SIAPA kaum terpelajar ‘urban’ yang tak kenal nama Richard Dawkins? Di Indonesia, setahu saya, sudah dua bukunya diterjemahkan dan diterbitkan. Satu oleh penerbit yang punya jaringan toko buku terluas di Indonesia. Satu lagi tesis filsafat oleh sarjana Indonesia tentang pemikirannya juga sudah dibukukan. Meski lebih suka disebut pakar ekologi perilaku, tapi Dawkins juga dikenal sebagai sekutu paling tersohor dari sosiobiologi. Di banyak tulisannya, Dawkins membela keabsahan sosiobiologi, determinisme genetis, dan reduksionismenya sebagai cara pandang atas perilaku dan ‘masyarakat binatang’, tatapi juga atas masyarakat dan kebudayaan manusia. Lewat karangan-karangannya sosiobiologi naik pamornya, terbela harkat dan martabatnya di hadapan berbagai serangan. Karenanya jugalah sosiobiologi menjadi kegemaran para politikus konservatif di Inggris dan Amerika dan anak-anak muda yang bosan dengan relativismenya posmo. Seperti leluhurnya di ranah ekonomika, von Hayek, Dawkins tidak saja menyediakan amunisi-amunisi baru untuk memberondong gagasan dan praktik negara kesejahteraan dan sosialisme, tetapi juga membantu membangun benteng pertahanan yang kokoh atas kapitalisme neoliberal.
Di ranah sains hayati, arti pentingnya ialah membuka kembali medan pertarungan ihwal sudut pandang terhadap struktur dunia hayati, penjelasan atas hakikat proses-proses alamiah yang mencakup kehidupan manusia dalam populasi, dan metode yang sesuai untuk penyelidikan asas penghabisannya. Seperti materialis-materialis abad kedelapan belas dan sembilan belas Eropa, Dawkins membombardir ‘faham tua’ ihwal holisme atas kehidupan. Buatnya, tak ada yang namanya totalitas selain kumpulan bagian-bagian. Baginya, alam dan segala isinya bisa dicermati dengan memotong-motongnya menjadi bagian-bagian yang terisolasi. Dengan begitu, kita bisa menarik garis tegas mana yang sebab dan mana yang akibat. Apabila sudah bisa seperti ini, kita bisa menemukan hukum alam tanpa uluran tangan dari filsafat. Seperti ateis-ateis radikal abad kedelapan belas, Dawkins mengajarkan bahwa kehidupan tak lebih dari dan tiada lain interaksi materi dan pergerakannya. Tak ada jiwa atau roh. Tak ada ‘rancangan’ ataupun ‘suratan tangan’ kekuatan Adialami. Karena yang ada tinggal alam materi dan gerak abadinya, tidak perlu sama sekali memasukkan ‘Tuhan’, ‘mukjizat’, dan ‘misteri’ ke dalam dalil penjelasan gejala dan entitas hayati.
Sampai di situ Dawkins (dan sosiobiologi) bisa menjadi sekutu materialisnya Marxisme. Tapi Dawkins menyembunyikan sekelumit idealisme dan metafisika di balik tampang materialis ilmiahnya. Dawkins dan sosiobiologi mengungkit kembali debat persoalan reduksi penjelasan. Apakah tingkat-tingkat organisasi hayati seperti sel, organisme, populasi, dan spesies; seperti otak, pikiran, perilaku, dan kebudayaan, itu hanya terpisahkan tak hanya secara metodologis tetapi juga ontologis sehingga harus diselidiki sebagai subjek-subjek otonom ataukah sekadar efek samping dari organisasi dan mekanisme paling fundamental (gen) sehingga bisa terjelas sepenuhnya dengan hanya menengok ke situ? Atas pertanyaan ini, Dawkins dan sosiobiologi memilih posisi yang kedua. Di sinilah materialisme Marxis mesti memisahkan diri dari materialismenya Dawkins.
Dawkins dan sosiobiologi melihat tujuan penghabisan dari penyelidikan atas fenomena organisme-organisme hidup, termasuk perilaku sosial manusia, tak lebih dari perian atas gejala dalam konteks keberadaan entitas-entitas individual sebagai objek-objek terisolasi. Pengakuan atas adanya tingkat-tingkat organisasi hayati (gen, sel, organisme, populasi), dipahaminya sebagai perbedaan metodologis semata yang di situ tingkat-tingkat terpadukan dalam alur penyebaban tunggal dari yang lebih fundamental ke yang di atasnya. Karena semua kehidupan bertopang pada keberadaan dan replikasi gen, maka organisasi paling fundamental ialah gen. Di titik inilah reduksi penjelasan mesti diupayakan.
Psikologi evolusioner, sekutu terdekat (atau sebagian orang menyebutnya keturunan sah) sosiobiologi, yang akhir-akhir ini trendi di kalangan anak muda ‘urban’ Indonesia, juga ambil posisi yang sama dengan doktrin reduksionismenya Dawkins. Buat penyokongnya, gen tentu saja berperan penting dalam menjelaskan perilaku manusia, tapi ada ranah antara yang menjembatani penyebaban dari gen ke perilaku, yakni pikiran. Ditilik-tilik, bukankah perilaku organisme tak lebih dari hasil pikirannya? Karena pikiran yang dipahami secara materialis tak lebih dari produk aktivitas informasional otak, maka reduksi mestinya difokuskan pada cara kerja dan mekanisme otak. Lebih lanjut, seperti semua organ manusia, otak bukanlah entitas adialami sehingga tak lepas dari tekanan-tekanan seleksi alamiah. Otak berevolusi sedemikian rupa seperti yang manusia punyai sekarang untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi leluhur kita sepanjang Kala Pleistosen hingga 10 ribu tahun silam, saat biologi kita sudah jadi dan tak berubah hingga sekarang. Dengan kata lain, pikiran kita sudah diperlengkapi oleh semacam ‘naluri-naluri’ yang khas-spesies yang telah memungkinkan leluhur kita bertahan hidup dan bereproduksi. Naluri-naluri ini menjadi kunci kodrat manusia yang sifatnya universal dan tak lekang oleh keragaman tampilan organisasi sosial dan budaya manusia. Karena organisasi sosial tak lebih dari agregat perilaku individu-individu dan kebudayaan tiada lain hasil reka cipta pikiran, dan pikiran cuma produk aktivitas otak, maka penjelasan mesti direduksi dari perilaku otak manusia sebagai produk evolusi.
Mari kita coba buktikan keabsahan reduksionisme dengan menengok ke wilayah yang paling digemari oleh Dawkins dan sosiobiologi, yakni temuan-temuan sains modern. Apabila penentuan rangkaian DNA menyelesaikan masalah bagaimana informasi tentang struktur protein disimpan di dalam sel, pastinya, menurut mereka, penentuan struktur beberapa molekul, bahkan mungkin DNA itu sendiri, menjelaskan penentuan bagaimana informasi tentang struktur sosial yang disimpan di otak. Persoalannya, yang suka luput dari dakwah mereka ialah bahwa tidak semua informasi tentang struktur protein disimpan di dalam rangkaian DNA karena proses pembungkusan polipeptida menjadi protein tidak sepenuhnya terarahkan oleh rangkaian asam amino penyusunnya. Ketika gen-gen manusia dipungut dari ‘lingkungannya’ dan ditaruh ke dalam organisme-renik dalam media larutan tertentu di laboratorium, misalnya, hasil berbeda dari proses pembungkusan muncul, berlainan dengan proses pembungkusan alami dalam sel hidup. Mengapa? Karena struktur akhir yang ‘pas’ dari suatu protein bergantung pada formasi pembungkusan yang pas dari perantara-perantaranya yang tidak muncul apabila syarat-syarat ‘eksternal’ proses itu tidak sesuai. Kecuali di benak Dawkins dan buku pengantar biokimia, protein itu nyatanya bukan sekadar benang asam-asam amino meskipun ia tersusun atasnya. Protein itu molekul unik dengan sifat-sifat vibrasi dan pengaturan spasial atom-atom yang berpengaruh pada reaksi kimianya berubah-ubah sepanjang proses pembungkusan. Ada banyak faktor di luar sifat-sifat internal asam amino, terutama yang bersifat relasional, yang menentukan sifat-sifat baru ketika asam-asam amino bersenyawa menjadi protein. Artinya, kita tidak bisa begitu saja menarik garis tegas langsung antara sifat-sifat keseluruhan (protein) pada sifat-sifat penyusunnya (asam amino). Keseluruhan lebih besar daripada bagian-bagiannya. Reduksionisme, seperti dijelaskan Martin dalam beberapa tulisannya di Logika, jatuh pada sesat pikir mereologi bahwa sifat keseluruhan ditentukan sepenuhnya oleh sifat-sifat bagiannya. Seperti semua ilmu borjuis, sosiobiologi khilaf bahwa sifat molekul air (H2O, yang tak terbakar) tidak tereduksi pada sifat-sifat atom penyusunnya (H dan O, yang justru mudah terbakar). Mereka juga ingkar pada kenyataan bahwa perubahan kuantitas (besaran) seringkali maujud ke dalam perubahan kualitas (sifat-sifat) dari realitas baru. Semua pelajar kimia tahu bahwa oksigen (O2) beda sekali sifatnya dengan ozon (O3) meski hanya ada penambahan satu atom.
Terkait medan kegemaran mereka, apabila betul genotip menentukan fenotip keperilakuan, maka semua ragam perilaku dan perubahannya habis terjelaskan oleh gen dan perubahan genetik. Tapi, masalahnya, keragaman fenotip keperilakuan tidak habis terjelaskan oleh susunan genotip. Bahkan pada organisme paling sederhana sekalipun, gudang simpanan perilaku organisme dewasanya bisa amat beragam antara satu individu ke individu lain, bergantung pada sejarah pembelajaran individual masing-masing. Gudang simpanan perilaku dari organisme niscaya mencakup tanggapan-tanggapan terpelajari dan keulungan tanggapan-tanggapan tersebut meningkat seiring dengan kompleksitas sirkuit neural spesiesnya. Tanggapan-tanggapan yang dipelajari ini memainkan peran penting dalam evolusi spesies apa pun karena merupakan bagian strategis dari fenotip keperilakuannya organisme dalam konteks relasi dialektisnya dengan lingkungan yang berubah-ubah. Dalam teori evolusi klasik, perilaku dan gen-gen membentuk suatu tautan dialektis yang saling pengaruh di tengah-tengah konteks historis lingkungan. Dalam konteks spesies-spesies sosial seperti primata dan manusia, pembelajaran yang berperantarakan sosialitas merupakan proses lain lagi yang dengannya tanggapan-tanggapan terpelajari oleh satu individu yang ternyata berguna bisa lestari dan tersebar di dalam kelompoknya apabila individu-individu lain memungutnya sebagai perilaku. Sekelompok monyet Jepang (Macaca fuscata), misalnya, menemukan cara baru memproses makanan. Satu gerombolan mengembangkan ‘tradisi’ menyuci ubi dengan air laut. Lalu semua bahan makanan selain ubi juga dicuci dengan air laut. Ketika biji-bijian dilemparkan ke pasir, anggota-anggota lain gerombolan itu menemukan cara memisahkan biji-bijian dari pasir dengan membasuhnya dengan air laut. Tidak ada perubahan genetik sama sekali yang diperlukan dalam perubahan perilaku mereka. Apabila perilaku menyuci makanan lestari bergenerasi-generasi di gudang simpanan populasi dan menyebar ke gudang-gudang perilaku seluruh spesiesnya, maka mungkin perilaku itu ‘memaksa’ gen berubah sesuai dengannya. Apa yang terjadi dengan kadal penghuni tubir pulau atau iguana Galapagos yang bisa berenang dan menyelam untuk cari makan meski sebetulnya mereka anggota genus kadal yang teradaptasi untuk hidup di gurun atau belantara, pada mulanya mungkin juga karena inovasi pembelajaran sebelum akhirnya terjadi perubahan genetis untuk bisa hidup di pulau.
Rupanya materialisme belum berjaya betul. Kalau pun pernah punya piala dalam perlombaan antara sains dan teologi, materialisme masih harus berjuang menghadapi anasir-anasir idealisme yang bersembunyi di dalam sains. Salah satu kuman yang menggerogoti materialisme ialah reduksionisme. Tentu supaya suatu gejala alam terpahami, khususnya untuk bisa terpilah mana sebab dan mana akibat, lebih mudah apabila kita kerangkeng mereka, asingkan dari satu sama lain dan keseluruhan proses, lalu mematungkan mereka menjadi entitas-entitas tunggal. Untuk tahu sebab ‘perilaku’ suatu protein, misalnya, kita bisa mulai dengan memilah dan menelisik interaksi enzim-enzimnya terlepas dari kebisingan yang tak terhitung banyaknya dari molekul-molekul di sekitarannya dalam konteks suatu sel hidup. Alasan pengerangkengan ini jelas. Dalam dunia nyata, proses biokimia protein dalam sistem hayati sel hidup dari organisme hidup itu berubah-ubah senantiasa secara serentak tak terputus kaitannya satu dengan yang lain. Apabila dibiarkan apa adanya demi, katakanlah, menghargai keragaman dan keutuhan, niscaya kita tidak akan dapat pengetahuan apapun. Sebagai metode, reduksi menolong kita menyederhanakan realitas dan memungkinkan kita membikin garis-garis tegas terkait rangkaian sealur dari sebab ke akibat. Misalnya sewaktu kita naikkan suhu atau ubah keasaman larutan, reaksi katalistiknya menjadi lebih cepat. Dari situ kita bisa tahu suhu atau keasaman sebagai sebab dari percepatan reaksi enzim. Reduksi macam begini memberi kita gambaran sederhana atas realitas yang bisa ditangkap dengan grafik matematika sederhana. Realitas diringkas menjadi satu persamaan sederhana, yakni cukup dengan dua sumbu, X (reaksi) dan Y (suhu atau keasaman). Tapi coba kalau kita naikkan suhu sekaligus ubah keasaman secara serentak, apa yang terjadi? Bisa jadi reaksi malah melambat karena kedua faktor sekaligus membikin struktur protein enzim labil. Lalu apabila kita masukkan juga molekul-molekul lain ke dalam proses secara serentak pula, apa yang terjadi. Grafik jadi aneh. Persamaan jadi pelik atau malah mustahil dirumuskan. Kita pun kehilangan kendali atas situasi dan tak punya daya prediksi apapun. Semakin banyak faktor dimasukkan, semakin sulit prediksi dan makin kabur pula garis tegas mana sebab dan mana akibat.
Sebagai metodologi, reduksionisme memang menolong ilmuwan menyederhanakan gambaran realitas demi suatu prediksi. Yang khilaf dipahami reduksionis seperti sosiobiolog dan psikolog evolusioner ialah bahwa dengan penyederhanaan gambaran tidak lantas realitas itu sendiri sederhana seketika kita mereduksinya. Kekeliruannya ialah mengidentikkan gambaran atas realitas dengan realitasnya sendiri, atau dalam pelajarannya Martin, mereduksi ontologi ke epistemologi. Dan inilah anasir idealisme paling licin di dalam sains borjuis. Apa pasal? Untuk bisa beroperasi sama sekali, reduksionisme mengandaikan keberadaan suatu ‘tipe ideal’ yang mengunci realitas ke dalam ‘entitas-entitas’ tunggal. Organisme adalah entitas tunggal yang bisa dipotong-potong menjadi bagian-bagian. Potongan-potongan ini lantas diperlakukan sebagai entitas tunggal pada dirinya sendiri karena kita bisa memotongnya persis pada batas-batas keberadaannya. Organisme individual bisa dipotong-potong menjadi organ-organ, dan organ-organ bisa dipotong menjadi sel-sel, dan sel-sel bisa dipotong menjadi bagian-bagiannya, dan seterusnya hingga tak terhingga. Buat sosiobiologi, spesies itu riil dan bisa dipotong ke dalam populasi-populasi. Populasi juga riil batasnya dan bisa dipotong menjadi individu-individu penyusunnya. Organisme individual pun demikian hingga akhirnya berhenti ke ‘entitas’ yang mereka anggap paling fundamental: gen. Apakah riil yang namanya ‘tipe ideal’ itu? Sebagai konsepsi bikinan ilmuwan ia riil. Tapi apakah kenyataan juga begitu? Kalau semuanya bisa direduksi ke ‘entitas’ tunggal yang lebih fundamental, mengapa mesti berhenti di gen? Mengapa tidak teruskan saja reduksi ke molekul penyusun protein, lalu ke partikel-partikel fisik penyusun molekul itu?
Soal manfaat praktis dari metode reduksi kita tidak bisa pungkiri. Dari situlah berkembang ilmu dan teknologi modern. Entah ilmu dan teknologi itu digunakan untuk membangun pertanian berproduktivitas tinggi atau untuk membantai orang-orang Indian; entah untuk mengangkut makanan ke tempat-tempat kelaparan atau mengangkut budak-budak Afrika ke Amerika; entah untuk meningkatkan sanitasi dan kesehatan kelas buruh atau untuk perang-perang imperialistik, tak jadi soal. Yang jelas metode reduksi punya andil dalam ‘pembangunan’ dan ‘kemakmuran’ bangsa-bangsa terlepas siapa yang dimaksud ‘bangsa-bangsa’ itu. Dari sejarah sains kita juga tahu bahwa reduksionisme berkembang karena masyarakat borjuis yang sedang giat-giatnya menaklukkan alam dan populasi di luar Eropa dengan teknologi dan ekonomi butuh pada prediksi. Semakin sedikit faktor penjelas, makin baguslah prediksi. Makin bagus prediksi, makin bagus pula kendali atas alam. Makin bagus kendali, makin bagus juga buat industri yang bertopang padanya. Bagaimana pun, sains itu lembaga sosial yang bertautan secara struktural dengan lembaga-lembaga sosial lain seperti pasar, industri, dan ’demokrasi’. Ilmuwan yang menjadi kunci lembaga ilmu tak pernah lahir sebagai ilmuwan, tetapi sebagai anggota suatu kelas sosial tertentu yang berbagi pandangan hidup, pandangan dunia, nilai, dan kepentingan ekonomi-politik. Rasionalisme bisnis tidak menoleransi segala bentuk buang-buang sumberdaya. Bisnis itu mesti efisien. Begitu pula lembaga-lembaga sosial yang diongkosi olehnya. Pengetahuan romantis ihwal keutuhan alam memang hanya cocok buat rahib-rahib Abad Pertengahan yang tak punya kerjaan, dan Marxis mesti bersetuju menolak soal ini. Namun, menyederhanakan realitas demi efisiensi industrial dalam berilmu sambil mengabaikan kepelikan alam juga mesti dilawan, karena memungkinkan anasir-anasir antisains berkembang biak menghalangi potensinya sebagai wahana pembebas. Sosiobiolog perlu menyelami makna pernyataan Marx bahwa:
tiada jalan lapang menuju ilmu, dan hanya yang tak gentar pada dakian meletihkan jalur anak tangganya saja yang berkesempatan mencapai puncak bertabur cahayanya.[1]
Sebelum mendakwahkannya kepada ilmuwan-ilmuwan reduksionis degil, setiap Marxis mestinya mencoba menyelami pelajaran yang diberikan Marx ini dan mempraktikkannya dalam semua bidang.***
Jatinangor, 21 Pebruari 2015
———–
[1] K. Marx (1976) Capital: a critique of political economy, Volume I. Harmondsworth: Penguin Books, h. 104.