Mengorganisasikan Pengetahuan

Print Friendly, PDF & Email

SETELAH Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan hasil Pilpres 2014, setelah pasangan Jokowi-Jusuf Kalla dielu-elukan sebagai pemenang Pilpres 2014, muncul banyak pertanyaan tentang masa depan Indonesia di bawah pemerintahan yang baru. Seperti, misalnya, bagaimana pemerintahan Jokowi nanti di dalam menghadapi tuntutan pencabutan subsidi BBM; bagaimana kemudian kebijakan Jokowi di dalam menghadapi tuntutan kenaikan upah dari kaum buruh; bagaimana kemudian kebijakan Jokowi di dalam penyelesaian pelanggaran HAM, dan sebagainya yang alfa omeganya terletak pada sumbu kebijakan ekonomi politik pemerintahan Jokowi. Bentuk pertanyaan lainnya adalah pada bagaimana kebijakan pemerintahan Jokowi di dalam mengembangkan partisipasi politik rakyat, dan bagaimana partisipasi tersebut dapat menjadi sumber bagi perumusan kebijakan-kebijakan negara. Pertanyaan-pertanyaan tersebut, baik itu yang berkaitan dengan arah kebijakan ekonomi politik maupun yang berhubungan dengan masa depan partisipasi politik rakyat, kerap menimbulkan keraguan terhadap Jokowi, dan atau pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla. Bahkan, apabila kita melihat situasi politik Indonesia secara teoretik Marxis, sangat kecil kemungkinan Jokowi dapat memenuhi janji-janjinya yang sarat dengan agenda-agenda pemerataan dan kesejahteraan sosial. Lebih-lebih mereka yang berada di sekeliling Jokowi adalah kumpulan pengusaha yang anti kenaikan upah, kumpulan jendral pelanggar HAM, kumpulan politisi korup, dan kumpulan-kumpulan lain yang satu atau lain hal terkait dengan ruang konsepsi politik kedurjanaan.

Tetapi masalahnya kemudian, apa dan siapa yang membuat kemenangan Jokowi itu terwujud? Jika merujuk pada hasil Pileg 9 April 2014, suara koalisi partai pendukung Jokowi hanya meraih angka 40,88 persen. Sementara koalisi partai pendukung Prabowo mencapai angka 59,12 persen. Seharusnya, hitungan di atas kertas pasangan Prabowo Hatta sangat mungkin memenangkan pertarungan. Tetapi mengapa kemudian situasinya berbalik? Ada banyak faktor, tetapi salah dua di antaranya yang cukup dominan adalah ‘bumerang kampanye hitam’ dan ‘pengorganisasian relawan.’

Serangan kampanye hitam yang dilancarkan oleh kubu Prabowo, melalui media massa daring (online), media sosial, dan media cetak dan televisi, pada akhirnya dirasakan tidak oleh Jokowi seorang, tetapi juga oleh dunia seniman, intelektual berikut kalangan terdidik lainnya. Plintiran fakta dan argumentasi yang didistribusikan jutaan kali oleh jaringan kubu Prabowo untuk menjatuhkan Jokowi, yang sarat dengan nuansa rasis dan anti keberagaman plus tidak logis pada satu sisi, justru melahirkan simpati kepada Jokowi. Bahkan, tanpa disangka-sangka, menumbuhkan sense of emergency (kesadaran akan situasi darurat) akan hadirnya kuasa fundamentalisme agama – fasisme jikalau Prabowo memenangkan Pilpres 2014. Sehingga citra tegas yang ingin diciptakan melalui sosok Prabowo, lambat laun menjadi citra keji dan murahan.

Sementara pengorganisasian relawan, sebenarnya adalah sebuah upaya para pendukung Jokowi untuk menjawab kekuranglincahan dan kekurangluwesan struktur partai di dalam menghadapi Pilpres 2014. Taktik ini terbukti manjur dalam menjaring dan menyerap aspirasi masyarakat, plus berfungsi juga sebagai barikade penghambat menyebarluasnya propaganda hitam terhadap Jokowi. Serangan terhadap Jokowi di media sosial tidak hanya ditahan oleh organisasi relawan semacam JASMEV, tetapi juga individu-individu yang berpengaruh di media sosial. Serangan terhadap Jokowi melalui tabloid Obor Rakyat, dihadapi dengan aksi-aksi pembakaran tabloid tersebut di hadapan publik dan bahkan di depan kantor Gerindra, maupun Kepala Daerah yang mendukung Prabowo. Tidak cukup itu, sejumlah kelompok relawan juga menerbitkan macam-macam tabloid yang melawan Obor Rakyat, seperti Pelayan Rakyat, Koran Bakti, Bejo, dan sebagainya. Namun yang perlu diperhatikan juga adalah aktivitas relawan dan pengelompokan relawan yang beraneka ragam bentuknya.

Secara umum aktivitas relawan ada dua macam, aktivitas sosial dan aktivitas politik. Rata-rata aktivitas sosial yang dilakukan relawan adalah donor darah, aktivitas kebersihan, dan aktivitas olahraga massal. Sementara aktivitas politik mengembang dari sekedar deklarasi kelompok relawan, konvoi relawan, festival-festival dan pagelaran kebudayaan, nobar, sampai dengan sablon kaus gratis. Menari bersama para pedagang di pasar Dolok Sanggul, Sumatera Utara, menari bersama Joget Bumbung di Bali, pagelaran Ketoprak di Klaten, festival kicau perkutut di Cibinong, ataupun festival poster dan meluasnya flashmob keliling di Jakarta, semuanya membuat kampanye dukungan Jokowi seperti rentetan petasan tanpa henti dari satu kota ke kota lainnya di seluruh Indonesia. Data yang dikumpulkan oleh redaksi IndoPROGRESS menunjukkan bahwa selama periode 15 hari di bulan Juni, tercatat lebih dari 1100 aktivitas relawan di berbagai kota di seluruh Indonesia. Bahkan di sejumlah kota-kota pusat studi mahasiswa Indonesia di Eropa, Australia, Amerika, Jepang, dan Cina muncul sejumlah deklarasi relawan pendukung Jokowi.

Dari konteks aktivitas relawan di dunia virtual maupun di dunia real itulah terbangun potensi dari konsep Kawal. Sehingga ketika hari H pemungutan suara berlangsung, dan terjadi kemudian klaim kemenangan dari pihak Prabowo, walaupun hasil hitung cepat berbagai lembaga menunjukkan kekalahannya, kesadaran Kawal melalui frasa ‘mengawal suara’ itu menjadi material. Baru pertama kali dalam sejarah pemilu di Indonesia, masyarakat pendukung Jokowi terutama, dan Prabowo seperti berlomba-lomba mengunggah foto hasil suara di TPS tempat mereka mencoblos, atau tempat mereka menjadi relawan. Dan baru pertama kali dalam sejarah pemilu di Indonesia, terdapat upaya untuk mengorganisasikan hasil-hasil unggahan tersebut dan mengompilasikannya dengan hasil scan form C1 yang diunggah oleh KPU melalui situs kawalpemilu.org. Sehingga hasil hitung real count yang dilakukan oleh KPU tidak bisa keluar dari ‘cermin’ yang dibuat oleh situs kawalpemilu.org. Tak heran jika dalam sidang pleno KPU, ketua KPU Husni Kamal Malik mengungkapkan rasa terima kasihnya kepada media sosial yang telah membantu KPU di dalam memberikan umpan balik terhadap KPU.

 

edit

 

Kini konsep ataupun kata Kawal memiliki pengertian yang baru. Kata itu tidak lagi serupa ‘pengingat’ atau ‘reminder’ dari/bagi subyek yang dikawal. Pun ia bukan ‘pengawal’ dari subyek yang dikawal. Tetapi kini Kawal memiliki makna yang terstruktur, sistematis, massif, dan melahirkan pengetahuan baru cq. Kepeloporan. Kata Kawal disebut sebagai yang terstruktur, pertama ia berupaya menyediakan basis material dari pengetahuan baru (fakta kampanye hitam, fakta kecurangan pemilu, fakta perolehan suara). Kedua, ia menyediakan syarat-syarat pengujian dan pembuktian kebenaran melalui aktivitas advokasi dan aktivitas politik (pelaporan tabloid Obor Rakyat ke kepolisian, pembakaran tabloid Obor Rakyat), bahkan verifikasi hasil suara melalui kecanggihan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ketiga, ia mensyaratkan lahirnya propaganda baru dari fakta-fakta yang disediakan, yaitu tantangan kepada negara untuk berhadapan, bersemuka dengan pengetahuan yang dihasilkan oleh para ‘pengawal.’ Sehingga, menurut hukum epistemologi tentang pengolahan pengetahuan, realitas kawal itu sudah membentuk struktur pengetahuan tentang Kawal.

Kata Kawal kini juga memiliki makna sistematis, dalam arti upaya-upaya untuk mengawal Jokowi, ataupun mengawal suara dilakukan melalui berbagai macam mekanisme kelompok-kelompok relawan, yang kadang kelihatan ‘awur-awuran’ tapi saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Aktivitas propaganda keliling melalui konvoi dan festival kebudayaan itu yang kemudian menjadi basis material dari sistematika gerakan kawal. Ia menjadi sistematis bukan karena berada dalam jaringan birokrasi kepartaian, tetapi sistematis karena semua yang berlibat berada dalam kesadaran state of emergency di muka dihubungkan melalui satu aktivitas ke aktivitas yang lainnya.

Pun kata Kawal kini memiliki makna massif. Ia dilakukan oleh banyak individu dan kelompok-kelompok yang berlibat dalam kesadaran state of emergency. Sehingga, kata Kawal di sini tidak sama makna dengan menagih janji yang tipis batasnya dengan sikap menunggu orderan kawinan atau sunatan dari seorang pemain organ tunggal tingkat kampung. Tetapi Kawal adalah sebuah upaya menghadirkan pengetahuan baru bagi masyarakat, melalui triangulasi terstruktur, sistematis, dan massif. Triangulasi ini berbeda dengan argumentasi tuntutan kecurangan pemilu atas nama kubu Prabowo. Tetapi triangulasi ini justru merevitalisasi seruan kewaspadaan akan kecurangan pemilu yang dikeluarkan oleh kelompok-kelompok relawan Jokowi, jarak dua minggu sebelum hari H pemungutan suara.

Kini dalam situasi setelah kemenangan Jokowi Jusuf Kalla, maka konsep kawal tidak bisa lagi demikian abstrak. Mengawal Jokowi, Mengawal Visi Misi Jokowi, bukan salah tetapi bagaimana ide-ide mengawal itu menjadi tepat guna bagi masyarakat. Ia harus lahir dari problem kongkret, sederhana dan visual di hadapan masyarakat, sehingga masyarakat bisa menatap dan merasakannya. Kampanye #sekolahlayak untuk mengadvokasi sekolah-sekolah rusak adalah salah satu upaya yang bisa dilakukan. Tetapi, jika melihat catatan perlawanan rakyat di tahun 2013, ada banyak sekali protes-protes yang dilakukan oleh masyarakat dengan isu jalan rusak, atau jalan berlubang. Pun ada banyak keresahan masyarakat terhadap mekanisme peradilan yang penuh suap dan penuh telikung. Belum lagi keresahan masyarakat terhadap munculnya berbagai macam kasus kekerasan seksual baik terhadap anak-anak maupun terhadap kaum perempuan. Sudah waktunya kini kita mengorganisasikan kembali semua pengetahuan yang berbasis pada keresahan-keresahan masyarakat, mengajak masyarakat untuk berlibat mempropagandakannya, bersama masyarakat mencarikan jalan keluarnya, dan menantang negara untuk turut pada kehendak masyarakat. Jika semua itu dilakukan maka kepeloporan itu bukan lagi seruan moral, tetapi rangkaian aktivitas demi aktivitas (kerja kobar dan kerja tekun) untuk melahirkan pengetahuan baru.

Praxis memang berbasis pada pengolahan realitas untuk melahirkan pengetahuan baru, tetapi ia tidak perlu dibayangkan sebagai romatika revolusi penuh darah dan airmata. Ia perlu dibayangkan sebagai upaya-upaya menciptakan kegembiraan berpolitik, ketimbang tumbang di balik plintiran lirik lagu Obbie Messakh, ‘Malu aku malu pada Khmer Merah…’***

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.