Memahami Krisis Antroposen dan Solusinya dari Kacamata Kohei Saito

Print Friendly, PDF & Email

Ilustrasi: Getty Images


Kohei Saito, filsuf asal Jepang, adalah salah satu pemikir marxisme yang ingin melihat lebih dalam aspek ekologis dari pelbagai sisi karya Karl Marx. Bekerja sangat tekun di sebuah perpustakaan di Jerman, filsuf asal Jepang ini membongkar karya Marx dan Engels yang belum pernah dipublikasikan secara luas dalam MEGA (Marx—Engels—Gesamtausgabe). Saito sangat yakin, melalui pembacaan ulang di MEGA, kita dapat menelusuri dimensi pemikiran Marx terutama tentang Metabolic Rift (Keretakan Metabolis) yang tidak pernah terjamah sebelumnya, selain dari potongan kata-kata di Capital (I) dan Grundrisse.

Kita tidak bisa menganggap remeh usaha intelektual Saito meradikalkan pandangan ekologi dalam marxisme di tengah krisis antroposen yang sedang melanda. Para penggawa ekososialisme dan ekomarxisme telah berusaha membuktikan bahwa keretakan ekologis terjadi akibat sistem kapitalisme, misalnya John Bellamy Foster, Andreas Malm, Paul Burkett, John Clark, Richard York serta Jason Moore. Untuk membuktikan Keretakan Ekologis sebagai suatu keniscayaan dalam kapitalisme pasca-industrial, Saito membawa proyek Marx ini dengan melibatkan epos antroposen.

Selama ini ada semacam upaya untuk meradikalkan gagasan prometheanisme, yaitu anggapan bahwa modernitas dan teknologi merupakan alat untuk menciptakan masa depan yang mengutamakan keadilan dan kesetaraan dalam mengakses sumber daya yang melimpah. Sebagian pembaca Marx menganggap proyek ini belum selesai. Sebaliknya, bagi Saito, proyek prometheanisme Marx memiliki keterbatasan tersembunyi. Ketakutannya ialah progresivitas teknologi justru jadi instrumen baru akumulasi kapital ketimbang distribusi kesejahteraan secara menyeluruh. Untuk itu Saito menawarkan pandangannya tentang degrowth plus communism.

Apa yang sebenarnya ia bicarakan lewat konsep yang bombastis tersebut?


Perdebatan Monisme/Dualisme

Pertama, perlu ditegaskan kembali analisis Saito saat memahami posisi Marx di tengah krisis ekologi antroposen. Ia kembali ke asumsi onto-epistemologi Marx itu sendiri. Sejak awal, Marx diposisikan sebagai seorang dualis secara ontologis: membuat pembedaan antara A dan B, antara alam serta sosial dan seterusnya (disebut Dualisme Cartesian). Para pemikir pasca-Marx menggunakan analisis monisme (kesatuan) untuk mengkritik. Monisme meradikalkan status ontologis alam yang tampaknya tidak dapat dipisahkan dengan kerja produksi kapital itu sendiri. Dari sisi ini, monisme percaya adanya hibriditas antara Yang-Alam dan Yang-Sosial. Oleh karena itu, cara memahami Keretakan Metabolis (K-M) ialah dengan menolak Dualisme Cartesian.

Saito melakukan pembacaan terhadap K-M dan mengkritiknya karena tidak dapat memahami metabolis universal yang ada. Apa itu metabolis universal?

Saito menjabarkan kelemahan analisis baik dari monisme dan proyek promethian pasca-kapitalisme meski monisme tampaknya sangat meyakinkan; latourian pun akan berprasangka dengan meletakkan ‘aktan’ atau simetrisitas ontologis, baik manusia atau non-manusia, menjadi jejaring agen ‘politik ekologi’ tertentu. Keduanya tidak dapat dipisahkan karena tidak ada pemisahnya.

Monisme dianggap gagal dalam menjelaskan posisi alam sebagai subordinat dari masyarakat. Baik konstruktivisme sosial (kuat) dan posmodernitas sama-sama sepakat kalau alam saat ini tidak lagi sama seperti dulu; masyarakat hari ini ter-hibridisasi, Yang-Alam dan Yang-Sosial telah kabur, saling tumpang tindih, dan tidak mungkin (lagi) terpisahkan. Di sini, ontologi monistik tidak dapat menjelaskan independensi dan otonomi alam sebagai non-identitas dari sosial, di mana kontak antara alam dan sosial menjadi karakter penting pada interaksi metabolik.

Menurut Marx (1976), kerja (labour) tidak menciptakan alam namun hanya mengubah bentuknya. Ekonomi kapitalistik membutuhkan sumber daya alam yang eksis sebelum ekstraksi dan eksploitasi. Alam secara material dimodifikasi oleh aktivitas ekonomi dan secara simbolik dikonstruksi oleh diskursus kultural dan saintifik (Georg, 2011). Jika kita perhatikan baik-baik, berarti seluruh kondisi alam dan manusia saat ini telah ‘dibajak’ atau selalu inheren dengan masyarakat kapitalisme (industrial).

Kritik ini juga menyerang asumsi dualisme turunan cartesian yang dipahami oleh Marx itu sendiri. Dualisme Cartesian dipandang gagal menjelaskan proses historis perkembangan kapitalisme. Dengan memperlihatkan interaksi metabolis dalam kapitalisme, Saito merasa mampu menunjukan bahwa alam bukan medium pasif: kapitalisme tidak hanya memproduksi alam namun juga kapitalisme diproduksi melalui alam.

Konsep metabolisme Marx bersifat anti-cartesian karena tidak mengasumsikan pemisahan absolut atas alam dan masyarakat. Masyarakat tidak dapat eksis tanpa alam. Namun, hubungan sosial menciptakan emergent properties yang unik dari manusia yang tak dapat dipisahkan dari basis materialnya. Dengan memperlihatkan distingsi dan relasi dari bentuk sosial yang ‘murni’ dan ‘pengusung’ materialnya, maka analisis tensi non-identitas dari alam dimungkinkan untuk memahami perubahan historis masyarakat dan interaksi metabolik dengan alam.

Begitupun, layaknya Moore dengan konsep kapitalosen (capitalocene), membentangkan titik balik konsekuensi atas masyarakat kapitalisme baru yang muncul pasca revolusi Industri. Alhasil, pendekatan monisme akan mempertimbangkan kapitalisme itu sendiri sebagai aktor. Ia tidak dapat dipisahkan begitu saja dalam gerak sejarah yang membentuk jejaring kehidupan manusia-alam. Dengan begitu, kita saat ini tidak mungkin secara sederhana memisahkan pandangan dualisme antara alam dan manusia; keduanya saling memproduksi dan mereproduksi (Moore, 2019). Relasi sosial tercipta bukan antara person dan kerjanya, tetapi antara material dan person, relasi sosial antar benda.

Saito sepakat metabolisme terjadi tidak hanya di dimensi alam tetapi juga di antara dimensi sosial. Kerja(lah) yang memediasi keretakan itu. Kapitalisme sejak awal telah mengasingkan proses kerja sekaligus mengasingkan metabolisme antara manusia dan alam. Saito, yang meminjam kontradiksi kapitalisme melalui gagasan akumulasi kapital-nya Rosa Luxemburg, memperhatikan dampak kerusakan kapital itu tidak terjadi pada kapitalisme pada dirinya sendiri atau orang-orang yang terlibat di dalamnya. Lebih dari itu, dampak destruktifnya terjadi antara alam dan lingkungan non-kapital. Ketimpangan sosial dan kerusakan lingkungan terjadi secara bersamaan di berbagai wilayah negara berkembang.


Model Keretakan Metabolis ala Saito

Terdapat tiga dimensi dari Keretakan Metabolis, yang Saito turunkan dari analisis Foster (2000) dan Burket (1999). Pertama, Keretakan Metabolis (Metabolic Rift) itu sendiri yang terjadi di dua ranah: pada alam (ekologi) dan kerja (sosial) yang tereksploitasi oleh adanya ‘pencurian’ nilai material untuk memaksimalkan profit kapital. Kedua, keretakan spasial (spatial rift), yaitu perluasan sampah akibat produksi kapital (waste—pollution) yang berdampak pada pergeseran ruang (tanah). Ketiga, keretakan temporal (temporal rift), yaitu mesin mempercepat proses produksi secara cepat, efektif dan masif.

Saito melihat tiga keretakan itu juga mendorong kontradiksi akumulasi kapital [pada dirinya sendiri] dengan menunjukkan adanya shifting atau pergeseran atau perluasan technological shift, spatial shift, dan temporal shift. Kontradiksinya muncul ketika terjadi over-produksi sedangkan keterbatasan atas modal produksi tidak dapat diatasi. Meskipun kapital dapat beradaptasi dengan krisis melalui pergeseran teknologi, ia tetap menghasilkan keretakan. Sebagai contoh, teknologi mungkin saja memfabrikasi atau membuat pupuk artifisial sehingga produksi tetap berjalan, tetapi tetap saja ada kerusakan dan habisnya unsur hara tanah yang esensial dalam agrikultur.

Pergeseran spasial lebih pada keretakan yang terjadi tidak hanya pada pusat produksi kapital tetapi juga di wilayah non-kapital, sedangkan ruang-ruang geografi belum tentu dapat menjamin adanya modal kapital itu sendiri. Contohnya: kolonialisme & imperialisme baru yang dampaknya muncul di negara-negara berkembang. Dampak lainnya, pergeseran temporal, antara ‘waktu kapital’ dan ‘waktu alam’, tidak pernah setara. Selalu terjadi keretakan sebab ‘elastisitas’ menjadi tantangan bagi kapital. Teknologi menjadi wahana pelarian untuk mengisi keterbatasan ‘waktu-tunggu’, tetapi tidak selamanya teknologi dapat menjamin percepatan atas ‘waktu-tunggu’ tersebut.

Saito lantas memperhatikan bahwa kapitalisme selalu menerapkan berbagai strategi untuk mempertahankan profit sebesar-besarnya. Kapitalisme dapat memperluas permasalahan dari sentral ke periferal, atau, mengambil inspirasi dari Rosa Luxemburg, membawa kapital selalu mencari ruang eksploitasi di luar dari tanah-jajahan. Kontrol dan pemusatan kekuasaan atas sumber daya alam di tengah-tengah krisis menjadi hal yang diperjualbelikan.

Jika Luxemburg sangat memperhatikan dimensi eksternalisasi kapitalisme, yang tidak hanya bercokol di dalam ruang produksi pabrik tetapi bekerja melintasi benua untuk membuka wilayah jajahan baru, maka Saito mengafirmasinya melalui tiga ‘pergeseran’ keretakan sebelumnya. Melalui tiga pergeseran keretakan tersebut, krisis akumulasi kapital dapat diciptakan, dipindahkan sesuka hati, dengan penuh kuasa. Inilah bentuk baru kapitalisme global yang tanpa sekat.

Namun, apakah kondisi ini dapat kita kata sebagai model baru ekologi-dunia yang monistik? Sekilas tampaknya iya. Tetapi apakah monistik dapat menyelamatkan kita dari krisis antroposen-kapitalosen? Saito memilih untuk mengadopsi ‘dualisme metodologis’.

Saito kembali menyelami pemikiran György Lukács (1971) untuk merumuskan bagaimana teori metabolis itu dimungkinkan bekerja pada dimensi ontologi monisme, dan apa saja dampaknya ketika kita mengafirmasi landasan ontologi yang serupa.

Pertama, kita perlu memahami bahwa baik keduanya, Yang-Alam dan Yang-Sosial, tidak pernah terpisahkan bahkan sejak masa sebelum adanya kapitalisme. Tetapi, pada level tertentu, Lukacs (dalam penekanan baru Saito) menyadari adanya bentuk-bentuk sosial yang tidak dapat terpisahkan dengan materialitas atas alam itu sendiri. Uang contoh dari komoditas, uang selalu bertopang pada ‘bearer’ emas, begitu pun bentuk komoditas sosial lainnya. Apa yang membuatnya sulit untuk dibedakan pada dimensi ‘hibriditas’ ialah ketika daya sosial mereifikasi ‘nilai-guna’ suatu hal berdasarkan pada ‘komoditas’, ‘uang’, dan ‘kapital’, yang digunakan untuk menggantikan ‘penyusun material’/material bearer dan menjadikannya logika valorisasi kapital dalam kaitannya ‘nilai-lebih’.

Ontologi monisme akan bekerja pada ruang yang menyatakan bahwa ‘alam termediasi oleh sosial’ sekaligus ‘sosial dimediasi oleh alam’, tetapi di ranah sosial, alam tidak selalu dapat memenuhi kebutuhan ‘bentuk’ sosial, sebab kelangkaan atas ‘bearer’ alam akan sangat mungkin terjadi.

Saito menawarkan dua pendekatan yang serupa dengan Lukacs: menandai aspek identitas dan non-identitas. Sebagaimana dikutip dari Lukacs (1984: 395), manusia adalah bagian dari alam dan tertanam di dalamnya semacam metabolisme alam yang universal (‘identitas’), tetapi pada saat yang sama dapat dibedakan sebab munculnya pembeda secara kualitatif dari masyarakat, yang tidak pernah ada dalam sifat ekstra-manusia (non-identitas). Kedua aspek ini ada secara simultan/bersama-sama dalam realitasnya sebagai ‘identitas’ atau ‘kesatuan-dalam-pemisahan’. Atau kita dapat memilih sebagai ‘kesatuan-dalam-oposisi’, alam dan masyarakat terpisah dalam totalitas. Pilihannya, secara rasional, mengadopsi prinsip identitas dan non-identitas tersebut. Karena pada kondisi ‘krisis’, logika monisme tidak dapat dipertahankan lagi.

Saya menambahkan, ketika krisis terjadi, ia hanya menghilangkan salah satu aspeknya bukan keseluruhannya, monisme (naif) ini akan berantakan, antara siapa yang akan hilang terlebih dahulu: alamnya atau kulturnya. Lihat saja teritori kepulauan yang hilang dilibas kenaikan ekstrem muka air laut. Lagi-lagi, Saito memandang pentingnya melakukan analisis metodologis dualisme untuk menganalisis bagaimana krisis antroposen dapat terjadi, sekaligus merumuskan masa depan pasca-kapitalisme.

Perlu diingat posisi manusia sebagai species-being (Marx) menjadikannya subjek penahu. Artinya, secara epistemologi, pembeda terjadi untuk membedakan kerja-kerja yang berasal dari diri (subjek) manusia dengan yang non-manusia (material, alat, teknologi, bahan dasar, hewan, tanaman, tanah, dsb). Pengetahuan tentang alam dan alam itu sendiri berbeda. Pengetahuan tentang alam itu lebih dekat pada wilayah produksi manusia untuk menghasilkan suatu hal (barang/jasa).

Akses kita terhadap alam mungkin dapat dipahami sebatas fenomena yang sedang terjadi, sedangkan wilayah produksi alam sebagai bentuk kerja, alam menjadi independen sekaligus dependen. Independen ketika alam menghasilkan bahan mentah (raw material) saat manusia dianggap belum meng-ada, misalnya fosil purba. Barulah saat fosil purba dapat dijadikan bahan bakar yang dibutuhkan banyak orang, di sinilah dependensi ekstraksi dan eksploitasi atas alam dimunculkan. Dalam kriteria Moore, cheap nature, salah satunya ialah energi/pangan.

Di sini, saya mulai yakin bahwa Saito mencoba menarik perdebatan monisme dan dualisme hanya pada pembeda model atau kategorisasi untuk menganalisis bagaimana Keretakan Metabolis bekerja di sistem kapitalisme (kontradiksi internal). Dualisme pada akhirnya tidak mungkin dihapuskan, terlebih lagi di level epistemik. Jika kita menggeser orientasi epistemik menjadi bagian dari hibridasi monisme (onto/epistemologi), maka konsekuensinya konstruktivisme kuat lebih mendominasi wacana atas keretakan ini. Isu tentang krisis antroposen hanya berhenti pada kemungkinan adanya intervensi epistemik dari kapitalisme itu sendiri. Bagaimana intervensi ini dapat bekerja?

Sudah sangat jelas kapitalisme mampu menggeser satu keretakan ke keretakan yang lainnya, dari metabolis, teknologis, spasial, dan temporal, yang mengubah daya produksi seseorang ke arah produksi kapital, alih-alih memenuhi kebutuhan dasarnya.

Sekali lagi, dualisme non-cartesian tidak berarti menghilangkan kedua relasi yang telah ada. Justru pembeda itu menjadi ada melalui relasi yang terjalin di antara keduanya atau lebih, contohnya pekerja dan pemilik modal, alam dan kapital. Kita akan lebih mampu memahaminya dengan cara pendekatan analitis-distingtif. Tujuannya bukan untuk menjernihkan bagaimana relasi-relasi tersebut bekerja. Contohnya ketika kerja abstrak (abstract labour) dari manusia sebagai dimensi kreatifnya (bentuk) telah diintervensi oleh kapitalisme menjadi kerja konkret (concrete labour) dalam bentuk material.


Dualitas Metodologis

Kita dapat membandingkan pembeda non-identitas ini dengan cara melihat bagaimana kerja manusia dengan kerja non-manusia. Baik manusia atau laba-laba, keduanya sama-sama mampu menjadi arsitek untuk membuat jejaring. Pembedanya ialah ketika manusia mampu mengonsepsikan sesuatu. Prosesnya disebut sebagai rasionalisasi. Pertanyaannya, bagaimana jika kerja-kreatif manusia justru telah diarahkan untuk tujuan pemenuhan hasrat kapital tertentu? Maka jawabannya ialah mengandalkan pendekatan dualitas metodologis tersebut.

Saito juga menganalisis keberhasilan mode kapital melalui gagasan subsumsi formal dan riil. Subsumsi formal adalah bentuk ekonomi yang mendeterminasi ‘proses valorisasi’ ke ‘proses kerja’. Hubungan antara form dan matter di sini hanya bersifat eksternal, jadi belum ada mode produksi yang unik dari kapitalisme. Subsumsi riil di sisi lain mentransformasi dan mereorganisasi proses kerja. Aspek material dari proses kerja terpenuhi pada mode produksi kapitalis. Relasi produksi kapitalis menghancurkan gilda dan keterampilan untuk digantikan dengan relasi sosial baru berbasis kapital dan upah tanpa mengganti komposisi teknologi produksi.

Subsumsi formal menjadi bentuk penaklukan pekerja atas pengawasan /perintah kapitalis. Waktu kerja terus meningkat yang disebabkan karena tujuan utama produksi adalah penciptaan nilai surplus bukan nilai guna untuk pemenuhan kebutuhan manusia. Namun subsumsi formal (abstrak) saja tidak cukup untuk menciptakan mode produksi kapitalistik. Subsumsi riil (konkret) memberikan para kapitalis inisiatif untuk menciptakan sistem yang paling efisien dalam memproduksi nilai dan unik terhadap mode kapitalis. Subsumsi riil memodifikasi seluruh proses kerja tidak hanya dengan sains dan teknologi tetapi juga dengan organisasi sosial dari kerja, di mana kapital mengatasi hubungan eksternal dalam subsumsi formal.

Perintah kapitalis kini tidak hanya menjadi syarat produksi namun menjadi kondisi riil dari produksi. Pekerja kehilangan kondisi subjektif dalam melakukan kerjanya: kekuatan konsepsi dan eksekusi dalam rantai kerja yang sama. Pekerja kehilangan pengetahuan, keterampilan dan wawasannya pada proses kerja yang diorganisir oleh kapital. Pekerja semakin mudah tergantikan.


Pembacaan Alternatif Saito

Secara singkat, Saito menawarkan alternatif pembacaan atas masalah akumulasi kapital yang terjadi. Kapitalisme tampaknya semakin lihai menghindari kelokan terjal yang terjadi di tiap-tiap krisis, mulai dari krisis ekonomi sampai krisis ekologis. Kapitalisme memiliki daya elastisitasnya sendiri. Krisis ekonomi merupakan bagian integral dari perkembangan kapitalisme untuk penghancuran nilai lama yang mempersiapkan kondisi untuk siklus industrial baru. Ia akan senantiasa menciptakan kelangkaan dari pada kesejahteraan.

Saito percaya bahwa produktivisme tidak selalu melahirkan kelimpahan (abundance) untuk kesejahteraan masyarakat. Akumulasi primitif seperti di Inggris yang mengakibatkan kerusakan unsur hara sampai perubahan gaya hidup tidak hanya sekadar mengkondisikan formasi ekonomi kapitalisme saat ini, tetapi lebih pada menyirkulasikan modal atau uang semata untuk peningkatan produktivitas.

Siapa yang dapat menikmati produktivitas? Tentu saja hanya segelintir orang yang termasuk dalam pemilik modal. Komoditas tidak selalu tentang kemakmuran. Jika kemakmuran lebih menekankan aspek material dari produk kerja, komoditas muncul sebagai bentuk determinasi ekonominya. Kekayaan sampai kapan pun tidak pernah terukur, sedangkan kemakmuran lebih pada kecukupan seseorang menggunakan nilai-guna suatu barang tertentu.

Kapitalisme tingkat lanjut membuat segala hal mengarah pada kelangkaan termasuk alam itu sendiri. Di tengah-tengah krisis (keplanetan) antroposen, kapitalisme selalu mencari cara agar alam sebagai bahan baku selalu tetap murah tetapi mahal ketika dikonsumsi.

Saito mengutip Lauderdale Paradoks, yaitu “kemakmuran suatu bangsa adalah jumlah total dari kekayaan privat, tetapi pertanyaannya, bagaimana dengan kemakmuran publik?” Dia lantas menjabarkan bahwa kapitalisme selalu menjual ‘kelangkaan’ yang dimodifikasi, secara sengaja dibuat oleh kapital itu sendiri. Dengan, demikian, mengalih alih fungsi lahan, membuat jam kerja berlebih, dan meningkatkan harga barang itu karena adanya krisis-kelangkaan yang artifisial. Di sisi lain, kekayaan privat akan lebih dapat terjamin ketika terjadinya kelangkaan. Bahkan terkadang, menurut Saito, kelangkaan itu disengaja (produk sengaja dibuang—sebagai waste) agar harga komoditas tetap tinggi.

Strategi yang dilancarkan oleh Saito untuk melawan segala paradoks tersebut adalah degrowth. Intinya, melawan kapitalisme dengan prinsip membangun (dalam artian mengejar sesuatu dalam kelangkaan) harus ditanggalkan. Setiap orang sudah selayaknya mendapatkan waktu luang dan kerja yang tidak lagi mengejar over-produktivitas. Nilai kerja diubah dengan memperbanyak aktivitas non-komersial dengan cara tidak lagi bergantung pada konsentrasi kekayaan atau GDP. Bentuk kerja kooperatif ke arah komunal, tidak lagi harus terjebak pada kondisi pra-kapital, tetapi cukup untuk melampauinya. Saito menyebutnya sebagai common labour.

Degrowth komunisme intinya dapat ditemukan ketika kelimpahan (abundance) radikal atas kesejahteraan komunal tercapai.

Saito dengan tegas memberikan alasan kenapa common labour adalah jalan untuk memperbaiki Keretakan Metabolis. Pertama, karena bergesernya pengejaran profit menjadi orientasi pada nilai-guna suatu barang. Perlawanan atas fast fashion dan tech-industrial dapat dimulai dengan cara merelokasikan uang atau sumber daya yang tersedia untuk kepentingan banyak orang, setidaknya pemenuhan atas pendidikan, kesehatan dan transportasi publik.

Kedua, ketegasan melawan bullshit job, kerja-kerja tak bermakna (meaningless) yang justru mengasingkan para pekerja itu sendiri. Caranya dengan pengurangan waktu kerja sebagai bentuk dari kebebasan baru. Strategi ini penting mengatasi kelelahan berlebih atas kerja secara mental dan fisik. Ketiga, ranah kebutuhan bagi pekerja meningkat secara otonom dengan membuat pekerjaan tidak lagi membosankan tetapi justru menarik. Life’s prime time! Keempat, kompetisi pasar ditinggalkan. Kelima, mulai dipertimbangkannya visi transisi dari produktivitas sosialisme menjadi degrowth komunisme pada satu kondisi post-scarcity economy.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


Diskusi dan Simpulan

Saya rasa pendekatan Saito termasuk salah satu cara terbaik untuk melawan krisis iklim antroposen yang diciptakan oleh kapitalisme. Namun, perlu ada penjernihan sekaligus catatan atas pembacaan sekilas dari posisi Saito atas teori metabolisme Marx.

Pertama, Saito tidak menjelaskan secara sistematis dan terstruktur posisi filosofisnya di hadapan debat-wacana dominan antara Foster dan Moore. Meskipun demikian, secara implisit dua lebih menitikberatkan pada posisi eko-marxisme yang percaya bahwa pendekatan dualisme lebih mampu menjelaskan inti krisis. Akan tetapi, terlihat ketidaksesuaian ketika Saito mencoba untuk melibatkan dimensi monisme secara ontologis, bahwa saat ini sistem ‘ekologi’ yang bekerja didominasi oleh kapitalisme, padahal dia ingin membawa percakapan krisis kapitalisme ke ranah dunia ketiga atau wilayah periferal. Pertanyaannya ialah, apakah semua masyarakat akan mengalami proses gerak sejarah yang linier? Dari masyarakat pra-kapital (archaic commune), kapitalisme, dan menjadi pasca-kapitalisme (secondary commune)? Tentu saja tidak. Kita semua dapat memastikan bahwa tidak semua wilayah di dunia menganut sistem kapitalisme. Tetapi, ketika berbicara dampak, semuanya dapat mengalami.

Kemudian, analisis degrowth Saito terkesan ‘malu-malu kucing’; setengah hati. Dia masih secara implisit menunjukkan bahwa di masa lalu kita pernah terjebak pada romantisme masa-masa sebelum kapitalisme menjadi penguasa ekonomi politik. Ini yang disebut sebagai ‘kesatuan yang asli’. Di sisi lain, Saito menolak tafsir balas dendam alam (revenge of nature) karena terjadinya Keretakan Metabolis sebagaimana yang disuarakan oleh Engels. Bagaimana jika kita balik: bahwa posisi  manusia dan alam tidak pernah benar-benar seimbang. Kesimbangan itu  hal semu dan ilusif, semacam keseimbangan ‘harga pasar’, keseimbangan permintaan-penawaran smithian.

Saya sangat tergelitik ketika Saito mencoba untuk menarik tarian akselerasionisme tentang masa depan dunia pasca-kapitalisme. Degrowth sendiri tidak menawarkan banyak strategi taktis untuk melumpuhkan kapitalisme secara total. Kontradiksi internal plus dengan bantuan krisis akan melumpuhkannya. Jadi ada semacam pengharapan implisit atas intervensi eksternalitas, katakanlah alam-yang-tak lagi mesra dengan sistem kerja kapitalis. Berbicara tentang masa depan, akselerasionisme berpijak pada seruan Marx (dalam Bastani, 2019) tentang ‘fully automated luxury communism’.

Apa yang menjadikannya menarik ialah bahwa keduanya membicarakan masa depan. Kita sebagai subjek-pekerja telah sadar betul: untuk sekadar memikirkan kini dan esok pagi saja sulit, apalagi masa depan. Kapitalisme mencuri ‘subjektivitas’ pekerja. Kapitalisme, tentu saja, melumpuhkan daya imaji masa depan. Saito, sayangnya, belum menawarkan alternatif solusi politis-strategis lebih jauh. Ia menyadari adanya utopia akan konsepnya, tetapi sekali lagi menjawab di akhir buku: “Mungkin saja proyeknya terkesan ilusif, namun biarlah sejarah yang akan membuktikannya (p. 250).”

Pengujian lainnya dapat menyertakan analisis pada ranah non-Barat. Saya rasa ini menjadi peluang lanjutan, apakah kemudian proyek degrowth akan berhasil diterapkan kepada negara-negara yang ‘kemarin sore’ memerdekakan dirinya dari kekuasaan kolonial. Mereka menyebutnya negara non-Barat/berkembang/pasca-kolonial. Semangat mereka tentu saja untuk senantiasa membangun, bukan sebaliknya. Haruskah kita menjadi masyarakat adat lagi untuk mereaktualisasikan degrowth, atau becoming indigenous?

Saya sanksi jika degrowth-nya Saito ini hanya akan menjadi semacam gaya hidup gerakan yang instan. Seolah-olah memukul mundur kapitalisme tetapi justru memberikan ruang ‘istirahat’ sejenak agar kapitalisme memulihkan ketegangan elastisitasnya akan krisis ekologis yang sedang melanda. Dan, seperti biasa, ia akan hidup dengan wajah baru untuk selalu berjaya selamanya.


Bacaan Lanjutan

Burkett, Paul. 1999. Marx and Nature: A Red and Green Perspective. New York: Palgrave.

Foster, John Bellamy. 2000. Marx’s Ecology: Materialism and Nature. New York: Monthly Review Press.

Bastani, Aaron. 2019. Fully automated luxury communism. London: Verso Books.

Görg, Christoph. 2011. ‘Societal Relationships with Nature: A Dialectical Approach to Environmental Politics’. In Critical Ecologies: The Frankfurt School and Contemporary Environmental Crises, edited by Andrew Biro, 43–72. Toronto: University of Toronto Press.

Lukács, Georg. 1971. History and Class Consciousness. London: Merlin Press.

Lukács, Georg. 1984. Prolegomena: Zur Ontologie des gesellschaftlichen Seins. Vol. 1. Darmstadt: Luchterhand Verlag.

Lukács, Georg. 2002. A Defence of History and Class Consciousness: Tailism and Dialectic. London: Verso.

Luxemburg, Rosa. [1913] 2015. The Accumulation of Capital. In The Complete Works of Rosa Luxemburg Volume II: Economic Writings 2. London: Verso.

Marx, Karl. 1973. Grundrisse. London: Penguin.

Marx, Karl. 1976. Capital. Vol. 1. London: Penguin Books.

Marx, Karl. 1978. Capital. Vol. 2. London: Penguin Books.

Marx, Karl. 1981. Capital. Vol. 3. London: Penguin Books.

Moore, Jason W. 2019. ‘Capitalocene and Planetary Justice’. Maize 6 (July): 49–54.

Moore, Jason W., ed. 2016. Anthropocene or Capitalocene? Nature, History and the Crisis of Capitalism. Oakland: PM Press.

Saito, Kohei. 2023. Marx in the Anthropocene: Towards the Idea of Degrowth Communism. Cambridge University Press.


Catatan tambahan: Esai ini merupakan ulasan buku yang saya baca pada acara Bedah Buku IPTV, 28 Oktober 2023 dan juga simpulan singkat diskusi klub buku baca Random bersama Sosiawan Permadi (Ze-No: Centre for Logic and Metaphysics) pada akhir September 2023. Tulisan ini dibangun dengan penekanan bahwa Saito tidak menjelaskan apa itu antroposen secara komprehensif. Antroposen menjadi latar belakang pemikiran Saito untuk merumuskan degrowth communism sebab jika membayangkan kerja antroposen sebagai sistem geologi yang mandiri. Artinya, penjelasan tentang Keretakan Metabolis kapitalis tidak akan dapat dipahami sepenuhnya. Penjelasan ini membutuhkan setidaknya pendekatan tradisi marxisme.


Rangga Kala Mahaswa adalah dosen Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.