Foto: demonstrasi pro-Palestina di London (The Guardian)
SEBAGIAN orang mengecam pejuang Palestina setiap kali mereka mulai mengangkat senjata untuk meraih kemerdekaan. Karena kerap memicu balasan tentara pendudukan Zionis melalui terorisme negara yang berulang, para pejuang Palestina mendapatkan citra kumpulan perusuh yang mengawetkan siklus kekerasan. Serangan terbaru Hamas, Taufan Al-Aqsha, memang berbuah balasan brutal tentara pendudukan Zionis hingga seakan membenarkan citra tersebut.
Yang mangkir dari suara-suara lancung di atas adalah penalaran waras bahwa kolonialisme selalu bersifat buruk dalam dirinya–tak terkecuali dengan apa yang dilakukan kaum Zionis. Mereka diam terhadap riwayat tiga perempat abad penjajahan di tanah Palestina sebagai akar hakiki masalah. Rentang waktu tak sebentar itu menjadi saksi pembantaian dan perampasan di tengah meja catur politik global yang menatap semua korban sekadar data. Kelancungan itu seakan menyuruh bangsa Palestina untuk melamun tanpa kepastian; esok hari mungkin mendapat nasib mujur merdeka atau justru mati syahid tertembak rudal Zionis.
Selain mengecam, mereka juga merapal jampi-jampi modern seperti pentingnya jalan nirkekerasan (nonviolence) dan indahnya mewujudkan binadamai (peacebuilding). Istilah agung dalam agama seperti “rahmah” turut dicatut agar membenarkan sikap lancung tersebut. Pengulangan membosankan ini perlahan menggoda kita untuk memilih anggapan yang mengira segala bentuk perlawanan bersenjata sebagai dosa besar.
Dalam konteks Palestina, pendekatan nirkekerasan bahkan menjadi tawaran utama lembaga-lembaga donor internasional sejak penandatanganan Perjanjian Oslo tahun 1993. Atas nama bantuan pembangunan, mereka mendorong pemerintah dan masyarakat Palestina untuk mewujudkan “perdamaian”. Masalahnya, seperti yang dikatakan peneliti senior Stockholm International Peace Research Institute Alaa Tartir, semua bantuan itu bukan hanya gagal mengantarkan Palestina pada kemerdekaan, tetapi juga malah melanggengkan dominasi neoliberal.
Dengan membuka diri pada pasar bebas, menurut mereka, Palestina akan “berdamai” dengan Zionis karena rasionalitas ekonomi menyibukkan mereka untuk mengejar keuntungan dan menjauhi kerugian, alih-alih melawan penjajahan.
Kepengecutan
Begawan nirkekerasan asal India, Mahatma Gandhi, sudah sejak lama mencegah kepengecutan berkedok tindakan nirkekerasan ini. Jika hanya punya dua pilihan ketika menghadapi penjajahan, atau kekerasan atau kepengecutan, ia akan memilih kekerasan. Ia mengakui pentingnya menggunakan kekerasan pada saat-saat berbahaya untuk membela diri dan pihak yang lemah, meski jalan nirkekerasan adalah yang utama karena menunjukkan keteguhan hati dan keberanian tertinggi.
Gandhi mencibir mereka yang takut mati dan tak punya daya perlawanan sebagai pengecut. Mereka kerap berlindung di balik jalan nirkekerasan padahal hanya menjadi beban perjuangan. Konteks pemikiran dan perjuangan Gandhi, yakni India yang tengah menghadapi kolonialisme Inggris, tetap relevan untuk memahami perjuangan masyarakat Palestina bagi mereka yang memang berkomitmen pada nirkekerasan, tetapi tidak bagi penyimpan rasa kecut di dada.
Lantas, di tengah dorongan lembaga-lembaga donor agar masyarakat Palestina menyibukkan diri dengan pasar bebas yang konon akan perlahan mengantarkan mereka pada kemerdekaan, bagaimana kita membedakan tindak nirkekerasan dan kepengecutan di sana? Untuk menjawabnya, kita perlu menengok pemikiran begawan nirkekerasan lain, Gene Sharp.
Ilmuwan politik AS yang disebut penafsir utama Gandhi ini menyediakan kerangka teoretis dan pedoman (sangat) praktis bagi para aktivis untuk melawan pemerintahan diktator, sampai masyarakat meraih kebebasan menentukan nasibnya sendiri melalui jalan nirkekerasan. Baginya, nirkekerasan adalah cara paling efektif melawan diktator, yang sejak tahun 1980 berhasil menumbangkan para penguasa lalim dan mendorong gerakan demokratisasi di banyak negara.
Terlatih dengan pengamatan empiris khas ilmu sosial membuat Sharp mewanti-wanti mereka yang memilih jalan nirkekerasan untuk lebih strategis dalam berjuang. Selain menunjukkan adanya bahaya dalam kesediaan berunding dengan rezim diktator tanpa relasi yang setara, ia mendaftar titik-titik lemah kediktatoran seperti potensi konflik tak terselesaikan dalam tubuh mereka sendiri yang pelan-pelan menjadi aktual.
Kepada kelemahan diktator yang teraktualisasi itulah, bagi Sharp, bidikan para aktivis seharusnya tertuju. Ia lantas mendaftar 198 metode nirkekerasan sebagai pedoman mereka. Secara umum, bentuknya terbagi menjadi demonstrasi simbolik (54 metode); non-kooperasi sosial (16 metode); non-kooperasi ekonomi seperti boikot (26 metode) dan pemogokan (23 metode); non-kooperasi politik (38 metode); dan intervensi psikologis, fisik, sosial, ekonomi, dan politik (41 metode).
Sebagai pedoman bagi aktivis pro-demokrasi, metode-metode Sharp di atas begitu relevan. Penerapannya di banyak negara, termasuk Indonesia, terbukti ampuh menumbangkan suatu rezim diktator atau setidaknya mengubah suatu kebijakan yang mencederai keadilan sosial. Yang harus diingat, konteks politik dalam maksud Sharp adalah kediktatoran, bukan kolonialisme bahkan genosida seperti yang terjadi di Palestina.
IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.
Nirkekerasan Neoliberal
Sharp juga bermasalah dalam hal pelayanannya terhadap neoliberalisme. Dalam catatan kritisnya, pengajar City University of New York, Marcie Smith, mengaitkan gagasan Sharp dengan peran intelektualnya selama Perang Dingin dan sebagai peneliti bagi CIA. Apa yang disebut sebagai perjuangan nirkekerasan tersebut berlangsung di negara-negara yang menjadi sasaran intervensi ekonomi-politik AS, yang hanya mungkin jika demokrasi ditegakkan di sana.
Lembaga yang didirikan Sharp, Albert Einstein Instutute, juga menerima dana dukungan dari donor AS. Smith mencatat setidaknya tiga pendonor, yakni US Institute of Peace, National Endowment of Democracy, dan International Republican Institute. Melalui lembaga ini, Sharp melatih banyak aktivis nirkekerasan di negara-negara komunis tetapi tidak di negara-negara yang menjadi mitra AS seperti Arab Saudi, Cile, dan Zaire.
Kepada para pengambil kebijakan di negara-negara yang tengah memulai demokrasinya, Sharp mengusulkan desentralisasi kekuasaan. Hal itu baginya adalah upaya mencegah kontrol negara atas perekonomian dan, di saat bersamaan, membagi kekuasaan ke berbagai kekuatan-kekuatan alternatif dan independen di tengah masyarakat. Dengan kata lain, ia menjadikan jalan nirkekerasan sebagai selubung rumusan baku neoliberalisme, yakni pasar bebas dan NGO-isasi.
Aktivis India, Arundhati Roy, menyoroti fenomena NGO-isasi sebagai pengalihan perlawanan masyarakat ke arah kesibukan bekerja secara tertib dan rasional untuk mendapatkan gaji. Pengamatannya terhadap fenomena di Afrika dan India juga menunjukkan ketergantungan pada donor kulit putih, dan komitmen yang lebih setia pada pendonor itu alih-alih pada masyarakat, secara terencana mengubah konfrontasi menjadi negosiasi. Jika menengok kembali ke Palestina, kita akan menemukan selubung-selubung itu dengan kentara.
Smith menyebut dengan berani bahwa pemikiran Sharp adalah nirkekerasan neoliberal. Desakan terhadap masyarakat Palestina untuk menerapkan nirkekerasan neoliberal kala berhadapan dengan penjajahan dan genosida, bukan sekadar kediktatoran penguasanya sendiri, bagi saya hanya muncul dari pihak yang punya kepengecutan neoliberal.
Membungkam Palestina
Alaa Tartir mencatat setidaknya $50 miliar telah mengalir dari rekening lembaga-lembaga donor ke Palestina, tetapi transparansinya sangat sedikit. Ia pun menyarankan masyarakat Palestina untuk mencurigai donor tersebut karena rekam jejak mereka yang lebih memihak Zionis, kendati semangat awal Perjanjian Oslo yang memungkinkan kedatangan donor tersebut adalah “bantuan” bagi perwujudan kemerdekaan Palestina.
Dampak paling terasa dari kucuran dana donor tersebut adalah depolitisasi terhadap perjuangan di sana. Pakar politik Timur Tengah, Laila Farsakh, menunjukkannya ketika mengevaluasi dampak bantuan USAID, DFID, dan Bank Dunia. Sejak 2005, atas nama promosi “demokrasi” di Palestina melalui NGO lokal di Tepi Barat dan Gaza yang menjadi mitra mereka, terjadi pelemahan terhadap partai politik dan keterlibatan masyarakat.
Dua partai besar Palestina yang mendapat dukungan rakyat, Hamas dan Fatah, menjadi sasaran pelemahan tersebut. NGO-isasi telah membelokkan ruang-ruang publik dari percakapan tentang perlawanan terhadap Zionis menjadi urusan tata pemerintahan yang baik (good governance). Penekanan berlebihan atasnya menyibukkan masyarakat Palestina dengan urusan dalam negeri mereka dan untuk beberapa waktu melupakan kolonialisme Zionis sebagai akar hakiki masalah.
Gara-gara itu, pengorganisasian dan konsolidasi masyarakat untuk melawan kian sulit terwujud. Di saat bersamaan, Barat mengangkat upaya-upaya nirkekerasan di Palestina bak segalanya. Perlawanan nirkekerasan di Desa Bil’in, dengan Iyad Burnat sebagai sosok utamanya, kerap menjadi contoh “praktik baik” yang mendapat banyak penghargaan internasional. Tanpa mengurangi penghormatan atas perjuangan itu, terdapat jebakan neoliberal atas ikhtiar mereka.
Mengingat agenda depolitisasi Palestina di atas, jangan harap penghargaan yang sama diperoleh faksi demokratis seperti Hamas dan Fatah, apalagi Jihad Islam yang islamis non-demokratis dan PFLP yang komunis. Nirkekerasan neoliberal, kepengecutan neoliberal, dan depolitisasi neoliberal yang memorak-porandakan perjuangan masyarakat Palestina itu menyisakan satu istilah saja bagi mereka yang memilih jalan kekerasan dan mengokang senjata: teroris.
Ketika teroris sudah menuduh korbannya sebagai teroris, cuma orang sinting yang masih membela mereka. Agar terhindar dari golongan orang-orang sinting itu, mari kita tegaskan bahwa dari sungainya sampai lautnya, Palestina akan merdeka!
Ismail Al-‘Alam adalah mahasiswa magister Filsafat Keilahian, Universitas Kristen Duta Wacana, dan Editor Harian IndoPROGRESS.