Ilustrasi: Jonpey
SUDAH tujuh bulan berlalu sejak DPR RI mengajukan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT). Advokasi RUU PPRT bahkan sudah berumur 19 tahun sejak draf pertama dikirim ke DPR–isi RUU, seiring berjalannya waktu, jauh dari kata ideal sesuai dengan pedoman Organisasi Buruh Internasional (ILO). Sudah sejauh mana RUU tersebut dibahas sejak dijadikan inisiatif DPR? Dari 219 RUU yang masuk Prolegnas 2020-2024, baru ada 20 yang disahkan, termasuk peraturan bermasalah UU Ciptaker, UU Kesehatan, dan yang paling baru adalah UU ASN. Tak ada RUU PPRT di sana.
Indonesia merupakan salah satu negara yang belum meratifikasi C189. C189 atau Konvensi No. 189 tentang Kerja Layak bagi Pekerja Rumah Tangga yang diadopsi ILO pada 2011 menegaskan status pekerja rumah tangga sebagai “pekerja sejati” yang memiliki hak-hak yang harus dihormati. C189 dianggap sebagai capaian monumental dalam advokasi hak-hak PRT karena untuk pertama kalinya ada pengakuan holistik terhadap PRT dalam sebuah dokumen hukum.
ILO memperkirakan ada 11,5 juta pekerja rumah tangga di dunia; sekitar 40% bekerja di wilayah Asia Pasifik (termasuk Indonesia) dan 80% di antaranya adalah perempuan.
Sebagai negara dengan jumlah PRT yang besar (4,2 juta pekerja di tahun 2018, menurut ILO), ketidakpatuhan Indonesia terhadap C189 patut dipertanyakan. Padahal, selain masalah ekonomi, muncul juga berbagai pemberitaan mengenai pelecehan terhadap pekerja rumah tangga. Secara umum, pekerja rumah tangga dianggap lebih rendah dibandingkan dengan pekerja formal. Negara menolak untuk mengakui PRT sebagai pekerja formal dan malah mengategorikannya sebagai “pekerja informal” atau bahkan “pembantu”. Akibatnya, PRT tidak dapat menikmati berbagai jaminan hukum yang dihasilkan dari advokasi pekerja.
Intinya, masalah PRT merupakan salah satu isu yang dikesampingkan pemerintah. Perlindungan hukum terhadap PRT masih menghadapi banyak masalah. Ada beberapa faktor yang memengaruhinya, di antaranya adalah posisi PRT terutama perempuan yang rentan atau termarjinalkan. Patriarki memang berkaitan erat dengan diskriminasi itu.
State of Exception
Indonesia, dengan cita-cita yang dapat disebut “negara kesejahteraan”, seharusnya sudah sejak lama mengesahkan peraturan tentang pekerja rumah tangga. Namun semua tetap tidak meyakinkan para anggota legislatif. Fakta 19 tahun memperjuangkannya menunjukkan pada kita bahwa ini bukanlah hal biasa.
Kita perlu menggunakan cara baru untuk mengetahui dinamika yang terjadi. Cara baru tersebut adalah dengan memahami bahwa hak bukanlah sesuatu yang diwarisi sejak lahir, melainkan produk dari kontestasi politik pada periode tertentu (Piper, 2015). Permasalahan yang menimpa PRT menunjukkan bahwa hak asasi manusia tidak bersifat universal, tetapi dapat dikesampingkan dalam kondisi tertentu. Paradoks ini tercipta dari operasionalisasi hak dalam konteks sosial yang bias terhadap kelas, gender, agama, dan ras tertentu (Lan, 2003; Piper, 2005).
Beberapa kelompok masyarakat menikmati akses premium terhadap hak-hak, sementara yang lain hanya memperoleh setengahnya atau bahkan tidak mendapatkannya (Hönig, 2014). Fenomena ini disebut sebagai state of exception, ‘keadaan pengecualian’. Istilah tersebut dikembangkan dari tulisan Carl Schmitt yang menyatakan bahwa penguasa adalah “Dia yang memutuskan kapan state of exception terjadi.”
Giorgio Agamben berteori lebih jauh tentang konsep ini dan menemukan bahwa state of exception telah menjadi ciri permanen dari kedaulatan modern (Agamben, 2005). Dengan cara berpikir seperti ini, kita dapat memahami bahwa hak-hak PRT merupakan hal yang perlu diperjuangkan oleh semua orang, bukan hanya segelintir kelompok saja.
Standardisasi Pekerja Rumah Tangga
Pekerjaan rumah tangga dianggap sebagai pekerjaan yang dapat dilakukan oleh siapa saja tanpa memerlukan keahlian khusus (Autor, 2015). Hal ini kemudian yang menjadi salah satu argumen utama dari DPR untuk tidak mengesahkan RUU PPRT menjadi UU. Mereka beranggapan ada potensi yang sangat merugikan PRT itu sendiri ketika terjadi standardisasi PRT. Bagi mereka, ketika standardisasi dilakukan, akan banyak PRT yang pada akhirnya tidak memenuhi standar sehingga kehilangan pekerjaan. Hal ini juga didasari oleh hubungan kerja PRT-pemberi kerja yang banyak diikat bukan karena hubungan formal, tetapi hubungan kekerabatan (Schrauwers, 1999).
Untuk memfasilitasi kompetensi PRT agar menjadi pekerja yang terampil, terutama dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi Asia, beberapa upaya perlu dilakukan. Tiga di antaranya adalah: 1) kejelasan pemerintah dalam menentukan kebijakan terkait pekerja rumah tangga; 2) pelaksanaan program yang terarah dan sesuai dengan instruksi menteri tenaga kerja; 3) lembaga sertifikasi profesi yang berfokus pada peningkatan kompetensi calon tenaga kerja, tidak hanya sekedar formalitas pelaksanaan program.
Menanggapi asumsi yang berkembang, ILO (2016) berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pengembangan Masyarakat (LPMP) menyelenggarakan proyek Promoting Decent Work for Domestic Workers (PROMOTE). Program ini mengacu pada Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI), dengan harapan sertifikasi PRT dapat meyakinkan publik–dan tentunya DPR–untuk mengakui posisi PRT sebagai pekerja yang layak mendapatkan hak dan perlindungan hukum.
IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.
Gerakan Kolektif dan Sumber Daya Material
Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT), Komite Aksi Perlindungan Pekerja Rumah Tangga dan Buruh Migran (KAPPRT BM), dan di tingkat internasional Amnesty International dan Human Rights Watch, telah menekan pemerintah untuk membuat kerangka hukum yang mampu melindungi pekerja rumah tangga. Ketiga organisasi ini merupakan aktor utama dalam mengadvokasi UU PPRT.
Kontras dengan itu, pada kenyataannya, tidak banyak PRT yang menjadi anggota serikat yang dapat melindungi mereka dari posisi timpang dengan majikan. Para pekerja yang berorganisasi umumnya lebih dapat mendapat hak mereka seperti cuti, tunjangan, pesangon, dan sebagainya melalui perjuangan kolektif. Oleh karena itu, pengorganisasian PRT begitu penting. Ia dapat memperkuat posisi tawar di hadapan majikan, sekaligus juga mendorong para pengambil kebijakan untuk mengeluarkan kebijakan yang berpihak dalam bentuk undang-undang dan peraturan lain.
Serikat yang kuat akan mampu menjadi motor penggerak dan inisiator, serta pendorong perubahan nasib PRT baik secara empiris maupun normatif.
Pekerja rumah tangga di Indonesia sebenarnya memiliki jaringan yang tersebar di seluruh negeri dalam koordinasi Jala PRT. Setidaknya ada 36 Serikat Pekerja Rumah Tangga (SPRT) yang dapat menjadi perhimpunan bagi 4 juta PRT. Itu adalah potensi yang sangat besar, dan mampu terealisasi jika media dan LSM mampu membentuk persepsi publik akan pentingnya kesadaran kelas bagi PRT. Jika setidaknya 80% PRT di Indonesia menjadi anggota SPRT, maka Jala PRT memiliki kekuatan untuk memobilisasi setidaknya 3,2 juta orang.
Penutup
Perjuangan advokasi RUU PPRT yang akan memasuki usia 20 tahun sekarang tentu menjadi catatan sejarah bagi gerakan buruh di Indonesia. Meskipun isu ini bukan merupakan isu arus utama, para PRT tidak patah semangat untuk terus memperjuangkan hak-haknya. Sampai tulisan ini dibuat, PRT sudah melakukan aksi ke-55 di depan gedung DPR. Kurangnya kesadaran kelas dalam masyarakat Indonesia menjadi kendala terbesar dalam advokasi ini. Oleh karena itu, kita semua harus memperjuangkan hak-hak pekerja rumah tangga.
Rujukan
Agamben, G. (2005). State of Exception. Trans. Kevin Attell. Chicago: The University of Chicago Press, 107.
Autor, D. H. (2015). Why are there still so many jobs? The history and future of workplace automation. Journal of economic perspectives, 29(3), 3-30.
Hönig, P. (2014). States, Borders and the State of Exception: Framing the Unauthorized Migrant in Europe. Etnofoor, 26(1), 125–145.
ILO – International Labour Organization (2018): Promoting Decent Work for Domestic Workers and Elimination of Child Labor in Domestic Work: Ten Emerging Good Practices from Indonesia. International Labour Organization, Geneva.
ILO – International Labour Organization. (2016). Peluncuran pelatihan keterampilan untuk PRT: Tingkatkan kualitas dan standar kerja pekerja rumah tangga. Diakses dari https://www.ilo.org/jakarta/info/public/pr/WCMS_531320/lang–en/index.htm
JALA PRT / ILO-PROMOTE (2017): Alternative Alternative Education Module for Domestic Workers: Handbook for Facilitator (in Bahasa Indonesia). Jakarta: ILO.
Lan, P. C. (2003). Negotiating Social Boundaries and Private Zones: The Micropolitics of Employing Migrant Domestic Workers. Social Problems, 50(4), 525-549
Piper, N. (2015). Democratizing Migration from the Bottom Up: The Rise of the Global Migrant Rights Movement. Globalizations, 12(5), 788–802.
Piper, N. (2005). Rights of Foreign Domestic Workers—Emergence of Transnational and Transregional Solidarity? Asian and Pacific Migration Journal, 14(1-2), 97-119. Roempoen
Schrauwers, A. (1999). Negotiating parentage: the political economy of “kinship” in central Sulawesi, Indonesia. American Ethnologist, 26(2), 310-323.
Rizvi Nahar Ilhammullah adalah research intern di Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia, dan Manajemen dan Kebijakan Publik, Universitas Gadjah Mada.