Ilustrasi gambar diambil dari wordpress.clarku.edu
TAHUN 2015 lalu, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat ada 5 orang yang tewas, 39 orang menjadi korban penembakan, 124 orang dianiaya dan 278 orang lain ditahan.[1] Semua jumlah tersebut terkait dengan konflik agraria di Indonesia yang semakin menunjukkan gejala peningkatan. Setahun kemarin juga mencatat peningkatan jumlah kasus sengketa tanah sejak lima tahun terakhir.
Selanjutnya, laporan KPA tersebut menyebutkan bahwa pelaku kekerasan dalam berbagai konflik agraria di Indonesia, didominasi oleh perusahaan (35 kasus), polisi (21 kasus) dan TNI (16 kasus). Dari total tersebut, 30 persen kasus terjadi di dua daerah, yaitu Riau (14,40 persen ) dan Jawa Timur (13,60 persen). Sementara daerah lain seperti Sumatera Selatan (13,60 persen) dan Sulawesi Tenggara (6,40 persen) juga menjadi titik panas konflik agraria.
Dari jumlah kasus agraria di atas, 50 persen merupakan konflik di bidang perkebunan. Sisanya, 28 persen terjadi di konflik terkait pembangunan infrastruktur (28 persen) dan sektor kehutanan (9 persen). Konflik lain juga terjadi di sektor pertambangan dan pesisir.
Apa sebenarnya yang sedang terjadi?
Krisis Ekonomi 2008 dan Perubahan Tren Pasar Global
Sejak krisis finansial 2008 mereda, kita menyaksikan fenomena global baru yang disebut dengan perampasan tanah secara luar biasa (massive land grabbing). Yaitu sebuah model pengambilalihan kepemilikan tanah di negara-negara miskin atau negara berkembang oleh perusahaan-perusahaan multinasional. The Economist dalam laporannya di tahun 2009 mencatat bahwa total ada sekitar 37-49 juta hektar yang telah berhasil dirampok sejak tahun 2006.[2] Jumlah ini diprediksi akan terus meningkat di tahun-tahun berikutnya paska krisis 2008.
Sebuah laporan di awal November 2014 dari Lund University, Swedia, membenarkan prediksi di atas.[3] Laporan tersebut memberikan gambaran mengerikan tentang ekpansi perampasan tanah. Dari total 195 negara yang diakui PBB, 126 di antaranya terlibat transaksi perdagangan tanah di mana Cina (bertransaksi dengan 33 negara), Inggris (30 negara) dan AS (28 negara) muncul sebagai pemain utama yang rajin membeli tanah dengan negara-negara di Afrika dan Asia sebagai destinasi. Negara-negara seperti Ethiopia sebagai contoh, telah menggadaikan tanahnya kepada 21 negara. Filipina dan Madagascar telah membuka dirinya untuk 18 negara berbeda. Sementara Brazil, Sudan, Mozambique dan Tanzania laris manis menjual tanah kepada investor dari 17 negara berbeda.
Model transaksi macam inilah yang disebut sebagai “perdagangan virtual baru” yang mana membuat sebuah perusahaan dapat mengimpor hal yang seharusnya tidak diperdagangkan. Berbeda dengan bentuk perdagangan virtual lama yang hanya mendefinisikan proses transaksi jual beli di bursa saham, perdagangan bentuk baru ini mengambil langkah maju yang lebih radikal. Hari ini produk-produk seperti sumber air, tanah hingga polusi diperjualbelikan melewati batas-batas negara.
Dalam kacamata ekonomi neoliberal, perdagangan virtual memiliki beberapa keunggulan.
Misalnya, negara-negara yang memiliki empat musim dan tanahnya tidak memungkinkan untuk ditanami buah-buahan tropis, dapat membeli tanah di negara-negara tropis untuk kemudian diubah menjadi perkebunan skala besar yang bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, tapi juga dapat memenuhi ambisi ekspor ke negara lain. Cara lain yang dapat ditempuh adalah dengan mengubah negara-negara yang masih memiliki lahan yang cukup menjadi lumbung pangan dunia, seperti yang sedang terjadi di Merauke, Papua, melalui program sejuta hektar sawah baru yang terintegrasi dalam skema Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE).[4] Sebagai gantinya, negara-negara yang telah merelakan tanah mereka kemudian diberikan kemudahan dalam skema pengajuan hutang dan garansi keterlibatan yang lebih luas dalam kancah politik luar negeri berbentuk aliansi-aliansi regional atau internasional.
Jenis perdagangan virtual seperti ini juga memiliki tujuan untuk mencegah monopoli sebuah negara terhadap kekayaan sumber daya alam yang mereka miliki. Monopoli oleh negara dipandang buruk karena tidak sejalan dengan skema liberalisme total di mana pasar akan diberikan kekuasaan sepenuhnya dan korporasi adalah pengendali utamanya. Jenis ‘perdagangan virtual baru’ membuat negara-negara kaya mampu memiliki akses legal untuk melakukan penggerukan sumber daya alam yang dimiliki negara-negara miskin atau negara-negara berkembang untuk meningkatkan kapasitas konsumsi domestiknya.
Sebagai contoh kita dapat melihat soal ekstraksi mineral Cobalt (Co) yang menjadi salah satu bahan baku untuk baterai ponsel pintar (smartphone). Material ini paling banyak terdapat di Kongo yang menjadi pemasok 40 persen kebutuhan pasar global,[5] selain juga cadangan di Zambia dan Republik Afrika Tengah. Di Kongo sendiri, ekstraksi Cobalt dijalankan oleh Central African Mining and Extraction Company (CAMEC), yang berkantor pusat di London, Inggris. CAMEC sendiri terkenal sebagai pelaku perdagangan kotor (Blood Cobalt) dan perbudakan anak-anak di bawah umur.[6]
Pasar Pangan dan Energi
Merebaknya jenis perdagangan baru ini, juga disebabkan oleh meningkatnya harga minyak bumi dan batu bara dalam beberapa tahun terakhir: biaya produksi yang dianggap semakin mahal sementara cadangan sumber daya yang semakin menipis. Oleh karenanya, tuntutan untuk menemukan sumber-sumber energi baru semakin menguat. Ini adalah salah satu poin pendorong lahirnya tren ‘energi alternatif’ yang mulai ramai sejak awal 2009 kemarin. Isu pemanasan global sejak satu dekade lalu telah direkuperasi sekaligus menjadi momentum yang tepat untuk ekonomi neoliberalisme bergerak merevitalisasi dirinya setelah dihantam krisis. Ditambah lagi dengan meningkatnya laju populasi di seluruh dunia, sehingga isu mengenai kebutuhan akan ketersediaan pangan menjadi hal mutlak yang tidak bisa diacuhkan.
Meski penting untuk dipahami bahwa perampasan tanah bukanlah fenomena yang baru terjadi belakangan ini. Brutalitas yang sama telah terjadi sejak beratus-ratus tahun lalu. Contohnya adalah kedatangan para kolonial Eropa untuk mencari dunia baru yang akhirnya membuka jalan terhadap perampasan tanah dan penyingkiran masyarakat asli. Contoh-contoh kasusnya membentang dari pedalaman Amazon, gurun Sahara hingga apa yang sedang berlangsung di Papua saat ini. Proses kekerasan yang secara esensi dan formasi serupa dan masih terus terjadi. Jauh sebelum tren global berubah, di Indonesia kita menyaksikan bagaimana isu konservasi lingkungan justru berbalik digunakan sebagai alasan bagi negara dan perusahaan untuk mengusir masyarakat asli dari tanah ulayat mereka. Kasus kawasan konservasi Kerinci yang mengusir Orang Rimba, penyingkiran masyarakat dari dalam Hutan Lindung Lore Lindu, hingga Malind-Anim yang harus merelakan tanah ulayat untuk pembangunan Hutan Lindung Wasior, adalah beberapa contoh di antaranya.
Namun hari ini, sesuatu yang lebih brutal sedang berlangsung. Dua krisis global yang terjadi dalam kurun waktu kurang dari dua tahun (yaitu krisis finansial 2008 dan krisis pangan di periode 2007-2008)[7] telah berhasil membuka penemuan jalan baru bagi neoliberalisme. Dua agenda yang awalnya tampak berjalan paralel kini telah menemukan titik temu dan berjalan bergandeng tangan.
Pertama adalah masalah ketahanan pangan. Banyak negara maju yang selama ini menggantungkan dirinya pada impor pangan dan selalu khawatir mengenai pengetatan pasar, akhirnya menemukan saluran baru untuk menginvestasikan keberlimpahan uang dari dalam negerinya. Investasi yang dipandang jauh lebih aman dan memberi garansi keuntungan jangka panjang dan konsisten berbentuk sistem ‘outsourcing’ dalam produksi pangan. Caranya adalah dengan membeli kontrol terhadap produksi sumber-sumber makanan di negara-negara miskin dan negara-negara berkembang melalui perusahaan-perusahaan multi-nasional. Kekhawatiran akan ketidakmampuan sebuah negara yang maju dalam ekonomi dan teknologi untuk menyediakan pangan berkualitas dan terjangkau bagi penduduk negaranya, berhasil dijawab melalui model ‘perdagangan virtual’ yang murah.
Pemerintah di negara-negara yang menjadi sasaran tembak, ditawarkan untuk mendapatkan sejumlah kecil keuntungan dari pasar pangan berupa kucuran dana segar untuk pembangunan infrastruktur dan sokongan untuk pembangunan bisnis properti yang telah terbukti dahulu gagal dan memicu krisis ekonomi global. Alasan ini mendorong Cina, US dan Inggris begitu aktif mencari ‘tanah-tanah baru’ di Afrika dan Asia sebagai cadangan pangan. Agar tampak lebih humanis, negara-negara koloni itu disebut sebagai ‘lumbung pangan dunia’. Ilusi yang sebenarnya digunakan untuk menutupi liberalisasi pangan guna kepentingan daya tahan sekaligus perluasan pasar.
Ini adalah strategi jangka panjang yang cerdas karena berhasil menjawab dua kebutuhan dalam satu sapuan. Pertama, untuk menepis keraguan mengenai krisis pangan (persoalan cadangan dan akses harga) di masa depan yang mungkin terjadi di negara-negara maju, sekaligus memberikan keuntungan karena tersedianya jumlah konsumen yang terus membesar dan jumlah permintaan yang terus meningkat.
Sebagai contoh, sejak Maret 2008 pemerintah Arab Saudi, Jepang, China, India, Korea, Libya dan Mesir telah mengutus para pejabat tingginya untuk bernegosiasi dan mencari lahan pertanian subur di berbagai tempat seperti Uganda, Brasil, Kamboja, Sudan, Pakistan, India, Indonesia dan Filipina. Proses ini dilakukan melalui sebuah praktik diplomatik bilateral maupun regional. Ironisnya negara-negara yang menjadi sasaran kerjasama tersebut justru termasuk rentan dan sedang mengalami krisis pangan domestik. Di Darfur, Sudan, misalnya terdapat sekitar 5,6 juta pengungsi yang membutuhkan makanan.[8] Di Kamboja, sekitar 100 ribu unit keluarga mengalami kekurangan pangan.[9] Di Indonesia sendiri, harga beras terus menerus melambung sejak tahun 2008 bersamaan dengan kemiskinan yang semakin meluas hingga membuat akses terhadap pangan bertambah sulit. Ironisnya untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah di negara-negara tersebut justru mengandalkan impor secara berkala dan masif. Di saat yang bersamaan membuka dirinya untuk praktek jual-beli lahan untuk industri berskala besar di bidang pertanian.
Jalur kedua adalah keuntungan finansial. Mengingat krisis keuangan saat ini, segala macam pemain di industri keuangan dan pangan – melalui rumah investasi yang mengelola dana pensiun pekerja, dana ekuitas swasta – telah bergerak aktif mencari formulasi-formulasi baru yang dapat memberikan keuntungan secara cepat, konsisten dan terus membesar. Dana-dana jaminan secara berkala dalam jumlah besar terus dialihkan dari pasar derivatif yang sekarang runtuh. Pedagang gabah mencari strategi baru dengan beralih ke tanah, sebagai sumber untuk makanan dan bahan bakar produksi
Tanah itu sendiri awalnya bukanlah investasi yang familiar untuk banyak perusahaan-perusahaan transnasional. Sebabnya, tanah dipandang sarat dengan konflik politik di mana, dalam banyak kasus, selalu mengalami problem mengenai kepemilikan dan beberapa peraturan pembatasan yang mengatur soal pelarangan pihak asing untuk tidak dapat membeli lahan. Mengalihkan model dagang dengan menyasar tanah juga bukan pekerjaan yang murah dan singkat. Untuk mendapatkan keuntungan, investor harus meningkatkan kapasitas produksi tanah yang tentu saja memakan waktu dan biaya. Hal ini juga berarti beban kerja yang lebih berat jika dibandingkan dengan bisnis finansial atau tambang mineral. Tapi krisis gabungan antara kelangkaan sumber makanan dan problem di sektor keuangan telah mengubah nilai lahan pertanian di mata investasi. Fakta lain yang mendukung adalah murahnya harga tanah di negara-negara miskin dan negara berkembang. Kondisi yang turut dipengaruhi oleh pelemahan nilai tukar mata uang dan ketergantungan ekonomi negara-negara selatan yang telah berlangsung selama puluhan tahun.
Negara-negara maju yang telah sejak lama menyerahkan kendali pengelolaan kepentingan publik kepada korporasi dengan mudah memberikan mandat bagi badan-badan multinasional ini untuk ikut terlibat. Sebab lainnya adalah ketidakberdayaan negara pasca krisis finansial yang membuat banyak pemerintahan tidak memiliki dana yang cukup untuk melakukan invetasi baru berbiaya tinggi. Oleh karenanya, menyerahkan kerja-kerja tersebut kepada perusahaan transnasional menjadi opsi yang paling masuk akal.
Itu mengapa, Anda tidak perlu kaget jika melihat ke sekeliling dan menemukan bahwa produksi pangan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan multinasional ini sama sekali tidak ditujukan untuk menjawab kebutuhan pangan masyarakat sekitar. Infografis di atas, yang menggambarkan jumlah transaksi tanah di berbagai negara, mesti dipahami sebagai bagaimana ekspansi perusahaan multinasional yang terkadang mengatasi isu-isu kepentingan domestik sebuah negara. Namun, tentu ada perbedaan mendasar yang penting digarisbawahi dari ragam investasi sektor pangan yang dimotori negara-negara maju.
Cina, misalnya, meski memiliki wilayah yang cukup luas, namun jumlah populasi yang tidak berhasil dikontrol membuat ketersediaan pangan adalah isu serius di negeri ini. Ditambah lagi dengan berkurangnya secara drastis luas lahan pertanian produktif yang berlangsung sejak dua dekade terakhir. Penyusutan tersebut tidak lepas dari masifnya industrialisasi. Ketimpangan itu jelas terlihat. Jumlah petani di Cina berkisar 40 persen dari total petani di dunia, namun lahan yang tersedia hanya 9 persen dari keseluruhan luas lahan produktif di dunia. Karenanya tidak mengejutkan jika Partai Komunis Cina menjadikan persoalan pangan dan energi sebagai prioritas. Dengan cadangan devisa yang mencapai 1,8 trilyun dolar, Cina memiliki kelimpahan finansial untuk digunakan dalam investasi.
Para pemimpin serikat tani di negara-negara Asia Tenggara telah mengetahui dengan jelas bahwa Negeri Tirai Bambu telah memulai ‘outsourcing pangan’ sejak awal 2007, jauh sebelum krisis terjadi.[10] Dengan politik luar negeri yang agresif, Cina berhasil memaksakan lebih dari 30 perjanjian investasi di bidang pertanian di kawasan Asia Tenggara. Sebagai gantinya, Beijing menyediakan teknologi, pelatihan dan kucuran uang untuk pembangunan infrastruktur pendukung, seperti dam-dam raksasa dan jalur transportasi yang nantinya akan mendukung mata rantai distribusi. Pelebaran sayap ini juga bahkan sampai ke Asia Selatan dan Afrika. Hasilnya, sekitar 12 negara telah resmi dijadikan mitra kerjasama dalam pengembangan mega-bisnis di bidang agrikultur.
Secara umum dapat dikatakan bahwa model perampasan tanah oleh Cina tergolong yang paling konservatif. Selain mengacuhkan ‘pedoman-pedoman etis’ dalam investasi, Cina sangat protektif terhadap investasinya dan di saat bersamaan berupaya dengan segala cara memaksimalkan segala peluang yang dapat menggaransikan pasokan pangan berkelanjutan untuk negara itu di masa depan. Hal ini tidak lepas dari kenyataan bahwa di dalam negeri, Cina mengalami kekurangan lahan pertanian dan sumber air yang dapat dipasok untuk menghidupi lahan-lahan agar produktif. Negeri ini ‘tidak memiliki pilihan lain’ selain menggalakkan investasi pangan di luar negeri.[11]
Selain Cina, ekspansi gila-gilaan juga dilakukan oleh negara-negara Teluk seperti Bahrain, Kuwait, Oman, Qatar, Arab Saudi dan Uni Emirat Arab. Meski patut dipahami bahwa negara-negara di kawasan Teluk ini menghadapi realitas yang sama sekali berbeda dengan Cina. Dibangun di padang gurun, negara-negara ini memiliki persoalan kelangkaan tanah dan air sebagai prasyarat untuk melakukan produksi pertanian. Tapi sejumlah besar kekayaan yang didapatkan dari minyak memberikan kekuatan untuk membayar ketergantungan mereka terhadap negara-negara penghasil pangan. Namun strategi ini bukan tanpa masalah. Ketika krisis pangan terjadi, ketergantungan terhadap nilai tukar mata uang terhadap dolar yang ikut dipengaruhi oleh krisis finansial membuat negara-negara ini kemudian mesti menanggung beban inflasi yang membengkak.[12] Apalagi ketika terjadi krisis 2008, para pekerja migran berupah rendah yang merupakan populasi mayoritas di negara-negara ini mengalami kesulitan untuk mengakses pangan sehingga mengharuskan subsidi dari negara untuk menyediakan makanan dengan harga terjangkau demi mencegah kerusuhan sosial.[13] Selain fakta bahwa industri penyewaan dan jual beli properti di kawasan ini juga ikut terpukul dengan kolapsnya ekonomi global. Ini adalah dorongan-dorongan utama yang menjadi alasan bagi negara-negara di kawasan Teluk untuk mengambil jalan lain dan mengalihkan investasi ke sektor pangan.
Melalui Gulf Cooperation Council (GCC) yang menjadi badan kerjasama negara-negara di kawasan Teluk, mereka kemudian merumuskan strategi bersama ‘outsourcing pangan’ di negara-negara produsen beras seperti Asia Selatan dan Asia Tenggara. Ide utamanya adalah melakukan penawaran (khususnya kepada negara-negara di mana Muslim adalah mayoritas, seperti Indonesia dan Malaysia) untuk memberikan pinjaman berbunga rendah, minyak dengan ‘harga khusus’ sebagai alat tukar untuk mendapatkan akses ke lahan-lahan pertanian. GCC menawarkan pembukaan anak perusahaan di negeri-negeri seperti Burma, Kamboja, Indonesia, Laos, Filipina, Vietnam, dan Pakistan yang secara spesifik menjadi kontraktor ekspor pangan ke negara-negara di kawasan tersebut.
Strategi ini tidak bisa dipandang sebelah mata. Buktinya, antara Maret hingga Agustus 2008, negara-negara GCC melalui konsorsium atau perusahaan tunggal telah berhasil mengamankan sewa terhadap jutaan hektar lahan pertanian yang memulai panen di pertengahan tahun 2009. Setelah sebelumnya di Januari 2009, GCC melakukan pertemuan yang didedikasikan untuk merumuskan poin-poin kritis terkait kerjasama regional ini sebelum kemudian disepakati sebagai kebijakan bersama yang resmi.[14]
Pemain lain dalam zona investasi ini adalah Jepang dan Korea Selatan. Pemerintah dua negara kaya dari Asia Timur ini bahkan sejak lama telah sepenuhnya bersandar kepada impor untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri masing-masing. Kebutuhan pangan dalam negeri Jepang sebesar 60 persen merupakan impor. Sementara Korea, sekitar 90 persen beras dari keseluruhan konsumsi domestik ditebus dari negara lain.
Di permulaan tahun 2008, pemerintah Korea Selatan mengumumkan bahwa mereka telah merumuskan sebuah rencana nasional untuk memfasilitasi akuisisi lahan di luar negeri dalam rangka memenuhi kebutuhan produksi makanan Korea. Rencana ini tentu saja akan diserahkan kepada pihak swasta sebagai pemain utama. Langkah awalnya adalah dengan membeli tanah di Mongolia dan Rusia Timur, untuk memproduksi makanan yang akan diekspor kembali ke Korea Selatan. Di saat yang bersamaan penjajakan kerjasama serupa juga tengah menyasar Sudan, Argentina dan Asia Tenggara.
Jepang, di sisi lain tampaknya bergantung sepenuhnya kepada sektor swasta untuk mengatur impor pangan. Sementara pemerintah bertugas memberikan bingkai politik melalui perjanjian perdagangan bebas, perjanjian investasi bilateral dan pakta kerja sama pembangunan. Ini adalah peran pasif yang diemban negara. Itu sebabnya di dalam negeri, Jepang memiliki kebijakan administratif yang menghalangi segala bentuk upaya untuk melakukan restrukturisasi dan reformasi sektor pertanian dalam negeri. Di negeri ini ada larangan yang tidak memperbolehkan keluarga atau perusahaan untuk memiliki tanah yang akan digunakan untuk bisnis pertanian. Kepemilikan tanah luas yang dipusatkan di tangan negara membuat penduduknya tidak memiliki pilihan lain kecuali menggantungkan diri pada impor.
Di tempat lain, tren investasi ini juga ikut merambah India. Sektor pertanian dalam negeri dianggap telah sangat berantakan dan membutuhkan biaya yang besar untuk memperbaikinya. Berbanding terbalik dengan tawaran yang jauh lebih murah dan lebih menjanjikan jika menggelontorkan dana untuk mengambil alih lahan-lahan pertanian di negeri asing. Perlawanan terus menerus dari serikat-serikat tani India dan gerilyawan pemberontak Naxalite terkait perampasan tanah, membuat alasan di atas semakin masuk akal. Upaya untuk meliberalisasikan tanah dalam kawasan-kawasan ekonomi khusus menghadapi masalah serius terutama di bidang keamanan. Belum lagi menyoal persoalan kelangkaan air dalam jangka panjang untuk mendukung industri pertanian. Ditambah dengan kekhawatiran soal bakal tertinggalnya India dalam percaturan bisnis pangan membuat banyak perusahaan negara kemudian mengalihkan sasaran untuk menghasilkan produk makanan di luar negeri. Jenis yang diincar adalah tanaman biji berminyak (oilseed crops), kacang-kacangan dan kapas. Strategi ini, misalnya, berjalan sukses di Burma yang di akhir 2009, berhasil memasok 1 juta ton dari total kebutuhan impor kacang-kacangan yang mencapai angka 4 juta ton per tahun untuk menutupi kekurangan produksi dalam negeri yang hanya mencapai 15 juta ton dari kebutuhan konsumsi domestik yang mencapai hampir 20 juta ton per tahun. Dengan dukungan aktif pemerintah, perusahaan-perusahaan asal India berhasil mendapatkan ijin pengelolaan lahan di Burma, dengan harga sewa dan upah buruh yang lebih murah ketimbang melakukan produksi di dalam negeri. Junta militer di Burma begitu kooperatif terhadap investasi asing. Hal yang menjadi alasan di balik dukungan finansial pemerintah India untuk pembangunan infrastruktur pelabuhan dan dorongan aktif untuk terlibat dalam perdagangan bebas.
Selain Burma, India juga melebarkan sayapnya dengan berinvestasi di Indonesia, Paraguay, Brazil dan Uruguay. Di Indonesia, India melakukan investasi serius di sektor perkebunan kelapa sawit yang menjadi sumber biofuel. Di Amerika Latin, target mereka adalah mencari tanah untuk ditanami kacang-kacangan agar bisa memutus ketergantungan terhadap produksi dalam negeri. Untuk mendukung itu semua, India melakukan deregulasi terkait ijin bagi perusahaan-perusahaan multinasional dalam melakukan kerjasama lintas negara, pembelian properti di luar negeri dan dukungan modal untuk investasi skala raksasa di bidang pertanian.
Dukungan untuk perluasan perkebunan-perkebunan yang akan menjadi sumber energi biofuel juga dilakukan oleh Inggris dan AS. Mensponsori pembukaan ladang-ladang sawit dan perkebunan tebu skala raksasa menjadi tren baru. Untuk itu, ekspansi kemudian diarahkan ke wilayah Asia Tenggara yang hangat dan masih memiliki banyak lahan yang tersedia. Filipina, Malaysia dan, tentu saja, Indonesia menjadi sasaran empuk. Inggris dan AS bahkan ikut mendukung terbentuknya pakta perdagangan sawit regional antara Indonesia dan Malaysia.[15] Pakta kerjasama ini diharapkan dapat mengurangi kompetisi antar kedua negara penghasil sawit terbesar di dunia untuk kemudian dapat saling membantu dalam ekstensifikasi industri minyak sawit mentah (crude palm oil).
Industri biofuel dengan bahan baku sawit, jagung dan tebu memang menjadi isu strategis lima tahun terakhir. Peralihan tendensi negara-negara maju dan perusahaan-perusahaan trans-nasional untuk mulai secara perlahan meninggalkan energi fosil yang tidak terbarukan menuju sumber energi yang lebih murah bukan diakibatkan kepedulian akan krisis iklim atau ketakutan soal degradasi lingkungan.
Biofuel dianggap sebagai solusi pasar yang lebih rasional. Ia sama sekali telah mengacuhkan dan akan tetap tidak peduli dengan seruan-seruan mengenai penyelamatan lingkungan yang dikampanyekan oleh aktivis lingkungan. Argumentasi paling telanjang dapat ditemukan melalui Robert J. Samuelson, yang mengatakan[16] bahwa peralihan tersebut sebenarnya sangat sederhana. Bahwa industri tidak menyukai harga bahan bakar yang tinggi. Mendapatkan sumber bahan bakar dengan harga yang lebih murah jelas menjadi tawaran menggiurkan untuk menekan biaya produksi dan memperbesar keuntungan. Untuk itu, berbagai pembenaran gila disodorkan kepada publik mengenai betapa pentingnya peralihan dari energi fosil menuju biofuel. Bahwa semua orang akan diuntungkan dari peralihan ini, mulai dari petani, kalangan konsumen dan tentu saja para pelaku industri. Bahwa biofuel akan membuka lapangan pekerjaan di desa-desa dan membuat negara mampu menghemat anggaran yang biasanya dibelanjakan untuk membeli minyak dari negara-negara asing.
Oleh sebab itu menjadi kewajaran, misalnya, jika dalam pertemuan konferensi internasional mengenai perubahan iklim beberapa tahun belakangan ini,[17] para pelaku industri dan pemegang kebijakan begitu ramah terhadap tuntutan untuk mulai mengurangi penggunaan energi tidak terbarukan yang bersumber dari batu bara dan minyak bumi. Mereka tampak berada di satu jalur yang sama dengan para aktivis lingkungan dalam upaya penyelamatan lingkungan dan pencegahan krisis iklim menjadi lebih buruk. Meskipun jika dilihat secara radikal, tidak ada perubahan komitmen yang lebih serius mengenai langkah-langkah praktis dan detil yang harus diambil untuk mencegah degradasi lingkungan semakin parah.
Itulah alasan yang ikut mendorong perluasan besar yang akhirnya menjadi industri perkebunan sawit sebagai emas baru di Asia Tenggara. Kenyataan ini tidak lepas dari fakta bahwa sawit merupakan bahan baku paling murah untuk biofuel jika dibanding dengan jagung dan kedelai. Bersamaan dengan itu, konsumsi minyak sawit di dunia terus menunjukkan gejala peningkatan dari tahun ke tahun.
Indonesia sendiri merupakan kekuatan paling besar di sektor ini dengan luas lahan mencapai 15 juta hektar (per tahun 2014) yang tersebar dari Sumatra, Kalimantan, Papua dan sebagian kecil di Sulawesi. Malaysia berada di posisi kedua dengan luas lahan mencapai hampir 5 juta hektar. Kedua negara ini menyuplai 85% kebutuhan sawit dunia.[18] Menyusul di belakangnya adalah Thailand yang memiliki sekitar 650 ribu hektar sawit.
Mega-agribisnis tentu saja memiliki masalah serius. Friends of the Earth mencatat bahwa 87 persen deforestasi yang berlangsung di Malaysia sejak tahun 1987 hingga tahun 2000 disebabkan oleh pembukaan lahan untuk perkebunan sawit skala besar. Di Indonesia, WALHI dan Green Peace telah berkali-kali menyebutkan dalam berbagai laporan mereka sejak lima tahun terakhir bahwa laju deras penebangan hutan tropis dan pengeringan lahan-lahan gambut disebabkan sebagian besarnya oleh ekspansi industri kelapa sawit. Indonesia dan Malaysia masing-masing tercatat memproduksi sekitar 25 juta dan 19 juta ton sawit mentah di tahun 2012. Thailand menyumbang kontribusi sebesar 2 juta di tahun yang sama.
Di Indonesia, dari luasan bentang lahan perkebunan sawit tersebut, sebagian besarnya dimiliki oleh perusahaan-perusahaan multinasional. Riset yang dilakukan oleh TuK Indonesia[19] menemukan bahwa 62 persen lahan sawit di Kalimantan dikuasai oleh lima perusahaan besar, yaitu Sinar Mas, Salim, Jardine Matheson, Wilmar dan Surya Dumai. Perusahaan-perusahaan ini juga dominan di Sumatra dengan penguasaan yang mencapai 32 persen dari total seluruh perkebunan.
Peralihan bentuk energi ini sebenarnya telah terjadi jauh sebelum kolapsnya ekonomi dunia di tahun 2008. Krisis finansial pada akhirnya hanyalah memperkuat basis argumentasi mengapa migrasi energi menjadi mendesak untuk dilakukan. Royal Dutch Shell misalnya, hingga tahun 2007 telah mengucurkan dana lebih dari 1 milyar US dollar selama lima tahun ke belakang untuk penelitian, pengembangan dan proyek-proyek percobaan biofuel, pembangkit listrik tenaga matahari dan atau tenaga angin, dan hidrogen. Meski di tahun yang sama, bersama Chevron, Shell menginvestasikan 10 milyar dolar US untuk proyek pertambangan pasir di Kanada dan Afrika.
Perusahaan otomotif seperti Ford dan BMW, juga kemudian mulai menganggarkan biaya riset untuk kemudian menciptakan mobil yang lebih ramah lingkungan dan menggunakan energi biofuel atau sumber energi lain seperti matahari sebagai bahan bakar. Ujicoba-ujicoba ini diharapkan akan membuka ruang yang lebih luas untuk penemuan-penemuan dalam skala yang lebih luas dan tentu saja masif. Targetnya adalah untuk mengalihkan tren penggunaan bahan bakar fosil yang dianggap kotor dan merusak lingkungan menuju mode baru yang lebih murah, tanpa harus mengorbankan diri dengan kehilangan pasar konsumen yang telah terbentuk selama berdekade.
Bersamaan dengan itu, perusahaan-perusahaan yang kini mengalihkan perhatiannya ke sektor perkebunan kemudian menganggarkan dana pertanggungjawaban sosial (Corporate Social Responsibility/CSR) untuk mendukung program-program pengalih perhatian. Aksi-aksi tanam pohon, bersih lingkungan-alam dan sejenisnya yang disponsori oleh dana CSR tidak lain merupakan bentuk investasi tidak langsung sekaligus untuk menyuap pemerintah dan “pekerja sosial kerah putih” untuk mendukung atau minimal tidak mengganggu jalannya investasi di sektor industri pangan dan energi.
Penjelasan di atas mungkin terdengar seperti sebuah permainan raksana di mana hanya para presiden, perdana menteri dan CEO perusahaan yang memiliki hak untuk bicara dan menentukan arah ke mana masyarakat hari ini akan melangkah. Tapi faktanya, negara-negara Asia dan Afrika menjadi target empuk perampasan tanah, sejak 2008 justru tampak begitu sumringah menerima banyaknya proposal-proposal proyek yang disertai kucuran dana hutang. Bagi pemerintah di Asia dan Afrika, investasi di sektor apapun selalu wajib diterima hangat. Sebab ini berarti akan terbukanya kesempatan dan sumber pembiayaan untuk melakukan modernisasi di daerah-daerah pedesaan (rural areas), pembangunan infrastruktur yang semakin cepat, konsolidasi kegiatan industri pertanian serta peluang untuk kemudian dilibatkan lebih sering dalam percaturan politik luar negeri. Menyewakan lahan-lahan produktif di negaranya untuk kepentingan industri pangan dengan label menjadi “lumbung pangan nasional” merupakan kehormatan bagi negara-negara di Asia dan Afrika. Yang menjadi paling penting adalah bagaimana kemudian negara-negara maju akhirnya menunjukkan ketergantungannya yang baru terhadap negeri-negeri miskin dan berkembang, selain buruh murah dan industri pariwisata seperti dekade-dekade yang lampau.
Blok-blok perdagangan regional di Asia dan Afrika didorong untuk terus membuka diri agar investasi sektor agribisnis dapat dengan mudah melakukan penetrasi. Penandatanganan perjanjian dagang antara ASEAN dengan negara-negara kayak seperti Australia, Selandia Baru, Cina dan Uni Eropa sebagai contohnya. Di saat yang bersamaan, para pemimpin negara-negara ini berlomba-lomba untuk mempromosikan dirinya sebagai tempat yang aman dan nyaman untuk dunia investasi pangan dan energi.
Sayangnya, rincian yang detil mengenai berapa banyak perampasan tanah ini telah dan akan berlangsung untuk kepentingan produksi pangan di luar negeri – di mana lokasinya, berapa hektar yang akan dirampas, siapa investornya, model pendanaan yang dilakukan, siapa mitra pengusaha lokal yang diajak bekerja sama – tidak mudah didapat. Sangat jelas bahwa pemerintah begitu ketakutan jika kemudahan akses akan data-data tersebut dapat memicu kerusuhan sosial atau protes berkepanjangan.
Indonesia: Zona Perang Tanah
Memandang kondisi di atas, kita perlu menengok warisan penting dari Amartya Sen, mengenai bencana kelaparan sebagai sebuah produk dari monopoli pangan. Pemenang Nobel Ekonomi asal India ini dahulu telah melakukan kritik terhadap pendekatan Malthusian yang menyederhanakan masalah dengan memandang bahwa bencana kelaparan timbul akibat berkurangnya ketersediaan pangan.[20] Sen justru melihat bahwa bencana kelaparan justru tidak disebabkan oleh macetnya mata rantai suplai pangan. Sebaliknya, yang terjadi adalah runtuhnya kemampuan dan hak seseorang untuk mengakses sumber pangan secara legal – termasuk di dalamnya adalah pemanfaatan peluang produktif, kesempatan perdagangan, hak-hak kelayakan ketika berhadapan dengan negara, dan metode lain yang biasanya digunakan seseorang untuk mengakses pangan.[21] Untuk menjawab persoalan itu, Sen mengajukan demokrasi sebagai sebuah cara yang dapat dimanfaatkan untuk mengatasi persoalan ketimpangan distribusi dan akses akan makanan.
Namun persoalannya adalah instrumen demokrasi hari ini justru semakin tampak tidak efektif untuk mencegah bencana kelaparan di sebuah region yang justru mengalami keberlimpahan pangan.[22] Perangkat demokrasi, justru makin efektif digunakan untuk perluasan monopoli dalam sektor industri pangan. Demokrasi sebaliknya tampak begitu masuk akal dan logis untuk mengajukan upaya liberalisasi penuh sektor pangan dan energi. Demokrasi dan sistem ekonomi neoliberalisme kemudian mengorganisir dirinya ke dalam bentuk lembaga-lembaga donor yang anggotanya adalah negara-negara maju pemberi hutang dan negara-negara miskin atau negara berkembang yang akan menjadi target pasar.
Di Indonesia, sebagai contoh. Dalam “Buku Biru” BAPPENAS,[23] terdapat 29 kategori program yang akan melibatkan dana hutang dalam proyek-proyeknya. Misalnya pembiayaan Dam Jatigede di Jawa Barat yang akan menggunakan dana pinjaman sebesar 52.200.000 US dolar. Pembiayaan Program Pengembangan Air Minum (Drinking Water Development Program), pemerintah akan menganggarkan pinjaman sebesar 1.197.680.000 US dolar yang tidak termasuk suntikan uang swasta sebesar 59.434.000 US dolar. Sementara untuk infrastuktur transportasi, semisal pembangunan jalan tol Manado-Bitung di Sulawesi Utara, pemerintah akan menggunakan dana hutang sebesar 80.000.000 USD ditambah dengan pembiayaan dari belanja kas negara sebesar 8.000.000 USD. Lalu akan ada hutang sebesar 201.000.000 US dolar yang nanti dibelanjakan dalam program yang disebut sebagai Rural Settlement Infrastructure Development (RSID). Program ini akan juga menyedot kas pemerintah sebesar 10.050.000 US dolar untuk kemudian memperbaiki jalan, membuka jalan baru, drainase dan sanitasi di daerah-daerah pedesaan. Targetnya tentu saja adalah daerah-daerah yang nanti akan termasuk dalam mata rantai distribusi pasar.
Daftar di atas bisa diurutkan lebih panjang lagi. Dokumen setebal 246 halaman ini, memang secara rinci mengurutkan berapa banyak biaya yang akan dibebankan dari hutang, kementerian mana saja yang akan bertanggung jawab terhadap pelaksanaan proyek dan tentu saja menyebutkan lokasi proyek.
Inilah alasan di balik terbentuknya lembaga-lembaga keuangan dan kerjasama regional baru yang tidak lain merupakan cara untuk mendukung mekanisme pembiayaan tersebut. Bentuk kekuatan-kekuatan ekonomi ini yang kemudian mengorganisir dirinya hari ini, misalnya dipelopori oleh Cina dan AS. Kita dapat melihat bagaimana Cina dan satelit kekuatan ekonominya berkumpul membentuk Asian Infrastructure and Investment Bank (AIIB)[24], sementara US mengumpulkan aliansinya ke dalam satu payung bernama Trans Pacific Partnership (TPP). AIIB akan terdiri dari 57 negara, sedangkan TPP untuk saat ini telah disepakati oleh 11 negara. Seperti yang juga diketahui bersama bahwa Indonesia termasuk salah satu dari negara-negara pendiri AIIB dan juga sedang mengajukan diri untuk terlibat di dalam TPP.
Dua badan tersebut memiliki skenario yang sama. Yaitu bertugas untuk memastikan mengalirnya uang pinjaman untuk pembangunan infrastruktur di negara-negara koloni, dan juga menjadi “uang muka” untuk paket-paket deregulasi domestik terkait kepemilikan lahan dan urusan sewa menyewa dalam mata rantai global.
Paket deregulasi tidak hanya ditujukan ke negara-negara target perdagangan tanah, tapi juga deregulasi domestik di negara-negara maju dari mana investasi tersebut berasal sebagai cara melapangkan jalan investasi. Semisal aturan yang melarang penggunaan dana jaminan sosial oleh negara untuk digunakan dalam investasi dan regulasi yang melarang kepemilikan properti (tanah) di luar teritori sebuah negara.
Sementara di negara-negara tujuan pasar, deregulasi tidak hanya dipahami sekadar urusan administratif yang menyangkut persoalan pembebasan tanah. Lebih jauh dari itu, negara-negara miskin dan berkembang diharuskan untuk segera mendorong kebijakan upah buruh murah lengkap dengan sistem perburuhan yang tidak adil. Tersedianya buruh murah adalah pelicin penting dalam mengundang investasi luar negeri. Selain itu di sektor agraria, negara-negara tujuan investasi diharuskan melakukan legalisasi tanah dalam bentuk sertifikasi hak individu. Sertifikasi tanah sebagai milik perseorangan tidak lain dimaksudkan sebagai tahapan menuju konsolidasi alat-alat produksi agar semakin mudah diambil alih.[25] Itu mengapa, investor di bidang pangan dan energi mendorong penuh semangat pendataan-pendataan wilayah komunal untuk kemudian segera diberikan pengakuan hak milik individu. Kepemilikan tanah secara kolektif dengan basis argumentasi mengenai tapal batas dan kepemilikan yang dilandaskan pada sejarah atau sistem tenurial tradisional, dianggap menghambat perluasan investasi di sektor pangan dan energi.
Untuk mendukung hal tersebut, melalui campur tangan badan-badan pertanahan, negara menggalakkan kampanye agar setiap tanah yang selama ini belum terdata segera dipetakan, didata sebelum kemudian didistribusikan dalam pecahan-pecahan yang lebih kecil.[26]
Selain industri pangan dan energi yang merupakan ‘perampasan tanah dari luar’ (external land grabbing), negara-negara miskin dan negara berkembang juga akan mendorong dirinya untuk melakukan ‘perampasan tanah ke dalam’ (internal land grabbing). Jika ‘perampasan dari luar’ berarti tanah akan digunakan sebagai alat tawar hutang dan oleh karenanya harus diagunkan ke investor asing, dalam mekanisme ‘perampasan tanah ke dalam’ negara adalah aktor yang akan melakukan perampasan tanah terhadap warganya. Tanah-tanah yang akan dirampas ini kemudian akan dialihfungsikan untuk pembangunan infrastruktur (mis. sarana transportasi) dan pengembangan jenis-jenis bisnis satelit seperti properti dan waralaba.
Jika ‘perampasan tanah dari luar’ akan marak terjadi di daerah-daerah pedesaan, maka ‘perampasan tanah ke dalam’ justru akan mengambil lokasi di daerah perkotaa dan atau sub-urban. Kita menyebutnya, penggusuran.
Sebagai contoh, pembangunan jalur kereta api cepat Jakarta-Bandung. Proyek yang disponsori Cina ini tidak hanya menyingkirkan rakyat yang tanahnya diambil untuk pembangunan rel kereta api dan stasiun antara. Namun, mereka yang berada di sepanjang lintasan kereta tersebut (terutama yang berlokasi di sekitar stasiun) secara otomatis menjadi kelompok paling rentan dan sasaran tembak paling mudah dari pembebasan lahan untuk bisnis properti dan waralaba. Dalam beberapa tahun ke depan, kita akan menyaksikan tumbuhnya apartemen-apartemen yang disediakan bagi kelompok berpendapatan menengah ke atas, dan toko-toko sejenis Alfa Mart, Indo Maret dan 7-11 akan bertebaran.
Kasus lain, seperti proyek reklamasi Teluk Jakarta yang diperkirakan akan menelan biaya 400 trilyun rupiah. Selain menyingkirkan kelompok nelayan dan mengganggu tatanan ekosistem pantai dan laut, reklamasi ini ditujukan sebagai sarana pendukung investasi dengan menyediakan pusat industri jasa dan lahan baru untuk berkembangnya bisnis properti. Kita bisa menengok sejarah beberapa kasus reklamasi di Jakarta. Reklamasi pantai Pluit sepanjang 400 meter di awal dekade 80-an kemudian menjadi pemukiman mewah bernama Pantai Mutiara. Tahun 1981, sisi utara Ancol direklamasi untuk menjadi pusat rekreasi bernama Taman Ancol. Tahun 1991, kawasan hutan bakau Kapuk direklamasi dan akhirnya menjadi perumahan mewah Pantai Indah Kapuk. Tahun 1995, dilakukan kembali reklamasi untuk dijadikan zona industri yang disebut Kawasan Berikat Marunda.[27]
Daftar tersebut harusnya dapat menjawab pertanyaan mengapa reklamasi getol dilakukan. Setelah teluk Manado, lalu bergeser ke selatan dengan menimbun pantai Losari di Makassar dan kini teluk Benoa.
Persoalan yang kemudian menggelitik adalah masih banyak di antara kita yang tampak tidak mampu untuk melihat ikatan antar persoalan-persoalan ini sebagai sebuah kesatuan. Paket upah buruh murah yang diluncurkan Jokowi dipandang terpisah dengan deregulasi mekanisme pemberian ijin alih fungsi hutan dan tata cara pembebasan lahan. Terbitnya rencana ekonomi untuk membangun 24 pelabuhan yang akan mendukung tol laut, 15 bandara baru untuk menggantikan bandara lama yang dianggap tidak layak,[28] rencana pembangunan 9 bandara kargo baru, terbitnya rencana untuk membangun jalur kereta api di Kalimantan, Sumatra, Papua dan Sulawesi serta berbagai penggusuran yang marak terjadi di Jakarta dan kota-kota besar lain dalam beberapa tahun terakhir, mestinya harus dilihat sebagai hal-hal yang terkait dan terikat dengan rencana investasi perkebunan skala raksana untuk sumber energi dan pangan.
Kesadaran akan pentingnya melihat sebuah persoalan secara totalitas inilah, yang mendesak dilakukan oleh seluruh gerakan progresif saat ini. Jika kita terus terjebak dalam advokasi dan perjuangan berdasarkan pada isu-isu tertentu yang terisolasi satu sama lain, sebagaimana yang kita lakukan sepanjang15 tahun lebih pasca tumbangnya Soeharto, maka selama itu pula advokasi dan perjuangan kita akan selalu berujung pada kebuntuan, untuk tidak mengatakan kegagalan.***
Penulis adalah Peneliti di Yayasan PUSAKA: Pusat Studi, Advokasi dan Dokumentasi Hak-hak Masyarakat Adat
——————
[1] Laporan akhir tahun Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) 2015. Laporan dapat diunduh di tautan berikut: http://www.kpa.or.id/news/publikasi/
[2] The Economist, Buying Farmlands Abroad, The Economist (21 Mei 2009), diakses 5 Februari 2016. http://www.economist.com/node/13692889
[3] J. W. Seaquist, Emma Li Johansson, Kimberley Nicholas, Architecture of the global land acquisition system: applying the tools of network science to identify key vulnerabilities. (Lund University, November 2014)
[4] Andre Barahamin, “Hikayat Beras Pemangsa Sagu: Etnosida Terhadap Malind-Anim Melalui Mega Proyek MIFEE”, Harian IndoPROGRESS, (21 Oktober 2015) diakses 5 Februari 2016. https://indoprogress.com/2015/10/hikayat-beras-pemangsa-sagu-etnosida-terhadap-malind-anim-melalui-mega-proyek-mifee/
[5] British Geological Survey, African Mineral Production, (BGS, Juni 2009)
[6] Sara Nordbrand dan Petter Bolme, Powering the Mobile World: Cobalt Production for Batteries in DR Kongo and Zambia, (Swed Watch, November 2007)
[7] Lebih lanjut sila baca: https://en.wikipedia.org/wiki/2007%E2%80%9308_world_food_price_crisis
[8] Edmund Sanders dan Tracy Wilkinson, “A Perfect Storm of Hunger”, Los Angeles Times, 1 April 2008, diakses 5 Februari 2016. https://www.globalpolicy.org/component/content/article/217/46255.html
[9] Di tahun 2008, Perdana Menteri Kamboja, Hun Sen, mengumumkan penyewaan sawah orang-orang Khmer kepada Qatar dan Kuwait. Tujuannya agar supaya kedua negara tersebut dapat memproduksi beras mereka sendiri. Hun Sen memang tidak menyebutkan berapa luas sawah yang akan dipinjamkan. Namun yang jelas, industri agribisnis tergolong rakus dalam penguasaan tanah. Pada saat yang bersamaan, Food and Agricultural Organization (FAO), mengucurkan bantuan sebesar 35 milyar dolar untuk membantu bencana kelaparan yang menimpa desa-desa di bagian selatan dan barat negeri itu.
[10] Ujjaini Halim (ed), Neoliberal Subversion of Agrarian Reform 2nd Edition, (I3D Foundation, 2014)
[11] Li Ping, “Hopes and Strains in China’s Oversea Farming Plan”, The Economic Observer, 3 Juli 2008, diakses 5 Februari 2016. http://www.eeo.com.cn/ens/Industry/2008/07/03/105213.html
[12] Di tahun 2008, negara-negara Teluk mesti menanggung gelembung inflasi atas impor bahan makanan yang membengkak dari 8 milyar USD hingga menyentuh 20 milyar USD (kenaikan 150%). Ketika Merauke Integrated Rice Estate (MIRE) pertama kali diluncurkan oleh Susilo Bambang Yudhoyono di tahun 2006, Bin Laden Group yang berasal dari kawasan ini telah menyanggupi untuk pembiayaan investasi. Mereka kemudian menarik diri akibat krisis finansial yang terjadi tahun 2008 karena melemahnya mata uang lokal di hadapan dolar Amerika.
[13] Di Uni Emirat Arab misalnya, 80% populasinya merupakan pekerja migran yang datang dari Asia yang merupakan pemakan beras dan bukan gandum (makanan utama di negeri tersebut).
[14] Pertemuan ini dilangsungkan 19-20 Januari di Kuwait. Pertemuan ini disebut “The Arab Economy Summit” lebih lanjut lihat http://www.da.gov.kw/eng/articles/arab_economic_summit_2009.php?from=archive
[15] Indonesia dan Malaysia akhirnya bersepakat untuk menjalin kerjasama di sektor sawit dengan membentuk Council of Palm Oil Production Countries. Lihat: http://bisnis.liputan6.com/read/2353156/akhirnya-indonesia-dan-malaysia-akur-dalam-bisnis-minyak-sawit
[16] Robert J. Samuelson, “Blindness on Biofuels”, The Washington Post, 24 Januari 2007, diakses 6 Februari 2016. http://www.washingtonpost.com/wp-dyn/content/article/2007/01/23/AR2007012301562.html
[17] Biasa dikenal dengan nama COP (Conference of the Parties). COP terakhir, untuk ke 21 kalinya diselenggarakan di akhir tahun 2015 kemarin di Paris.
[18] Sime Darby Plantation, Palm Oil Facts and Figures in Malaysia, (SDP, April 2014)
[19] Tuk Indonesia, Kuasa Taipan: Kelapa Sawit di Indonesia, (TuK Indonesia, 2015)
[20] Amartya Sen, Poverty and Famine: An Essay Entitlement and Deprivation, (Oxford, 1981)
[21] Ibid (hal. 45)
[22] Kasus kematian 5 orang anak di dusun Zanegi, Merauke, Papua, dapat menjadi contoh. Lihat: http://www.forestpeoples.org/node/4638
[23] Ministry of National Development Planning/National Planning Development Agency, “List of Medium-Term Planned External Loans 2015-2019”, (Bappenas, 2015)
[24] Lebih lanjut sila baca: http://www.aiib.org/
[25] Kasus konsolidasi tanah ini misalnya terjadi di Cina dan India dalam lima tahun terakhir. Negara mengambil inisiatif untuk melakukan sertifikasi atas lahan-lahan kolektif untuk kemudian didistribusikan menjadi kepemilikan individual. Tanah-tanah yang telah terdivisi atas nama perseorangan ini kemudian dapat dengan mudah diambil alih karena melemahnya ikatan tenurial yang dahulu eksis ketika pengelolaan dan pengakuan atas tanah didasarkan pada komunalisme.
[26] Lembaga-lembaga pemetaan yang mayoritas adalah gerakan masyarakat sipil (non-government organizations) banyak yang abai soal ini. Imajinasi mengenai pengakuan negara dan dorongan agar tanah dapat segera didata dalam bentuk apapun, luput melihat bahwa strategi perampasan tanah justru akan jauh lebih mudah dilakukan ketika urusan jual-beli dibebankan kepada tiap-tiap orang.
[27] M. Putri Rosalina, “Dilema Reklamasi Pantai Jakarta”, Kompas, 11 November 2015, diakses 6 Februari 2016. http://print.kompas.com/baca/2015/11/11/Dilema-Reklamasi-Pantai-Jakarta
[28] Bandara-bandara lama ini kemudian diserahkan pengelolaannya kepada TNI Angkatan Udara.