Foto: Instagram Aksi Kamisan
“PRESIDEN JOKOWI adalah seorang pelindung pelanggar HAM (Hak Asasi Manusia) berat, dan ia adalah pengkhianat Reformasi,” ucap Maria Catarina Sumarsih sungguh-sungguh.
Ia berdiri tegak dan tidak pernah berhenti. Suaranya masih menggelegar meski usia telah menginjak kepala tujuh. Pandangannya masih tajam menatap Istana Negara setiap Kamis sore. Ia setia menuntut keadilan bagi anaknya, Bernardinus Realino Norma Irawan—Wawan, yang meninggal karena ditembak aparat Orde Baru pada Tragedi Semanggi I, 1998.
Aksi Kamisan itulah, yang telah berpijak selama 17 tahun sejak 18 Januari 2007, menjadi wahana bagi Sumarsih dan siapa pun yang berspirit kemanusiaan untuk menunjuk hidung para pelanggar HAM dan menuntut mereka bertanggung jawab.
Spirit Gandhi
Perjuangan Mahatma Gandhi melawan kolonialisme Inggris telah usai. Namun, sari pati metode gerakannya tak mati begitu saja. Takdir membawa ahimsa—prinsip gerakan nonkekerasan—tumbuh mengakar ke mana-mana, termasuk Indonesia. Landasan Gandhi itulah yang bermuara menjadi Aksi Kamisan.
Alasan mengapa Aksi Kamisan terus ada adalah karena pelanggaran HAM tidak pernah tuntas diselesaikan, meski Reformasi, era setelah kediktatoran, telah bergulir seperempat abad silam. Jelas tidak pernah ada keseriusan dari semua presiden yang pernah berkuasa untuk menuntaskannya, tidak terkecuali Joko Widodo.
Aksi Kamisan—yang, sekali lagi, sudah berumur 17 tahun—tak pernah henti-hentinya menampar muka pemerintah yang penuh bedak sekaligus meneriaki telinga mereka yang kelewat tebal. Namun selama itu pula pemerintah diam dan tak ambil pusing melihat penderitaan keluarga korban yang terombang-ambing penuh abu-abu.
17 Tahun bukanlah periode yang singkat. Maka sama sekali bukan hal aneh jika banyak orang, termasuk kita, menduga bahwa presiden sengaja menjadikan penuntasan HAM berat sebagai barang dagangan alias komoditas dengan tujuan meraup suara elektoral semata.
Saya masih ingat dan bisa menangkap euforia para aktivis dan keluarga korban ketika Jokowi mulai berkuasa—walau saat itu masih berusia 10 tahun. Ia seorang populis yang tumbuh dari latar sipil, bukan bagian dari Orde Baru, dan suci dalam janji. Bahkan, dalam Nawacita 2014, sembilan prioritas pembangunan ala Jokowi, terang tertulis bahwa pemerintahannya akan “berkomitmen menyelesaikan secara berkeadilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu”.
Secepat kilat kita diperlihatkan bahwa komitmen itu hanya sampai kerongkongan. Kegagapan Jokowi menuntaskan kasus HAM sudah terlihat ketika ia menunjuk Wiranto sebagai Menteri Koordinator Politik dan Hukum (Menkopolhukam) sebelum dua tahun berkuasa. Bagaimana bisa Jokowi mengangkat seseorang yang harusnya bertanggung jawab atas peristiwa Trisakti serta Semanggi I dan II menjadi pejabat negara?
Ketidakseriusan terus terlihat ketika Jokowi justru berbelok, mencoba menyelesaikan pelanggaran HAM berat dengan mekanisme nonyudisial pada periode kedua. Jalur itu justru sarat menunjukkan keengganannya untuk menyeret pelaku pelanggar HAM ke meja hijau, bahkan terkesan melindunginya. Tidak hanya itu, mekanisme nonyudisial justru semakin menebalkan impunitas yang memang sudah tebal.
Undang-Undang Nomor 26 tahun 200 tentang Pengadilan HAM sebenarnya tidak menyebutkan sama sekali disparitas mekanisme yudisial dan nonyudisial. Seharusnya pemerintah menggunakan piranti hukum tersebut karena ia amanat dan anak kandung Reformasi. Terlebih, ada UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. Semua sebenarnya tergantung apakah pemerintah mau melaksanakannya atau tidak, konsekuen sebagai negara hukum atau tidak, dan setia pada konstitusi atau tidak. Oleh karena itu semua, kita bisa lantang mengatakan bahwa pemerintah memang tak punya kemauan untuk menyelesaikan sejarah hitam masa lalu.
Pemerintah juga berat betul untuk meminta maaf atas nama negara, mengungkap kebenaran, dan mengembalikan hak-hak korban yang direnggut akibat pelanggaran HAM.
Di titik ini, jika pemerintah telah membaluti diri dengan busa peredam suara, kita bisa berbuat apa?
Belum lagi, baru-baru ini, Prabowo Subianto, seorang calon presiden yang ketika aktif sebagai tentara merupakan tukang culik, enteng saja mengatakan bahwa isu pelanggaran HAM hanya muncul “tiap lima tahun” dan ketika “polling saya naik.” Sungguh, saya tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan keluarga korban mendengar pernyataan hina itu. Sumarsih, Suciwati, atau keluarga korban tidak menampilkan isu itu secara sengaja saban lima tahun untuk dihidangkan kepada para elite politik. Isu tersebut selalu diadvokasi tiap waktu; tanpa henti.
Penyelesaian kasus HAM jelas akan menjadi tambah berat apabila Prabowo terpilih dalam pemilu—yang sudah diikutinya sekian kali. Rasa-rasanya Aksi Kamisan nyaris muskil tutup buku dengan cepat jika berkaca arah politik Indonesia dewasa ini. Tidak ada yang tahu, ironi tentu.
IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.
Berlipat ganda
Mengubah sedikit kalimat awal yang tertuang dalam Manifesto Partai Komunis (1848), saat ini ada hantu yang berkeliaran menghantui presiden di Indonesia—hantu kasus pelanggaran HAM. Semua kekuasaan di Indonesia telah lama menyatukan diri dalam suatu persekutuan keramat untuk mengusir hantu ini: presiden, politikus-politikus yang abai tuntutan rakyat, Jaksa Agung yang malas melakukan penyidikan dan penuntutan, dan pelaku pelanggar HAM itu sendiri.
“Hantu-hantu” itu akan terus ada selama penyebabnya tak ditangani. Saya percaya bahwa lilin semangat Aksi Kamisan akan tetap dinyalakan oleh para pemuda. Keyakinan itu tumbuh sejak saya berkuliah. Aksi Kamisan rutin dilaksanakan di sana. Setiap Kamis sore di sekitar Tugu Jogja. Tidak ada seorang pun yang berusia 50 tahun ke atas mengikuti aksi, setidaknya berdasarkan amatan saya, tapi sekelompok pemuda yang memiliki kesadaran untuk menegakkan kemanusiaan.
Isu yang diangkat bahkan meluas. Mereka yang bernaung di bawah lembaga-lembaga sosial aktif menggodok isu yang akan dibawa pada Aksi Kamisan di pekan berikutnya. Sekitar akhir November lalu, misalnya, isu yang digemakan adalah persoalan konflik dan ketidakadilan agraria yang memang marak terjadi. Pemandangan waktu itu dipenuhi oleh kawan-kawan—sekitar 30 orang—dari fakultas saya sendiri. Tidak ada hal lain yang saya rasakan kecuali hati bergetar melihat pemuda-pemuda yang sadar bahwa kemanusiaan di mana pun tidak boleh diinjak-injak.
Karena itu, saya tidak akan pernah khawatir bahwa perjuangan Sumarsih akan berhenti di tengah jalan. Akan ada banyak Sumarsih-Sumarsih lain yang mengemuka di kemudian hari.
Bagi Aksi Kamisan, tahun ini memang—mengutip Sukarno—tahun vivere pericoloso; tahun yang menyerempet bahaya. Tapi, vivere pericoloso itu mampu dijawab tangguh: Aksi Kamisan, ever onward and never retreat. A luta continua!***
Alvino Kusumabrata, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada