Paradoks Rezim Politik Lingkungan dan Penghancuran Masyarakat Adat Papua

Print Friendly, PDF & Email

Ilustrasi: illustruth


ISU lingkungan pada abad ke-21 ini sudah menjadi “tata bahasa baru” dan perhatian negara-negara dunia. Revolusi industri Eropa abad ke-18 menghasilkan perubahan besar berupa sistem pabrik. Seiring perkembangannya, produksi yang semula mengandalkan tenaga kerja manusia dan makhluk hidup lain beralih pada tenaga mesin berbasis manufaktur lalu disusul dengan berbagai teknologi terbarukan. Kondisi ini berdampak langsung pada iklim global yaitu munculnya gas rumah kaca (GRK). GRK terutama disebabkan oleh endapan gas pabrik seperti karbon dioksida (C02), metana (CH4), dan nitrous oksida (N20) pada atmosfer sehingga menyebabkan panas laiknya di dalam rumah berkaca. 

Kekhawatiran masyarakat terhadap perubahan iklim ditandai dengan dibentuknya badan khusus di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bernama UN Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) (Nugroho, 2004). Sidang pertama atau Conference of the Parties/COP1 diadakan di Berlin, Jerman, tahun 1995, juga dikenal dengan nama Mandat Berlin. Hasil pertemuan memberikan mandat kepada para pihak agar segera meluncurkan serangkaian rencana pembicaraan untuk memperjelas komitmen negara-negara maju—daftarnya diberi nama “Annex I”. Untuk keperluan menyusun perjanjian, dibentuk pula Ad-Hoc on Berlin Mandate (AGBM).

Setelah delapan kali bersidang, AGBM menghasilkan sebuah teks penting yang diajukan pada COP3 di Kyoto, Jepang, pada 1997. Hasilnya adalah Protokol Kyoto. Protokol Kyoto merupakan landasan hukum negara-negara Annex-I untuk mengurangi gabungan emisi GRK paling sedikit 5 persen dari tingkat emisi tahun 1990 pada 2008-2012. 

Dalam pertemuan tersebut, negara berkembang tidak diwajibkan menurunkan emisi (Murdiyarso, 2003). Meski begitu, mereka tetap terlibat. Pertimbangan ekonomi-politik adalah alasan yang paling mungkin untuk menjelaskan keadaan semacam ini. Kepentingan itu salah satunya tercermin dalam mekanisme perdagangan karbon (emission carbon trading). Contohnya tidak lain adalah Indonesia. Meski tak mempunyai obligasi dalam penurunan emisi, namun secara ekonomi-politik Indonesia berkepentingan untuk memanfaatkan kerangka kerja sama semacam ini dengan sejumlah negara Annex I. Mekanismenya mampu mendatangkan profit melalui berbagai skema pendanaan hutan hujan tropis.

COP3 menghasilkan tiga mekanisme penting pencegahan perubahan iklim. Pertama, Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development Mechanism, CDM); kedua, Joint Implementations (JI); dan terakhir adalah Emission Trading (ET).  Dari semuanya, hanya CDM yang dianggap dapat diterapkan di sejumlah negara berkembang. Tapi itu juga ternyata masih belum memberi manfaat langsung (Murdiyarso, 2003). Sebab itu, sejumlah negara berkembang—termasuk Indonesia—sepakat untuk membahasnya pada COP13 yang diselenggarakan di Bali pada 2007. Pertemuan itu menghasilkan Rencana Aksi Bali (Bali Action Plan) sebagai peta jalan negosiasi strategi iklim global untuk melanjutkan Protokol Kyoto. 

COP terus bergulir dan terakhir adalah COP27 yang digelar pada 6-18 November 2022 di Mesir. 

Dalam Nationally Determined Contribution (NDC), sebuah dokumen penting yang berisi komitmen perjanjian dan upaya tindak lanjut pengurangan emisi karbon, disebutkan bahwa Indonesia telah mengambil langkah-langkah signifikan dalam penggunaan lahan demi mengurangi emisi. Misalnya dengan memoratorium izin baru dan meningkatkan tata kelola hutan alam primer serta lahan gambut, juga mengurangi deforestasi dan degradasi hutan, memulihkan fungsi ekosistem, serta pengelolaan hutan yang berkelanjutan. NDC juga secara eksplisit menjelaskan upaya-upaya perhutanan sosial melalui partisipasi aktif pemerintah daerah, swasta, usaha mikro, organisasi masyarakat sipil, komunitas adat, dan perempuan baik dalam tahap perencanaan maupun pelaksanaan. 

Sejumlah program dan strategi kunci hingga rencana tindak lanjut mitigasi dan litigasi perubahan iklim pun diutarakan pemerintah dalam NDC. Salah satunya adalah membangun ketahanan ekonomi (economic resilience) melalui program pengurangan deforestasi dan degradasi hutan. Tindak lanjutnya meliputi: (1) memperkuat implementasi upaya pengurangan deforestasi; (2) penggunaan berkelanjutan dari produk non-kayu oleh masyarakat lokal dan adat; (3) identifikasi, pengembangan, dan implementasi praktik terbaik kearifan lokal dalam pemanfaatan sumber daya hutan; (4) menciptakan lingkungan yang memungkinkan untuk teknologi ramah lingkungan; dan (5) memfasilitasi, mengawasi, menegakkan, dan mematuhi implementasi EFT.


Kebijakan lingkungan yang bertolak belakang

Berbagai aksi terkait pentingnya pengarusutamaan kebijakan yang prolingkungan telah dilakukan pada tingkat lokal, nasional, hingga internasional. Di tingkat internasional, gerakan masif dikampanyekan oleh ratusan orang dewasa dan anak-anak usia sekolah melalui climate strike action yang berlangsung di sejumlah negara. Pada level nasional, kita bisa menyebut banyak kelompok seperti Greenpeace Indonesia, PUSAKA Bentala Rakyat, dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi). Masih banyak lagi organisasi yang hirau terhadap problem lingkungan hidup dan agraria di Indonesia. 

Meski banyak yang bergerak, bukan berarti semua dapat diselesaikan dengan mudah. Tak banyak tuntutan-tuntutan yang dilayangkan kelompok pelestarian lingkungan diselesaikan dengan political will yang kuat oleh pemerintah. Sebaliknya, gerakan-gerakan prolingkungan justru dianggap mengganggu investasi dalam negeri

Tidak heran jika kemudian kita justru akan takjub bukan main dalam arti negatif melihat “komitmen etis” Indonesia dalam rezim politik lingkungan global seperti yang dijabarkan di atas. Takjub sebab itu semua umum diketahui jauh panggang dari api. Regulasi terkait lingkungan hidup justru tumpang tindih dan bahkan bertolak belakang dengan komitmen-komitmen internasional yang serba bombastis itu. 

Salah satunya lewat Undang-Undang Cipta Kerja yang kontroversial. UU tersebut dianggap bermasalah dan cenderung melegitimasi praktik deforestasi di Indonesia terutama di daerah-daerah otonomi baru (Riendy, 2021)—termasuk Papua. Pengaturan terkait clean and clear dalam izin Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal), misalnya, justru dikendalikan pemerintah pusat. Kebijakan itu termuat dalam pasal-pasal karet yang terkesan mengabaikan resistansi masyarakat sipil dan komunitas adat. Lantas, bagaimana bisa terjamin tidak ada conflict of interest antara pemerintah, korporasi, dan oligarki yang selama ini beroperasi di Indonesia dan terutama di Papua? 

Bukankah sengketa Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti vs Luhut Binsar Pandjaitan adalah pelajaran berharga sekaligus contoh paling mengerikan bagaimana peliknya persoalan konsesi yang tak berpihak terhadap orang asli Papua sudah terjadi secara struktural? Ada pula perjuangan suku Auyu di Boven Digoel yang tengah memperjuangkan keadilan hutan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura setelah Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Papua mengeluarkan izin bagi perusahaan sawit PT Indo Asiana Lestari (IAL) di tanah mereka. Izin itu tentu saja mengabaikan komunitas Auyu yang sejak dahulu hidup berdampingan dengan hutan.

Papua memang contoh konkret bagaimana tidak sesuainya komitmen dan kebijakan lingkungan di Indonesia. Gambar dari NASA di atas adalah kondisi faktual di Papua pada 2002 hingga 2019, yang berubah sebab terjadi penebangan hutan di sepanjang Sungai Digul dekat Banamepe, sebuah kawasan yang dibuka antara 2011 dan 2016. Masih mengutip NASA, peta ini menunjukkan hutan hujan dataran rendah dan hutan rawa dibersihkan untuk beberapa perkebunan skala besar.

Menurut Gaveau et al (2021), perkebunan sawit dan jalan di Papua masif dibangun setelah 2011 dan mencapai puncak pada 2015-2016. Dengan memanfaatkan data satelit, mereka menemukan bahwa sejak 2001 sampai 2019, hutan tua Papua telah dibuka untuk beragam keperluan. Misalnya perkebunan industri yang berkembang seluas 0,23 juta hektare (setara 28% dari hutan yang hilang) menjadi total 0,28 juta hektare pada 2019 (97% kelapa sawit dan 3% pulp). Sementara jalan Trans-Papua, proyek investasi nasional sepanjang 4.000 km, meningkat sejauh 1.554 km. Mereka menemukan memang korelasi positif antara ekspansi jalan dan perkebunan. 

Sebanyak 82 persen wilayah Boven Digoel bahkan kini telah dikuasai oleh perusahan kayu, Hutan Tanaman Industri (HTI), dan perkebunan sawit. Di sana banyak perusahan sawit yang beroperasi. Salah satunya adalah PT Megakarya Jaya Raya yang telah membuka lahan sawit seluas 40 km persegi. Tentu saja itu bukan sekadar angka apalagi ruang kosong. Hutan Digoel adalah ruang hidup bagi lima suku besar: Auyu, Muyu, Mandobo, Koroway, dan Kombay. Hutan di Boven Digoel merupakan bagian dari satu kesatuan kawasan hutan hujan tropis di Papua yang memiliki fungsi vital sosio-ekologis. Perusahan sawit juga telah memicu kekisruhan dengan penduduk lokal sebab mereka kehilangan area untuk bertani karet dan akhirnya menjadi buruh sawit. 

Kondisi ini bertolak belakang dengan moratorium alih fungsi hutan untuk perkebunan dan pertambangan yang dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo. Juga kontraproduktif dengan komitmen Indonesia seperti yang tertuang dalam Perpres No. 62 tahun 2013 tentang Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dari Deforestasi, Degradasi Hutan dan Lahan Gambut. Perpres tersebut merupakan wujud komitmen pemerintah untuk mengimplementasikan sejumlah konvensi internasional terkait perubahan iklim global yang telah diratifikasi dan ikut mendorong partisipasi masyarakat adat sebagai pilar penting dalam upaya pelestarian dan konservasi hutan melalui sejumlah skema.


Dibunuh dengan sawit dan beras

Laut berisi ikan segar  dijaring untuk membeli kaleng berisi ikan

Panen kasbi dari kebun untuk keripik singkong dalam kemasan 

Demi sejajar dalam pola sakitnya pangan, bayangkan jika lida saja bisa alami penjajahan

Penggalan puisi yang pernah dilantunkan musisi asal Papua Epo D’Fenomeno di ibu kota di atas mengingatkan saya pada kehidupan orang Marind, penduduk asli Merauke, yang kini berhadapan dengan program Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE). Bagi orang Marind, MIFEE tak ubahnya tik dema yang akan memusnahkan mereka (Savitri, 2013), Tik dema atau donovanosis adalah penyakit menular seksual yang disebabkan oleh infeksi bakteri menahun yang melanda orang Marind sejak ekspansi kolonialisme Belanda pada 1902 di Merauke (Richens, 2022). 

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), Kabupaten Merauke (kini termasuk Provinsi Papua Selatan) adalah penghasil tanaman padi terbesar di Provinsi Papua. Tahun 2022, panennya mencapai 219.044,44 ton di lahan seluas 54.612,25 hektare atau setara 4,01 ton per hektare. Distrik Jagebob dan Distrik Kurik berada di tingkat pertama dalam hal luas produksi dan jumlah panen padi sejak 2021. Dua distrik itu adalah basis permukiman para transmigran yang datang sejak 1960-an. Sementara tanaman perkebunan yang banyak dihasilkan Kabupaten Merauke adalah sawit dengan produksi sebanyak 170.461.419,08 ton dan luas tanam seluas 87.860,96 hektare. Ulilin merupakan kecamatan dengan luas tanam terluas, yaitu 53.133,02 hektare.

Penetrasi yang memengaruhi pangan lokal orang Marind ini sebetulnya bukan perihal baru. Sejak Belanda menduduki Papua, Merauke menjadi salah satu wilayah yang dipersiapkan sebagai basis proyek agrikultur terbesar pada 1947. Belanda mendatangkan para peneliti serta teknologi pertanian untuk melakukan riset-riset yang mendukung proyek tersebut. Hasilnya, tanaman padi “memiliki potensi” untuk dikembangkan di daerah Kurik. Belanda juga merencanakan pembangunan sawah seluas 12.000 hektare, terbentang dari Serapu hingga Nasai, termasuk rencana peternakan sapi. 

Di Indonesia, praktik monokultur di pertanian dan perkebunan berikut dampak kerusakan ekosistem alamnya, paling tidak, telah berlangsung sejak kebijakan Revolusi Hijau di masa Orde Baru. Inilah kebijakan yang memorak-porandakan basis pertanian dan perkebunan rakyat di berbagai daerah, tak pelak Papua sejak 1960-an. Revolusi Hijau menjadi cikal bakal rezim untuk “meningkatkan” produktivitas hasil pangan dengan teknologi pertanian modern. Dengan demikian, produksi pangan lokal yang semula bersandar pada alat produksi tradisional digantikan dengan barang modern—dengan tujuan optimalisasi (W. B. Nugroho, 2018). Logika industri semacam ini yang disebut Jason W. Moore sebagai paket reformasi yang dirancang untuk mencegah tujuan politik revolusioner dari banyak gerakan petani dan buruh—reformasi agraria yang menyeluruh. Karena itu, dalam implementasinya, Revolusi Hijau sering kali menjadi program yang otoriter (Patel & Moore, 2018).

Cara inilah yang kini tampak direpetisi oleh pemerintah melalui beragam  program dan skema bercorak neo-kolonial. Padi yang bukan pangan lokal orang Marind justru diklaim sebagai komoditas unggulan Merauke, melampaui sagu, pisang, keladi, dan pangan lokal lainnya. 

Upaya untuk menggantikan pangan lokal orang Marind terus digenjot tanpa ampun. Dalam acara bertajuk Budidaya dan Hilirisasi Produk Hasil Perkebunan, tahun 2022, Sulaeman L. Hamzah, anggota DPR dapil Papua, mengatakan: Kalau Merauke dan tiga kabupaten lainnya di selatan Papua (Mappi, Asmat, dan Boven Digoel) punya potensi untuk didorong menjadi sentra industri perkebunan. Sulaeman menyebut, komoditas unggulan selain padi perlu dianggap sebagai salah satu brand daerah. Komoditas yang dia maksud adalah sagu, makanan pokok orang Papua. Katanya, karena Indonesia memiliki luas hutan sagu terbesar (mencapai 5,6 juta hektare, sementara total hutan sagu di dunia seluas 6,5 juta hektare) dan Papua sendiri memiliki 4 juta hektare hutan sagu dan terbesar berada di Kabupaten Mappi, maka produksi didorong menggunakan mesin. Jika diterapkan, maka produksi sagu orang Marind yang bersifat komunal dan bersandar pada pengetahuan adat rentan tercerabut. Orang Marind tak lagi bakal bersentuhan langsung dengan sagu dan pengetahuan terkait produksi sagu berikut narasi adat di baliknya juga ikut berubah. 

Bagi orang Marind, makanan hutan mengungkapkan identitas budaya dan wilayah serta menegaskan hubungan intim dengan leluhur, juga hutan yang hidup. Pola makan semacam ini secara rutin dianggap terbelakang secara budaya, evolusioner, dan minim nutrisi oleh negara dan aktor perusahaan yang bercokol di Merauke (Chao, 2022). Logika “industri” dan “kecepatan” memang kerap dipakai pemerintah untuk menggaungkan praktik pertanian dan perkebunan modern di Merauke sembari mengaburkan efek destruktifnya. Praktik semacam itu kerap diselubungi dengan jargon seperti kemajuan, lumbung pangan dunia, dan seterusnya

Pada masa sebelum menguatnya dominasi beras, orang Papua masih bisa bertahan hidup dengan pangan lokal ketika paceklik menyerang. Situasi itu hampir tak lagi ada sekarang. Untuk membayangkan diet nasi dan kembali ke pangan lokal saja mungkin terlalu jauh. Hal ini kini dialami warga Kampung Anggai, Kabupaten Boven Digoel. Bonevasius Hamnagi, seorang kepala marga, dengan raut sedih berkisah bahwa hasil alam seperti kayu, rotan, dan sagu yang Tuhan berikan rusak seketika. “Kami sedih kalau hutan jatuh [dirusak] begitu saja. Sebab kalau bukan kita, berarti anak cucu, cece, ke depan [yang akan kesusahan],” katanya dalam video yang dirilis The Gecko Project.

Tanah Papua bukan tanah tak bertuan. Hampir seluruh tanah adalah tanah komunal, yang artinya dimiliki oleh komunitas adat (marga) tertentu. Namun, negara dan korporasi kerap mereduksinya menjadi objek garapan yang secara gampang dikelola melalui beragam program dan skema atas nama kesejahteraan. Salah satu skema selain MIFEE yang menjadi jualan internasional di rezim perdagangan karbon adalah perhutanan sosial. Skema ini kemudian mengatur soal klasterisasi hutan (PP 23/2021): hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, hutan adat, dan kemitraan kehutanan meski implementasinya tak pernah merasakan trickle down effect. Salah satu penyebabnya karena terlalu banyak anak tangga birokrasi yang mesti ditempuh oleh masyarakat adat di Papua.

Pada saat yang sama, hutan terus dibabat tanpa ampun. Rusa dan babi hutan lari berhamburan hingga burung kakaktua jatuh dan mati sebab kehabisan tenaga mencari pepohonan yang menjadi rumahnya.


Referensi:

Chao, S. (2022). Gastrocolonialism: The intersections of race, food, and development in West Papua. The International Journal of Human Rights, 26(5), 811–832. https://doi.org/10.1080/13642987.2021.1968378

Gaveau, D. L. A., Santos, L., Locatelli, B., Salim, M. A., Husnayaen, H., Meijaard, E., Heatubun, C., & Sheil, D. (2021). Forest loss in Indonesian New Guinea: Trends, drivers, and outlook (p. 2021.02.13.431006). bioRxiv. https://doi.org/10.1101/2021.02.13.431006

Murdiyarso, D. (2003). Protokol Kyoto: Implikasinya bagi negara berkembang. Penerbit Buku Kompas.

Nugroho, H. (2004). Ratifikasi Protokol Kyoto, Mekanisme Pembangunan Bersih dan Pengembangan Sektor Energi Indonesia: Catatan Strategis.

Nugroho, W. B. (2018). SOCIAL CONSTRUCTION OF GREEN REVOLUTION IN THE ORDE BARU. SOCA: Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian, 54–62. https://doi.org/10.24843/SOCA.2018.v12.i01.p04

Patel, R., & Moore, J. W. (2018). A history of the world in seven cheap things: A guide to capitalism, nature, and the future of the planet. University of California Press.

Richens, J. (2022). Tik Merauke An Epidemic Like No Other. Melbourne University Publishing.

Riendy, Y. (2021). Dampak Undang-Undang Cipta Kerja Terhadap Otonomi Daerah Ditinjau Dari Pasal 26 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pamulang Law Review, 4(1), Article 1. https://doi.org/10.32493/palrev.v4i1.12794

Savitri, L. A. (2013). Korporasi & politik perampasan tanah (Cetakan pertama). Insist Press.


Ferdinando Septy Yokit, sedang belajar di Pascasarjana Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.