Foto: Mural Joko Widodo di Tangerang. Polisi menginvestigasi siapa yang membuatnya. Fajrin Raharjo/AFP
DALAM beberapa tahun terakhir, banyak analis secara terang-terangan menyimpulkan adanya kemerosotan demokrasi di Indonesia, yang antara lain dibuktikan dengan semakin menyempitnya ruang sipil dan politik. Bagi sebagian pihak, kemunduran kualitas demokrasi ini cukup mengejutkan mengingat Indonesia sebelumnya dipuji sebab berhasil melewati masa transisi yang penuh gejolak.
Namun, meskipun mereka mengkritik perkembangan politik saat ini, beberapa analis tetap berkeyakinan bahwa pembalikan ke arah otoritarianisme tidak akan terjadi. Meski penuh gejolak, demokrasi di Indonesia dipandang relatif stabil dibandingkan dengan negara demokrasi lain. Salah satu argumen yang menonjol mengaitkan stabilitas itu dengan adanya pembagian kekuasaan di kalangan elite yang menghasilkan kartelisasi serta adanya masyarakat sipil yang dinamis sebagai tulang punggung demokrasi.
Pandangan ini bermasalah karena dua hal. Pertama, meskipun kesimpulan tersebut dibuat secara komparatif, pujian atas performa demokrasi menyembunyikan masalah-masalah yang lebih mendasar dalam politik dalam negeri di Indonesia. Patut dicatat bahwa demokrasi liberal belum pernah terkonsolidasi di negeri ini. Hal ini karena Indonesia berada dalam tatanan kekacauan (state of disorder), di mana korupsi merajalela, regulasi saling tumpang tindih, dan hukum cenderung diinstrumentalisasi untuk melindungi kepentingan akumulasi kekuasaan dan kekayaan. Situasi ini juga menegaskan sifat politik Indonesia yang iliberal.
Kedua, pandangan optimistis tersebut pada akhirnya mencerminkan ketidakakuratan analisis dalam memahami perkembangan politik terkini. Penilaian atas kekuatan masyarakat sipil sebagai penopang demokrasi, misalnya, cenderung dilebih-lebihkan. Padahal terdapat tendensi iliberalisme yang semakin mendalam. Dan ini justru menunjukkan hal yang sebaliknya. Yang lebih penting lagi, analisis tersebut telah menciptakan harapan palsu di kalangan masyarakat sipil yang membuat mereka abai atas kelemahan sendiri.
Demokrasi dan Tatanan Kekacauan
Dalam tatanan kekacauan, tidak ada kepastian hukum kecuali bagi mereka yang dapat membelinya. Hubungan-hubungan informal dengan penguasa sangat menentukan dalam banyak hal, termasuk untuk memperoleh izin dan konsesi bisnis, memenangkan suatu perkara atau membebaskan diri dari tuntutan hukum. Kesemrawutan aturan dan keruwetan birokrasi bersumber dari situasi ini. Alih-alih menghambat, aspek-aspek ini berperan penting dalam akumulasi kekuasaan dan kekayaan.
Penting dicatat bahwa kekacauan ini bukanlah anomali atau penyimpangan dari suatu tatanan ideal. Situasi ini juga bukan penanda absennya negara dan gagalnya penegakan hukum. Ia justru manifestasi dari berfungsinya negara dan hukum dalam tatanan kekacauan, produk dari perkembangan sejarah kapitalisme yang spesifik.
Tatanan politik-hukum liberal dan supremasi hukum (rule of law) umumnya ditemukan dalam masyarakat di mana kekuatan ekonomi mempunyai otonomi relatif dari otoritas politik. Pranata yang liberal secara relatif justru untuk menjamin pemisahan itu yang melaluinya kepentingan kapitalis dapat lebih terlindungi. Selama tidak ada pemisahan kekuasaan politik dan ekonomi, kekacauan cenderung mengemuka.
Di Indonesia, tatanan kekacauan ini terinstitusionalisasi pada era otoriter Orde Baru. Demokratisasi pada era pasca-1998 tidak mengubah pengorganisasian kekuasaan yang menjadi sumber reproduksi kekacauan. Pelaku ekonomi dominan—kebanyakan etnis Tionghoa yang mengalami diskriminasi rasial—terus menjalin aliansi dengan birokrat dan pemimpin politik yang korup untuk melindungi properti mereka serta mengamankan dan memperluas bisnis mereka.
Sementara itu, jaringan oligarki Orde Baru yang terdiri dari pengusaha, birokrat, politisi, tokoh-tokoh militer dan kepolisian adalah yang paling adaptif dan siap dalam memanfaatkan pranata-pranata baru di bawah demokrasi. Oleh karena itu, mereka tidak begitu tertarik membongkar dan menghancurkan lembaga-lembaga demokrasi yang telah terbentuk.
Bagi mereka, sejauh masih terbuka ruang untuk memanfaatkan lembaga-lembaga tersebut dalam memfasilitasi akumulasi kekayaan dan kekuasaan, sistem demokrasi dapat dipertahankan. Tapi dalam tatanan kekacauan, sistem demokrasi ini berjalan beriringan dengan iliberalisme.
Hal ini terutama terjadi ketika tidak ada gerakan sosial progresif yang kuat dan koheren yang dapat mengubah pengorganisasian kekuasaan.
Pada akhirnya, meskipun norma-norma hak asasi manusia telah diadopsi ke dalam konstitusi dan undang-undang, tidak serta merta pemenuhan dan perlindungan hak warga menjadi lebih terjamin. Kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu juga masih belum tersentuh. Korupsi juga terus menjadi masalah kronis. Sejak awal berdirinya, lembaga baru seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga telah menjadi alat para elite yang saling bersaing untuk menyerang lawan-lawan mereka.
Iliberalisme yang Semakin Akut
Karena tantangan yang berarti terhadap kekuatan-kekuatan anti-demokrasi cenderung absen, jaringan oligarki tidak hanya bertahan tetapi juga terus berkonsolidasi. Hal ini yang membuat semakin mengemukanya kecenderungan iliberalisme pada masa pemerintahan Joko Widodo (2014-sekarang).
Sejak tahun pertama kepemimpinannya, Jokowi mengakomodasi ke dalam kabinetnya tokoh-tokoh militer yang diduga terlibat dalam kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu. Hal ini bukan semata karena Jokowi dikelilingi oleh elite anti-demokrasi yang memaksanya mengingkari janji memajukan HAM. Sebaliknya, Jokowi sejak awal memang telah beraliansi dengan politisi korup, tokoh militer, birokrat dan pengusaha, yang kemudian menggunakan pengaruh mereka untuk mengambil alih lembaga-lembaga publik untuk tujuan non-demokratis.
Jokowi mungkin mendapat dukungan dari para aktivis pro-demokrasi yang tergabung dalam berbagai kelompok relawan, namun kelompok-kelompok ini tidak memiliki kekuatan nyata untuk memajukan agenda reformasi atau menantang kepentingan oligarki. Sebaliknya, kelompok-kelompok relawan telah menjadi sarana bagi elite masyarakat sipil untuk membangun hubungan patron-klien dengan penguasa demi keuntungan mereka sendiri.
Selama bertahun-tahun, pemerintahan Jokowi berupaya untuk memperkuat, bukan menghalangi, jaringan-jaringan ini. Oposisi sering kali ditindas, korupsi difasilitasi, dan berbagai instrumen hukum terus dibajak untuk melindungi kepentingan elite, sementara banyak sekali undang-undang yang mengesampingkan HAM dibuat.
IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.
Tren serupa sebenarnya juga terjadi pada era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY (2004-2014) sebelumnya, termasuk upaya pelemahan KPK. Pada masa pemerintahan SBY juga banyak analis yang memuji Indonesia sebagai negara demokrasi yang stabil, di antaranya karena dibentengi oleh masyarakat sipil yang kuat. Pujian semacam itu mungkin terlihat masuk akal, terutama jika merujuk pada kegagalan pelemahan KPK.
Akan tetapi, yang luput atau sengaja diabaikan oleh analisis yang optimistis adalah fakta bahwa dukungan masyarakat sipil sebenarnya tidak terlalu berpengaruh terhadap kegagalan itu. Gagalnya upaya pelemahan KPK lebih berkaitan dengan kurang terkonsolidasinya elite anti-demokrasi. Perlawanan masyarakat sipil terhadap upaya pelemahan KPK tahun 2019 jauh lebih besar daripada era SBY, dan pada tahun itulah lembaga anti-korupsi ini berhasil dilemahkan.
Pujian yang Terlalu Prematur
Uraian di atas menegaskan bahwa masyarakat sipil di Indonesia terlalu lemah untuk secara signifikan menantang kepentingan oligarki, mengubah perimbangan kekuatan serta mempertahankan demokrasi. Hal ini karena mereka didominasi oleh kalangan reformis liberal yang sebagian besar mengorganisir diri ke dalam berbagai non-governmental organisation (NGO) yang pendekatannya cenderung berfokus pada advokasi perubahan kelembagaan tetapi secara fundamental mengabaikan perubahan struktur kekuasaan yang telah mengakar.
Elemen-elemen potensial lainnya seperti kelompok kiri, berbagai serikat buruh, dan gerakan-gerakan rakyat juga cenderung ter-NGO-isasi. Beberapa dari mereka, yang mungkin berupaya membangun gerakan politik yang lebih koheren, memiliki jumlah anggota dan pengaruh yang terlampau kecil serta kapasitas dan disiplin organisasi yang buruk. Namun, secara lebih luas, pujian yang terlalu prematur atas demokrasi Indonesia telah membuat banyak orang mengabaikan situasi itu, sehingga menutup mata terhadap fakta bahwa kepentingan oligarki masih tidak tertandingi dan bahkan dapat semakin memperdalam iliberalisme.
Tulisan ini sebelumnya terbit di Australian Outlook. Diterjemahkan IndoPROGRESS untuk kepentingan pendidikan.