ADA yang menarik dari perkembangan konstelasi politik baru-baru ini. Sejumlah kiai dan tokoh Nahdlatul Ulama (NU) terlihat merapat dan memberi dukungan kepada kubu Prabowo. Sebut saja Kiai Maimun Zubair, pengasuh salah satu pesantren di Sarang, Rembang, yang juga menjadi petinggi di Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Selain Kiai Maimun, Ketua Umum PBNU, Kiai Said Aqil Siradj juga menjadi back up capres yang notabene mantan Danjen Kopassus itu. Bahkan, diisukan pula pemimpin Jam’iyyah Ahlith Thariqah al-Mu’tabarah an-Nahdliyyah (JATMAN), Habib Luthfi bin Yahya mengeluarkan fatwa wajib kepada warga nahdliyin untuk memilih Prabowo.
Poster kampanye Kiai Said Aqil Siradj untuk kemenangan Prabowo yang terdapat di tepi jalan sekitar komplek Madrasah Miftahul Huda (MMH), Tayu Wetan, Tayu, Pati. Di dekat itu pula tinggal Kiai Abdul Mujib Sholeh, pengasuh dan putra pendiri MMH. (Fotografer: Risa)
Bukannya bermaksud untuk kampanye capres dari partai sebelah, namun peristiwa merapatnya beberapa tokoh dan kiai NU ke Prabowo ini menimbulkan banyak pertanyaan di khalayak umum. Terutama dari para pemuda NU. Bagaimana bisa, NU yang memiliki ideologi multikulturalisme ini bergabung dengan capres yang berkoalisi dengan partai-partai dan organisasi-organisasi yang berhaluan kanan-fundamentalis? Bagaimana mungkin, mereka yang berhaluan berbeda dapat dipersatukan di dalam pertarungan politik?
Kendati tidak terima, ketika akan mengangkat tema ini, saya sempat dihinggapi rasa pakewuh, sungkan. Pantaskah seseorang yang hanya santri ini, mengritik beliau-beliau yang berada di level kiai, suhu agama?1 Seketika itu pula, saya teringat dengan berbagai kisah yang dituturkan semasa berada di pesantren. Kisah para kiai yang weruh sedurunge winarah, kiai yang sudah mengetahui apa yang akan terjadi.2
Walau demikian, tulisan ini bukanlah untuk mencari pembenaran, alih-alih mengadili dan menggugat keputusan para kiai. Adanya tulisan ini -semoga- hanya bermaksud untuk ngalap berkah semangat dinamika keilmuan pada masa empat serangkai imam madzhab. Bukankah keempatnya, walaupun belajar dari Qur`an dan hadis yang sama, tapi menelurkan keputusan yang berbeda? Bahkan, di dalam tubuh madzhab sendiri terdapat istilah ashab, para cendekiawan yang berbeda pendapat dengan keputusan para pendirinya.
Mengapa ‘Harus’ (Kiai) NU?
Bagi sebagian pembaca, adanya tulisan ini mungkin akan disikapi sebagai ungkapan sentimental, atau bisa jadi pernyataan primordial terhadap tokoh-tokoh organisasi lain. Mengapa harus NU? Mengapa bukan Muhammadiyah, atau organisasi Islam lainnya? Front Pembela Islam (FPI) dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), misalnya.
Selain sentimen –karena saya orang NU–, ada alasan lain yang melatarbelakangi penulisan ini. Pertama, para tokoh dan kiai NU menerapkan politik “dua pijakan”. Yaitu, sebagian berada di kubu Prabowo-Hatta, dan lainnya berada di kubu Jokowi-Kalla. Manuver seperti ini tidak nampak di organisasi ‘tetangganya’, yang sama-sama mengantongi jumlah massa yang banyak, Muhammadiyah. Bahkan, dalam suatu forum resmi, Amin Rais yang termasuk sesepuh Muhammadiyah, malah meneriakkan slogan ‘Hidup Prabowo’. Dia juga menjamin, pasangan Prabowo-Hatta akan menerima 85 persen suara dari anggota Muhammadiyah.
Alasan kedua, diakui atau tidak, selama ini, corong multikulturalisme yang paling keras suaranya adalah dari NU. Terlebih pada masa Gus Dur masih hidup. Ini dibuktikan dengan adanya perlindungan yang diperoleh para pemeluk agama ‘ilegal’. Ahmadiyah contohnya. Gus Dur juga menetapkan hari raya Imlek sebagai hari libur nasional. Selain itu, bersama-sama dengan Muhammadiyah, NU juga membuat manifesto keragaman yang kemudian tertuang dalam buku ‘Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Transnasional di Indonesia.’3
Alasan ketiga, NU mempunyai rekam jejak yang agak suram pada masa orde lama. Pada tahun 1965, NU berangkulan dengan militer dan organisasi lainnya melakukan pembersihan berdarah atas Partai Komunis Indonesia (PKI). NU menggarisbawahi pernyataan, bahwa ia tidak sendirian dalam pembantaian tersebut. Semua orang tahu, bahwa peristiwa yang terkenal dengan sebutan G30S PKI itu dicerca juga dipuja. ‘Menyelamatkan’ kesucian Pancasila sekaligus membantai ribuan nyawa. Karena inilah, PBNU kemudian membuat buku yang berisi pledoi atas sikapnya pada masa itu.4[4] Sekarang, seperti déjà vu, peristiwa NU yang berkoalisi dengan militer terjadi kembali. Memang benar, bahwa Prabowo telah hengkang dari militer, bahkan diberhentikan secara tidak hormat. Namun, tidak menutup kemungkinan jika dia masih memiliki akses dan mengetahui lingkaran elit di negeri ini. Ini terlihat dari kemudahannya melenggang menuju pilpres 2014. Padahal dia terjerat banyak kasus, salah satunya adalah penghilangan 13 aktivis ketika goro-goro 1998 terjadi. Maka, dikhawatirkan, jika kerja sama antara NU dan militer ini akan menimbulkan ekses politik sekali lagi. Dan di masa mendatang, NU mungkin akan membuat ‘buku putih’ lagi.
Alasan terakhir, simpatisan dan massa yang berafiliasi dengan NU sangat besar. Walau bersifat cair dan belum ada struktur hirarkhis yang jelas, massa NU ‘terbagi’ di kantong-kantong yang ‘dipimpin’ oleh kiai. Dengan kata lain, seorang kiai dapat memobilisir santri dan ‘bawahannya’ untuk mengikuti pendapatnya. Realitas ini tentu dapat diselewengkan untuk kepentingan politik. Terlebih bagi kiai “kampung” yang minim pengetahuan perpolitikan dan mempunyai pengikut yang fanatik. Apapun yang disabdakan oleh gurunya, para santri hanya sendhiko dawuh.
Poster fatwa Habib Luthfi yang masih kontroversial.
Ini dikarenakan prinsip Habib Luthfi adalah NKRI,5
tapi laskar Prabowo, FPI, menginginkan khilafah.6 (Sumber: Facebook)
Prabowo, Laskar Radikal dan Militer
‘Prabowo, Laskar Radikal dan Militer’. Sungguh koalisi yang hebat, gagah dan nampak tegas. Menurut saya, ketiganya diikat oleh chemistry berupa ‘seragam’. Seragam yang saya maksud di sini bukan pakaian resmi yang dipakai oleh suatu kelompok sebagai tanda identitasnya, namun seragam dalam arti ‘penyeragaman’, ‘unifikasi’ sampai ‘purifikasi’. Yang mendasari pernyataan ini adalah latar belakang dan program kerja ketiganya. Prabowo berasal dari militer yang menjunjung tinggi ‘kedisiplinan’ dan ‘kekompakan’. Banyak juga anak buahnya semasa di militer ikut bergabung di Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). Hematnya, Gerindra bisa dikatakan sebagai tempat reuni mereka. Sedangkan laskar radikal menginginkan negara yang berdasarkan atas ideologi yang mereka usung. Entah itu khilafah, atau sebatas formalisasi syari’at. Karena para kiai dan tokoh NU memasuki grup lempeng galeng,7 maka sebelum menjawab apa motif koalisi mereka, kita kupas dulu tritunggal ini.
Barangkali, biografi Prabowo tidak perlu disebutkan di sini. Pembaca dapat mengetahui perjalanan kehidupan dan karir Prabowo di situs (tendensiusnya) selamatkanindonesia.com. Tapi, karena milik ‘pribadi’, tentunya ada banyak sekali polesan di sana-sini. Kabar yang sedang santer dibicarakan akhir-akhir ini adalah soal komandonya kepada Tim Mawar pada tahun 1997-1998 untuk ‘mengamankan’ sejumlah aktivis. Walau sempat dianulir, namun adanya surat pencopotannya berikut penyebabnya, yang diposting di berbagai media sosial, membuat tim sukses Prabowo tak berkutik.
Akan tetapi perlu dicatat juga, bahwa karena bahasa surat administrasi yang ‘resmi’, seringkali mereduksi fakta-fakta yang perlu diketahui pihak lain. Misalnya di bagian Menimbang poin c nomor 1. Di dalam surat hanya tertulis ‘Pelibatan satgas di Tim-Tim dan Aceh’, tanpa ada penjelasan lebih lanjut. Pada tanggal 28 April 2014, Tempo online melansir berita yang bertajuk ‘Korban 98: Didukung FAKI, Bukti Prabowo Intoleran’. Tempo memberi penjelasan bahwa Prabowo terlibat dalam ‘pembentukan julukan “Kampung Janda.”’8
Pertanyaan yang muncul kemudian, Mengapa di setiap kampanye, Prabowo ditahbiskan sebagai orang yang tegas dan amanah? Padahal, surat tersebut berkata sebaliknya. Selain itu, mengapa tak ada pengusutan kasus atas dirinya? Bukankah pada saat itu Presiden juga mengetahuinya? Akan tetapi, di atas semua itu, mengapa bukti keterlibatan Prabowo mulai “terkuak” saat pencapresan dirinya berlangsung? Mengapa tidak diusut kala ia menjadi cawapresnya Megawati?
Berbicara soal politik, memang tak pernah selesai. Terlalu banyak peristiwa yang sulit diprediksi. Seringkali yang nampak hanyalah tentakel dari gurita kasus. Melihat kemudahannya melenggang untuk nyapres, tentu ada yang mem-back up dirinya agar ‘kebal hukum’. Lalu, bagaimana dengan pilpres 2009? Menurut asumsi saya, pemunculan bukti pelanggaran-pelanggaran ini adalah permainan elit partai politik. Kendati demikian, timing kemunculan kasus harus dibedakan dengan adanya kasus itu sendiri. Walau kemunculannya malah terlihat sebagai ‘serangan’ dari oposan, terutama Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang mengusung Jokowi.
Selain riwayat Prabowo yang penuh dengan pelanggaran, di tubuh partainya juga menyimpan potensi intoleransi. Pada Manifesto Perjuangan Partai Gerindra halaman 40 poin 11 Bidang Agama, terdapat kutipan berikut ini:
‘… Namun, pemerintah/negara wajib mengatur kebebasan di dalam menjalankan agama atau kepercayaan. Negara juga dituntut untuk menjamin kemurnian ajaran agama yang diakui oleh negara dari segala bentuk penistaan dan penyelewengan dari ajaran agama…’9
Pernyataan tersebut dengan tegas menolak adanya keragaman agama dan kepercayaan di Indonesia. Manifesto ini malah meneguhkan status quo yang tengah melanda di bidang keagamaan. Selain adanya cap ‘ilegal’ bagi agama ‘non resmi’, kutipan ini juga seakan melegalkan takfir yang diterima oleh kaum Syi’ah, Ahmadiyah dan yang lain. Mungkin, karena hal inilah yang menyebabkan kubu Prabowo bisa ‘menari’ dengan luwes bersama FPI dan Forum Betawi Rembug (FBR).
Menakutkan! Mungkin itulah ungkapan yang tepat untuk menggambarkan keadaan tim sukses Prabowo-Hatta. Bagaimana tidak? Selain ia berkoalisi dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang ingin menegakkan khilafah di Indonesia, Prabowo juga merangkul kelompok Islam garis keras lainnya. Bahkan, di tubuh koalisi tenda besar ini juga didiami oleh sekumpulan preman yang menyebut dirinya Pemuda Pancasila (PP). Organisasi ini pula yang ikut andil dalam pemurnian Pancasila (baca: pembunuhan massal terhadap orang PKI dan yang dianggap PKI).
Walau terdiri dari kelompok yang dalam kinerjanya sering menggunakan kekerasan, ketua tim kampanye Prabowo-Hatta, Mahfud MD terlihat tenang-tenang saja. Dia berkeyakinan, mereka akan bersikap lunak.10 Akan tetapi, asumsi saya, peminangan yang dilakukan oleh Prabowo ini tidak akan mampu meluluhkan laskar ini. Pasalnya, tanggal 8 Juni 2014, FPI kembali berulah di kantor redaksi Harian Jurnal Asia. Mereka menganggap, foto yang menunjukkan gambar seorang lelaki paruh baya yang memegang poster ‘Muslim Koruptor, Muslim Sontoloyo’, adalah bentuk diskriminasi Suku, Agama, Ras dan Budaya (SARA). Paradoks bukan?
Lalu, bagaimana nasib para kiai yang tergabung di dalamnya?
Ada Apa di Balik Koalisi Ulama dan (Calon) Umara’?
Dalam manaqib Syaikh Abdul Qadir al-Jilaniy Lujain ad-Dani, dijelaskan bahwa Syaikh Abdul Qadir tak pernah mengagungkan kaum borjuis, tak pernah juga berdiri untuk menyambut pemerintah dan punggawa kerajaan. Beliau pun tak menerima sumbangan ataupun hadiah dari raja.11 Sikap yang ditunjukkan oleh Syaikh ini kemudian dijadikan suatu pedoman, bagaimana posisi ulama di hadapan umara’ (pemerintah). Lantas, apakah merapatnya para kiai NU ke kubu Prabowo dan ke Jokowi adalah suatu kesalahan?12
Yang perlu diperjelas dalam ulama vis a vis umara’ adalah peran dan orientasi yang diinginkan oleh ulama. Apakah mereka mendekati para pemimpin hanya untuk memenuhi kebutuhan pribadinya atau untuk melegitimasi setiap keputusan pemimpin? Ataukah ingin menjadi penasihat dan memberikan kritikan untuk program dan kinerja pemerintah? Jika alasan kedua yang dipakai, maka malah menjadi keharusan ulama untuk melakukannya.13 Lalu, bagaimana dengan para ulama yang merapat di kubu Prabowo? Bukankah sudah jelas pelanggaran-pelanggaran yang telah dilakukannya?
Untuk menjawab ini, saya pernah melakukan wawancara yang respondennya adalah kaum muda NU dan beberapa tokoh NU di sekitar Tayu dan Margoyoso. Sebagian besar responden yang muda, hanya berani sebatas husnuzhan atas apa yang dilakukan oleh para kiai. Menurut mereka, mungkin saja ada agenda terselubung yang akan dilakukan oleh kiai. Misalnya, para kiai akan mengawal perancangan program kerja para capres dan juga memberikan dukungan moril kepada para capres. Politik ‘tanam budi’ ini dimaksudkan untuk memastikan ideologi Ahl Sunnah wa al-Jama’ah tidak hilang atau dihapus dari Indonesia untuk lima tahun ke depan.14
Namun, tidak semua kiai mempunyai agenda rahasia seperti demikian. Banyak pula para kiai yang termakan mentah-mentah informasi miring yang disebarkan –dalam bentuk koran– untuk mendiskreditkan capres pesaing Prabowo. Koran ini –Obor Rakyat, namanya– disebarkan secara massif dan sistematis ke pesantren-pesantren dan pedesaan. Sebagian besar isu yang diangkat dari Obor Rakyat adalah soalSARA. Jokowi adalah etnis Tionghoa, beragama Kristen dan dicukongi oleh Cina.15[8] Salah satu kiai di Margoyoso juga mengaku, beliau lebih menaruh respek pada Prabowo karena dia terlihat Islami –karena berkopiah– dan ulung berorasi. Mengingatkan saya pada sosok Soekarno, tambah beliau.
Koran Obor Rakyat edisi 2 yang saya terima.
Dapat dilihat, bahasa yang digunakan redaksi adalah bahasa yang provokatif
dan banyak berisi propaganda.
Akan tetapi, Muhammad Al-Fayyadl berpendapat berbeda. Menurutnya, ada juga beberapa kiai yang merapat ke Prabowo karena ada ketakutan terhadap ‘ancaman-ancaman’ yang dapat ‘merusak’ keberadaan agama Islam. Misalnya, kristenisasi dan kebhinekaan agama. Karena itulah, kiai-kiai ini lebih memilih Prabowo yang terlihat macho, kuat, tegas dan berwibawa. ‘Belum saatnya’, kata seorang kiai, ‘sipil memerintah Indonesia’. ‘Karena sipil tidak mampu memberikan kepemimpinan yang berwibawa’, tandasnya. Yang lebih aneh, –sebagaimana yang diutarakan di awal–, para kiai malah bersekutu dengan kelompok Islam kanan yang cenderung anarkis dan menyimpan fobia yang sama (anti-PKI, anti-minoritas).16
Sebenarnya, adanya sayap konservatif ini telah lama bersemanyam di tubuh NU. Gejala ini mulai nampak saat Muktamar Kediri 1999, di mana wacana keharusan Islam sebagai landasan NU. Kelompok ini tidak setuju atas keputusan Muktamar di Situbondo yang menjadikan Pancasila sebagai landasan NU. Namun, karena kuatnya pengaruh dan wibawa Gus Dur sebagai pemimpin mulai 1984-1998, menjadikan sayap ini tersingkir dari kancah wacana NU.17
Tetapi, terlepas dari semua prediksi ini, ulama yang mencari suaka dan muka di pemerintah ataupun militer memang akan membuat image mereka menjadi tak bertaji lagi.
NKRI Harga Mati
Dengan mencermati track record Prabowo, seharusnya kita bisa memperkirakan, apa yang akan terjadi di Indonesia, jika tampuk kepemimpinan diserahkan kepada seseorang yang bermasalah di dalam hidupnya, di militer khususnya. Ada dua pertimbangan penting untuk berpaling dari Prabowo: pertama, tidak ingatkah kita pada masa kekuasaan Soeharto, seorang jenderal murah senyum yang kemudian melikuidasi pemerintahan Soekarno secara paksa. Bukankah dia juga dari kalangan militer? Saya tidak apriori terhadap militer, namun pribadi Prabowo agak mencerminkan pribadi Soeharto, walaupun dibungkus dengan gaya pidato Soekarno.
Sesuai dengan argumen di atas, bahwa Prabowo adalah pelanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Namun, seperti Soeharto, Prabowo juga bebas melenggang kemana pun dia suka. Tak ada forum resmi untuk mengadili kesalahan-kesalahannya. Jika hanya sekedar sumpah di bawah Qur`an, wakil rakyat kita tentu lebih paham dengan itu karena prosesi sumpah tersebut hanya sebatas di lidah saja. Dan sampai sekarang, Prabowo belum juga diadili. Agum Gumelar dan Susilo Bambang Yudhoyono juga masih tutup mulut. Bahkan, Amin Rais yang pernah berteriak adili Prabowo atas kasus HAM-nya, sekarang malah berteriak Hidup Prabowo!
Duhai, manusia memang sulit diprediksi isi hatinya! Seseorang yang mampu mangkir dan berkelit dari pengadilan HAM tentunya di-back up oleh elit negeri yang terdiri dari para borjuis dan militer. Dan yang mintilihir, dari 37 jenderal, ada 6 orang yang bermasalah; yaitu pelanggaran HAM, kerusuhan 1998, penyerbuan berdarah kantor PDIP 1996, dugaan keterkaitan peristiwa 27 Juli dan kasus penculikan aktivis.18 Kesemua rangkaian peristiwa ini tentu merujuk pada agenda yang lebih besar, yakni membangkitkan kuasa yang yang pernah mendominasi Indonesia, militerisme.19 Lalu, apakah kita ingin pemerintahan kita berbentuk junta militer? Tidakkah kita tengok tetangga kita, Myanmar dan Thailand, yang sampai sekarang belum menemui titik perdamaian?
Alasan kedua adalah sejarah kehidupan beragama di Nusantara. Adalah suatu kecongkakan, jika umat Islam ingin mendirikan daulah Islamiyyah di bumi pertiwi. Lupakah kita, bahwa Islam adalah agama pendatang? Jauh sebelum para saudagar Gujarat membuang sauh di selat-selat dan pantai, Budha dan Hindu telah lama ada di Jawadwipa dan pulau lainnya. Atau, tak ingatkah kita pada keleluasaan untuk menjalankan ibadah, dengan suara-suara keras di tiap mula ritualnya? Itu belum termasuk dengan serangkaian acara peringatan lainnya; Mauludan, Ruwahan, Rejeban, ‘Aqiqah dan seterusnya.
Maka, tepat sekali apa yang digelisahkan oleh Sabda Palon atas masuknya Prabu Brawijaya dalam Islam.
‘… Yang mengaku paling mulia itu hanya orang Ngarab, dan itu diikuti oleh semua orang Islam. Mereka memuji dan meninggikan kelompoknya sendiri. Menurut hamba, lebih baik tidak mengurusi (menghakimi) tetangga (agama lain). Perbuatan semacam itu (suka menghakimi agama lain) hanya akan menunjukkan rendahnya pemahaman diri. Saya tetap menyukai agama lama, tetap suka menyebut Tuhan dengan nama Dewa Yang Mahalebih!…’20
Baiklah, tak usah muluk-muluk untuk kembali ke masa lampau. Kata anak muda jaman sekarang, move on. Kita bisa melihat penerapan syari’ah dalam sistem masyarakat dalam scope kecil, Aceh. Ada banyak kasus pelanggaran hak yang mengatasnamakan hukum Islam. Dan karena Islam yang dipahami di sana adalah agama yang kurang ramah pada perempuan, hingga seterusnya akan terjadi pemasungan hak dan pemarjinalan perempuan. Adapun para elit agama, akan semakin leluasa berbuat, karena ia dilindungi oleh jubah firman Tuhan. Lalu, nasib suatu bangsa akan dikuasai oleh para Mullah (yang berkongkalikong dengan militer) dan identitasnya berubah menjadi militer-feodalistis.
Epilog: Mullah-Militer di The Physician
The Physician adalah sebuah film yang mengambil setting pada masa Ibnu Sina masih hidup. Walaupun bertema science fiction, film ini juga menampilkan kondisi Isfahan, Persia (sekarang disebut Iran), saat dipimpin oleh seorang Shah. Saya tidak akan bercerita banyak mengenai film ini. Tapi, ada satu hal yang masih berhubungan dengan coretan saya.
Pada masa itu, kota Isfahan didiami oleh dua agama, Yahudi dan Islam, dan bermacam suku. Jika dianalogikan, model pemerintahan Shah mirip dengan Soeharto, yaitu penuh dengan sensor dan kesewenangan. Walau demikian, Shah masih menaruh hormat kepada kaum brahmana dan para cendekiawan. Dan dari sinilah, permasalahan bermula.
Sebagaimana yang diketahui, Islam tidak hanya rahmatan li al-‘alamin, namun bisa saja menjadi bala`an li al-‘alamin, kesusahan bagi semesta. Ini dikarenakan sikap pemeluknya yang intoleran pada orang lain, pemeluk agama lain. Terlebih bagi pemeluk aliran dalam satu agama. Nah, di Isfahan ini ada sekelompok muslim yang fanatik terhadap agamanya. Mereka tidak menerima perbedaan dan menolak ilmu pengetahuan. Sudah pastinya Shah tidak akan membiarkan virus seperti ini menular ke warga lain. Anggota kelompok garis keras yang melancarkan protes secara terbuka kemudian dihukum oleh Shah. Dikarenakan tekanan semakin kuat, Mullah kemudian menemui kaum Seljuk –tetangga sekaligus musuh Shah– di perbatasan untuk meminta bantuan.
Singkat cerita, setelah peperangan usai, kaum Seljuk mendapat kemenangan. Kemenangan ini bisa diraih karena didukung dengan keadaan Isfahan yang lemah, sebab baru saja bertahan dari serangan penyakit pes. Kendati yang menang adalah sekutu muslim fanatik, namun yang terjadi malah antiklimaks. Mereka baru saja lolos dari mulut buaya, tapi berhadapan dengan mulut singa. Mereka menggulingkan tiran lama untuk membuat tiran baru.
Pada akhirnya, semoga ending film tadi tidak terjadi di Indonesia. Amin… ***
Penulis adalah wakil sekretaris Remaja Masjid Baitussalam Sambiroto-Tayu
1Progresifitas orang-orang pesantren nampak dari adanya buku-buku yang berisi catatan kaki dan “koreksi” atas pola pengajaran yang cenderung monolog dan buah karya para kiai. Di antara buku-buku tersebut adalah karya Ali Usman, Kiai Mengaji, Santri Acungkan Jari, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2013) dan Forum Kajian Kitab Kuning, Kembang Setaman Perkawinan, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2005). Buku kedua ini memberikan kritik atas karya Syaikh Nawawi al Bantani, Uqud al-Lujjain.
2Contoh kisah-kisah para kiai yang mempunyai karamah weruh sedurunge winarah dapat dilihat di situs http://teronggosong.com
3Abdurrahman Wahid (ed.), Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Transnasional di Indonesia, (Jakarta: The Wahid Institute, 2009).
4Buku yang dimaksud berjudul Benturan NU-PKI 1948-1965, (Jakarta: Tim PBNU, 2013).
5Pernyataan bahwa Habib Luthfi mendukung NKRI dapat dilihat di http://m.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,44-id,46967-lang,id-c,nasional-t,Jatman+Rapat+Pleno++Habib+Luthfi++Warga+Thariqah+Wajib+Jaga+NKRI+.phpx
6Selain ramai di internet, poster serupa juga mulai bermunculan di Tayu. Kebanyakan memfokuskan penyebarannya di daerah pesantren dan kauman (komplek penduduk muslim).
7Lempeng galeng adalah istilah Jawa yang bermakna “lurus seperti pematang sawah atau tambak”. Idiom ini ditujukan bagi orang yang saklek dan konservatif.
8Baca selengkapnya di http://pemilu.tempo.co/read/news/2014/04/28/269573682/p-Korban-98-Didukung-FAKI-Bukti-Prabowo-Intoleran
9Manifesto Perjuangan Partai Gerindra, hlm. 40. Diunduh dari situs resmi Partai Gerindra di http://partaigerindra.or.id/manifesto-perjuangan-partai-gerindra
10Baca selengkapnya di http://pemilu.tempo.co/read/news/2014/06/01/269581584/FPI-dan-FBR-Dukung-Prabowo-Mahfud-Mereka-Bisa-Lunak
11Ja’far bin Hasan al-Barzanji, Lujain ad-Dani fi Manaqib Quthb ar-Rabbaniy asy-Syaikh ‘Abd al-Qadir al-Jilaniy, (Semarang: Maktabah al-‘Alawiyah, t.t.), hlm. 26
12Karena perbedaan pilihan ini, NU terlihat pecah kongsi. Apalagi kemudian media membumbuinya dengan pendapat yang seringkali subyektif. Padahal dalam kenyataannya tidak demikian. Ini dibuktikan dengan kenyataan yang didapati Tutik Nurul Jannah, menantu almarhum Kiai Sahal Mahfuzh, pada saat walimah ‘arus di kediaman almarhum Kiai Idris Marzuqi Lirboyo, 4 Juni 2014. Para kiai yang menghadiri walimah nampak akrab. Bahkan Kiai Idris memberikan mimbar kepada kiai pendukung Prabowo dan Jokowi. Tokoh yang mewakili Prabowo adalah Kiai Said Aqil Siradj dan Mahfud MD. Adapun tokoh yang mewakili Jokowi adalah Kiai Aziz Mansur dan Kiai An’im.
13Baca tulisan Ahmad Gaus yang berjudul “Krisis Kepemimpinan: Ulama dan Kekuasaan di Tengah Arus Transisi” di blognya http://ahmadgaus.wordpress.com
14Namun, ada yang janggal di sini. Kuatkah wibawa kiai NU untuk mempengaruhi Prabowo dan para koalisinya? Ataukah NU malah menjadi bemper Prabowo nantinya? Ini dibuktikan dengan tidak adanya tanggapan atas program kerja elemen garis kanan yang cenderung anarkis.
15Pada 5 Juni 2014, jpnn.com menurunkan berita yang bertajuk “Fitnah ala Obor Rakyat Merusak Demokrasi”. Di tulisan tersebut dikabarkan bahwa Ray Rangkuti, Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia, mengaku kecewa atas sikap lembaga pengawas pers yang terkesan membiarkan. Baca selengkapnya di http://m.jpnn.com/news.php?id=238527
16Hasil diskusi online via facebook dengan Muhammad Al-Fayyadl pada 6-12 Juni 2014.
17Syafiq Hasyim, “Kebangkitan Sayap Konservatif” dalam Khamami Zada dan A. Fawaid Sjadzili (ed.), Nahdlatul Ulama: Dinamika Ideologi dan Politik Kenegaraan, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010), hlm. 181-182
18Baca selengkapnya di http://m.bisnis.com/pemilu/read/20140607/355/234002/pilpres-2014-ini-daftar-jenderal-pendukung-prabowo-hatta-6-diduga-bermasalah. Bramantyo Prijosusilo, seniman asal Yogyakarta menambahi, bahwa 6 jenderal loyalis bermasalah yang merapat ke Prabowo ini agaknya terindikasi ingin mendapatkan “grasi” dari masyarakat dan pemerintah, kelak jika Prabowo menjadi presiden. Sikap seperti ini tentu amat disayangkan dan akan semakin melanggengkan praktik kuasa militer di Indonesia.
19Tulisan yang bagus dan lengkap dari Iqra Anugrah mengenai analisis potensi barbarisme yang akan muncul di Indonesia, jika Prabowo menjadi Presiden. Baca di https://indoprogress.com/2014/05/demokrasi-atau-barbarisme/
20Damar Shashangka, Darmagandhul: Kisah Kehancuran Jawa dan Ajaran-ajaran Rahasia, (Jakarta: Dolphin, 2012), hlm. 81
Referensi Buku
al-Barzanji, Ja’far bin Hasan, Lujain ad-Dani fi Manaqib Quthb ar-Rabbaniy asy-Syaikh ‘Abd al-Qadir al-Jilaniy, Semarang: Maktabah al-‘Alawiyah, t.t.
Benturan NU-PKI 1948-1965, Jakarta: Tim PBNU, 2013
Hasyim, Syafiq, “Kebangkitan Sayap Konservatif” dalam Khamami Zada dan A. Fawaid Sjadzili (ed.), Nahdlatul Ulama: Dinamika Ideologi dan Politik Kenegaraan, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010
Shashangka, Damar, Darmagandhul: Kisah Kehancuran Jawa dan Ajaran-ajaran Rahasia, Jakarta: Dolphin, 2012
Wahid, Abdurrahman (ed.), Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Transnasional di Indonesia, Jakarta: The Wahid Institute, 2009
Referensi Internet
Gaus, Ahmad, “Krisis Kepemimpinan: Ulama dan Kekuasaan di Tengah Arus Transisi” di http://ahmadgaus.wordpress.com
https://indoprogress.com/2014/05/demokrasi-atau-barbarisme/
http://m.jpnn.com/news.php?id=238527
Manifesto Perjuangan Partai Gerindra. Diunduh dari situs resmi Partai Gerindra di http://partaigerindra.or.id/manifesto-perjuangan-partai-gerindra
Wawancara dan Diskusi
Diskusi online via facebook dengan Muhammad Al-Fayyadl pada 6-12 Juni 2014
Wawancara via sms dengan Tutik Nurul Jannah pada 6 Juni 2014
Wawancara online via facebook dengan Bramantyo Prijosusilo pada 12 Juni 2014