George Junus Aditjondro, Sang Surya yang Tidak Pernah Tenggelam

Print Friendly, PDF & Email

Ilustrasi: illustruth


Judul : Meniti Jalan Berduri: Mengenang George Junus Aditjondro 

Editor: Stanley Adi Prasetyo, Aderito de Jesus Soares, Basillius Triharyanto 

Halaman : 236 + index 

Penerbit: : Kepustakaan Populer Gramedia, cetakan pertama, Mei 2023


ANTARA obituari dan kenang-kenangan dari para sahabat, yang kemudian dituangkan dalam bentuk buku, ibarat dua sisi dari sekeping mata uang yang sama. Yang membedakan adalah obituari hanya terdiri dari secuil informasi tentang sang tokoh; sedangkan memori dari para sahabat bisa menjabarkan lebih dalam pengaruh dan pemikiran sang tokoh terhadap khalayak banyak. Buku Meniti Jalan Berduri: Mengenang George Junus Aditjondro yang terbit tahun lalu dan diulas dalam artikel ini mencakup dua sisi koin tersebut.

Buku ini berisi kumpulan tulisan para kerabat tentang George Junus Aditjondro (GJA) yang meninggal pada 10 Desember 2016–bertepatan dengan Hari Hak Asasi Manusia–setelah terserang stroke. GJA bukan hanya seorang cendikiawan par excellence, tapi juga peneliti andal yang sangat memerhatikan rincian. Temuan-temuannya sering kali sangat sulit dibantah baik oleh para akademisi yang mengabdi pada penguasa atau cendikiawan independen yang berbasis di NGO dan kampus-kampus. Penelitian GJA beragam, mulai dari persoalan lingkungan, HAM, korupsi, sosial-ekonomi, dan apa yang kemudian disebutnya sebagai “sosiologi gerakan pembebasan di negara Dunia Ketiga”.

Karena rentang hidup yang panjang serta tebalnya pengabdian untuk kemaslahatan umat manusia, sebenarnya satu bunga rampai tidaklah cukup. Bunga rampai ini juga hanya secuil dibanding karya-karya besar yang dihasilkan GJA semasa hidup. Pengalaman dan keterlibatan dalam kerja-kerja penggorganisasian korban pembangunan Waduk Kedungombo (1991), di mana terjadi penggusuran besar-besaran terhadap penduduk, misalnya, ia jadikan disertasi doktoral di Cornel University pada tahun 1993 dengan judul The Media as the Development “Textbook”: A Case Study on Information Distortion in the Debate About the Social Impact of an Indonesian Dam.

Semasa hidup, GJA yang dikenal sebagai “manusia tanpa selembar ijazah pun”–kata sobat karibnya, mendiang Daniel Dhakidae–memang dilatih dan melatih diri untuk menjadi intelektual publik yang memiliki kelasnya sendiri (in a class of his own). Untuk mempertajam pisau analisis, ia melahap bacaan yang beragam, mulai dari marxisme, karya intelektual Michael Foucault, karya filsuf eksistensialis Jean Paul Sartre, sampai psikiater Dunia Ketiga kelahiran Martinique, Frantz Fanon, penulis karya yang kemudian dikenal sebagai manifesto gerakan pembebasan di negara-negara dunia ketiga melawan eksistensi kolonialisme, The Wretched of the Earth.

Dalam hal pengorganisasian rakyat dan pendidikan kaum tertindas, gerakan GJA didasarkan atas karya-karya dari tokoh pendidikan ternama Brasil, Paulo Freire. Sementara pandangannya tentang peran intelektual dalam masyarakat, yang banyak menuntunnya menjadi seperti yang kita kenal, seorang intelektual organik, banyak terinspirasi dari Antonio Gramsci, Sekretaris Jenderal Partai Komunis Italia yang dipenjara oleh rezim fasis Mussolini pada 1926 lalu dijatuhi hukuman penjara selama 20 tahun. Gramsci dikenal luas melalui karya Prison Notebooks. 

Dalam bunga rampai ini kita bisa menemukan beragam kesan dan pengalaman para penulis dengan dan tentang GJA, baik pengalaman empiris (terlibat langsung dalam kerja-kerja pro bono) maupun kesan yang diperoleh lewat karya yang dihasilkan baik dalam kapasitas sebagai peneliti, akademisi, aktivis, dan peran lainnya. 


GJA dan Timor Leste

GJA adalah intelektual yang berpihak, termasuk pada gerakan pembebasan Timor Leste. Hal ini bermula ketika ia bertemu dengan presiden Timor Leste sekarang, José Ramos-Horta, pada saat berkunjung ke Jakarta pada tahun 1975 dalam misi diplomatik. GJA sendiri pernah datang ke Timor Leste sebagai wartawan majalah mingguan Tempo sebelum militer Indonesia menginvasi.

Ia mengenal dengan baik “gelombang pasang emansipasi” yang melanda Timor Leste, juga bagaimana partai-partai politik terbentuk sebagai bagian dari proses dekolonisasi yang digalakkan oleh perubahan politik di Portugal (Revolusi Anyelir 25 April 1975). GJA juga mengenal para calon pemimpin Timor Leste dengan baik. Beberapa di antara mereka kemudian menjadi sahabat karibnya dan mereka bersama-sama memperjuangkan Timor Leste sampai memperoleh kemerdekaan.

GJA selalu meninggalkan jejak berupa karya intelektual di mana pun menjejakkan kaki, demikian diungkapkan oleh ilmuwan politik Australia Clinton Fernandes dalam buku ini. Tak terkecuali dengan Timor Leste. Sejak terlibat aktif dalam memperjuangkan kemerdekaan Timor Leste baik dengan kalangan solidaritas internasional, gerakan pro-demokrasi di Indonesia, dan para aktivis Timor Leste itu sendiri, GJA senantiasa meninggalkan warisan intelektual yang bisa dijadikan rujukan bagi kalangan pejuang pembebasan (hal. 67-68). Ketika pada masa pendudukan, GJA menulis beberapa karya tentang sejarah dan pelanggaran HAM oleh militer Indonesia di Timor Leste dan munculnya gerakan solidaritas di Indonesia, seperti Menyongsong Matahari Terbit di Puncak Ramelau: Dampak Pendudukan Timor Lorosa’e dan Munculnya Gerakan Pro-Timor Lorosa’e di Indonesia (2000). 


GJA dan Papua

Hubungan GJA dengan Papua sama seperti cintanya terhadap perjuangan Timor Leste. Sebagai pendiri Yayasan Pengembangan Masyarakat Desa Irian Jaya (YPMD Irja), GJA tidak terlalu fokus pada kerja administrasi, tetapi juga penggorganisasian. Ia mendorong para pemuda Papua untuk menulis tentang mereka sendiri. Pengalaman GJA di Papua kemudian dibukukannya dengan judul Cahaya Bintang Kejora: Papua Barat dalam Kajian Sejarah, Budaya,Ekonomi, dan Hak Asasi Manusia (ELSAM, 2000).

GJA amat ulet dalam mempersiapkan para generasi Papua menjadi penulis yang mumpuni, Juga memperkaya mereka dengan teknik pengumpulan informasi untuk advokasi pelanggaran HAM sejak kehadiran militer Indonesia di Papua. Ia juga terus menghidupkan harapan orang-orang Papua akan masa depan yang lebih baik tanpa harus menjadi bagian dari Indonesia.

Jejak langkah GJA di Papua masih terasa sampai saat ini.


GJA dan Klaim Australia 

GJA melancarkan perjuangan dua arah pada saat pendudukan militer Indonesia. Selain melawan rezim militer, ia juga mempermasalahkan klaim pemerintah Indonesia dan Australia atas kekayaan minyak di celah Timor.

Untuk mempertegas argumentasinya, GJA menerbitkan karya Is Oil Thicker Than Blood? A Study of Oil Companies’ Interests and Western Complicity in Indonesia’s Annexation of East Timor (1998). Karya ini merupakan hasil penelitian yang sangat mendalam dan detail, tidak hanya tentang aspek politik tetapi juga sepak terjang para pemilik perusahaan yang memiliki kekuatan untuk menyakinkan Perdana Menteri Malcolm Fraser bahwa akan lebih menguntungkan bagi Australia untuk berbagi pendapatan dengan Indonesia daripada dengan Timor Leste merdeka (hal. 69). 

Minyak di Celah Timor kemudian menjustifikasi dukungan pemerintah Australia terhadap kampanye destabilisasi oleh militer Indonesia di perbatasan, mengorganisir dan mendanai para milisi sipil, dan menyeberangi perbatasan untuk kemudian melancarkan konflik berskala rendah (low intensity conflict) sampai invasi besar-besaran pada 7 Desember 1975 dan menduduki wilayah itu selama 24 tahun kemudian.


GJA dan Kampanye Re-edukasi di Indonesia

GJA juga berperan besar dalam merancang strategi perlawanan Renetil (Resistencia Nacional dos Estudantes de Timor-Leste), sebuah organisasi yang didirikan oleh 10 orang mahasiswa Timor Leste yang kuliah di Bali pada 20 Juni 1988. Seperti diuraikan seorang murid dan sahabat karibnya, Aderito de Jesus Soares (hal. 90), GJA memainkan peran penting dalam memperkenalkan “re-edukasi masyarakat Indonesia mengenai masalah Timor-Leste.” Mungkin ini adalah awal dari lahirnya “Indonesianisasi konflik Timor-Leste” (Indonesiacao conflito de Timor).

GJA tahu dengan baik bahwa banyak intelektual Indonesia yang menentang invasi. Tapi persoalan seriusnya adalah ada sensor dari militer Indonesia yang menyebabkan khalayak umum memiliki informasi sangat terbatas tentang invasi. Bahkan, ada kecenderungan penerimaan narasi tunggal militer yang menegaskan bahwa Timor Leste adalah “anak yang hilang dan telah kembali,” atau integrasi Timor Leste ke Republik Indonesia adalah permintaan masyarakat Timor Leste sendiri “tanpa paksaan”.

Tidak heran jika para aktivis gerakan kemerdekaan Timor Leste sangat dekat dengan GJA. Beliau pun memahami dengan sangat mendalam urat nadi perjuangan para pemuda Timor Leste. 


GJA dan Timor Leste Pasca Kemerdekaan 

GJA tidak pernah meninggalkan Timor Leste ketika kemerdekaan tercapai. Ia terus mengingatkan para calon pemimpin Timor Leste tentang bahaya dominasi asing di negara pasca-kolonial. GJA kemudian menghasilkan karya, yang merupakan kumpulan dari makalah yang ia presentasikan di berbagai lokakarya dan beberapa hasil wawancara. Kompilasi ini kemudian dibukukan dengan judul Timor Lorosa’e on the Crossroad: Timor Lorosa’es Transformation from Jakarta’s Colony to a Global Capitalist Outpost (CedSos, 2001).

GJA pernah berkunjung ke Timor Leste pasca merdeka atas undangan Oxfam dan Sah’e Institute for Liberation (SIL) pada tahun 2002. Ia sempat bertemu dan berbincang dengan pemimpin perlawanan, Xanana Gusmão, yang pada saat itu berdiam di Aileu dan dikelilingi oleh para gerilyawan. Menurut GJA, telah banyak yang berubah dari Xanana. Terlihat rasa kecewa dari raut muka GJA.

GJA tidak yakin kalau Xanana akan menepati janjinya, yakni “tidak berambisi untuk menjadi penguasa” karena tidak ingin mengulangi pengalaman para pemimpin gerakan pembebasan di negara-negara pasca-kolonial lain yang bertransformasi menjadi tiran. “Saya hanya ingin menjadi penulis puisi dan jadi petani labu di pegunungan Pai-Chau,” kata Xanana seperti ditirukan oleh GJA. Kita tahu bahwa Xanana adalah Presiden pertama Timor Leste setelah lepas dari Indonesia (Mei 2002-Mei 2007) kemudian Perdana Menteri (2007-2015). Jabatan yang sama kembali ia dapatkan sejak Juli tahun lalu.

GJA juga beranggapan bahwa Timor Leste kemungkinan akan memilih model pembangunan yang keliru dengan mengikuti kemauan pasar sebagai panglima (neoliberal) (hal. 77).


Pengalaman Pribadi dengan GJA

Saya sendiri sedikit mengenal GJA saat membaca hasil liputannya di Tempo saat masih di bangku SMA kelas 1 di Dili, pada masa pendudukan Indonesia. Saat itu, tahun 1994, GJA dikabarkan mengajukan permanent residence di Australia karena diancam oleh pemerintah Indonesia setelah berpidato di Universitas Islam Indonesia. Ketika itu dia menyebut rezim “tiga H” (Harto-Harmoko-Hasan), serta menjelaskan hubungannya dengan gerakan mahasiswa Timor Leste.

Saya semakin mengenal GJA saat dia berkunjung ke Dili pada tahun 2000 untuk acara kuliah umum di SMA Santo Yosep. Dalam acara yang dihadiri ratusan pengunjung itu, GJA membahas bahaya pemimpin gerakan pembebasan yang bertransformasi menjadi penguasa karena kecenderungan mereka menjadi diktator yang menindas rakyat sendiri. Dia juga mengkhawatirkan ekspansi modal dari Australia dan Indonesia yang akan menyebabkan orang Timor- Leste menjadi tamu di negara sendiri.

GJA kemudian menjadi fasilitator pelatihan metodologi penelitian yang didanai oleh OXFAM bekerja sama dengan Sahe Institute for Liberation (SIL), sebuah kelompok studi lokal di mana saya menjadi anggotanya. Sejak saat itu interaksi saya dengan GJA menjadi sangat intens. Beliau ingin merekomendasikan saya ke Cornell University melalui Profesor Ben Anderson (sayang sekali, kami tidak sempat merealisasikan impian saya ini). Walaupun sempat muncul kembali saat GJA menjadi pengajar mata kuliah sosiologi gerakan pembebasan negara-negara pasca-kolonial di University of Newcastle, tapi karena satu dan lain hal rencana studi ini terus tertunda sampai GJA pindah ke Indonesia dan menjadi pengajar di Universitas Sanata Dharma.

Kesan saya, GJA adalah intelektual organik sekaligus otodidak yang hebat dengan minat baca yang luas. Karena itu, bukanlah sebuah kejutan jika GJA hampir selalu menguasai setiap topik yang dibicarakan di semua kesempatan. Pengetahuannya yang luas tentang para tokoh gerakan pembebasan di Dunia Ketiga, pergumulannya dengan teori-teori marxis, Antonio Gramsci, Frantz Fanon,Paulo Freire, dan marxisme kontemporer menjadikan GJA berada di kelasnya sendiri.

Saya sendiri jadi jarang membaca karya GJA saat dia pindah ke Indonesia, karena minat saya yang begitu terbatas terhadap kajian-kajian tentang korupsi dan kekuasaan. Ini berbeda dengan saat masih dalam pergerakan. Saya cenderung melahap hampir semua karya GJA tentang Timor Leste, gerakan demokratisasi di Indonesia, serta karya-karya tentang Papua dan dampak globalisasi terhadap lingkungan.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


Sang Surya yang Tidak Pernah Tenggelam 

Selain pemikir serius, GJA juga memiliki selera humor yang tinggi, mulai dari yang berhubungan dengan politik sampai yang paling vulgar. Dalam buku ini kebiasaan tersebut diutarakan oleh Tri Agus. Dia bilang GJA memelesetkan tritunggal Harto (Soeharto), Hasan (Bob Hasan), dan Habibie dengan sebutan “Ha-Ha-Ha”. Humornya yang lain tentang TNI yang dikirim ke medan tempur: “Jadi ABRI itu enak. Dikirim ke daerah konflik Aceh atau Papua, berangkat memakai M16 pulang membawa 16M” (hal, 59).

Dinilai dari standar apa pun, GJA lebih dari sekadar peneliti, intelektual, dan aktivis tanpa kompromi seperti diungkapkan oleh Ariel Heryanto (hal. 211). GJA juga memahami bagaimana gurita korupsi bermula dari konstelasi kekuasaan. Putra tunggalnya, Rico Aditjondro, bergumam, “Dia bukan ayah, tapi dosen politik pribadi.”

GJA konsisten membela kaum marginal yang terpinggirkan (hal. 16). Konsistensi dalam membongkar jejaring korupsi para penguasa dan elite di Indonesia adalah bagian dari keberpihakan GJA terhadap “kaum yang terlupakan” dan tidak “tersentuh oleh pembangunan” (the untouchables). Ia menjadi musuh abadi untuk para penguasa dan mantan penguasa yang, sekaligus menjadi sahabat bagi para pejuang Timor Leste seperti Ramos Horta, Xanana Gusmão, para aktivis Renetil, dan orang-orang Timor Leste di diaspora. Ia adalah suluh bagi para pejuang Papua dan para aktivis Sulawesi Tengah, yang menginspirasi radikalisme bagi aktivis yang lebih muda seperti Andreas Harsono (hal. 174).

Terlepas dari berbagai kekurangan, seperti pengulangan narasi dalam beberapa bab serta deskripsi yang tidak terkoordinasi, bunga rampai ini layak dibaca oleh generasi Indonesia dan Timor Leste yang ingin menyelam lebih jauh tentang seluk-beluk seorang intelektual hebat yang pernah dilahirkan oleh Indonesia. Timor Leste, Papua, dan Indonesia sangat beruntung karena pernah mengenal “manusia tanpa ijazah” ini. 

George Junus Aditjondro adalah sang surya yang tidak pernah tenggelam, dan sang surya adalah George Junus Aditjondro itu sendiri.


Ivo Mateus Goncalves da Cruz Fernandes adalah sejarawan dan kandidat Doktor Studi Sejarah Asia di Coral Bell School of Asia Pacific Affairs College of Asia and the Pacific, The Australian National University (ANU). 

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.