Usaha ini dimulai semenjak abad ke-6 sebelum Masehi. Apa yang berbeda dari usaha-usaha sebelumnya adalah adanya keinginan untuk mengetahui asal-usul dari fenomena yang mereka amati, dan tidak hanya sebatas usaha untuk meramalkan pergerakan mereka di masa depan. Pada periode ini, Yunani klasik terdiri atas negara-negara kota yang mandiri satu sama lain. Di negara-negara kota hidup filsuf-filsuf yang saling bertukar ide dan berspekulasi. Tidak ada kepercayaan tunggal tentang alam semesta kita, dan spekulasi yang dibuat lebih didasarkan pada estetika argumentasi dan alur penalaran ketimbang pengamatan, namun pada akhirnya mereka harus mencocokkan penafsiran mereka dengan apa-apa yang bisa kita amati dan ukur di langit. Ini bukanlah kemunculan sains modern sebagaimana kita pahami pada hari ini.
Dari pergulatan pemikiran inilah lahir kesepakatan akan adanya kesatuan dan keteraturan di alam semesta. Matematika, dalam wujud model geometris, kemudian diterapkan untuk memahami pergerakan langit. “Perkakas” matematika yang ada pada saat itu masih sangat terbatas dan pada prinsipnya baru sebatas geometri1Hal ini tidak terlalu mengherankan, karena geometri punya penerapan praktis yaitu untuk mengukur luas tanah, mengukur volume, dan mendirikan bangunan..
Satu tema yang disepakati para filsuf Yunani adalah mengenai gerak melingkar beraturan2Gerak melingkar beraturan adalah gerakan mengikuti lintasan berbentuk lingkaran, dengan kecepatan yang tetap., dan bahwa gerak ini dapat digunakan untu menjelaskan seluruh pergerakan benda-benda langit. Dari seluruh objek-objek geometri yang ada, para filsuf Yunani memercayai bahwa lingkaran adalah objek geometris paling sempurna. Kepercayaan bahwa gerak melingkar beraturan dapat menjelaskan fenomena pergerakan benda-benda langit, bukanlah sesuatu yang muncul tanpa alasan, karena—sebagaimana telah kita diskusikan pada bagian pertama—pergerakan harian bintang-bintang menunjukkan adanya keteraturan yang dapat ditimbulkan oleh gerak melingkar. Pergerakan Matahari dan Bulan, apabila tidak diukur dengan ketelitian yang tinggi-tinggi amat, juga menunjukkan pergerakan melingkar dengan kecepatan yang seragam.
Dengan mengasumsikan gerak melingkar beraturan inilah, kemudian filsuf-filsuf Yunani, dimulai dengan Eudoxus dari Knidus (hidup sekitar abad ke-4 sebelum Masehi), Aristoteles (hidup pada abad ke-4 sebelum Masehi), hingga Ptomoleus (abad ke-2 sesudah Masehi), menyusun model alam semesta yang dapat menjelaskan seluruh pergerakan yang diamati.
Model yang dikembangkan para filsuf Yunani menempatkan Bumi sebagai pusat alam semesta dan diam di tempat. Di luar Bumi terdapat berlapis lapis bola kristal yang membawa benda-benda langit pada permukaannya tiap bola kristal. Setiap bola kristal bergerak mengitari Bumi dengan kecepatan dan sudut kemiringannya masing-masing, tergantung bagaimana kita mengamatinya di Bumi.
Bola kristal jauh membawa bintang-bintang, dan bola kristal ini berputar mengitari Bumi dengan periode 23 jam 56 menit, sebagaimana kita amati. Bola kristal yang membawa Matahari, berada pada urutan ke-4 dari Bumi, mengitari Bumi dengan periode 24 jam, sementara bola kristal Bulan, yang berada di urutan paling pertama dan paling dekat dengan Bumi, berputar mengelilingi Bumi dengan periode sekitar 27.3 hari.
Sekilas semua nampak baik-baik saja dan model geosentris dengan gerak melingkar beraturan semacam ini bisa menjelaskan fenomena-fenomena teramati yang telah kita diskusikan pada bagian-bagian sebelumnya. Akan tetapi, pengamatan pergerakan planet-planet memberikan kerumitannya tersendiri dan para ahli astronomi Yunani harus berputar otak untuk dapat menyusun model yang tidak hanya dapat menjelaskan fenomena pergerakan planet-planet, namun juga mempertahankan kesempurnaan gerak melingkar beraturan. Pada bagian berikutnya, kita akan mendiskusikan pergerakan planet-planet, dan bagaimana astronom Yunani memodifikasi model mereka untuk mengakomodasi fenomena ini. (Bersambung)
Sumber bacaan
- Krivine, H. 2015, The Earth: From Myths to Knowledge, Verso.
- Krupp, E.C. 2003, Echoes of the Ancient Skies: The Astronomy of Lost Civilizations, Dover.