Bagaimana Konflik Elite Mewarnai Aksi Protes di Indonesia?

Print Friendly, PDF & Email

Ilustrasi: Project Multatuli


GELOMBANG protes di berbagai kota di Indonesia yang dipicu oleh kegeraman nyata atas berbagai kebijakan kontroversial pemerintah dan DPR baru-baru ini berujung rusuh dan merenggut setidaknya tujuh nyawa.

Kemarahan publik memuncak setelah kematian tragis pengemudi ojek daring, Affan Kurniawan, yang dilindas oleh kendaraan taktis Brimob pada 28 Agustus di daerah Pejompongan, Jakarta. Saat itu, ia tengah melintasi area demonstrasi di Pejompongan, Jakarta, untuk mengantarkan makanan bagi seorang pelanggan.

Pada mulanya, aksi protes menyasar Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang baru saja menaikkan uang tunjangan rumah yang sangat tinggi. Publik juga geram dengan komentar yang tidak simpatik dari sejumlah anggota DPR saat menanggapi kritik terkait gaji mereka yang tinggi.

Kematian Affan memicu aksi protes yang lebih besar. Komunitas pengemudi ojek menjadi bagian dari aksi massa yang menuntut pertanggungjawaban penuh dari polisi. Demonstrasi berlanjut di hari-hari berikutnya, dengan jumlah pengunjuk rasa yang terus bertambah, menyasar beberapa lokasi, di antaranya gedung Kepolisian Daerah Metro Jaya dan Markas Komando (Mako) Brigade Mobil (Brimob) di Kwitang, Jakarta.

Sebagian besar unjuk rasa yang berlangsung di luar Gedung DPR berlangsung relatif damai. Namun, di lokasi lain, aksi protes kian memanas dan polisi merespons dengan represif. Aksi-aksi yang terjadi di luar Jakarta juga diwarnai dengan pembakaran kantor polisi, gedung DPRD, dan kantor-kantor pemerintah.

Kerusuhan yang meluas ini juga diikuti dengan penjarahan di rumah mewah sejumlah anggota DPR. Selain di rumah Ahmad Sahroni, penjarahan terjadi di rumah anggota DPR sekaligus selebritas seperti Surya Utama (Uya Kuya), Eko Hendro Utomo (Eko Patrio) dan Nafa Urbach. Penjarahan juga terjadi di rumah Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang tengah disorot karena rencana kontroversialnya menaikkan pajak.


Kerusuhan yang Direkayasa?

Meskipun sebagian besar protes merupakan aksi yang muncul secara organik yang didorong dari keresahan publik, kerusuhan yang terjadi tampak sebagai rekayasa—atau paling tidak, sebagai hasil manipulasi—oleh faksi-faksi oligarki. Berbagai ketidakwajaran mengingatkan pada kerusuhan yang direkayasa pada tahun 1998, menjelang jatuhnya mantan presiden Soeharto dan Orde Baru.

Di depan Mako Brimob Kwitang, beberapa pria berseragam militer terekam sedang membagikan uang kepada massa: suatu pemandangan langka yang tampaknya dimaksudkan untuk menarik simpati publik. Sementara itu, dari berbagai rekaman video yang beredar di media, tidak ada satu pun polisi berseragam yang terlihat menindak penjarahan di rumah mewah anggota DPR dan menteri.

Berbagai kejanggalan dari respons aparat keamanan menimbulkan pertanyaan tentang sesuatu yang terjadi di balik layar.

Perusakan sejumlah halte bus TransJakarta dan mass rapid transport (MRT) semakin menambah kejanggalan. Sejumlah warga di sekitar menyebut pelaku perusakan tak dikenali dan bukan peserta aksi. Dengan kejanggalan-kejanggalan yang serupa di berbagai lokasi, sulit untuk mempercayai perusakan dilakukan oleh massa aksi.

Dengan struktur komando dalam militer dan kepolisian, aksi-aksi di lapangan tak bisa dilepaskan dari dinamika kepemimpinan kedua lembaga ini yang terhubung dengan kontestasi elite.


Kontestasi Elite

Sejumlah studi menunjukkan bagaimana kerusuhan di tahun 1998 erat kaitannya dengan konflik antar elite yang melibatkan faksi militer pendukung Soeharto, termasuk Prabowo yang saat itu memimpin Komandan Pasukan Khusus (Kopassus). Kerusuhan yang terjadi beberapa waktu terakhir tampaknya juga terhubung dengan konflik elite.

Kontestasi ini melibatkan faksi-faksi yang berada di bawah kendali Prabowo, mantan presiden Joko Widodo (Jokowi), dan Megawati Soekarnoputri, pemimpin partai dengan suara terbesar di DPR, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Kompetisi yang terjadi di antara mereka di antaranya terfokus pada kendali atas institusi keamanan negara, khususnya kepolisian, yang belakangan menjadi sasaran kemarahan publik setelah kematian Affan.

Jokowi yang memiliki pengaruh cukup kuat di kepolisian dan sedikit banyak di Kejaksaan Agung (Kejagung), terlihat masih menjadi ancaman bagi kekuasaan Prabowo. Meskipun berusaha membangun keseimbangan politik dengan Jokowi yang telah berperan penting dalam memenangkannya di pemilihan presiden 2024, Prabowo berupaya mulai mengikis pengaruh pendahulunya itu. Untuk mengonsolidasikan kekuasaan politiknya, Prabowo juga mendekati Megawati yang kini menjadi lawan politik Jokowi.

Upaya Prabowo untuk melemahkan pengaruh pendahulunya yang dilakukan secara terang-terangan antara lain lewat pemberian amnesti dan abolisi kepada dua rival politik Jokowi yang terjerat kasus korupsi – mantan sekretaris jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto dan mantan menteri perdagangan Thomas ‘Tom’ ​​Lembong.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Perimbangan kekuasaan juga tampak semakin bergeser, terutama setelah Megawati secara terbuka menyatakan dukungannya pada pemerintahan Prabowo. Padahal, selain mantan kepala badan intelijen negeri Budi Gunawan, yang dikenal dekat dengan Megawati, tak ada satu pun anggota PDI-P yang masuk kabinet Merah Putih.

Dengan kerusuhan yang terjadi belakangan ini dan terbingkai sebagai teguran terhadap institusi kepolisian yang dipimpin oleh Jenderal Listyo Sigit Prabowo yang dekat dengan Jokowi, berbagai spekulasi mengemuka. Salah satunya adalah bagaimana kerusuhan tersebut diorkestrasi—atau dieksploitasi—dan menjadi dalih untuk menyingkirkan Listyo dan melemahkan pengaruh Jokowi.

Situasi ini tidak lantas berarti bahwa aksi protes selalu menjadi instrumen bagi elite untuk memuluskan agenda politik mereka. Hampir semua demonstrasi yang terjadi beberapa waktu terakhir adalah aksi yang organik sebagai ekspresi kekecewaan publik. Akan tetapi kenyataannya, situasi ini juga yang membuka peluang untuk menjadikan kerusuhan sebagai instrumen politik ketika tensi antar elite meningkat.

Aksi-aksi yang terjadi selama ini jelas merupakan respons terhadap akumulasi kemarahan publik atas berbagai kebijakan bermasalah dari pemerintahan Jokowi (2014-2024) dan DPR yang masih berlanjut di era  Prabowo. Kenaikan tunjangan rumah anggota DPR, misalnya, disampaikan di tengah melemahnya daya beli masyarakat, terutama di kalangan kelas menengah yang jumlahnya makin menyusut dalam beberapa tahun terakhir. Pelemahan lembaga-lembaga pasca-reformasi seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga terjadi di era Jokowi dan hal ini mengikis kepercayaan publik terhadap pemerintah. Insiden kebrutalan polisi terhadap pengunjuk rasa juga memperbesar amarah yang memicu gelombang protes yang meluas, dan sebagian berujung pada kerusuhan. Sayangnya, protes rakyat sebagai respons atas berbagai ketidakadilan yang mereka hadapi rentan dieksploitasi untuk manuver politik para elite dalam kontestasi kekuasaan.


Apa Babak Selanjutnya?

Setelah kematian Affan, seruan agar Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dimintai pertanggungjawaban dan dicopot dari jabatannya semakin meningkat. Namun, sejauh ini Prabowo belum melakukannya. Ini menimbulkan pertanyaan penting mengenai sejauh apa Prabowo akan benar-benar menyingkirkan pengaruh Jokowi.

Sejak awal masa jabatan kepresidenannya, kekuasaan Prabowo bergantung pada aliansi dengan tokoh-tokoh elite kunci lain. Keberhasilannya dalam pemilu 2024 yang bergandengan dengan Gibran Rakabuming Raka, misalnya, sangat ditentukan oleh dukungan Jokowi. Di DPR, Prabowo harus mengandalkan koalisi untuk mengegolkan undang-undang karena partainya, Gerindra, hanya merupakan partai terbesar ketiga.

Dalam pidatonya menanggapi kerusuhan pada 31 Agustus 2025, Prabowo didampingi oleh tujuh pimpinan partai, antara lain Megawati Sukarnoputri, Bahlil Lahadalia, Surya Paloh, Muhaimin Iskandar, dan Zulkifli Hasan. Hadir pula Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Ahmad Muzani, Ketua DPR, Puan Maharani, dan Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Sultan Najamuddin. Ketidakhadiran Wakil Presiden Gibran sangat mencolok.

Apa yang disampaikan Prabowo sebagian besar berisi pernyataan normatif, tanpa permintaan maaf yang sungguh-sungguh yang ditujukan kepada publik. Prabowo memang mengutip pernyataan pimpinan DPR yang menjanjikan akan mencabut beberapa kebijakan kontroversial seperti kenaikan tunjangan anggota DPR dan memberlakukan moratorium kunjungan kerja ke luar negeri. Faktanya, DPR masih harus membahasnya lebih lanjut untuk memfinalisasi pencabutan kebijakan itu.

Prabowo juga menginstruksikan kepolisian untuk bertanggung jawab dalam menegakkan hukum, terutama ketika kerusuhan telah memicu upaya makar dan terorisme. Namun, dari pidatonya, tidak ada tanda-tanda Listyo akan dipecat. Sebaliknya, keesokan harinya, Prabowo mengunjungi aparat kepolisian yang terluka dalam kerusuhan dan meminta Listyo untuk memberi kenaikan pangkat bagi mereka.

Kedudukan Listyo di kepolisian menguntungkan Jokowi untuk mempertahankan posisi tawarnya, setidaknya hingga saat ini. Situasi ini tidak berarti bahwa pengaruh Jokowi hanya bergantung pada kendali Listyo atas kepolisian. Akan tetapi, kepolisian, yang juga berisi faksi-faksi yang saling bersaing yang terhubung dengan faksionalisasi politik dan bisnis, memperluas kewenangan dan kapabilitasnya di bawah kepemimpinan Jokowi dan sejak itu telah menjalin aliansi yang kuat dengan mantan presiden tersebut. Tak heran jika muncul istilah ‘Partai Cokelat’ Jokowi, merujuk pada warna seragam institusi keamanan ini.

Ke mana kepolisian menjatuhkan pilihannya menjadi sebuah pertaruhan. Jika memilih berada di bawah kendali Jokowi, institusi kepolisian akan menjadi target utama Prabowo. Namun, jika institusi keamanan ini sepenuhnya bersekutu dengan Prabowo, daya tawarnya jadi melemah karena adanya risiko menjadi subordinat militer, seperti struktur Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) pada era Orde Baru.

Jika aliansi Prabowo dengan TNI lebih dominan, pada akhirnya ia dapat semakin memperkuat kepentingannya dan menggunakan kerusuhan sebagai dalih untuk terus menekan gerak oposisi, termasuk misalnya dengan memberlakukan darurat militer. Skenario semacam itu telah digunakan oleh pihak-pihak tertentu sebagai narasi propaganda untuk mendemobilisasi protes dan mengurangi tekanan terhadap polisi, sekaligus menebar ketakutan publik terhadap Prabowo dan tentara. Narasi ini mencerminkan kontestasi kekuasaan yang semakin intensif di antara para elite politik, terutama antara aliansi Jokowi-polisi dan aliansi Prabowo-TNI.

Terlepas dari bagaimana ujung konflik antar elite, gerakan protes yang organik mesti mewaspadai adanya risiko kooptasi oleh faksi-faksi elite yang berkompetisi. Tanpa mempertimbangkan konteks yang lebih luas, aksi protes kemungkinan hanya akan berujung pada tersingkirnya satu faksi elite yang berseteru, sementara faksi lain tetap memegang kendali atas kekuasaan negara – atau bahkan makin kuat kendalinya.


Rafiqa Qurrata A’yun adalah dosen Fakultas Hukum di Universitas Indonesia dan  associate di Centre for Indonesian Law, Islam and Society (CILIS), Melbourne Law School, University of Melbourne, Australia.

Ary Hermawan adalah editor Indonesia at Melbourne, editor lepas Project Multatuli dan research fellow di ISEAS-Yusof Ishak Institute, Singapura.

Abdil Mughis Mudhoffir adalah research fellow Alexander von Humboldt di German Institute for Global and Area Studies (GIGA), Hamburg, Germany dan honorary fellow di Asia Institute, University of Melbourne, Australia.

Artikel ini merupakan terjemahan dari “The battle of the giants: How elite conflicts turn Indonesian protests into mass riotsyang diterbitkan Indonesia at Melbourne pada 2 September 2025, dengan sejumlah penyuntingan dan penambahan oleh penulis. Penerjemahan dan penerbitan di IndoProgress untuk tujuan pendidikan atas seizin penerbit.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.