SERUAN dari artikel Martin Suryajaya dan Coen Husain Pontoh, sangatlah relevan dan mendesak untuk ditindaklanjuti oleh kalangan progresif Indonesia. Seruan mereka adalah semacam battle cry (pekik perang) yang mengajak rakyat (Martin pake istilah ‘Massa’) paska pilpres 2014 ini untuk melanjutkan dukungan pada Jokowi, kali ini dalam misi melawan oligarki. Kelihatannya, fenomena relawan ini bisa disebut sebagai pengalaman baru dalam politik elektoral kita. Ada antusiasme besar terhadap massa karena operasi politik kubu oligarki di pilpres bisa direspon secara kreatif oleh berbagai aksi kolektif relawan yang melakukan mobilisasi dan pengawalan suara. Tantangannya, apakah massa aksi kolektif gerakan para relawan ini masih punya daya tahan dan strategi untuk melawan oligarki pada babak politik paska pilpres?
Masalah fundamental yang penting dituntaskan guna merespon battle cry tersebut adalah kejelasan mengenai apa yang dimaksud oligarki. Konteksnya dibutuhkan pemahaman komprehensif sekaligus praktis tentang oligarki yang ada di Kapitalisme Indonesia hari ini. Oligarki, sebagai aktor politik, sudah ada sejak jaman Plato, sehingga bisa saja berkembang pengertian bahwa kapitalisme tidak mempengaruhi oligarki. Pengertian/framework oligarki yang kita pakai mesti diperiksa, karena bahkan seorang Prabowo, yang jelas-jelas bagian dari oligarki, beretorika bahwa misi politiknya adalah melawan oligarki yang melemahkan Negara Indonesia. Martin dalam artikelnya mengacu pada kerangka analisis Hadiz-Robison (2004), yang membangun kerangka analisa oligarki tidak sama dengan sebagai analisis oligarki sebagai aktor. Tulisan ini juga mengacu pada kerangka analisis yang melihat oligarki sebagai struktur relasi kuasa yang mewujud dalam aliansi sosial dari bisnis dan birokrasi serta melibatkan pula kelompok-kelompok sosial tertentu (umumnya melalui kooptasi dan berelasi tergantung kebutuhan kontekstual yang spesifik) Jaring relasi kuasa ini beroperasi demi melakukan penjarahan atas kekayaan negara dan juga kekayaan yang dihasilkan dari eksploitasi rakyat pekerja. Kekayaan-kekayaan tersebut yang menjadi motor penggerak dominan bagi kapitalisme Indonesia.
Terbentuknya Oligarki di Indonesia
Banyak orang yang menyamakan demokrasi representatif saat ini dengan kekuasaan oligarki, sebagai sistem yang terbaik yang mungkin ada saat ini. Demokrasi representasi elektoral secara empiris memang adalah yang terbaik sementara ini dalam sejarah Indonesia paska 1965. Demokrasi representasi selama ini cenderung merugikan rakyat pekerja, karena rakyat justru semakin tidak hadir dalam kekuasaan politik. Hadir bukan sebatas ada orangnya saja, tapi juga ada dalam tindakan-tindakan dan kebijakan yang mewujudkan kepentingan rakyat. Akan tetapi, sebagai kaum progresif, kita harus sadar bahwa demokrasi hari ini harus dan bisa dilampaui. Demokrasi saat ini masih terlalu rentan dibajak jaringan oligarki dengan money politics, sentiment sektarian, hingga kooptasi terhadap aktivis-aktivis gerakan untuk mengabdi secara pragmatis pada kepentingan penguasa untuk terus meminggirkan kehadiran dan kepentingan rakyat. Kerentanan yang bukan terutama berasal dari masih lemahnya budaya dan kesadaran politik rakyat, atau masih terbelakangnya lembaga dan prosedur politik yang ada di Indonesia. Kerentanan karena demokrasi yang ada adalah arena pertarungan dimana oligarki berjaya membuat kekuatan sosial lain, di luar kelas kapitalis dan aliansi sosial yang dibangunnya, tidak berdaya (Irwansyah, 2010)
Ada dua pendekatan mengenai kelas kapitalis yang berkuasa dalam politik Indonesia sejak Orde Baru (Orba). Menurut pendekatan teori Ketergantungan, yang berkuasa di Indonesia adalah kapitalis komprador yang satu kesatuan mengabdi dan patuh pada kepentingan modal kapitalisme pusat. Relasi kuasa yang dinamis di antara faksi kelas kapitalis domestik tidak lah penting. karena sifat kelas kapitalis menurut pendekatan ini mengikuti konsekwensi relasi ketergantungan terhadap negara-negara kapitalis pusat. Implikasi praktis dari pendekatan teoritis ala ketergantungan ini adalah tesis berbagai kelompok gerakan mengenai pentingnya mencari borjuasi nasional yang progresif. Pendekatan ketergantungan dikritik keras karena fokusnya beralih menjadi relasi negara, dan menempatkan kelas borjuasi sebagai aktor dalam relasi ketergantungan antara negara pusat dan pinggiran tersebut. Sementara menurut pendekatan Rise of Capital (Robison 1986) yang tumbuh adalah faksi-faksi kelas kapitalis yang bersama-sama, tapi juga saling berkompetisi, membentuk rezim Orba. Salah satu penentu dalam kompetisi itu adalah kemampuan memenangkan akomodasi negara untuk perkembangan kekayaan dan kekuasaan kelas-kelas kapitalis tersebut. Maka secara politik terbentuklah jaringan-jaringan sosial yang beraliansi untuk kepentingan memenangkan akomodasi tersebut. Kita mengenalnya, di akhir masa kekuasaan Orba, sebagai kritik moral terhadap jaringan Korupsi-kolusi-Nepotisme (KKN). Kenapa bentuk jaringannya ‘KKN’? Karena politik berbasis massa seperti di era sebelumnya diberangus. Semua di-‘wadahtunggal’-kan. Hanya yang bisa KKN yang bisa berkuasa lewat wadah-wadah yang ada. Itu lah jaringan Oligarki yang dihasilkan dari perkembangan Kapitalisme di Indonesia, yang mewujudkan kekuasaannya lewat rezim Orba yang otoriter dan korporatis. Bukan lewat mekanisme liberal non otoriter.
Oligarki Orba merujuk pada jaringan patron-klien yang predatoris antara pemodal dengan negara. Jaringan ini terbentuk, karena pasca kemerdekaan, Indonesia merdeka tanpa adanya kelas borjuasi dalam negeri yang kuat. Sehingga negara yang baru ini berdiri di atas fondasi ekonomi yang rapuh. Pada masa Soekarno, ada upaya untuk menciptakan kelas borjuasi pribumi dengan, misalnya, program benteng. Asumsinya, dengan adanya kelas borjuas pribumi yang kuat, maka Indonesia akan kuat menghadapi imperialisme. Tetapi upaya ini blunder, lisensi ekspor impor segala macam yang diberikan ke calon-calon borjuasi pribumi malah dijual lagi ke faksi borjuasi lain khususnya borjuasi Tionghoa. Akhirnya mulai marak praktek rente atas berbagai lisensi dan perijinan. Nasionalisasi di akhir 1950an juga menjadi blunder, karena malah membuka jalan bagi tentara untuk masuk ke dunia bisnis secara masif. Rezim Soekarno pun mengalami krisis inflasi dan diikuti oleh perebutan kekuasaan yang membuka jalan bagi rezim Soeharto.
Apa yang dilakukan Soeharto pada masa awal kekuasaannya? Membuka pintu bagi modal asing dan pinjaman luar negeri dalam skala masif. Salah satu simbol periode ini juga adalah UU PMA. Inflasi berhasil diatasi dan di masa awal Soeharto, yang berkuasa adalah para teknokrat liberal seperti mafia Berkeley. Sementara itu jaringan-jaringan patronase yang sudah mulai terbentuk di zaman Soekarno, terus bertahan, tapi posisi mereka masih lemah secara ekonomi. Boom minyak tahun 1970an memungkinkan kapitalis dalam negeri, yang sudah terlibat dalam jaringan patron klien dengan negara, memiliki bargain terhadap kapitalis asing. Marak wacana membatasi masuknya modal asing, karena persaingan berebut pengaruh atas kebijakan negara sebagai sumber dana yang berusaha digarong jaringan oligarki. Dominasi teknokrat liberal mulai tertandingi oleh intelektual-intelektual lain yang menjadi cendekiawan faksi-faksi kapitalis yang tumbuh. Para pengusaha dalam negeri, yang sebagian juga birokrat atau tentara, pun beramai-ramai membangun dinastinya. Pertamina jadi ladang korupsi dengan kasus Ibnu Sutowo sebagai salah satu simbol pentingnya. Tahun 80an harga minyak turun lagi, namun para borjuasi kroni sudah berhasil membangun jejaring patron klien yang kuat dengan negara dan lebih membutuhkan kerja sama dengan kapitalis asing. Yang terjadi kemudian adalah diperluasnya lagi pintu untuk modal asing tetapi tetap dibatasi. Hasilnya berbagai deregulasi setengah hati. Melalui proses ini, kapitalis kroni berhasil membangun jaringan patron klien dengan negara dengan cukup solid, meski harus membuat banyak konsesi dengan pemodal asing. Robison menggambarkan faksi-faksi kapital oligarki seperti yang berpusat di Cendana, yang ada di BUMN-BUMN, kapitalis tentara, kapitalis keturunan Tionghoa dan bekas kapitalis pribumi masa sukarno. Mereka inilah yang membentuk faksi kapitalis oligarki kita di zaman Orba.
Namun, persaingan-persaingan antar para kapitalis juga melemparkan sebagian dari para kapitalis ini keluar dari kelompok oligarki. Sementara itu, deregulasi 80an membuat ekonomi Indonesia mulai beralih dari minyak ke manufaktur berorientasi ekspor. Tumbuhlah kelas proletariat perkotaan yang mulai bergeliat. Salah satu faktornya, juga karena interaksi dengan LSM-LSM dan gerakan mahasiswa, yang meski fluktuatif, tapi terus berlanjut karena tidak pernah mengalami pembantaian seperti gerakan rakyat lainnya. Bermunculanlah serikat-serikat alternatif, begitu pun di sektor agraria, berbagai advokasi tanah juga mulai memunculkan gerakan tani. Aneka elemen gerakan ini lah yang menjadi oposisi berserak di zaman Orba. Muncul lah krisis moneter yang memunculkan momentum revolusioner untuk penjatuhan soeharto. Kapitalis asing meningkatkan tekanannya untuk liberalisasi, sementara, oposisi berserak seperti gerakan relawan. Saat itu, yang menjadi ujung tombak blok reformasi paling mencolok adalah gerakan mahasiswa.
Foto Parade budaya #BaliTolakReklamasi oleh Bagus Pambayum
Kemunculan Kapitalis Lokal
Paska Suharto jatuh, dimulailah era demokrasi representasi elektoral. Jaringan ke massa menjadi penting. Oligarki dari era Orba berhasil mempertahankan eksistensi dengan mengorganisasikan diri dalam praktek-praktek kekuasaan yang baru. Menguasai basis-basis massa melalui politik uang, politik SARA, bahkan dengan melakukan kooptasi terhadap ormas-ormas. Oligarki jadi lebih kabur tampilannya, karena lebih beroperasi dalam jaringan-jaringan dan aliansi sosial yang menyebar melalui desentralisasi dan juga di berbagai sektor sosial (perburuhan, tani, miskin kota, dan lain lain).
Berdasarkan pemaparan ini, dari sejarah lahirnya Orba dan kelanjutannya sekarang maka oligarki mensyaratkan kapitalisme. Karena mereka eksis untuk penjarahan. Jatuhnya Soeharto memang seperti mematahkan salah satu mata rantai paling kuat dalam oligarki Orba. Faksi Cendana lumayan remuk, tapi rantai oligarki ini isinya bukan cuma satu mata rantai. Ada faksi-faksi pemodal lain dalam berbagai jaringan oligarki ini, mereka pun berusaha menyelamatkan diri dengan bermacam cara, seperti masuk ke partai-partai, lewat lembaga-lembaga gatekeeper (perantara, penghubung) , dan lain lain yang didokumentasikan dengan baik dalam tulisan-tulisan Hadiz (2004, 2010). Mereka tetap hidup dengan mengakomodir neoliberalisme. Sementara itu, blok reformasi pecah berkeping-keping, baik karena perbedaan posisi maupun karena bermacam pengkhianatan.
Jadi apakah kapitalisme mensyaratkan oligarki atau oligarki mensyaratkan kapitalisme dalam konteks Indonesia? Dalam fase tertentu, kelas-kelas borjuis indonesia memang tumbuh melalui relasi oligarki, tapi ini bukan berarti kapitalisme akan selalu bergantung pada relasi oligarki. Analoginya mirip kekuatan produktif, dalam fase transisi feodalisme ke kapitalisme, perkembangan kekuatan produktif relatif bergantung pada peran borjuasi. Tapi apa itu berarti kalau tidak ada borjuasi, maka perkembangan kekuatan produktif lebih lanjut akan macet? Tampaknya oligarki memainkan fungsi tertentu dalam kapitalisme Indonesia. Oligarki efektif melemahkan perlawanan kelas-kelas sosial terhadap pertumbuhan kapitalisme. Perlawanan yang lemah dari kelas-kelas subordinat memperluas daya pengaruh jaringan oligarki secara ekonomi politik.
Bila mengacu pada tulisan beberapa ahli (misalnya Max Lane, 2008 dan Aspinal 2013 a, b), mereka mencermati mulai terjadi fenomena meningkatnya partisipasi gerakan sosial /popular agency, walau masih terbatas dan terfragmentasi. Fenomena tersebut bersamaan dengan mulai menjamurnya para kapitalis baru dengan level kecil-menengah dan beroperasi di tingkat lokal yang relatif ‘independen’ dari relasi oligarki dengan negara. Independen, dalam artian, tidak terlalu bergantung pada relasi-relasi kolusi dan nepotisme dengan birokrat, politisi dan negara dari jaringan yang sudah ada. Tetapi independen ini bukan berarti tidak ada hubungan sama sekali. Hubungan ada tapi bentuk hubungannya tidak tunduk pada pola kolusif dan korup atau predatoris yang sudah ada dan menjadi kebiasaan. Tidak sepenuhnya bersih murni tapi perkembangan bisnisnya tidak bergantung pada relasi itu.
Bila kapitalis oligarki bisnisnya sangat bergantung pada relasi oligarki, sementara itu para tokoh kapitalis baru ini bisnis mereka relatif bisa tetap hidup walau tidak harus terhubung dengan relasi oligarkis. Dalam derajat tertentu, oligarki cenderung menghambat perkembangan para borjuasi yang muncul di ruang demokratisasi dan desentralisasi era reformasi, oleh karena itu ada watak anti-kronisme dan ‘demokratik’ di mereka, seperti yang dapat dilihat pada diri Jokowi. Pungli rente yang berakar di birokrasi berkorespondensi dengan relasi sosial yang tertutup. Karenanya, semakin dalam demokrasi dan partisipasi masyarakat (bentuknya dan derajatnya bisa bermacam-macam) diyakini akan meminimalisir efek negatif dari kekuasaan jaringan oligarki. Problemnya, memaksimalkan energi gerakan sosial tidak selalu menjadi strategi dari para reformis seperti Jokowi dalam perbenturan mereka dengan oligarki. Inilah yang menjelaskan mengapa selama ini Indonesia mengikuti pola demokratisasi yang meluas di seluruh dunia. Philippe Schmitter (2010), salah satu pendiri modern Teori demokratisasi berpendapat bahwa, di seluruh dunia, demokratisasi telah terbukti jauh lebih mudah daripada yang semula dia dan sarjana lainnya antisipasi, persis karena ternyata kebanyakan demokrasi menghadirkan begitu sedikit dalam hal redistribusi atau reformasi lain yang dapat merusak kepentingan elit ekonomi dominan.
Bandingkan bedanya, misalnya, dengan populisme kontemporer di Amerika Latin (baca: demokrasi partisipatoris) seperti di Venezuela. Karena gerakan sosial besar dan kuat mendesakkan redistribusi sosial yang signifikan maka jaringan oligarki, bila ada pun, menjadi sangat tidak efektif dan pengaruhnya terbatas. Kelas kapitalisnya harus menggunakan cara anti demokrasi, dimana saat ini paska Chavez meninggal dunia adalah dengan membangun gerakan cenderung fasis dengan basis kelas menengah dan para kriminal untuk membuat rusuh tiap hari di jalan. Di Thailand, Thaksin adalah kapitalis besar tapi karena dia bersaing sama kaum Pro kerajaan yang karakternya lebih elitis, maka karakter oligarkis Thaksin dibatasi oleh keharusan bernegosiasi dengan basis massa rakyat pekerja (buruh dan tani) yang mendukungnya karena diuntungkan oleh berbagai perlindungan sosial yang disediakan Thaksin. Akibatnya berulang kali pemilu di Thailand selalu yang menang adalah partai Thaksin karena dukungan rakyat pekerja (Hewison 2013). Malahan kaum oligarki pro Raja harus mensabotase demokrasi elektoral melalui jalur judisial supaya Thaksin tidak berkuasa.
Relawan Jokowi di masa pilpres tidak hanya terdiri dari satu kelompok sosial saja. Bisa dilihat di database relawan yang disusun dari berita media bahwa mereka ada yang buruh, tapi juga ada pengusaha dan lain lain. Agar gerakan sosial ini bisa memaksakan negosiasi bagi redistribusi sosial, mutlak dibutuhkan kekuatan yang bukan hanya akan mendukung pihak ‘elit baik hati’ (benevolent elite) seperti Jokowi, tapi juga kesiapan untuk mempertahankan diri secara profesional dan melancarkan pukulan jika dihianati oleh pihak oligarki yang jauh lebih terorganisir dan juga akan menyusup di banyak lekuk kubu rezim Jokowi. Problemnya, gerakan massa di indonesia tidak ‘unionized’ (terorganisir baik sebagai serikat) seperti di Amerika Latin dan juga sangat terfragmentasi, dan banyak berurusan dengan broker yang memerantarai gerakan dengan kepentingan banyak elit sehingga membuat gerakan menjadi korup. Keterorganisiran memang kuncinya dan, sayangnya, Indonesia memang berjalan sangat lambat dalam keterorganisiran kelas. Keterorganisiran memungkinkan organisasi berpolitik independen, sebagaimana yang ditunjukkan studi demokrasi di berbagai Negara (Rueschemeyer, S & S 1992) tentang keberhasilan pengalaman demokrasi yang berhasil dari koalisi kelas subordinat (bawah) dengan kelas menengah yang berorientasi demokratis. ‘Hanya organisasi yang otonom yang mampu melindungi kelas subordinat dari hegemoni ideologis kelas dominan – kondisi yang diperlukan untuk dorongan demokrasi yang kuat.’
Di titik ini, kementerian ataupun kebijakan-kebijakan khusus untuk memajukan keterorganisiran partisipasi rakyat menjadi penting. Adalah relevan mengacu pada pengalaman badan negara yang punya relasi langsung dengan gerakan seperti Kementerian Partisipasi Rakyat dan Perlindungan Sosial di Venezuela (León and Smilde 2009). Memang di Venezuela, badan negara itu langsung berhubungan dengan dewan-dewan komunal tingkat bawah (setingkat kelurahan). Dewan-dewan ini dapat mengajukan anggaran pembangunan komunitasnya tanpa perlu melewati pemda. Dewan-dewan komunal itu bagian struktur negara yang disahkan oleh UU. Mungkin hubungan antara pemerintahan Jokowi dengan serikat-serikat, relawan-relawan dan organ-organ rakyat lainnya dapat menjadi titik tolak dalam pengalaman Indonesia. Perlu ada relasi yang masif, sistematis, dan transparan antara Jokowi dengan gerakan sosial untuk bernegosiasi menyangkut berbagai kepentingan distribusi sosial. Bila bentuk transaksi dan negosiasi antara relawan dengan Jokowi berlangsung secara informal dan tidak terjangkau transaparansi yang dibutuhkan rakyat maka akan menyuburkan fenomena ‘pembisik’ dan para broker yang dulu telah turut membawa rezim Gus Dur berakhir sebagai tragedi reformasi.
Mari kita dorong gerakan massal memahami kerangka analisis struktrual dan menyejarah terhadap kapitalisme Indonesia. Itulah yang kita perlukan untuk mentransformasi gerakan relawan menjadi gerakan yang melanjutkan misi melawan oligarki. Percayalah, oligarki tak pernah berhenti mengorganisasikan dirinya dalam berbagai lapangan kekuasaan yang terus berubah. Karena itu, sebuah konferensi kaum relawan progresif sangat mungkin segera perlu diadakan agar pengetahuan melawan oligarki memiliki landasan ilmiahnya dan mempunyai fondasi keterorganisiran yang lebih kuat dari masa lalu (seperti ajakan editorial Anom Astika). Juga agar energi dan pengetahuan politik partisipatif kreatif dari arena relawan di masa Pilpres tidak menguap begitu saja.***
Penulis adalah dosen di departemen ilmu politik UI dan mahasiswa di Asia Research Center, Murdoch University, Australia
Kepustakaan:
Aspinall, Edward. 2013. “The Triumph of Capital? Class Politics and Indonesian Democratisation.” Journal of Contemporary Asia 43 (2):226-242. doi: 10.1080/00472336.2012.757432.
Hadiz, Vedi R. 2010. Localising power in post-authoritarian Indonesia: a Southeast Asia perspective. Stanford, Calif: Stanford University Press.
Hewison, Kevin. 2013. “Weber, Marx and Contemporary Thailand.” TRaNS: Trans-Regional and-National Studies of Southeast Asia 1 (02):177-198.
Lane, Max. 2008. Unfinished nation: Indonesia before and after Suharto: Verso.
León, Luis Vicente, and David Smilde. 2009. “Understanding Populism and Political Participation: The Case of Venezuela.” Democratic Governance and the “New Left” (3).
Robison, Richard. 1986. Indonesia: the rise of capital. Vol. 13. North Sydney: Asian Studies Association of Australia.
Robison, Richard, and Vedi R. Hadiz. 2004. Reorganising power in Indonesia: the politics of oligarchy in an age of markets. Vol. 3. New York: RoutledgeCurzon.
Rueschemeyer, Dietrich, Evelyne Huber Stephens, and John D Stephens. 1992. “Capitalist development and democracy.” Cambridge, UK.
Schmitter, Philippe C. 2010. “Twenty-five years, fifteen findings.” Journal of Democracy 21 (1):17-28.
Internet:
Astika, Anom. 2014. “Mengorganisasikan Pengetahuan.” Indoprogres, Agustus 4. https://indoprogress.com/2014/08/mengorganisasikan-pengetahuan/
Irwansyah.2010.”Reformasi(nya) Oligarki.” Indoprogress, May 26. https://indoprogress.com/2010/05/reformasinya-oligarki/
Martin, Suryajaya. 2014 ”Perjuangan Kelas dan Holopis Kuntul Baris.” Indoprogress, Agustus 6. https://indoprogress.com/2014/08/perjuangan-kelas-dan-holopis-kuntul-baris/
Pontoh, Coen Hussein. 2014 “Arah Baru Hubungan Relawan Negara.” Indoprogress, Agustus 3. https://indoprogress.com/2014/08/arah-baru-hubungan-relawan-dan-negara/